BAB TIGA PULUH DUA NICO

BAB TIGA PULUH DUA NICO

"TIGA HARI?" Dua belas kali mendengar itu, Nico masih tidak yakin dia tak salah dengar. "Kami tak bisa memindahkanmu," kata Rena. "Maksudku, kau tidak bisa dipindahkan secara harfiah. Kau hampir tidak memiliki substansi. Kalau bukan berkat Pak Pelatih Hedge —" "Bukan perkara besar," sang pelatih meyakinkan Nico. "Suatu kali di tengah-tengah pertandingan play-off aku harus menyangga kaki pemain futbol yang patah dengan peralatan seadanya, cuma batang pohon dan selotip." Walaupun lagaknya cuek, mata sang satir berkantong. Pipinya cekung. Penampilan Pak Pelatih Hedge hampir seloyo yang Nico rasakan sendiri. Nico tidak percaya dirinya tak sadarkan diri selama itu. Dia mengisahkan mimpi- mimpinya yang aneh —celotehan Ella sang harpy, sekilas pandang akan Mellie sang peri awan (alhasil "TIGA HARI?" Dua belas kali mendengar itu, Nico masih tidak yakin dia tak salah dengar. "Kami tak bisa memindahkanmu," kata Rena. "Maksudku, kau tidak bisa dipindahkan secara harfiah. Kau hampir tidak memiliki substansi. Kalau bukan berkat Pak Pelatih Hedge —" "Bukan perkara besar," sang pelatih meyakinkan Nico. "Suatu kali di tengah-tengah pertandingan play-off aku harus menyangga kaki pemain futbol yang patah dengan peralatan seadanya, cuma batang pohon dan selotip." Walaupun lagaknya cuek, mata sang satir berkantong. Pipinya cekung. Penampilan Pak Pelatih Hedge hampir seloyo yang Nico rasakan sendiri. Nico tidak percaya dirinya tak sadarkan diri selama itu. Dia mengisahkan mimpi- mimpinya yang aneh —celotehan Ella sang harpy, sekilas pandang akan Mellie sang peri awan (alhasil

adalah siang 30 Juli. Nico telah mengalami koma bayangan selama beberapa hari. "Bangsa Romawi akan menyerang Perkemahan Blasteran lusa." Nico menyesap minuman isotonik lagi, yang dingin menyegarkan, tapi tanpa rasa. Indra pengecap Nico seolah telah melebur ke dunia bayang-bayang secara permanen. "Kita harus bergegas. Aku harus bersiap-siap." "Tidak." Reyna menekankan tangannya ke lengan bawah Nico, membuat perban berkerut. "Kalau kau melakukan perjalanan bayangan lagi, bisa- bisa kau tewas." Nico mengertakkan gigi. "Kalau aku tewas, ya sudah. Kita harus mengantarkan patung ke Perkemahan Blasteran." "Hei, Bocah," kata sang pelatih, "kuhargai dedikasimu, tapi kalau kau meneleportasikan kami semua ke kegelapan abadi bersama Athena Parthenos, takkan ada yang terbantu. Bryce Lawrence benar soal itu." Saat mendengar nama Bryce disebut-sebut, kedua anjing logam Reyna menegakkan kuping dan menggeram. Reyna menatap punden batu, matanya penuh derita, seakan roh-roh tak diundang bakal muncul kembali dari dalam kubur. Nico menarik napas, menghirup bau tajam racikan obat rumahan buatan Hedge. "Reyna, aku aku tidak berpikir. Yang kulakukan pada Bryce —" "Kau menghabisinya," kata Reyna. "Kau mengubahnya jadi hantu. Betul, kejadian itu mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa ayahku." "Aku tidak bermaksud menakutimu," ujar Nico getir. "Aku tidak bermaksud meracuni persahabatan kita. Maafkan aku Reyna mengamati wajahnya. "Nico, harus kuakui, hari pertama kau tak sadarkan diri, aku tidak tahu harus berpikir atau merasakan apa. Yang kau lakukan sukar disaksikan sukar diproses." Pak Pelatih Hedge mengunyah ranting. "Aku mesti setuju dengan anak perempuan ini, Bocah. Menghajar kepala seseorang dengan tongkat bisbol, itu wajar. Tapi mengubah si berandal menyebalkan jadi hantu, itu lain perkara. Itu sihir ge/ap namanya." Nico menduga bakal merasa marah —membentak- bentak mereka karena sudah coba-coba menghakiminya. Itulah yang lazimnya Nico lakukan. Tapi, amarah tidak kunjung datang. Dia masih merasa gusar pada Bryce Lawrence, pada Gaea, dan pada para raksasa. Dia ingin menemukan Octavian si augur dan mencekiknya dengan sabuk rantai. Tapi, Nico tak marah pada Reyna ataupun sang pelatih. "Kenapa kalian membawaku kembali?" tanyanya. "Kalian tahu aku tidak bisa membantu kalian lagi. Kalian semestinya mencari cara lain untuk melanjutkan perjalanan dengan patung. Tapi, kalian menghabiskan tiga hari untuk merawatku. Kenapa?" Pak Pelatih Hedge mendengus. "Kau bagian dari tim, Bodoh. Kami takkan meninggalkanmu." "Lebih dari itu." Reyna memegangi tangan Nico. "Selagi kau tidur, aku berpikir baik-baik. Yang kukatakan padamu tentang ayahku aku tidak pernah membaginya dengan siapa pun. Kurasa aku tahu kaulah orang yang tepat untuk mendengar rahasiaku. Kau mengangkat sebagian bebanku. Aku percaya padamu, Nico." Nico menatap Reyna, kebingungan. "Bagaimana bisa kau memercayaiku? Kalian berdua merasakan amarahku, melihat perasaanku yang terburuk ..." "Hei, Nak," kata Pak Pelatih Hedge, nadanya lebih lunak. "Kita semua bisa marah. Bahkan satir berhati lembut sepertiku." Reyna menyeringai. Diremasnya. tangan Nico. "Pak Pelatih benar, Nico. Bukan cuma kau yang membiarkan kegelapan keluar sesekali. Aku memberitahumu kejadian yang menimpa ayahku dan

kau mendukungku. Kau berbagi pengalamanmu yang menyakitk bagaimana mungkin kami tidak mendukungmu? Kita berteman. Nico tidak yakin mesti berkata apa. Mereka telah melil rahasianya yang terdalam. Mereka tahu siapa dirinya, seperti a dirinya. Tapi, mereka sepertinya tidak peduli. Bukan

mereka semakin peduli. Mereka tidak menghakiminya. Mereka prihatin. Reaksi ini tidak masuk akal baginya. "Tapi Bryce. Aku ..." Nico tak bisa melanjutkan. "Kau melakukan yang mesti dilakukan. Aku sekarang maklum," kata Reyna. "Asalkan, berjanjilah padaku, jangan lagi mengubah orang menjadi hantu jika tidak terpaksa sekali." "Iya," kata Pak Pelatih. "Kecuali kau membiarkanku menghajar mereka dulu. Lagi pula, masih ada setitik sinar terang." Reyna mengangguk. "Kami tidak melihat tanda-tanda kehadiran orang Romawi lainnya, jadi kelihatannya Bryce tidak mengabari siapa pun mengenai di mana dia berada. Selain itu, tidak ada tanda-tanda Orion. Mudah-mudahan artinya dia telah ditaklukkan oleh para Pemburu." "Hylla bagaimana?" tanya Nico. "Thalia?" Garis-garis di seputar mulut Reyna menegang. "Belum ada kabar. Tapi, aku harus meyakini bahwa mereka masih hidup." "Kau tidak memberitahunya kabar yang terbaik," pancing sang pelatih. Reyna mengerutkan kening. "Mungkin karena susah sekali dipercaya. Menurut Pak Pelatih Hedge, dia menemukan cara untuk mengantarkan patung. Cuma itu yang dia bicarakan tiga hari terakhir ini. Tapi sejauh ini, kami tak melihat tanda-tanda-tanda "Hei, pasti bisa!" Pak Pelatih menyeringai kepada Nico. "Kau ingat pesawat kertas yang kuterbangkan tepat sebelum si Lawrence Menjijikkan muncul? Itu pesan dari salah satu koneksi Mellie di istana Aeolus. Harpy yang bernama Nuggets —dia dan Mellie Leman lama. Pokoknya dia mengenal seseorang yang mengenal seseorang yang mengenal kuda yang mengenal kambing yang mengenal kuda lainnya —" "Pak Pelatih," tegur Reyna, "nanti Nico menyesal dirinya sadar dari koma." "Ya sudah," dengus sang satin "Singkat cerita, aku minta tolong dari sana-sini. Aku mengabarkan kepada roh angin baik-baik bahwa kita butuh bantuan. Surat yang kumakan? Konfirmasi bahwa kavaleri sedang dalam perjalanan. Mereka bilang akan butuh waktu untuk mengorganisasi diri, tapi dia semestinya sampai di sini segera —sebentar lagi, malah." "Dia itu siapa?" tanya Nico. "Kavaleri apa?" Reyna berdiri mendadak. Dia menatap ke utara, wajahnya melongo kagum. "Kavaleri itu ." Nico mengikuti arah tatapannya. Sekawanan burung tengah mendekat —burung- burung besar. Mereka 'clan dekat dan tersadarlah Nico bahwa mereka adalah kuda bersayap — berjumlah setidaknya setengah lusin, membentuk formasi V, tanpa penunggang. Yang terbang di ujung adalah kuda mahabesar berbulu keemasan dan berjambul warna-warni seperti elang, rentang sayapnya dua kali lebih lebar daripada kuda-kuda lain. "Pegasus," kata Nico. "Bapak memanggil cukup banyak pegasus untuk membawa patung." Pak Pelatih tertawa girang. "Bukan sembarang pegasus, Bocah. Yang kau saksikan ini kelas satu." "Kuda di depan ..." Reyna menggeleng-gelengkan kepala talc percaya. "Dia Pegasus yang itu, penguasa kuda nan kekal."[]