BAB LIMA PULUH JASON

BAB LIMA PULUH JASON

PARA RAKSASA HABIS TAK BERSISA, hanya meninggalkan gundukan abu, segelintir tombak, dan rambut gimbal yang terbakar. Argo II masih tegak, tampaknya dengan susah payah, ditambatkan ke puncak Parthenon. Setengah dari seluruh dayung kapal sudah patah atau tersangkut. Asap mengepul dari beberapa bagian lambung yang terbelah. Layar bolong-bolong bekas terbakar. Penampilan Leo hampir sebabak belur kapal. Dia berdiri di tengah kuil bersama awak yang lain, wajahnya berlumur jelaga, pakaiannya berasap. Dewa-dewi menyebar, membentuk setengah linglcaran selagi Zeus mendekat. Talc satu pun tampak senang akan kemenangan mereka. Apollo dan Artemis berdiri bersama dalam bayangan sebuah pilar, seakan mencoba bersembunyi. Hera dan Poseidon sedang berdiskusi sengit dengan dewi lain yang berjubah hijau-emas —barangkali Demeter. Nike berusaha memasangkan mahkota daun

dafnah keemasan ke kepala Hecate, tapi Dewi Sihir menepis mahkota itu. Hermes mengendap-endap ke dekat Athena, berusaha merangkul dewi itu. Athena menyodorkan tameng aegis-nya ke arah Hermes dan dewa itu pun buru-buru menyingkir. Satu-satunya dewa Olympia yang suasana hatinya sedang bagus tampaknya adalah Ares. Dia tertawa-tawa dan memeragakan gerakan memburai usus musuh sementara Frank mendengarkan, ekspresinya sopan tapi mual. "Wahai kaumku," kata Zeus, "kita telah sembuh, berkat jasa demigod-demigod ini. Athena Parthenos, yang dahulu berdiri di kuil ini, sekarang berdiri di Perkemahan Blasteran. Athena Parthenos telah mempersatukan anak cucu kita dan alhasil mempersatukan esensi diri kita." "Dewa Zeus," Piper angkat bicara, "apa Reyna baik-baik saja? Nico dan Pak Pelatih Hedge bagaimana?" Jason tidak percaya bahwa Piper menanyakan kabar Reyna, tapi dia bersyukur karena itu. Zeus mengerutkan alisnya yang sewarna awan. "Mereka berhasil menunaikan misi. Pada saat ini, mereka masih hidup. Mengenai apakah mereka baik-baik saja —" "Masih ada pekerjaan yang mesti dibereskan," potong Ratu Hera. Dia merentangkan tangan seperti ingin mengajak pelukan massal. "Tapi, Pahlawan-pahlawanku kalian telah mengungguli para raksasa, persis seperti yang kuyakini

sedari awal. Rencanaku terbukti sukses besar." Zeus menoleh ke arah istrinya. Guntur mengguncangkan Akropolis. "Hera, jangan berani-berani mengklaim penghargaan atas kejadian ini! Masalah yang kau timbulkan paling tidak sama banyaknya dengan yang kau perbaiki!" Wajah ratu kahyangan sontak memucat. "Suamiku, tentunya kau kini mafhum bahwa inilah satu-satunya jalan." "Jalan yang bisa diambil tidak pernah hanya satu!" Zeus menggerung. "Itulah sebabnya Moirae ada tiga, bukan satu. Benar demikian, bukan?" Di camping puing-puing singgasana raja raksasa, ketiga wanita tua membungkukkan kepala tanpa suara untuk mengiyakan. Jason memperhatikan bahwa dewa-dewi lain menjaga jarak dari para Moirae dan pentungan kuningan mereka yang mengilap. "Kumohon, Suamiku." Hera mencoba tersenyum, tapi dia kentara sekali ketakutan sehingga Jason hampir kasihan padanya. "Aku hanya melakukan yang ku —" "Diam!" bentak Zeus. "Kau sudah membangkang perintahku. Namun demikian kuakui bahwa kau bertindak dengan niat tulus. Keberanian ketujuh pahlawan ini membuktikan bahwa kau ternyata memiliki secercah kearifan." Hera kelihatannya ingin membantah, tapi dia tetap menutup mulut rapat-rapat. "Akan tetapi, Apollo ..." Zeus memelototi bayangan tempat pasangan dewa kembar berdiri. "Putraku, kemarilah." Apollo beringsut ke depan seperti sedang berjalan ke tiang gantungan. Salting miripnya Apollo dengan demigod remaja, kesannya jadi menggelisahkan — penampilan serupa pemuda tujuh belas tahun, mengenakan celana jins dan kaus Perkemahan Blasteran, menyandang busur di pundak dan pedang di pinggang. Berkat rambut pirang acak-acakan dan mata birunya, Apollo bisa saja dikira sebagai kakak Jason dari pihak manusia ataupun pihak dewata. Jason bertanya-tanya apakah Apollo mewujud seperti ini supaya tidak mencolok, atau demi menuai rasa kasihan ayahnya. Rasa takut di wajah Apollo jelas-jelas tampak nyata dan juga sangat manusiawi.

Ketiga Moirae berkumpul di sekeliling sang Dewa, mengitari-nya, tangan keriput mereka terangkat. "Sudah dua kali kau menentangku," ujar Zeus. Apollo menjilat bibirnya. "Pa ... Paduka." "Kau mengabaikan kewajibanmu. Kau takluk di bawah puja-puji dan keangkuhan. Kau mendorong keturunanmu, Octavian, untuk menempuh jalan nan berbahaya dan kau secara prematur mengutarakan ramalan yang mungkin akan membinasakan kita semua. "Tapi —" "Cukup!" kata Zeus menggelegar. "Akan kita bicarakan hukumanmu nanti. Untuk saat ini, kau harus menunggu di Olympus." Zeus melambaikan tangan dan berubahlah Apollo menjadi taburan serbuk gemerlap. Para Moirae berputar-putar di sekelilingnya, melebur ke udara, dan angin topan mengilap itu pun tertiup kencang ke angkasa. "Apo yang akan menimpa Apollo?" tanya Jason. Dewa- dewi menatapnya, tapi Jason tidak peduli. Setelah bertemu muka dengan Zeus, Jason malah merasa bersimpati pada Apollo. "Bukan urusanmu," kata Zeus. "Ada persoalan lain yang harus kita atasi." Keheningan tak nyaman menghinggapi Parthenon. Membiarkan persoalan tersebut berlalu begitu saja rasanya tidak benar. Jason tidak paham apa sebabnya Apollo dijadikan kambing hitam. Seseorang mesti bertanggung jawab, kata Zeus tadi. Tapi, kenapa? "Ayahanda," kata Jason, "saya bersumpah akan memuliakan semua dewa. Saya berjanji kepada Kymopoleia bahwa seusai perang ini, takkan ada lagi dewa yang tak memiliki altar pemujaan di kedua perkemahan." Zeus merengut. "Bagus sekali. Tapi Kym siapa?" Poseidon berdeham ke kepalannya. "Anakku." "Maksud saya," kata Jason, "saling menyalahkan takkan menyelesaikan masalah. Pada mulanya, bangsa Romawi dan Yunani menjadi terpecah belah justru karena mereka saling menyalahkan." Udara mendadak berbau tajam karena terionisasi. Kulit kepala Jason tergelitik. Jason menyadari bahwa ayahnya bisa-bisa marah. Jason Ketiga Moirae berkumpul di sekeliling sang Dewa, mengitari-nya, tangan keriput mereka terangkat. "Sudah dua kali kau menentangku," ujar Zeus. Apollo menjilat bibirnya. "Pa ... Paduka." "Kau mengabaikan kewajibanmu. Kau takluk di bawah puja-puji dan keangkuhan. Kau mendorong keturunanmu, Octavian, untuk menempuh jalan nan berbahaya dan kau secara prematur mengutarakan ramalan yang mungkin akan membinasakan kita semua. "Tapi —" "Cukup!" kata Zeus menggelegar. "Akan kita bicarakan hukumanmu nanti. Untuk saat ini, kau harus menunggu di Olympus." Zeus melambaikan tangan dan berubahlah Apollo menjadi taburan serbuk gemerlap. Para Moirae berputar-putar di sekelilingnya, melebur ke udara, dan angin topan mengilap itu pun tertiup kencang ke angkasa. "Apo yang akan menimpa Apollo?" tanya Jason. Dewa- dewi menatapnya, tapi Jason tidak peduli. Setelah bertemu muka dengan Zeus, Jason malah merasa bersimpati pada Apollo. "Bukan urusanmu," kata Zeus. "Ada persoalan lain yang harus kita atasi." Keheningan tak nyaman menghinggapi Parthenon. Membiarkan persoalan tersebut berlalu begitu saja rasanya tidak benar. Jason tidak paham apa sebabnya Apollo dijadikan kambing hitam. Seseorang mesti bertanggung jawab, kata Zeus tadi. Tapi, kenapa? "Ayahanda," kata Jason, "saya bersumpah akan memuliakan semua dewa. Saya berjanji kepada Kymopoleia bahwa seusai perang ini, takkan ada lagi dewa yang tak memiliki altar pemujaan di kedua perkemahan." Zeus merengut. "Bagus sekali. Tapi Kym siapa?" Poseidon berdeham ke kepalannya. "Anakku." "Maksud saya," kata Jason, "saling menyalahkan takkan menyelesaikan masalah. Pada mulanya, bangsa Romawi dan Yunani menjadi terpecah belah justru karena mereka saling menyalahkan." Udara mendadak berbau tajam karena terionisasi. Kulit kepala Jason tergelitik. Jason menyadari bahwa ayahnya bisa-bisa marah. Jason

dalam benak Jason: Terima kasih, Demigod. Tapi, jangan bersikeras. Akan kuyakinkan Zeus ketika beliau sudah lebih tenting. "Tentunya, Ayahanda," lanjut sang dewi, "kita harus terleb ih dahulu menyikapi masalah lebih mendesak, sebagaimana yang Ayahanda kemukakan tadi." "Gaea," timpal Annabeth, jelas-jelas tidak sabar menggant topik pembicaraan. "Dia sudah terbangun, bukan?" Zeus menoleh ke arah Annabeth. Di sekeliling Jason, molekul-molekul udara berhenti berdengung. Tengkoraknya serasa baru keluar dari oven microwave. "Benar," kata Zeus. "Darah Olympus telah tertumpah. Gaea sudah sadar sepenuhnya." "Serius?!" keluh Percy. "Saya cuma mimisan sedikit dan se si bumi terbangkitkan karenanya? Tidak adil!" Athena menyandangkan aegis-nya ke bahu. "Mengeluhkan ketidakadilan sama saja seperti menyalahkan orang lain, Percy Jackson. Tidak ada gunanya." Dia melemparkan lirikan setuju ke arah Jason. "Sekarang kalian mesti bergerak cepat. Gaea telah bangkit untuk menghancurkan perkemahanmu." Poseidon bertumpu pada trisulanya. "Sekali ini, Athena benai "Sekali ini?" protes Athena. "Kenapa Gaea bisa berada di perkemahan?" tanya Leo. "Percy mimisan di sini." "Bung," kata Percy, "pertama-tama, kaudengar perkataan Dewi Athena barusan —jangan salahkan hidungku. Kedua, Gaea itu bumi. Dia bisa mengemuka di mana saja sesukanya. Lagi pula, dia memberi tahu kita bahwa itulah yang bakal dia lakukan. Dia bilang hal pertama dalam daftar tugasnya adalah menghancurkan perkemahan kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya menghentikan Gaea?" Frank memandang Zeus. "Anu, Pak Baginda Raja, tidak bisakah dewa-dewi mampir saja ke sana bersama kami? Dewa-dewi punya kereta perang dan sihir sakti dan sebagainya." "Ya!" kata Hazel. "Kita sudah mengalahkan para raksasa bersama-sama dalam dua detik. Mari kita semua —" "Tidak," kata Zeus datar. "Tidak?" tanya Jason. "Tapi, Ayah —" Mata Zeus berkilat-kilat penuh kekuatan dan Jason tersadar dia sudah maksimal mendesak ayahnya hari ini dan mungkin sampai beberapa abad ke depan. "Itulah jeleknya ramalan," geram Zeus. "Ketika Apollo memperkenankan terucapnya Ramalan Tujuh dan ketika Hera memutuskan untuk menginterpretasikan kata-kata itu sendiri, para Moirae merajut masa depan sedemikian rupa sehingga alur masa depan menjadi terbatas. Kalian bertujuh, para demigod, ditakdirkan mengalahkan Gaea. Kami, dewa-dewi, tidak bisa." "Saya tidak mengerti," ujar Piper. "Apa gunanya menjadi dewa-dewi jika Anda sekalian mesti mengandalkan manusia fana lemah untuk menjalankan perintah Anda?" Semua dew-a bertukar pandang muram. Namun demikian, Aphrodite malah tertawa lembut dan mengecup putrinya. "Piper sayangku, apa menurutmu kami belum pernah mengajukan pertanyaan itu kepada diri kami sendiri selama beribu-ribu tahun ini? Tapi, justru itulah yang dalam benak Jason: Terima kasih, Demigod. Tapi, jangan bersikeras. Akan kuyakinkan Zeus ketika beliau sudah lebih tenting. "Tentunya, Ayahanda," lanjut sang dewi, "kita harus terleb ih dahulu menyikapi masalah lebih mendesak, sebagaimana yang Ayahanda kemukakan tadi." "Gaea," timpal Annabeth, jelas-jelas tidak sabar menggant topik pembicaraan. "Dia sudah terbangun, bukan?" Zeus menoleh ke arah Annabeth. Di sekeliling Jason, molekul-molekul udara berhenti berdengung. Tengkoraknya serasa baru keluar dari oven microwave. "Benar," kata Zeus. "Darah Olympus telah tertumpah. Gaea sudah sadar sepenuhnya." "Serius?!" keluh Percy. "Saya cuma mimisan sedikit dan se si bumi terbangkitkan karenanya? Tidak adil!" Athena menyandangkan aegis-nya ke bahu. "Mengeluhkan ketidakadilan sama saja seperti menyalahkan orang lain, Percy Jackson. Tidak ada gunanya." Dia melemparkan lirikan setuju ke arah Jason. "Sekarang kalian mesti bergerak cepat. Gaea telah bangkit untuk menghancurkan perkemahanmu." Poseidon bertumpu pada trisulanya. "Sekali ini, Athena benai "Sekali ini?" protes Athena. "Kenapa Gaea bisa berada di perkemahan?" tanya Leo. "Percy mimisan di sini." "Bung," kata Percy, "pertama-tama, kaudengar perkataan Dewi Athena barusan —jangan salahkan hidungku. Kedua, Gaea itu bumi. Dia bisa mengemuka di mana saja sesukanya. Lagi pula, dia memberi tahu kita bahwa itulah yang bakal dia lakukan. Dia bilang hal pertama dalam daftar tugasnya adalah menghancurkan perkemahan kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya menghentikan Gaea?" Frank memandang Zeus. "Anu, Pak Baginda Raja, tidak bisakah dewa-dewi mampir saja ke sana bersama kami? Dewa-dewi punya kereta perang dan sihir sakti dan sebagainya." "Ya!" kata Hazel. "Kita sudah mengalahkan para raksasa bersama-sama dalam dua detik. Mari kita semua —" "Tidak," kata Zeus datar. "Tidak?" tanya Jason. "Tapi, Ayah —" Mata Zeus berkilat-kilat penuh kekuatan dan Jason tersadar dia sudah maksimal mendesak ayahnya hari ini dan mungkin sampai beberapa abad ke depan. "Itulah jeleknya ramalan," geram Zeus. "Ketika Apollo memperkenankan terucapnya Ramalan Tujuh dan ketika Hera memutuskan untuk menginterpretasikan kata-kata itu sendiri, para Moirae merajut masa depan sedemikian rupa sehingga alur masa depan menjadi terbatas. Kalian bertujuh, para demigod, ditakdirkan mengalahkan Gaea. Kami, dewa-dewi, tidak bisa." "Saya tidak mengerti," ujar Piper. "Apa gunanya menjadi dewa-dewi jika Anda sekalian mesti mengandalkan manusia fana lemah untuk menjalankan perintah Anda?" Semua dew-a bertukar pandang muram. Namun demikian, Aphrodite malah tertawa lembut dan mengecup putrinya. "Piper sayangku, apa menurutmu kami belum pernah mengajukan pertanyaan itu kepada diri kami sendiri selama beribu-ribu tahun ini? Tapi, justru itulah yang

waktu? Kami memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mencapai Yunani." "Angin," kata Jason. "Ayahanda, bisakah Ayahanda menitahkan angin untuk mengirim pulang kapal kami?" Zeus melotot. "Aku bisa menamparmu sampai ke Long Island." "Eh, itu lelucon, ancaman, atau —" "Bukan," kata Zeus, "pernyataanku berarti harfiah. Aku bisa menampar kapal kalian sampai ke Perkemahan Blasteran, tapi tenaga untuk itu ...." Di samping reruntuhan singgasana raksasa, dewa kekar berseragam mekanik menggelengkan kepala. "Anakku, Leo, merakit kapal yang bagus, tapi kapal tersebut takkan kuat menanggung tenaga sebesar itu. Kapal akan hancur berantakan begitu tiba di sana, mungkin malah sebelumnya." Leo meluruskan sabuk perkakasnya. "Argo II bisa tahan. Rusak sana-sini tidak apa-apa, asalkan masih lumayan utuh sepanjang waktu yang dibutuhkan untuk mengantar kami pulang. Setibanya di sana, kami bisa meninggalkan kapal." "Berbahaya," Hephaestus mewanti-wanti. "Barangkali fatal." Dewi Nike memutar-mutar mahkota daun dafnah dengan satu jari. "Kemenangan hanya dapat diraih setelah kita menantang bahaya. Malahan, kita acap kali mesti berkorban demi kemenangan. Leo Valdez dan aku sudah mendiskusikan perkara ini." Sang dewi menatap Leo dengan tajam. Jason tidak suka mendengarnya. Dia teringat ekspresi muram Asclepius ketika sang dokter memeriksa Leo. Waduh. Oh, begitu ... Jason tahu mereka harus melakukan apa untuk mengalahkan Gaea. Tapi, Jason ingin mengambil sendiri risiko itu, bukan membebankannya kepada Leo. Piper membawa obat dari tabib, kata Jason kepada diri sendiri. Dia akan melindungi kami berdua. "Leo," ujar Annabeth, "apa yang dimaksud Dewi Nike?" Leo mengesampingkan pertanyaan itu dengan lambaian tangan. "Yang biasa. Kemenangan. Pengorbanan. Bla bla bla. Tidak jadi soal. Kita pasti bisa, Teman-teman. Kita harus bisa." Rasa ngeri merasuki Jason. Zeus betul mengenai satu hal: yang terburuk belum lagi terjadi. Ketika kau harus memilih, Notus, sang Angin Selatan, sempat memberitahunya, antara badai atau api, janganlah berputus asa. Jason pun membuat keputusan. "Leo benar. Ayo semuanya, naik. Mari kita tempuh perjalanan kita yang terakhir[]