BAB DELAPAN BELAS PIPER

BAB DELAPAN BELAS PIPER

PIPER TIDAK MAU DIBENTAK-BENTAK OLEH meja berkaki tiga. Ketika Jason bertandang ke kabin Piper malam itu, dia memastikan untuk terus membuka pintu kamar, sebab Buford si Meja Ajaib melaksanakan tugasnya sebagai pengawas secara sangat serius. Jika meja itu curiga akan keberadaan anak perempuan dan laki-laki berduaan dalam kabin tanpa pengawas, Buford bakal mengembuskan uap PIPER TIDAK MAU DIBENTAK-BENTAK OLEH meja berkaki tiga. Ketika Jason bertandang ke kabin Piper malam itu, dia memastikan untuk terus membuka pintu kamar, sebab Buford si Meja Ajaib melaksanakan tugasnya sebagai pengawas secara sangat serius. Jika meja itu curiga akan keberadaan anak perempuan dan laki-laki berduaan dalam kabin tanpa pengawas, Buford bakal mengembuskan uap

pirangnya yang seputih julai jagung sudah bertambah gondrong, meskipun alur bekas lintasan peluru dari senapan Sciron si bandit masih tampak di kulit kepalanya. Jika luka gores minor dari perunggu langit saja butuh waktu demikian lama untuk pulih, Piper bertanya-tanya kapan luka emas Imperial di perut Jason sembuh. "Aku pernah mengalami yang lebih parah," Jason meyakinkan Piper. "Suatu kali, di Oregon, seekor dracaena memotong lenganku." Piper mengerjapkan mata. Kemudian ditamparnya lengan Jason dengan lembut. "Tutup mulut." "Kau sempat terkecoh, lan?!" Mereka bergandengan dengan nyaman sambil membisu. Sekejap, Piper hampir bisa membayangkan bahwa mereka adalah remaja normal, sedang menikmati kebersamaan dengan satu sama lain dan membiasakan diri sebagai pasangan. Memang, Jason dan Piper sempat melewatkan beberapa bulan di Perkemahan Blasteran, tapi perang melawan Gaea senantiasa membayangi. Piper bertanya-tanya bagaimana rasanya, tidak perlu mengkhawatirkan kalau-kalau mereka bakal mati sekitar dua belas kali sehari. "Aku belum berterima kasih padamu." Ekspresi Jason menjadi serius. "Sewaktu di Ithaka, aku melihat ampas ibuku, mania-nya Ketika aku terluka, kau menjagaku agar tidak pingsan, Pipes. Sebagian dari diriku ..." suaranya melirih. "Sebagian dari diriku ingin memejamkan mata dan berhenti melawan." Hati Piper terasa pedih. Jari- jarinya merabai denyut nadinya sendiri yang bertambah cepat. "Jason kau seorang petarung. Kau tidak pernah menyerah. Ketika berhadapan dengan arwah ibumu —kaulah yang tangguh. Bukan aku." "Mungkin." Suara pemuda itu kering. "Aku tidak bermaksud membebanimu, Pipes. Hanya saja aku memiliki DNA ibuku. Kemanusiaanku seluruhnya adalah warisan ibuku. Bagaimana kalau aku membuat pilihan keliru? Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan yang tidak bisa kuralat saat kita bertarung melawan Gaea? Aku tidak mau menjadi seperti ibuku —terkuras habis hingga menyisakan mania belaka, menekuri penyesalanku selamanya." Piper menggenggam tangan Jason dengan kedua tangannya. Dia merasa seperti kembali ke geladak Argo II, memegangi granat es kaum Boread tepat sebelum meledak. "Kau pasti akan membuat pilihan yang tepat," kata Piper. "Aku tidak tahu apa yang akan menimpa satu pun di antara kita, tapi kau tidak mungkin menjadi seperti ibumu." "Bagaimana bisa kau seyakin itu?" Piper mengamat-amati tato di lengan bawah Jason —SPQR, elang Jupiter, dua belas garis penanda tahun pengabdiannya di legiun. "Ayahku pernah mendongengkan cerita tentang pilihan ..." Op Piper menggeleng. "Tidak, lupakan saja. Nanti aku kedengaran seperti Kakek Tom.", "Lanjutkanlah," kata Jason. "Ceritanya bagaimana?" "Jadi ada dua pemburu Cherokee yang sedang menjelajahi hutan. Masing- masing diberi pantangan." "Pantangan —sesuatu yang tidak boleh mereka lakukan." "Iya." Piper mulai merasa santai. Dia bertanya-tanya inikah sebabnya ayahnya dan kakeknya gemar mendongeng. Kita bisa menjadikan topik yang paling mengerikan lebih mudah untuk dibicarakan dengan merangkainya dalam sebuah cerita, semisal kisah sepasang pemburu Cherokee yang terjadi ratusan tahun lampau. Ambil satu persoalan; ubah menjadi hiburan. Mungkin itu sebabnya ayah Piper menjadi aktor.

"Nah, salah seorang pemburu ini," Piper melanjutkan, "dia tidak boleh makan daging rusa. Lelaki satunya lagi tidak boleh makan daging tupai." "Kenapa?" "Wah, aku tidak tahu. Sebagian pantangan Cherokee berlaku permanen dan tidak bisa diganggu gugat, misalnya membunuh elang." Dia mengetuk simbol di lengan Jason. "Itu bawa sial untuk hampir semua orang. Tapi terkadang, individu-individu Cherokee mengambil pantangan untuk sementara —mungkin untuk membersihkan jiwa, atau karena mereka tahu, gara-gara mendengarkan dunia arwah atau apalah, bahwa pantangan itu penting. Mereka mengikuti saja insting mereka." "Oke." Jason kedengarannya ragu. "Jadi, kembali ke kedua pemburu itu." "Mereka berburu di hutan seharian. Satu-satunya yang mereka tangkap adalah tupai. Pada malam hari, mereka berkemah dan laid-laki yang boleh makan tupai mulai memasak dagingnya di atas api." "Sedap." "Alasan lain sehingga aku menjadi vegetarian. Pokoknya, si pemburu kedua, yang tidak boleh makan daging tupai —dia sudah kelaparan. Dia duduk saja sambil memegangi perutnya sementara temannya makan. Akhirnya pemburu pertama mulai merasa bersalah. Ah, silakan duluan,' katanya. 'Makanlah sedikit.' Tapi, pemburu kedua menolak. `Itu pantangan bagiku. Bisa-bisa aku mendapat bala. Aku mungkin bakal berubah menjadi ular atau apalah.' Pemburu pertama tertawa. mana kau mendapat gagasan gila itu? Kau takkan kenapa-napa. Kau bisa kembali berpantang tupai besok.' Pemburu kedua tahu tidak boleh, tapi dia akhirnya makan." Jason menelusurkan jarinya ke buku-buku jari Piper, alhasil membuat gadis itu sulit berkonsentrasi. "Apa yang terjadi?" "Di tengah malam, pemburu kedua terbangun sambil inenjerit-jerit kesakitan. Pemburu pertama lari menghampirinya untuk melihat ada masalah apa. Dia menyibakkan selimut temannya dan melihat bahwa kedua kaki sang kawan telah menyatu, membentuk ekor bersisik. Selagi dia menyaksikan, kulit ular merambat ke sekujur tubuh temannya. Si pemburu malang menangis dan minta maaf kepada roh- roh dan memekik ketakutan, tapi sudah terlambat. Pemburu pertama bertahan di nisi temannya dan berusaha menghibur sampai si laki-laki malang pungkas bertransformasi sebagai ular raksasa dan lantas pergi dari sana sambil melata. Selesai." "Aku suka sekali cerita-cerita Cherokee," kata Jason. "Isinya sangat menggembirakan." "Iya, begitulah." "Jadi, laki-laki itu berubah menjadi ular. Hikmahnya: pernahkah Frank makan tupai?" Piper tertawa, alhasil meringankan perasaannya. "Bukan, Bego. Intinya, percayailah instingmu. Daging tupai mungkin aman-aman saja bagi satu orang, tapi pantang dimakan yang lain. Pemburu kedua tahu dia dirasuki roh ular, yang menanti untuk mengambil alih dirinya. Dia tahu dia tidak boleh memberi makan roh jahat itu dengan daging tupai, tapi dia tetap saja makan daging tupai." "Jadi aku tidak boleh makan tupai." Piper lega melihat binar-binar di mata Jason. Dia memikirkan perkataan Hazel kepadanya beberapa malam silam: Menurutku Jason adalah kunci dari keseluruhan strategi Hera. Dia adalah pemain pertama dalam rencana Hera; dia akan menjadi yang terakhir juga. "Maksudku," kata Piper sambil menotol dada Jason, "adalah bahwa kau, Jason Grace, sudah sangat akrab dengan kegelapan dalam dirimu sendiri dan kau berusaha sebaik-baiknya untuk tidak

memberi makan kegelapan itu. Instingmu tajam dan kau tahu caranya mengikuti instingmu. Apa pun sifat menyebalkan yang kau punya, kau sungguh-sungguh orang baik yang selalu berusaha membuat pilihan tepat. Jadi, jangan katakan lagi bahwa kau ingin menyerah." Jason mengerutkan kening. "Tunggu. Aku punya sifat yang menyebalkan?" Piper memutar-mutar bola matanya. "Ayo sini." Dia hendak mengecup Jason ketika terdengar ketukan di pintu. Leo menyembulkan badan ke dalam. "Ada pesta? Apa aku diundang?" Jason berdeham. "Hei, Leo. Ada apa?" "Oh, begitu-begitu saja." Dia menunjuk ke

lantai atas. " Venti memuakkan yang biasa sedang mencoba menghancurkan kapal. Kau siap bertugas jaga?" "Iya." Jason mencondongkan badan ke depan dan mengecup Piper. "Makasih. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." "Itulah," kata Piper kepada Jason, "inti perkataanku." Selepas kepergian kedua anak laki-laki, Piper merebahkan diri ke bantal bulu pegasus dan memandangi rasi bintang yang diproyeksikan pelitanya ke langit-langit. Piper merasa takkan bisa tidur, tapi setelah seharian penuh melawan monster di tengah gerahnya hawa musim panas, tubuhnya ternyata kelelahan. Akhirnya Piper memejamkan mata dan terhanyut dalam mimpi buruk. Akropolis. Piper tidak pernah ke sana, tapi dia mengenali tempat itu dari gambar-gambar —benteng pertahanan kuno yang bertengger di atas bukit, hampir semengesankan Gibraltar. Empat ratus kaki di atas hamparan kota Athena modern yang kelap-kelip di malam menjulanglah sebuah tebing terjal dipuncaki mahkota dari cmbok batu kapur. Di puncak, puing-puing kuil dan mesin derek modern berkilau keperakan di bawah cahaya rembulan. Dalam mimpinya, Piper terbang di atas Parthenon —kuil Athena kuno, sebelah kirinya berupa cangkang kosong yang disangga kuda-kuda logam. Akropolis tampak lengang, tanpa manusia biasa sama sekali, harangkali karena krisis finansial yang melanda Yunani. Atau mungkin pasukan Gaea telah bersiasat untuk menghalau turis dan pekerja konstruksi. Perspektif Piper diperbesar ke pusat kuil. Banyak sekali raksasa yang telah berkumpul di sana sehingga kesannya sedang diadakan pesta koktail untuk pohon-pohon besar. Piper mengenali beberapa: si kembar menyeramkan dari Roma, Otis dan Ephialtes, mengenakan baju pekerja konstruksi yang serasi; Polybotes, berpenampilan persis seperti yang Percy jabarkan, yaitu berambut gimbal yang menetes- neteskan racun dan memakai tameng dada berukiran menyerupai mulut-mulut lapar; yang paling mengerikan dari semuanya, Enceladus, raksasa yang menculik ayah Piper. Baju tempurnya bertatahkan desain berbentuk lidah api, kepang rambutnya dijalin dengan tulang belulang. Tombaknya yang sebesar tiang bendera berkobar ungu. Piper pernah mendengar bahwa tiap raksasa dilahirkan untuk melawan dewa tertentu, tapi raksasa yang berkumpul di Parthenon jauh lebih banyak daripada dua belas. Dia menghitung setidaknya dua puluh, dan jika itu belum cukup mengintimidasi, di kaki para raksasa, berkeliaranlah kawanan monster berukuran lebih kecil —Cyclops, raksasa Laistrygonian, Anak Bumi yang bertangan enam, dan dracaena berkaki ular.

Di tengah-tengah kerumunan tersebut, berdirilah sebuah singgasana sekadarnya dari kuda-kuda bengkok dan balok-balok batu yang tampaknya dicabut anal saja dari puing-puing. Sementara Piper menonton, seorang raksasa baru tersaruk-saruk menaiki tangga di ujung jauh Akropolis. Dia mengenakan setelan olahraga mahabesar berbahan sehalus beledu dengan kalung emas di leher, sedangkan rambutnya yang klimis disisir ke belakang, alhasil penampilannya menyerupai mafia kelas teri setinggi sembilan meter —kalau mafia kelas teri memiliki kaki naga dan kulit sewarna jeruk gosong. Si raksasa mafia berlari ke arah Parthenon dan terhuyung-huyung ke dalam, menggepengkan beberapa Anak Bumi di bawah kakinya. Dia berhenti, lantas tersengal-sengal di kaki singgasana. "Di mana Porphyrion?" tanyanya. "Aku punya kabar!" Musuh lama Piper, Enceladus, melangkah maju. "Telat seperti biasa, Hippolytos. Kuharap kabarmu pantas dinanti-nantikan. Raja Porphyrion semestinya ..." Tanah di antara mereka terbelah. Raksasa yang malah lebih besar lagi melompat keluar dari bumi seperti paus terdampar. "Raja Porphyrion sudah tiba," sang raja mengumumkan. Dia kelihatan persis seperti yang Piper ingat dari pertempuran di Rumah Serigala di Sonoma. Berkat tingginya yang mencapai dua belas meter, dia lebih menjulang ketimbang saudara-saudaranya. Malahan, Piper tersadar disertai

rasa mual, Porphyrion setinggi Athena Parthenos yang dahulu mendominasi kuil itu. Di antara kepangan rambutnya yang sewarna rumput laut, berkilatlah senjata-senjata demigod tangkapan. Wajahnya yang kejam hijau pucat, sedangkan matanya seputih Kabut. Tubuhnya memancarkan semacam gravitasi sendiri, menyebabkan monster-monster lain condong ke arahnya. Debu dan kerikil menggelincir di permukaan tanah, tertarik ke kaki naganya yang mahabesar. Hippolytos si raksasa mafia berlutut. "Raja, saya membawakan kabar tentang musuh!" Porphyrion menduduki singgasananya. "Bicaralah." "Kapal demigod berlayar mengitari Peloponnese. Mereka sudah menghabisi hantu-hantu di Ithaka dan menawan Dewi Nike di Olympia!" Kerumunan monster berkasak- kusuk gelisah. Seorang Cyclops menggigiti kukunya. Dua dracaena bertukar koin seperti sedang memasang taruhan mengenai Kiamat. Porphyrion hanya tertawa. "Hippolytos, apa kau ingin membunuh musuhmu Hermes dan menjadi kurir para raksasa?" "Ya, Raja!" "Kalau begitu, kau harus membawakan berita yang lebih anyar. Kami sudah mengetahui semua ini. Seluruhnya tidak penting! Para demigod mengambil rute yang kita harapkan. Mereka bodoh jika melalui rute lain." "Tapi, Paduka, mereka akan tiba di Sparta besok pagi! Jika mereka mampu melepaskan makhai —" "Idiot!" Suara Porphyrion mengguncangkan puing-puing. "Saudara kita Mimas menunggu mereka di Sparta. Kau tidak perlu khawatir. Para demigod takkan dapat mengubah takdir mereka. Dengan satu atau lain cara, darah mereka akan tertumpah di bebatuan ini dan membangunkan Ibu Pertiwi!" Khalayak meraungkan persetujuan dan mengacung-acungkan senjata mereka. Hippolytos membungkuk dan mundur, tapi seorang raksasa lain lantas menghampiri singgasana. Piper terkesiap saat menyadari bahwa raksasa yang ini perempuan. Bukan berarti mudah untuk mengidentifikasi jenis kelaminnya. Si raksasa perempuan memiliki kaki naga dan rambut dikepang, sama seperti yang lain. Dia berbadan setinggi dan

segempal raksasa laki-laki, tapi tameng dadanya kentara sekali dirancang untuk perempuan. Suaranya lebih tinggi melengking. "Ayahanda!" serunya. "Kutanya lagi: Kenapa di sini, di tempat ini? Kenapa tidak di lereng Gunung Olympus sendiri? Tentunya —" "Periboia," geram sang raja, "perkara ini sudah selesai. Gunung Olympus yang ash kini tinggal puncak gersang belaka. Tempat itu tidak menjanjikan kejayaan bagi kita. Di sini, di tengah-tengah dunia Yunani, dewa-dewi berakar demikian dalam. Mungkin saja ada kuil-kuil yang lebih tua, tapi Parthenon inilah yang paling kukuh melestarikan kenangan akan mereka. Di benak manusia biasa, Parthenon adalah simbol dewa-dewi Olympia yang paling gamblang. Ketika darah pahlawan terakhir tertumpah di sini, Akropolis akan diluluhlantakkan. Bukit akan runtuh dan seisi kota akan dilahap oleh Ibu Pertiwi. Kita akan menjadi penguasa alam semesta!" Khalayak meraung dan bersorak-sorai, tapi Periboia si raksasa perempuan kelihatannya tidak yakin. "Ayahanda bermain-main dengan nasib," katanya. "Para demigod memiliki teman di sini, bukan hanya musuh. Tidak bij aksana —" "BIJAKSANA?" Porphyrion bangkit dari singgasananya. Semua raksasa mundur. "Enceladus, Penasihatku, jelaskan kepada putriku apa itu kebijaksanaan!" Raksasa api melangkah maju. Matanya berkilat-kilat seperti berlian. Piper benci wajah itu. Dia sudah terlalu sering melihat wajah tersebut dalam mimpinya ketika ayahnya ditawan. "Putri tidak perlu khawatir," kata Enceladus. "Kita telah merebut Delphi. Apollo sudah diusir secara memalukan dari Olympus. Masa depan tertutup bagi dewa-dewi. Mereka tertatih- tatih ke depan sambil buta arah. Soal bermain-main dengan nasib ..." dia memberi isyarat ke kiri dan muncullah seorang raksasa yang lebih kecil. Raksasa itu berambut kumal kelabu, berwajah keriput, dan bermata seputih susu karena katarak. Alih-alih berbaju tempur, dia mengenakan tunik compang-camping mirip karung. Kakinya yang segempal raksasa laki-laki, tapi tameng dadanya kentara sekali dirancang untuk perempuan. Suaranya lebih tinggi melengking. "Ayahanda!" serunya. "Kutanya lagi: Kenapa di sini, di tempat ini? Kenapa tidak di lereng Gunung Olympus sendiri? Tentunya —" "Periboia," geram sang raja, "perkara ini sudah selesai. Gunung Olympus yang ash kini tinggal puncak gersang belaka. Tempat itu tidak menjanjikan kejayaan bagi kita. Di sini, di tengah-tengah dunia Yunani, dewa-dewi berakar demikian dalam. Mungkin saja ada kuil-kuil yang lebih tua, tapi Parthenon inilah yang paling kukuh melestarikan kenangan akan mereka. Di benak manusia biasa, Parthenon adalah simbol dewa-dewi Olympia yang paling gamblang. Ketika darah pahlawan terakhir tertumpah di sini, Akropolis akan diluluhlantakkan. Bukit akan runtuh dan seisi kota akan dilahap oleh Ibu Pertiwi. Kita akan menjadi penguasa alam semesta!" Khalayak meraung dan bersorak-sorai, tapi Periboia si raksasa perempuan kelihatannya tidak yakin. "Ayahanda bermain-main dengan nasib," katanya. "Para demigod memiliki teman di sini, bukan hanya musuh. Tidak bij aksana —" "BIJAKSANA?" Porphyrion bangkit dari singgasananya. Semua raksasa mundur. "Enceladus, Penasihatku, jelaskan kepada putriku apa itu kebijaksanaan!" Raksasa api melangkah maju. Matanya berkilat-kilat seperti berlian. Piper benci wajah itu. Dia sudah terlalu sering melihat wajah tersebut dalam mimpinya ketika ayahnya ditawan. "Putri tidak perlu khawatir," kata Enceladus. "Kita telah merebut Delphi. Apollo sudah diusir secara memalukan dari Olympus. Masa depan tertutup bagi dewa-dewi. Mereka tertatih- tatih ke depan sambil buta arah. Soal bermain-main dengan nasib ..." dia memberi isyarat ke kiri dan muncullah seorang raksasa yang lebih kecil. Raksasa itu berambut kumal kelabu, berwajah keriput, dan bermata seputih susu karena katarak. Alih-alih berbaju tempur, dia mengenakan tunik compang-camping mirip karung. Kakinya yang