BAB LIMA PULUH TUJUH PIPER

BAB LIMA PULUH TUJUH PIPER

PIPER BERHARAP DIA BISA MEMBUJUK diri sendiri dengan charmspeak supaya tidur. Cara itu barangkali mempan untuk rnenidurkan Gaea, tapi dua malam terakhir ini, Piper tidak bisa memejamkan mata sekejap pun. Siangnya baik-baik saja. Piper senang sekali bisa kembali bersama teman-temannya, Lacy dan Mitchell, serta anak-anak Aphrodite lain. Bahkan wakil Piper yang rewel, Drew Tanaka, tampak lega, PIPER BERHARAP DIA BISA MEMBUJUK diri sendiri dengan charmspeak supaya tidur. Cara itu barangkali mempan untuk rnenidurkan Gaea, tapi dua malam terakhir ini, Piper tidak bisa memejamkan mata sekejap pun. Siangnya baik-baik saja. Piper senang sekali bisa kembali bersama teman-temannya, Lacy dan Mitchell, serta anak-anak Aphrodite lain. Bahkan wakil Piper yang rewel, Drew Tanaka, tampak lega,

perkelahian antara anak-anak Mars dan anak-anak Ares yang berakar dari silang pendapat mengenai metode terbaik untuk membunuh hydra. Pada pagi hari ketika bangsa Romawi dijadwalkan akan pergi, Piper duduk di dermaga danau kano sambil berusaha menenangkan peri-peri air. Sebagian roh clam penghuni danau berpendapat bahwa cowok-cowok Romawi teramat cakep sehingga mereka juga ingin ikut pergi ke Perkemahan Jupiter. Mereka menuntut akuarium raksasa untuk perjalanan ke barat. Piper baru membereskan negosiasi ketika Reyna menemukannya. Sang praetor duduk di dermaga di sebelah Piper. "Kerja keras?" Piper meniup sehelai rambut yang menjuntai ke matanya. "Peri air bisa menyusahkan. Kurasa kami sudah sepakat. Kalau mereka masih ingin pergi pada pengujung musim panas, akan kami pikirkan detailnya nanti saja. Tapi peri-peri air punya, anu, kecenderungan untuk melupakan ini-itu dalam waktu lima menit." Reyna menelusurkan jarinya ke permukaan air. "Terkadang aku berharap bisa melupakan apa pun secepat itu." Piper mengamati wajah sang praetor. Satu-satunya demigod yang tampaknya tidak berubah sepanjang jalannya pertempuran dengan para raksasa adalah Reyna ... setidaknya, dari luar kelihatannya tidak ada perubahan. Reyna masih memiliki tatapan teguh dan tegar, wajah yang anggun dan cantik. Dia mengenakan baju tempur dan jubah ungu dengan nyaman, semudah kebanyakan orang mengenakan celana pendek serta kaus. Piper tidak bisa memahami, bagaimana mungkin ada yang sanggup menanggung begitu banyak kepedihan, menopang begitu banyak tanggung jawab, tapi tidak remuk redam. Dia bertanya-tanya apakah Reyna punya teman bicara, untuk diajak berbagi rasa dan rahasia. "Jasamu besar sekali," kata Piper. "Untuk kedua perkemahan. Tanpamu, semua ini takkan mungkin tercapai." "Kita semua menyumbang peran." "Tentu Baja. Tapi kau aku semata-mata berharap kau mendapat apresiasi lebih." Reyna tertawa lembut. "Terima kasih, Piper. Tapi, aku tidak menginginkan perhatian. Kau paham rasanya, Ian?" Piper mengerti. Mereka berdua lain sekali, tapi dia memahami perasaan tidak ingin menarik perhatian. Itulah yang Piper harapkan seumur hidupnya, sebagai anak dari ayah yang tenar, yang kerap dikejar-kejar paparazzi, yang foto-foto pribadi dan kisah skandalnya sering bermunculan di media massa. Piper bertemu banyak sekali orang yang mengatakan, Oh, aku ingin terkenal! Rasanya pasti menakjubkan sekali! Tapi, mereka tidak tahu bagaimana ketenaran itu sesungguhnya. Piper melihat betapa keterkenalan telah membebani ayahnya. Piper sama sekali tidak menginginkan itu. Piper juga bisa memahami betapa memikatnya gaya hidup Romawi —yang senantiasa berbaur, menjadi bagian dari tim, bekerja sebagai bagian dari satu kesatuan nan kompak. Kendati demikian, Reyna telah mencapai puncak. Dia tidak bisa tetap tersembunyi. "Kekuatan dari ibumu ..." kata Piper. "Kau bisa meminjamkan kekuatan kepada orang lain." Reyna merapatkan bibir. "Nico memberitahumu?" "Tidak. Aku merasakannya saja, saat menyaksikanmu memimpin legiun. Energimu pasti terkuras karenanya. Bagaimana kau bisa kau tahu, mendapatkan kembali kekuatan itu?" "Ketika aku sudah mendapatkan kembali kekuatan itu, akan kuberi tahu kau." Reyna mengatakannya seperti bercanda, tapi Piper merasakan kesedihan di balik kata-kata gadis itu.

"Kau dipersilakan datang ke sini kapan pun," kata Piper. "Kalau kau perlu istirahat, menjauhkan diri sejenak kau sekarang didampingi Frank —dia bisa mengemban lebih banyak kewajiban untuk sementara, selagi kau pergi. Mungkin ada baiknya meluangkan waktu untuk dirimu sendiri sesekali, menarik diri dari status sebagai praetor." Reyna bertemu pandang dengan Piper, seolah-olah berusaha memperkirakan seberapa serius tawaran itu. "Akankah aku diminta menyanyikan lagu aneh itu, tentang Nenek yang mengenakan baj u temp ur?" "Tidak kecuali kau betul-betul mau. Tapi, kami mungkin harus melarangmu ikut serta dalam permainan tangkap bendera. Aku punya firasat kau bisa saja melawan seisi perkemahan seorang diri dan tetap mampu mengalahkan kami." Reyna meringis. 'Akan kupertimbangkan tawaranmu. Terima kasih." Dia membetulkan belati dan sekejap, Piper teringat akan belatinya sendiri, Katoptris, yang kini terkunci dalam peti di Pondok Aphrodite. Sejak kejadian di Athena, ketika Piper menggunakan belati itu untuk menikam Enceladus sang raksasa, bilah belati itu tidak menunjukkan visi apa-apa lagi. "Aku penasaran ..." kata Reyna. "Kau anak Venus. Maksudku Aphrodite. Barangkali —barangkali kau bisa menjelaskan sesuatu yang dikatakan ibumu." "Dengan senang hati. Akan kucoba, tapi aku harus memperingatkanmu: perkataan ibuku sering kali bahkan tidak masuk di akalku." "Suatu kali di Charleston, Venus memberitahuku sesuatu. Katanya: Kau takkan menemukan cinta di tempat yang kau harapkan atau kau inginkan. Takkan ada demigod yang mampu menyembuhkan hatimu. Aku —aku sudah lama berjuang memahami ..." Ucapannya melirih. Piper merasakan hasrat kuat untuk mencari dan meninju ibunya. Dia benci kebiasaan Aphrodite, mengacaubalaukan hidup seseorang selepas bincang-bincang singkat belaka. "Reyna," kata Piper, "aku tidak tahu apa maksud Aphrodite, tapi aku mengetahui ini: kau orang yang luar biasa. Di luar sana, ada seseorang untukmu. Mungkin bukan demigod. Mungkin manusia biasa atau entahlah. Tapi ketika sudah waktunya, yang niscaya terjadi pasti akan terjadi. Dan sampai saat itu, ketahuilah bahwa kau memiliki teman. Banyak teman, baik orang-orang Yunani maupun Romawi. Karena kau sanggup menjadi sumber kekuatan bagi semua orang, mungkin kadang-kadang kau lupa bahwa kau juga perlu meminjam kekuatan dari orang lain. Kau bisa mengandalkanku. Aku di sini untukmu." Reyna menerawang ke danau. "Piper McLean, kau pintar berkata-kata." "Aku tidak bicara menggunakan charmspeak, aku sumpah." "Tidak perlu charmspeak." Reyna mengulurkan tangan. "Aku punya firasat kita akan bertemu lagi." Mereka berjabatan dan, sesudah Reyna pergi, Piper tahu bahwa Reyna benar. Mereka akan bertemu lagi, sebab Reyna bukan lagi seorang rival, bukan lagi orang asing ataupun musuh potensial. Dia seorang teman. Dia sudah menjadi keluarga. Malam itu, perkemahan terasa sepi tanpa orang-orang Romawi. Piper sudah merindukan Hazel. Dia merindukan derit papan Argo II dan rasi bintang yang diterangi pelita di langit-langit kabinnya dalam kapal. Selagi berbaring di tempat tidurnya di Pondok Sepuluh, Piper merasa sangat gelisah sehingga dia tahu dia takkan bisa jatuh

tertidur. Piper terus memikirkan Leo. Berkali-kali Piper mereka ulang pertarungan melawan Gaea dalam benaknya, mencoba mencari tahu bagaimana bisa dia gagal melindungi Leo sedemikian. Sekitar jam dua pagi, Piper menyerah. Percuma saja mencoba tidur. Dia duduk tegak di ranjangnya dan menatap ke luar jendela. Cahaya rembulan menjadikan hutan keperakan. Aroma laut dan ladang stroberi terbawa angin. Dia tidak bisa memercayai bahwa beberapa hari lalu Ibu Pertiwi telah terbangun dan hampir menghancurkan semua yang Piper sayangi. Malam ini suasana terkesan begitu damai begitu normal. Tok, tok, tok. Kepala Piper nyaris terbentur langit-langit tempat tidur susun. Jason berdiri di luar jendela

pondok, mengetuk kosen. "Ayo sini." "Sedang apa kau di sini?" bisik Piper. "Sudah lewat jam malam. Para harpy petugas patroli akan mencabik-cabikmu!" "Ke sini saja deh." Dengan jantung berdebar-debar kencang, Piper menggapai tangan Jason dan memanjat ke luar jendela. Jason menuntun Piper ke Pondok Satu dan mengajaknya masuk. Patung Zeus Hippie berukuran mahabesar melotot di keremangan pondok tersebut. "Eh, Jason ... apa persisnya ?" "Lihat." Dia menunjuki Piper salah satu pilar marmer yang mengelilingi ruang bundar itu. Di sebelah belakang, hampir-hampir tersembunyi di depan dinding, terdapat jenjang-jenjang besi yang mengarah ke atas —sebuah tangga. "Aku tak percaya tidak menyadarinya lebih awal. Tunggu sampai kau melihatnya!" Jason mulai memanjat. Piper tidak yakin apa sebabnya dia merasa gugup sekali, tapi tangannya gemetaran. Dia mengikuti Jason ke atas. Di puncak, Jason mendorong pintu tingkap kecil. Mereka keluar ke sisi atap berbentuk kubah, ke tubir datar yang menghadap ke utara. Selat Long Island terbentang ke cakrawala. Mereka jauh sekali di atas dan berada pada sudut yang tidak memungkinkan seorang pun melihat mereka dari bawah. Para harpy petugas patroli takkan pernah terbang setinggi ini. “Lihat." Jason menunjuk ke bintang-bintang, yang bertaburan bagai berlian di angkasa —batu-batu berharga yang malah lebih indah daripada yang bisa didatangkan Hazel Levesque. "Cantiknya." Piper merapat ke tubuh Jason dan Jason pun merangkulnya. "Tapi, bukankah kau akan mendapat kesulitan nantinya?" "Peduli amat," timpal Jason. Piper tertawa pelan. "Kau siapa sih?" Jason menoleh, kacamatanya tampak perunggu pucat di bawah bintang-bintang. "Jason Grace. Senang bertemu denganmu." Jason mengecup Piper dan rasanya lain. Piper merasa seperti panggangan roti. Seluruh sarafnya membara. Kalau lebih hangat lagi daripada sekarang, bisa-bisa dia hangus. Jason menjauhkan diri sedikit, sekadar supaya bisa menatap mata Piper. "Malam itu di Sekolah Alam Liar, ciuman pertama kita di bawah bintang- bintang ..." "Memori palsu," ujar Piper. "Yang tidak pernah terjadi." "Nah sekarang sungguhan, lan?!" Jason membuat tanda menolak bala, seperti ketika mengusir hantu ibunya, dan menghunjamkan tangan ke langit. "Mulai saat ini, kita akan menulis riwayat kita sendiri, dimulai dari awal yang baru. Yang barusan itu ciuman pertama kita." "Aku takut mengatakan ini sesudah satu ciuman saja," kata Piper. "Tapi, demi dewa-dewi Olympus, aku cinta padamu." "Aku cinta padamu juga, Pipes." Piper tidak ingin merusak momen itu, tapi dia tidak bisa berhenti memikirkan Leo dan betapa kawan mereka itu takkan pernah meraih awal baru.

Jason pasti menangkap perasaan Piper. "Hei," kata Jason. "Leo baik-baik saja." "Mana mungkin kau seyakin itu? Leo tidak meminum obat. Nico bilang dia sudah meninggal." "Kau pernah membangunkan seekor naga dengan suaramu saja," Jason mengingatkan Piper. "Kau percaya naga itu semestinya hidup, iya Ian?" "Iya, tapi —" "Kita harus percaya pada Leo. Tidak mungkin dia mati segampang itu. Dia cowok yang tangguh." "Benar." Piper berusaha menenangkan hatinya. "Jadi, kita percaya saja. Leo pasti masih hidup." "Kauingat kejadian di Detroit, sewaktu dia menggepengkan Ma Gasket dengan mesin mobil?" "Jangan lupa kurcaci-kurcaci di Bologna. Leo menaklukkan mereka dengan granat asap buatan sendiri dari pasta gigi." "Komandan Sabuk Perkakas," ujar Jason. "Cowok Bandel Paling Keren," kata Piper. "Chef Leo sang Pakar Taco Tahu." Mereka tertawa dan melempar cerita-cerita tentang Leo Valdez, sahabat mereka. Mereka berdiam di atas atap hingga fajar dan saat itu, mulailah Piper meyakini bahwa mereka bisa merintis awal baru. Bahkan membuat cerita baru, yang di dalamnya Leo masih hidup, juga mungkin. Di suatu tempat, di luar sana[]