BAB DUA PULUH EMPAT REYNA

BAB DUA PULUH EMPAT REYNA

REYNA MENGGAPAI PEDANGNYA-LALU TERSADAR BAHW) A dia tidak membawa pedang. "Keluar dari sini!" Phoebe menyiapkan busurnya. Celyn dan Naomi lari ke ambang pintu yang penuh asap, tap mereka sontak tumbang gara-gara panah hitam. Phoebe menjerit murka. Dia balas menembak sementara kaurr Amazon bergegas maju sambil membawa tameng dan pedang. "Reyna!" Hylla menarik lengannya. "Kita harus pergi!" "Kita tidak boleh —" "Para pengawalku akan mengulur-ulur waktu untukmu!' teriak Hylla. "Misimu harus berhasil." Reyna benci berbuat begini, tapi dia lari mengejar Hylla. Mereka mencapai pintu samping dan Reyna pun melirik la belakang. Lusinan serigala —serigala kelabu seperti di Portugal —menerjang masuk ke gudang. Kaum Amazon bergegas mengadang mereka. Di ambang pintu yang penuh asap, berserakanlah jasad mereka yang tewas: Celyn, Naomi, Phoebe. Pemburu berambut merah yang telah hidup ribuan tahun kini bergeming, terkulai dengan mata membelalak karena terguncang, panah merah-hitam kebesaran menancap di perutnya. Kinzie sang Amazon menyerbu ke depan, pisau panjangnya berkilat-kilat. Dia melompati jasad-jasad itu REYNA MENGGAPAI PEDANGNYA-LALU TERSADAR BAHW) A dia tidak membawa pedang. "Keluar dari sini!" Phoebe menyiapkan busurnya. Celyn dan Naomi lari ke ambang pintu yang penuh asap, tap mereka sontak tumbang gara-gara panah hitam. Phoebe menjerit murka. Dia balas menembak sementara kaurr Amazon bergegas maju sambil membawa tameng dan pedang. "Reyna!" Hylla menarik lengannya. "Kita harus pergi!" "Kita tidak boleh —" "Para pengawalku akan mengulur-ulur waktu untukmu!' teriak Hylla. "Misimu harus berhasil." Reyna benci berbuat begini, tapi dia lari mengejar Hylla. Mereka mencapai pintu samping dan Reyna pun melirik la belakang. Lusinan serigala —serigala kelabu seperti di Portugal —menerjang masuk ke gudang. Kaum Amazon bergegas mengadang mereka. Di ambang pintu yang penuh asap, berserakanlah jasad mereka yang tewas: Celyn, Naomi, Phoebe. Pemburu berambut merah yang telah hidup ribuan tahun kini bergeming, terkulai dengan mata membelalak karena terguncang, panah merah-hitam kebesaran menancap di perutnya. Kinzie sang Amazon menyerbu ke depan, pisau panjangnya berkilat-kilat. Dia melompati jasad-jasad itu

Ruangan besar itu persis seperti yang Reyna ingat. Jendela langit-langit keruh tampak cemerlang, enam meter di atas sana. Dinding putih polos tidak dihiasi apa-apa. Furnitur terbuat dari kayu ek, baja, dan kulit putih —impersonal dan maskulin. Di kedua sisi ruangan, terdapat teras, yang selalu membuat Reyna merasa seperti sedang diawasi (karena sering kali, dia memang sedang diawasi). Ayah mereka telah melakukan segalanya yang dia bisa untuk menjadikan hacienda berusia berabad-abad ini terasa bagaikan rumah modern. Dia menambahkan jendela langit-langit, mengecat putih semuanya untuk memberi kesan lebih cerah serta lebih lapang. Tapi, dia hanya berhasil menjadikan tempat itu menyerupai mayat bersetelan baru nan rapi. Pintu jebakan terbuka ke perapian mahabesar. Apa sebabnya mereka punya perapian di Puerto Rico, Reyna tidak pernah mengerti, tapi dia dan Hylla dulu kerap berpura-pura bahwa pendiangan itu adalah persembunyian rahasia yang takkan bisa ayah mereka temukan. Mereka dulu membayangkan bisa melangkah masuk dan mendatangi tempat-tempat lain. Kini, Hylla telah mewujudkan khayalan itu. Dia telah menghubungkan sarang bawah tanahnya dengan rumah masa' kecil mereka. "Hylla —" "Sudah kubilang, kita tidak punya waktu." "Tapi—" "Aku sekarang pemilik bangunan ini. Aku mendaftarkan sertifikatnya atas namaku." "Kau melakukan ape "Aku bosan melarikan diri dari masa lalu, Reyna. Kuputuskan untuk mengklaimnya kembali."

Reyna menatap kakaknya sambil bengong. Kita bisa mcngklaim telepon yang hilang atau tas di bandara. Kita bahkan bisa mengklaim kewarganegaraan. Tapi rumah ini, juga peristiwa yang telah terjadi di sini? Semua itu tidak bisa diklaim kembali. "Dik," kata Hylla, "kita membuang-buang waktu. Kau mau kcluar atau tidak?" Reyna mengamati balkon, setengah menduga sosok-sosok benderang bakal bekerlap-kerlip di pagar. "Sudahkah kau melihat tnereka?" "Beberapa dari mereka." "Papa?" "Tentu saja tidak," bentak Hylla. "Kau tahu dia sudah pergi selamanya." "Aku tidak tahu. Bagaimana bisa kau kembali? Kenapa?" "Supaya paham!" bentak Hylla. "Tidakkah kau ingin mengetahui bagaimana hal itu menimpa Papa?" "Tidak! Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, Hylla. Di antara semua orang, kau semestinya yang paling menyadari —" "Aku mau pergi," kata Hylla. "Teman-temanmu berada beberapa blok dari sini. Apa kau hendak ikut aku, atau perlukah kuberi tahu mereka bahwa kau mati karena Reyna menatap kakaknya sambil bengong. Kita bisa mcngklaim telepon yang hilang atau tas di bandara. Kita bahkan bisa mengklaim kewarganegaraan. Tapi rumah ini, juga peristiwa yang telah terjadi di sini? Semua itu tidak bisa diklaim kembali. "Dik," kata Hylla, "kita membuang-buang waktu. Kau mau kcluar atau tidak?" Reyna mengamati balkon, setengah menduga sosok-sosok benderang bakal bekerlap-kerlip di pagar. "Sudahkah kau melihat tnereka?" "Beberapa dari mereka." "Papa?" "Tentu saja tidak," bentak Hylla. "Kau tahu dia sudah pergi selamanya." "Aku tidak tahu. Bagaimana bisa kau kembali? Kenapa?" "Supaya paham!" bentak Hylla. "Tidakkah kau ingin mengetahui bagaimana hal itu menimpa Papa?" "Tidak! Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, Hylla. Di antara semua orang, kau semestinya yang paling menyadari —" "Aku mau pergi," kata Hylla. "Teman-temanmu berada beberapa blok dari sini. Apa kau hendak ikut aku, atau perlukah kuberi tahu mereka bahwa kau mati karena

Dia lari ke pintu keluar. Disongsongnya sinar mentari sore yang hangat, mendapati bahwa jalan belum berubah —rumah-rumah pastel yang bobrok, ubin biru, lusinan kucing yang tidur di bawah mobil atau di keteduhan pohon pisang. Reyna mungkin bisa merasakan nostalgia ... masalahnya, kakaknya berdiri beberapa kaki saja dari sana, berhadap-hadapan dengan Orion. "Wah, wah." Sang raksasa tersenyum. "Kedua putri Bellona bersama-sama. Bagus sekali!" Reyna secara pribadi tersinggung. Dia telah mereka-reka dalam benaknya bahwa Orion adalah iblis tinggi besar bertampang jelek, malah lebih buruk rupa daripada Polybotes, raksasa yang pernah menyerang Perkemahan Jupiter. Akan tetapi, Orion bisa saja dikira sebagai manusia —manusia jangkung, kekar, dan tampan. Kulitnya cokelat sewarna roti gandum panggang. Rambut gelapnya dipotong cepak, rancung di atas. Berkat celana ketat dan rompi kulit hitam, pisau berburu, dan busur serta wadah panahnya, Orion bisa saja dikira sebagai kembaran jahat Robin Hood, hanya saja lebih ganteng. Satu- satunya yang membuyarkan citra tersebut adalah matanya. Sekilas, Orion tampaknya mengenakan kacamata militer khusus penglihatan malam. Kemudian Reyna menyadari bahwa itu bukan kacamata, melainkan karya Hephaestus —mata mekanis yang ditanamkan dalam rongga mata sang raksasa. Ring pemfokus berputar dan berdesing sementara Orion memperhatikan Reyna. Laser pembidik mengilatkan warna dari merah menjadi hijau. Reyna mendapat kesan menggelisahkan bahwa yang Orion lihat lebih dari sekadar sosok Reyna, tapi juga sidik panahnya, detak jantungnya, tingkat rasa takutnya. Di sisinya, Orion memegang busur komposit hitam yang nyaris sekeren matanya. Deretan tali busur terentang di antara .l rangkaian katrol yang menyerupai roda kereta api uap miniatur. Pegangan busur terbuat dari perunggu mengilap, bertatahkan kenop dan tombol. Anak panah belum terpasang ke busurnya. Dia tidak membuat gerakan mengancam. Dia tersenyum- cemerlang sekali sampai-sampai sulit mengingat bahwa dia adalah musuh —seseorang yang telah membunuh setidaknya setengah lusin Pemburu dan wanita Amazon untuk tiba di sini. Hylla mencabut pisaunya. "Reyna, pergilah. Akan kuurus monster ini." Orion terkekeh-kekeh. "Hylla Pencabut Dua Nyawa, kau punya nyali. Begitu pula letnan- letnanmu. Mereka sudah mati." Hylla maju selangkah. Reyna menyambar lengan kakaknya. "Orion!" katanya. "Tanganmu sudah berlumuran terlalu banyak darah kaum Amazon. Barangkali sudah waktunya kau mencoba menjajal orang Romawi." Mata sang raksasa berdesing dan membesar. Titik-titik laser merah melesat di atas tameng dada Reyna. "Ah, sang praetor belia. Kuakui, aku memang penasaran. Sebelum aku menghabisimu, barangkali kau bersedia memberiku pencerahan. Kenapa seorang anak Romawi bersusah payah demi menolong bangsa Yunani? Kau telah melepaskan jabatan, meninggalkan legiunmu, menjadikan dirimu buronan —dan untuk apa? Jason Grace menolakmu. Percy Jackson menampikmu. Tidakkah sudah cukup kau ... apa istilahnya ... dicampakkan?" Telinga Reyna berdengung. Dia teringat peringatan Aphrodite, dua tahun lampau di Charleston: Kau takkan menemukan cinta di

tempat yang kau harapkan atau kau inginkan. Takkan ada demigo yang mampu menyembuhkan hatimu. Dia memaksa diri untuk bertemu pandang dengan san raksasa. "Nilai diriku tidak ditentukan oleh cowok-cowok yang. mungkin menyukai atau tidak menyukaiku." "Kata-kata yang berani." Senyum sang

raksasa sungguh mendongkolkan. "Tapi, kau sama saja dengan bangsa Amazon, atau para Pemburu, atau Artemis sendiri. Kau menggembar-gemborkan ketangguhan dan kemandirian. Begitu kau berhadapan dengan pria berkekuatan sejati, kepercayaan dirimu remuk. Kau merasa terancam oleh dominasiku dan oleh daya pikatku. Jadi, kau pun lari, atau menyerah, atau mati." Hylla menepis tangan Reyna. "Akan kubunuh kau, Raksasa. Akan kucacah kau kecil-kecil —" "Hylla," potong Reyna. Apa pun yang terjadi di sini, dia tidak boleh menyaksikan kakaknya mati. Reyna harus terus memancing fokus sang raksasa hingga tertuju pada dirinya. "Orion, kau mengaku kuat. Tapi, kau tidak bisa menepati sumpah Perburuan. Kau meninggal dalam keadaan ditolak. Dan sekarang kau menjadi pesuruh ibumu. Jadi, coba bed tahu aku lagi, kau menggentarkan di sebelah mana tepatnya?" Rahang Orion menegang. Senyumnya menjadi kian tipis dan kian dingin. "Percobaan yang bagus," dia mengakui. "Kau bermaksud membuatku hilang keseimbangan. Kau berpikir, barangkali, jika kau terus bicara, bala bantuan akan menyelamatkanmu. Sayang beribu sayang, Praetor, tidak ada bala bantuan. Aku sudah membakar markas bawah tanah saudarimu dengan api Yunani-nya sendiri. Tiada yang selamat." Hylla menggerung dan menyerang. Orion menghajar Hylla dengan pegangan busurnya. Hylla terpental ke belakang ke jalanan. Orion mencabut anal( panah dari wadahnya. "Stop!" Reyna berteriak. Jantungnya berdentum-dentum dalam sangkar iganya. Dia harus mencari kelemahan raksasa ini. Barrachina hanya berjarak beberapa blok dari sini. Jika mereka sampai sejauh itu, Nico mungkin bisa membawa pergi mereka dari sini dengan perjalanan bayangan. Selain itu, tidak mungkin semua Pemburu mati Mereka sibuk berpatroli di sekeliling luar kota tua. Tentunya sebagian dari mereka masih di luar sana . "Orion, kau menanyakan motifku." Reyna menjaga suaranya agar tetap tenang. "Tidakkah kau menginginkan jawaban sebelum kau membunuh kami? Kau pasti penasaran, apa sebabnya perempuan berkali-kali menolak lelaki besar tampan sepertimu." Sang raksasa membidikkan panahnya. "Sekarang kau mengelirukanku dengan Narcissus. Aku tidak bisa disanjung-sanjung." "Tentu saja tidak," kata Reyna. Hylla bangun dengan mimik hendak membunuh di wajahnya, tapi Reyna menularkan instingnya, berusaha membagikan sebentuk kekuatan paling berat kepada kakaknya, yakni pengendalian diri. "Tetap saja kau pasti gusar karenanya. Pertama-tama kau dicampakkan oleh seorang putri fana —" "Merope." Orion mencemooh. "Gadis cantik, tapi bodoh. Jika dia punya akal sehat, dia pasti paham bahwa aku hanya main mata dengannya." "Biar kutebak," timpal Reyna. "Dia justru menjerit-jerit dan memanggil para pengawal." "Aku tidak bersenjata pada saat itu. Kita tidak sepantasnya membawa busur dan pilau ketika merayu seorang putri. Para

pengawal mengalahkanku dengan mudah. Ayahnya sang raja menitahkan agar aku dibutakan dan dibuang." Tepat di atas kepala Reyna, kerikil menggelincir di atap genting. Mungkin dia hanya berkhayal, tapi dia mengingat bunyi itu dari malam-malam ketika Hylla menyelinap keluar dari kamarnya sendiri yang terkunci dan meniti atap untuk mengecek keadaan Reyna. Reyna mesti mengerahkan seluruh tekad untuk tidak melirik ke atas. "Tapi, kau memperoleh mata baru," katanya kepada sang raksasa. "Hephaestus jatuh kasihan padamu." "Ya ..." Tatapan Orion menjadi tidak fokus. Reyna tahu, sebab bidikan laser menghilang dari dadanya. "Aku akhirnya tiba di Delos, tempatku berjumpa Artemis. Tahukah kau betapa anehnya bertemu dengan musuh bebuyutan kita dan malah terpikat padanya?" Sang raksasa tertawa. "Praetor, kenapa aku masih bertanya? Tentu saja kau tahu. Barangkali perasaanmu pada bangsa Yunani serupa perasaanku pada Artemis —takjub bercampur rasa bersalah, kekaguman yang berubah menjadi cinta. Tapi, cinta berlebihan sama dengan racun, terutama ketika

cinta itu tidak berbalas. Jika kau belum mafhum, Reyna Ramirez-Arellano, kau akan segera memahaminya." Hylla terpincang-pincang ke depan, masih menggenggam pisau. "Dik, kenapa kau biarkan bedebah ini bicara? Mari kita taklukkan dia." "Memang kalian bisa?" Orion mempertanyakan. "Banyak yang sudah mencoba. Bahkan saudara Artemis sendiri, Apollo, tidak sanggup membunuhku pada zaman kuno. Dia harus menggunakan tipu daya untuk menyingkirkanku." "Dia tidak suka kau bergaul dengan saudarinya?" Reyna menyimak kalau-kalau ada bebunyian lagi dari atap, tapi tidak mendengar apa-apa. "Apollo cemburu." Jemari sang raksasa mencengkeram tali husurnya. Dia menarik tali busur ke belakang, mengaktifkan roda-roda dan katrol busur yang lantas berputar. "Apollo khawatir kalau-kalau aku memikat Artemis sedemikian rupa sehingga dia melupakan sumpahnya untuk menjadi perawan selamanya. Dan siapa tahu? Tanpa campur tangan Apollo, barangkali aku sudah berhasil. Artemis pasti akan lebih bahagia." "Sebagai pelayanmu?" geram Hylla. "Sebagai pembantu rumah tanggamu yang patuh?" "Sekarang tidak penting," ujar Orion. "Singkat cerita, Apollo menimpakan kegilaan padaku —hasrat haus darah untuk membunuh semua hewan di bumi ini. Aku membantai ribuan sebelum ibuku, Gaea, akhirnya menghentikan amukanku yang membabi bum. Dia mendatangkan kalajengking raksasa dari dalam bumi. Makhluk itu menikam punggungku dan racunnya menewaskanku. Aku berutang budi pada Gaea atas hal itu." "Kau berutang budi pada Gaea," kata Reyna, "karena sudah membunuhmu." Pupil mekanis Orion berpuntir menjadi titik mungil yang berpendar. "Ibuku menunjukiku kebenaran. Aku melawan fitrahku sendiri dan kesengsaraan belaka yang kudapatkan. Raksasa tidak semestinya mencintai manusia fana atau dewa-dewi. Gaea membantuku menerima diriku sendiri. Pada akhirnya, kita semua harus kembali ke rumah, Praetor. Kita harus merengkuh masa lalu kita, tidak peduli seberapa getir dan kelam." Dia mengedikkan dagu ke arah vila di belakang Reyna. "Persis seperti kau barusan. Kau juga dihantui oleh masa lalu, bukan?"

Reyna menghunus pedangnya. Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, katanya kepada kakaknya. Barangkali dia juga tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari raksasa. "Ini bukan rumahku," kata Reyna. "Dan kita tidak mirip." "Aku telah melihat kebenaran." Sang raksasa kedengarannya benar- benar bersimpati. "Kau berpegang teguh pada fantasi bahwa kau dapat membuat musuh-musuhmu mencintaimu. Kau tak bisa, Reyna. Tiada cinta bagimu di Perkemahan Blasteran." Ucapan Aphrodite bergema dalam kepala Reyna: Takkan ada demigod yang mampu menyembuhkan hatimu. Reyna mengamat-amati wajah tampan kejam sang raksasa, mata mekanisnya yang berpendar. Selama satu saat mencekam, dia bisa paham betapa seorang dewi, bahkan perawan kekal seperti Artemis, mungkin saja terpikat pada kata-kata Orion yang semanis madu. "Sedari tadi, aku bisa membunuhmu dua puluh kali jika mau," kata sang raksasa. "Kau menyadarinya, bukan? Biar kuampuni kau. Tunjukkan saja kepercayaanmu, hanya itu yang kubutuhkan. Beri tahu aku di mana patung itu." Reyna hampir menjatuhkan pedangnya. Di mana patung itu Orion belum menemukan lokasi Athena Parthenos. Kamuilase para Pemburu ternyata ampuh. Sepanjang waktu ini, sang raksasa memang melacak Reyna seorang. Artinya, apabila dia meninggal sekarang, Nico dan Pak Pelatih Hedge barangkali akan tetap selamat. Misi mereka belum tamat. Dia merasa seakan-akan telah menanggalkan baju tempur seberat ratusan pon. Reyna tertawa. Suara tersebut bergema di jalanan berubin. "Kau kalah cerdik dari Phoebe," kata Reyna. "Dengan melacakku, kau kehilangan patung itu. Sekarang teman-temanku bebas melanjutkan misi mereka." Orion mengerutkan bibirnya. "Oh, aku pasti akan menemukan mereka, Praetor. Setelah aku Reyna menghunus pedangnya. Kita tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari hantu, katanya kepada kakaknya. Barangkali dia juga tidak bisa memetik pelajaran apa-apa dari raksasa. "Ini bukan rumahku," kata Reyna. "Dan kita tidak mirip." "Aku telah melihat kebenaran." Sang raksasa kedengarannya benar- benar bersimpati. "Kau berpegang teguh pada fantasi bahwa kau dapat membuat musuh-musuhmu mencintaimu. Kau tak bisa, Reyna. Tiada cinta bagimu di Perkemahan Blasteran." Ucapan Aphrodite bergema dalam kepala Reyna: Takkan ada demigod yang mampu menyembuhkan hatimu. Reyna mengamat-amati wajah tampan kejam sang raksasa, mata mekanisnya yang berpendar. Selama satu saat mencekam, dia bisa paham betapa seorang dewi, bahkan perawan kekal seperti Artemis, mungkin saja terpikat pada kata-kata Orion yang semanis madu. "Sedari tadi, aku bisa membunuhmu dua puluh kali jika mau," kata sang raksasa. "Kau menyadarinya, bukan? Biar kuampuni kau. Tunjukkan saja kepercayaanmu, hanya itu yang kubutuhkan. Beri tahu aku di mana patung itu." Reyna hampir menjatuhkan pedangnya. Di mana patung itu Orion belum menemukan lokasi Athena Parthenos. Kamuilase para Pemburu ternyata ampuh. Sepanjang waktu ini, sang raksasa memang melacak Reyna seorang. Artinya, apabila dia meninggal sekarang, Nico dan Pak Pelatih Hedge barangkali akan tetap selamat. Misi mereka belum tamat. Dia merasa seakan-akan telah menanggalkan baju tempur seberat ratusan pon. Reyna tertawa. Suara tersebut bergema di jalanan berubin. "Kau kalah cerdik dari Phoebe," kata Reyna. "Dengan melacakku, kau kehilangan patung itu. Sekarang teman-temanku bebas melanjutkan misi mereka." Orion mengerutkan bibirnya. "Oh, aku pasti akan menemukan mereka, Praetor. Setelah aku

Hylla meluncur turun dari kap mobil dan mematahkan panah dengan satu tangan. "Aku ratu bangsa Amazon, dasar bodoh. Aku mengenakan sabuk ratu. Dengan kekuatan yang diberikannya kepadaku, akan kubalaskan dendam kaum Amazon yang kaubunuh hari ini." Hylla mencengkeram fender depan Chevy dan menjungkir-balikkan seluruh mobil ke arah Orion, semudah memercikinya dengan air dari kolam renang. Chevy mengimpit Orion ke dinding rumah terdekat. Stuko retak-retak. Sebatang pohon pisang roboh. Semakin banyak kucing yang kabur. Reyna lari menghampiri puing-puing itu, tapi sang raksasa meraung dan mendorong mobil itu menjauh. "Kalian akan mati sama-sama!" sumpahnya. Dua anak panah seketika terpasang di busur Orion, talinya tegang ke belakang. Kemudian atap bangunan hancur berkeping-keping dengan berisik. "MAMPUS!" Gleeson Hedge menjatuhkan diri tepat di belakang Orion, memukulkan tongkat bisbolnya ke kepala si raksasa keras sekali sampai-sampai logo Louisville Slugger retak jadi dua. Pada saat bersamaan, Nico di Angelo menjatuhkan diri di depan. Dia menebaskan pedang Stygian-nya ke tali busur sang raksasa, menyebabkan katrol dan roda gigi berdesing serta berderit, tali tersebut tergulung berkat gaya sebesar ratusan pon hingga menampar hidung Orion bagaikan pecut hidrolik. !!" Orion terhuyung-huyung ke belakang, menjatuhkan busurnya. Para Pemburu Artemis muncul di sepanjang atap, menembaki Orion dengan panah perak sampai dia menyerupai landak yang IIqYNA berpendar. Dia sempoyongan membabi buta sambil memegangi hidung, ichor keemasan bercucuran di wajahnya. Seseorang mencengkeram lengan Reyna. "Ayo!" Thalia Grace telah kembali. "Pergilah dengannya!" perintah Hylla. Hati Reyna serasa remuk redam. "Kak —" "Kau harus pergi! SEKARANG!" Itu persis seperti ucapan Hylla kepadanya enam tahun lalu, pada malam ketika mereka kabur dari rumah ayah mereka. "Akan kutahan-tahan Orion selama mungkin." Hylla menyambar salah satu tungkai sang raksasa. Hylla menarik Orion hingga hilang keseimbangan dan melemparkannya beberapa blok ke Calle San Jose, alhasil lagi-lagi mengejutkan beberapa lusin kucing. Para Pemburu lari mengejarnya di atas atap, menembakkan panah yang meledakkan api Yunani, melalap raksasa itu dalam lidah api. "Kakakmu benar," kata Thalia. "Kau harus pergi." Nico dan Hedge menyejajari Reyna, keduanya tampak sangat puas diri. Mereka rupanya telah berbelanja ke toko oleh-oleh Barrachina, Hylla meluncur turun dari kap mobil dan mematahkan panah dengan satu tangan. "Aku ratu bangsa Amazon, dasar bodoh. Aku mengenakan sabuk ratu. Dengan kekuatan yang diberikannya kepadaku, akan kubalaskan dendam kaum Amazon yang kaubunuh hari ini." Hylla mencengkeram fender depan Chevy dan menjungkir-balikkan seluruh mobil ke arah Orion, semudah memercikinya dengan air dari kolam renang. Chevy mengimpit Orion ke dinding rumah terdekat. Stuko retak-retak. Sebatang pohon pisang roboh. Semakin banyak kucing yang kabur. Reyna lari menghampiri puing-puing itu, tapi sang raksasa meraung dan mendorong mobil itu menjauh. "Kalian akan mati sama-sama!" sumpahnya. Dua anak panah seketika terpasang di busur Orion, talinya tegang ke belakang. Kemudian atap bangunan hancur berkeping-keping dengan berisik. "MAMPUS!" Gleeson Hedge menjatuhkan diri tepat di belakang Orion, memukulkan tongkat bisbolnya ke kepala si raksasa keras sekali sampai-sampai logo Louisville Slugger retak jadi dua. Pada saat bersamaan, Nico di Angelo menjatuhkan diri di depan. Dia menebaskan pedang Stygian-nya ke tali busur sang raksasa, menyebabkan katrol dan roda gigi berdesing serta berderit, tali tersebut tergulung berkat gaya sebesar ratusan pon hingga menampar hidung Orion bagaikan pecut hidrolik. !!" Orion terhuyung-huyung ke belakang, menjatuhkan busurnya. Para Pemburu Artemis muncul di sepanjang atap, menembaki Orion dengan panah perak sampai dia menyerupai landak yang IIqYNA berpendar. Dia sempoyongan membabi buta sambil memegangi hidung, ichor keemasan bercucuran di wajahnya. Seseorang mencengkeram lengan Reyna. "Ayo!" Thalia Grace telah kembali. "Pergilah dengannya!" perintah Hylla. Hati Reyna serasa remuk redam. "Kak —" "Kau harus pergi! SEKARANG!" Itu persis seperti ucapan Hylla kepadanya enam tahun lalu, pada malam ketika mereka kabur dari rumah ayah mereka. "Akan kutahan-tahan Orion selama mungkin." Hylla menyambar salah satu tungkai sang raksasa. Hylla menarik Orion hingga hilang keseimbangan dan melemparkannya beberapa blok ke Calle San Jose, alhasil lagi-lagi mengejutkan beberapa lusin kucing. Para Pemburu lari mengejarnya di atas atap, menembakkan panah yang meledakkan api Yunani, melalap raksasa itu dalam lidah api. "Kakakmu benar," kata Thalia. "Kau harus pergi." Nico dan Hedge menyejajari Reyna, keduanya tampak sangat puas diri. Mereka rupanya telah berbelanja ke toko oleh-oleh Barrachina,

Di belakangnya, balkon lantai dua rumah keluarganya disesaki sosok-sosok yang berpendar: pria dengan janggut bercabang dan baju zirah conquistador berkarat; pria berjanggut berbusana bajak laut abad kedelapan belas, bajunya berlubang-lubang bekas peluru; seorang wanita yang mengenakan gaun malam berlumur darah; kapten Angkatan Laut Amerika Serikat berseragam dinas upacara warna putih; dan selusin lagi yang Reyna kenal dari masa kanak-kanaknya —semua memelototinya dengan tatapan menuduh, suara mereka berbisik-bisik ke benaknya: Pengkhianat. Pembunuh. "Tidak ..." Reyna merasa seakan-akan dirinya berumur sepuluh tahun lagi. Dia ingin bergelung di pojok kamarnya dan menutupi telinga dengan tangan untuk menghalau bisik-bisik itu. Nico memegangi lengannya. "Reyna, siapa mereka? Apa yang mereka —?" "Aku tak bisa," dia memohon. "Aku—aku tak bisa." Dia menghabiskan bertahun-tahun untuk membendung rasa takut dalam dirinya. Kini, bendungan tersebut bobol. Kekuatannya hanyut begitu saja. "Tidak apa-apa." Nico mendongak ke balkon. Hantu-hantu menghilang, tapi Reyna tahu mereka belum pergi. Mereka tidak pernah pergi. "Akan kami bawa kau pergi dari sini," Nico berjanji. "Ayo jalan." Thalia memegangi lengan Reyna yang satu lagi. Mereka berempat lari ke restoran dan Athena Parthenos. Di belakang mereka, Reyna mendengar Orion yang meraung kesakitan, dilatarbelakangi ledakan api Yunani. Sementara itu, dalam benaknya, suara-suara masih berbisik: Pembunuh. Pengkhianat. Kau takkan pernah bisa lari dari kejahatanmu.[]