BAB LIMA REYNA

BAB LIMA REYNA

TERJUN BEBAS KE GUNUNG BERAPI tidak termasuk dalam tar cita-cita Reyna sebelum mati. Dia pertama kali menyaksikan panorama Italia Selatan dari jarak lima ribu kaki di udara. Di barat, di sepanjang pesisir Teluk Napoli yang membentuk bulan sabit, lampu-lampu kota yang sedang tidur berkelap-kelip di kegelapan menjelang fajar. Seribu kaki di bawah Reyna, kaldera selebar hampir satu kilometer menganga di puncak sebuah gunung, uap putih mengepul dari tengahnya. Perlu waktu bagi Reyna untuk mengusir rasa terdisorientasi. Perjalanan bayangan menyebabkannya pusing dan mual, seperti habis diseret dari air dinginfrigidarium ke dalam sauna pemandian Romawi. Lalu, dia menyadari bahwa dia melayang di tengah udara. Gravitasi mengambil alih dan Reyna pun mulai jatuh. "Nico!" teriak Reyna. "Demi seruling Pan!" umpat Gleeson Hedge.

"Aaaaaah!" Nico meronta, hampir terlepas dari pegangai Reyna. Gadis itu mencengkeram kuat-kuat dan menyambar keral baju Pak Pelatih Hedge saat sang satir mulai menggelincir lepas. Jika terpisahkan sekarang, mereka bakal mati. Mereka menukik menuju gunung berapi sementara bawaai mereka yang terbesar —Athena Parthenos setinggi dua bela meter—mengekor di belakang, terikat ke tali-temali di punggunl Nico bagaikan parasut yang sangat tidak efektif. "Yang di bawah kita itu Vesuvius!" Reyna berteriak meningkah angin. "Nico, teleportasikan kita dari sini!" Mata Nico nanar dan tidak fokus. Rambut hitamnya yang halus melecut-lecut di seputar wajahnya seperti gagak di langit yang jatuh tertembak. "Aku —aku tidak bisa! Tidak ada tenaga!" Pak Pelatih Hedge mengembik. "Ini ada kabar hangat, Bocah! Kambing tidak bisa terbang! Bawa kita pergi dari sini! Kalau tidak, bisa-bisa kita jadi omelet karena tergencet Athena Parthenos!" Reyna memutar otak. Dia bisa menerima ajal jika harus, tapi apabila Athena Parthenos hancur lebur, gagallah misi mereka. Reyna tidak bisa menerima kegagalan. "Nico, perjalanan bayangan," perintahnya. "Akan kupinjami kau kekuatan." Nico menatap Reyna sambil bengong. "Bagaimana —" "Lakukan saja!" Reyna semakin erat mencengkeram tangan Nico. Simbol obor dan pedang Bellona di lengan bawahnya bertambah panas sampai-sampai menyakitkan, seperti ketika dirajahkan ke kulitnya untuk kali pertama. Nico terkesiap. Wajahnya yang pucat kembali merona. Tepat sebelum menabrak kepulan uap gunung berapi, mereka melebur ke dalam bayang-bayang. Udara menjadi dingin menggigilkan. Bunyi angin digantikan .oleh-oleh ingar-bingar suara yang membisikkan ribuan bahasa. Jeroan reyna serasa bagaikan piragua raksasa —es serut yang diguyur sirup —kudapan favoritnya semasa kanak-kanak di Viejo San Juan. Dia bertanya-tanya kenapa memori itu justru mengemuka Larang, saat dirinya di ambang maut. Lalu, penglihatannya menjadi jernih. Kakinya menapaki tanah padat. Langit timur mulai bertambah terang. Sekejap Reyna mengira dia kembali ke Roma Baru. Pilar-pilar Doria berjajar di sekeliling ium seukuran lapangan basket. Di hadapannya, seekor faun berperunggu berdiri di tengah-tengah kolam air mancur melesak yang berhiaskan tegel mozaik. Bungur dan semak-semak mawar bermekaran di taman dekat ...sana. Pohon- pohon palem dan pinus menggapai langit. Jalan ,,setapak berubin dari pekarangan mengarah ke "Aaaaaah!" Nico meronta, hampir terlepas dari pegangai Reyna. Gadis itu mencengkeram kuat-kuat dan menyambar keral baju Pak Pelatih Hedge saat sang satir mulai menggelincir lepas. Jika terpisahkan sekarang, mereka bakal mati. Mereka menukik menuju gunung berapi sementara bawaai mereka yang terbesar —Athena Parthenos setinggi dua bela meter—mengekor di belakang, terikat ke tali-temali di punggunl Nico bagaikan parasut yang sangat tidak efektif. "Yang di bawah kita itu Vesuvius!" Reyna berteriak meningkah angin. "Nico, teleportasikan kita dari sini!" Mata Nico nanar dan tidak fokus. Rambut hitamnya yang halus melecut-lecut di seputar wajahnya seperti gagak di langit yang jatuh tertembak. "Aku —aku tidak bisa! Tidak ada tenaga!" Pak Pelatih Hedge mengembik. "Ini ada kabar hangat, Bocah! Kambing tidak bisa terbang! Bawa kita pergi dari sini! Kalau tidak, bisa-bisa kita jadi omelet karena tergencet Athena Parthenos!" Reyna memutar otak. Dia bisa menerima ajal jika harus, tapi apabila Athena Parthenos hancur lebur, gagallah misi mereka. Reyna tidak bisa menerima kegagalan. "Nico, perjalanan bayangan," perintahnya. "Akan kupinjami kau kekuatan." Nico menatap Reyna sambil bengong. "Bagaimana —" "Lakukan saja!" Reyna semakin erat mencengkeram tangan Nico. Simbol obor dan pedang Bellona di lengan bawahnya bertambah panas sampai-sampai menyakitkan, seperti ketika dirajahkan ke kulitnya untuk kali pertama. Nico terkesiap. Wajahnya yang pucat kembali merona. Tepat sebelum menabrak kepulan uap gunung berapi, mereka melebur ke dalam bayang-bayang. Udara menjadi dingin menggigilkan. Bunyi angin digantikan .oleh-oleh ingar-bingar suara yang membisikkan ribuan bahasa. Jeroan reyna serasa bagaikan piragua raksasa —es serut yang diguyur sirup —kudapan favoritnya semasa kanak-kanak di Viejo San Juan. Dia bertanya-tanya kenapa memori itu justru mengemuka Larang, saat dirinya di ambang maut. Lalu, penglihatannya menjadi jernih. Kakinya menapaki tanah padat. Langit timur mulai bertambah terang. Sekejap Reyna mengira dia kembali ke Roma Baru. Pilar-pilar Doria berjajar di sekeliling ium seukuran lapangan basket. Di hadapannya, seekor faun berperunggu berdiri di tengah-tengah kolam air mancur melesak yang berhiaskan tegel mozaik. Bungur dan semak-semak mawar bermekaran di taman dekat ...sana. Pohon- pohon palem dan pinus menggapai langit. Jalan ,,setapak berubin dari pekarangan mengarah ke

badan Nico ke kaki Athena dan melonggarkan tali-temali yang menghubungkan Nico dengan patung. Lutut Reyna sendiri gemetaran. Dia sudah memperkirakan timbulnya akibat negatif, sesuatu yang niscaya tiap kali Reyna membagi kekuatannya. Akan tetapi, dia tidak menyangka bakal merasakan kepedihan teramat memilukan dari Nico di Angelo. Reyna terduduk lemas, mesti bersusah payah agar tetap sadar. Demi dewa-dewi Romawi. Jika ihi hanya sebagian dari kepedihan Nico bagaimana bisa anak laki-laki itu menanggungnya? Reyna berusaha mengatur pernapasannya sementara Pak Pelatih Hedge mengaduk-aduk perlengkapan berkemahnya. Di seputar sepatu bot Nico, batu retak-retak. Hawa gelap memancar ke luar laksana semburan tinta, seolah-olah tubuh Nico tengah mencoba mengusir seluruh bayangan gelap yang baru dia lalui. Kemarin malah lebih parah: seisi padang meranggas, tulang belulang bangkit dari dalam bumi. Reyna tidak menginginkan yang demikian terjadi lagi. "Ini, minumlah." Reyna menawari Nico botol berisi jamu unicorn —larutan serbuk tanduk unicorn dalam air Sungai Tiberis Kecil yang disucikan. Mereka mendapati bahwa ramuan itu lebih mujarab untuk memulihkan kondisi Nico ketimbang nektar, membantu mengusir keletihan dan kegelapan dari dirinya, tanpa risiko membakar tubuh secara spontan bilamana dikonsumsi terlalu banyak. Nico mereguk minuman itu. Dia masih kelihatan tirus. Kulitnya kebiruan. Pipinya cekung. Di pinggang sampingnya, menggelayutlah tongkat Diocletian yang berpendar ungu seram, seperti memar radioaktif. Nico mengamat-amati Reyna. "Bagaimana caramu melakukan itu ... doping energi tadi?" Reyna memutar lengan bawahnya. Tato masih membara seperti panas: simbol Bellona, SPQR, beserta empat garis pertanda lun pengabdiannya. "Aku tidak suka membicarakannya," ujar reyna, "tapi itu kesaktian warisan ibuku. Aku bisa memperkuat Ing lain." Pak Pelatih Hedge mendongak dari ranselnya. "Serius? Kenapa kau tidak memberiku doping juga, Gadis Romawi? Aku ingin otot super!" Reyna mengerutkan dahi. "Cara kerjanya bukan seperti itu, Pak Pelatih. Aku hanya bisa melakukannya dalam keadaan I iidup-mati. Selain itu, kesaktiannya lebih ampuh dalam kelompok be,sar. Sewaktu mengomandoi pasukan, kemampuan apa saja yang kumiliki —kekuatan, keberanian, ketahanan—bisa kubagi karena ikan berkali lipat sesuai jumlah bala tentaraku." Nico mengangkat alis. "Bermanfaat untuk seorang praetor romawi." Reyna tidak menjawab. Inilah sebabnya dia lebih memilih In tuk tidak membicarakan kesaktiannya. Reyna tidak ingin para lcmigod di bawah komandonya mengira dia mengontrol mereka, au bahwa dia menjadi pemimpin karena memiliki kemampuan istimewa. Dia hanya bisa membagi sifat-sifat yang memang lidah dia punyai. Selain itu, Reyna tidak dapat membantu siapa pun yang tak pantas menjadi pahlawan. Pak Pelatih Hedge mendengus. "Sayang. Pasti asyik punya otot super." Sang satir kembali menggali tasnya, yang tampaknya berisi perbekalan berupa peralatan masak, perlengkapan bertahan hidup, dan sembarang alat olahraga yang tiada habis-habisnya. Nico kembali badan Nico ke kaki Athena dan melonggarkan tali-temali yang menghubungkan Nico dengan patung. Lutut Reyna sendiri gemetaran. Dia sudah memperkirakan timbulnya akibat negatif, sesuatu yang niscaya tiap kali Reyna membagi kekuatannya. Akan tetapi, dia tidak menyangka bakal merasakan kepedihan teramat memilukan dari Nico di Angelo. Reyna terduduk lemas, mesti bersusah payah agar tetap sadar. Demi dewa-dewi Romawi. Jika ihi hanya sebagian dari kepedihan Nico bagaimana bisa anak laki-laki itu menanggungnya? Reyna berusaha mengatur pernapasannya sementara Pak Pelatih Hedge mengaduk-aduk perlengkapan berkemahnya. Di seputar sepatu bot Nico, batu retak-retak. Hawa gelap memancar ke luar laksana semburan tinta, seolah-olah tubuh Nico tengah mencoba mengusir seluruh bayangan gelap yang baru dia lalui. Kemarin malah lebih parah: seisi padang meranggas, tulang belulang bangkit dari dalam bumi. Reyna tidak menginginkan yang demikian terjadi lagi. "Ini, minumlah." Reyna menawari Nico botol berisi jamu unicorn —larutan serbuk tanduk unicorn dalam air Sungai Tiberis Kecil yang disucikan. Mereka mendapati bahwa ramuan itu lebih mujarab untuk memulihkan kondisi Nico ketimbang nektar, membantu mengusir keletihan dan kegelapan dari dirinya, tanpa risiko membakar tubuh secara spontan bilamana dikonsumsi terlalu banyak. Nico mereguk minuman itu. Dia masih kelihatan tirus. Kulitnya kebiruan. Pipinya cekung. Di pinggang sampingnya, menggelayutlah tongkat Diocletian yang berpendar ungu seram, seperti memar radioaktif. Nico mengamat-amati Reyna. "Bagaimana caramu melakukan itu ... doping energi tadi?" Reyna memutar lengan bawahnya. Tato masih membara seperti panas: simbol Bellona, SPQR, beserta empat garis pertanda lun pengabdiannya. "Aku tidak suka membicarakannya," ujar reyna, "tapi itu kesaktian warisan ibuku. Aku bisa memperkuat Ing lain." Pak Pelatih Hedge mendongak dari ranselnya. "Serius? Kenapa kau tidak memberiku doping juga, Gadis Romawi? Aku ingin otot super!" Reyna mengerutkan dahi. "Cara kerjanya bukan seperti itu, Pak Pelatih. Aku hanya bisa melakukannya dalam keadaan I iidup-mati. Selain itu, kesaktiannya lebih ampuh dalam kelompok be,sar. Sewaktu mengomandoi pasukan, kemampuan apa saja yang kumiliki —kekuatan, keberanian, ketahanan—bisa kubagi karena ikan berkali lipat sesuai jumlah bala tentaraku." Nico mengangkat alis. "Bermanfaat untuk seorang praetor romawi." Reyna tidak menjawab. Inilah sebabnya dia lebih memilih In tuk tidak membicarakan kesaktiannya. Reyna tidak ingin para lcmigod di bawah komandonya mengira dia mengontrol mereka, au bahwa dia menjadi pemimpin karena memiliki kemampuan istimewa. Dia hanya bisa membagi sifat-sifat yang memang lidah dia punyai. Selain itu, Reyna tidak dapat membantu siapa pun yang tak pantas menjadi pahlawan. Pak Pelatih Hedge mendengus. "Sayang. Pasti asyik punya otot super." Sang satir kembali menggali tasnya, yang tampaknya berisi perbekalan berupa peralatan masak, perlengkapan bertahan hidup, dan sembarang alat olahraga yang tiada habis-habisnya. Nico kembali

"Kau barusan sempoyongan," Nico berkomentar. "Keta a menggunakan kesaktianmu apa kau mendapat semacam, am umpan balik dariku?" "Aku tidak bisa membaca pikiranmu," ujar Reyna. "E antara kita juga tidak terjalin sambungan empati. Aku cuma . menangkap gelombang kelelahan darimu untuk sementara. Emosi paling mendasar. Rasa sakitmu melanda diriku. Aku menanggung sebagian bebanmu." Mimik muka Nico menjadi waspada. Anak laki-laki itu memutar-mutar cincin tengkorak pera di jarinya, sama seperti kebiasaan Reyna dengan cincin peralcny ketika sedang berpikir. Punya kebiasaan yang serupa dengan putr Hades meresahkan Reyna. Kepedihan yang Reyna rasakan dari Nico dalam kurui singkat saat mereka tersambung jauh lebih besar ketimbang yang dia rasakan dari seluruh legiun selama pertempuran melawai Polybotes si raksasa. Keterhubungan dengan Nico lebih mengura tenaga Reyna daripada kali terakhir dia menggunakan kesaktian yaitu untuk menyokong pegasusnya, Scipio, dalam perjalanai mereka menyeberangi Samudra Atlantik. Dicobanya menepis kenangan itu. Kawan bersayap yang pemberani, sekarat karena racun, moncongnya di pangkuai Reyna, menatap gadis itu penuh percaya saat Reyna mengangka belati untuk mengakhiri penderitaan si pegasus ... demi dewa dewi, tidak. Reyna tidak boleh menekuri kejadian itu karena bisa bisa dirinya luluh lantak. Tapi, rasa sakit yang Reyna dapat dari Nico jauh lebil menusuk. "Kau sebaiknya beristirahat," kata Reyna kepada Nico. "Setelal melompat dua kali berturut-turut, sekalipun dibantu kau muju masih hidup. Kau harus sudah kembali siap senja nanti." Reyna merasa tidak enak hati karena meminta sesuatu yang a hil dari Nico. Sayangnya, Reyna sudah kelewat sering mendesak para demigod untuk melampaui batas kemampuan mereka. Nico mengertakkan rahang dan mengangguk. "Kita sekarang , lebak di sini." Dia menelaah puing-puing. "Tapi kalau bisa memilih, Pompeii adalah tempat terakhir yang akan kudatangi. , tempat ini dipenuhi lemures." "Lemur?" Pak Pelatih Hedge tampaknya tengah membuat macam jebakan dari benang layangan, raket tenis, dan pisau berburu. "Maksudmu hewan-hewan imut berbulu —" "Bukan." Nico kedengarannya kesal, seperti keseringan mendapat pertanyaan itu. " Lemures. Hantu yang talc ramah. Semua Iota Romawi dihuni lemures, tapi di Pompeii —" "Seisi kota ini tersapu bersih," kenang Reyna. "Tahun 79 Masehi, Vesuvius meletus dan menyelimuti kota ini dengan abu." Nico mengangguk. "Tragedi macam itu melahirkan banyak .11 wah gentayangan yang marah." Pak Pelatih Hedge menerawang ke gunung berapi di kejauhan. ; unung itu mengepulkan asap. Apa itu pertanda jelek?" "Aku —aku tidak tahu." Nico mencubit-cubit lubang di lutut elana jinn hitamnya. "Dewa-dewa gunung, ourae, bisa merasakan I,chadiran anak-anak Hades. Mungkin itulah sebabnya kita ditarik I,e luar jalur. Roh Vesuvius barangkali sengaja, ingin coba-coba nembunuh kita. Tapi, aku ragu gunung itu bisa menyakiti kita Mari ari jarak sejauh ini. Mengerahkan tenaga untuk meletus dengan Lekuatan penuh makan waktu terlalu lama. Ancaman yang lebih irgen adalah dari sekeliling kita." Bulu kuduk Reyna merinding. Dia sudah terbiasa dengan kaum Lar, roh-roh bersahabat di Perkemahan Jupiter, tapi mereka sekalipun meresahkan dirinya.

Roh-roh itu tidak memahami pentingnya ranah pribadi. Kadang kadang mereka berjalan menembus badannya, membuat Reyn. vertigo. Berada di Pompeii memunculkan perasaan yang sama, seakan-akan seisi kota adalah hantu mahabesar yang telah menelar Reyna bulat-bulat. Dia tidak bisa memberi tahu

teman-temannya betapa takut hantu, atau penyebab di balik rasa takutnya pada hantu Alasan yang mendasari kaburnya Reyna dan kakaknya dari Sar Juan bertahun-tahun silam rahasia yang harus tetap terkubur. "Bisa kau halau mereka?" tanya Reyna. Nico menghadapkan telapak tangannya ke atas. "Aku sudal mengirimkan pesan: Menjauhlah. Tapi begitu aku tertidur, tidal ada gunanya." Pak Pelatih Hedge menepuk-nepuk kreasinya dari rake tenis dan pisau. "Jangan khawatir, Bocah. Aku akan memasang perimeter lokasi kita dengan alarm dan tali jebakan. Selain itu aku akan menjagaimu dengan tongkat bisbol." Pernyataan itu sepertinya tidak menenangkan hati Nico, tap matanya sudah setengah terpejam. "Oke. Tapi santai saja. Kits tidak mau insiden di Albania terjadi lagi." "Jangan sampai." Reyna sepakat. Perjalanan bayangan mereka yang pertama bersama-sama dua hari lalu, betul-betul kacau, mungkin merupakan pengalamar paling memalukan selama karier Reyna yang panjang. Barangkali suatu hari nanti, jika selamat, mereka akan mengenang kejadiar itu sambil tertawa-tawa, tapi tidak sekarang. Mereka bertiga setuju untuk takkan pernah membicarakan hal tersebut. Biarlah yang terjadi di Albania tetap di Albania. Pak Pelatih Hedge kelihatan terluka. "Ya sudah, terserah. Pokoknya, beristirahatlah, Bocah. Akan kami lindungi kau." "Baiklah." Nico mengalah. "Mungkin sebentar saja ...." Dia sempat melepas dan membuntal jaket penerbangnya menjadi bantal sebelum berguling ke samping serta mulai mendengkur. Reyna takjub akan betapa damainya ekspresi Nico. Kerut-kerut. khawatir di wajahnya menghilang. Mimik Nico anehnya menjadi semanis malaikat seperti nama belakangnya, di Angelo. Reyna hampir bisa memercayai bahwa Nico adalah anak lelaki em pat belas tahun biasa, bukan putra Hades yang berasal dari tahun 1940-an dan terpaksa menghadapi tragedi, serta bahaya melampaui yang pernah dialami kebanyakan demigod seumur Ketika Nico datang ke Perkemahan Jupiter, Reyna tidak caya padanya. Reyna merasakan bahwa Nico bukan sekadar duta ayahnya, Pluto. Kini, tentu saja, Reyna tahu yang sebenarnya. Nico adalah demigod Yunani —orang pertama sepanjang sejarah . kontemporer, mungkin malah satu-satunya sepanjang sejarah, yang pernah bolak-balik ke kubu Romawi dan Yunani tanpa memberi tahun tiap kelompok akan eksistensi kubu satunya lagi. Yang ganjil adalah, sikap itu membuat Reyna semakin cmercayai Nico. Betul, Nico memang bukan orang Romawi. Dia tidak pernah herburu dengan Lupa atau mencicipi latihan legiun yang berat. tapi, Nico telah membuktikan nilai dirinya dengan cara-cara lain. dia menyimpan rahasia kedua kubu karena alasan bagus, yaitu takut kalau-kalau pecah perang. Dia pernah menjerumuskan diri ke Tartarus seorang diri, secara sukarela, untuk mencari Pintu Ajal. Dia sempat ditangkap dan ditawan oleh raksasa. Dia telah membimbing awak Argo II ke Gerha Hades ... dan sekarang dia kembali menerima misi mencekam: mempertaruhkan nyawa untuk membawa pulang Athena Parthenos ke Perkemahan Blasteran.

Laju perjalanan tersebut lambat sekali. Mereka hanya bis menempuh perjalanan bayangan beberapa mil tiap ma'am beristirahat siang harinya supaya Nico sempat memulihkan diri tapi metode itu pun menguras stamina Nico melebihi yang Reyn sangka-sangka. Nico menanggung rasa sedih dan sepi yang demikian menjadi kepedihan hati yang demikian memilukan. Namun, Nico tetal mendahulukan misinya. Dia ulet. Reyna menghargai sikaj tersebut. Dia memahami sikap itu. Reyna bukan orang yang perasa dan demonstratif dalan menunjukkan emosinya, tapi anehnya dia ingin menyampirkai jubah ke bahu Nico dan menghibur anak laki-laki itu supayi beristirahat dengan tenang. Reyna mengomeli dirinya dalam hati Nico seorang rekan, bukan adiknya. Nico takkan mengapresias gestur semacam itu. "Hei." Pak Pelatih Hedge mengusik kemenungan Reyna "Kau juga butuh tidur. Aku akan berjaga pertama dan memasal

makanan. Hantu-hantu itu semestinya sekarang tidak terlali berbahaya, selagi matahari sudah terbit." Reyna tidak memperhatikan betapa hari sudah mulai terang Awan-awan merah muda dan biru pirus mewarnai cakrawali timur. Faun perunggu mungil memancarkan bayangan ke kolarr air mancur kering. "Aku pernah membaca tentang tempat ini." Reyna tersadar "Ini salah satu vila yang paling terpelihara di Pompeii. Namany Rumah Faun." Gleeson melirik patung itu dengan jijik. "Aral tahu saja ya hari ini namanya jadi Rumah Satir." Reyna mengulum senyum. Dia pelan-pelan mafhum akar perbedaan antara satir dengan faun. Andai dia jatuh tertidui sementara seekor faun berjaga, ketika terbangun dia akan mendapati bahwa perbekalannya telah dicuri, wajahnya digambari ktt mis-kumisan, dan si faun sudah lama angkat kaki. Sedangkan k Pelatih Hedge berbeda —dalam arti positif. Meskipun, dia memang memiliki kegandrungan tak sehat terhadap seni bela diri dan tongkat bisbol. "Baiklah." Reyna mengiyakan. "Bapak jaga duluan. Akan tugasi Aurum dan Argentum agar berjaga dengan Bapak." Hedge kelihatannya ingin memprotes, tapi Reyna keburu bersiul nyaring. Kedua anjing greyhound metalik mewujud di tengah-tengah reruntuhan, lantas berderap menghampiri Reyna dari arah berlainan. Bahkan sesudah bertahun-tahun ini, Reyna tasih tidak tahu dari mana mereka datang atau ke mana mereka wrgi sesudah dia membebastugaskan mereka. Tapi, melihat kedua lijing logam tersebut, semangatnya kontan terbangkitkan. Hedge berdeham. "Kau yakin mereka bukan anjing Dalmatian? Mereka seperti anjing Dalmatian." "Mereka anjing greyhound, Pak Pelatih." Reyna sama sekali tidak tahu apa sebabnya Hedge takut pada anjing Dalmatian, tapi dia tidak bertanya karena sudah terlalu capek. "Aurum, Argentum, jagalah kami selagi aku tidur. Patuhi kata-kata Gleeson Hedge." Kedua anjing itu mengitari pekarangan, menjaga jarak dengan athena Parthenos, yang memancarkan permusuhan terhadap segala elemen Romawi. Reyna sendiri baru sekarang terbiasa akan Athena Parthenos. Dia lumayan yakin bahwa patung itu takkan senang ditempatkan di tengah-tengah kota Romawi kuno. Dia berbaring dan menyelimuti diri dengan jubah ungunya. Jemarinya mencengkeram kantong serut di sabuknya, tempat Reyna menyimpan koin perak pemberian Annabeth sebelum mereka berpisah jalan di Epirus.

Ini perlambang bahwa situasi bisa berubah, Annabeth berkata kepada Reyna ketika itu. Iiinda Athena sekarang milikmu. Semoga koin ini mendatangkan keberuntungan untukmu. Apakah peruntungan itu bagus atau jelek, Reyna tidak tahu pasti. Dia menengok faun perunggu yang tunduk ketakutan di bawah sorot matahari terbit dan Athena Parthenos sekali lagi. Kemudian Reyna memejamkan mata dan larut dalam mimpi.[]