BAB DUA PULUH SEMBILAN NICO

BAB DUA PULUH SEMBILAN NICO

APABILA DISURUH MEMILIH ANTARA KEMATIAN dengan Minimarket Ekspres Buford, Nico bakalan kesulitan mengambil keputusan. Setidaknya dia tahu jalan di Negeri Orang Mati. Selain itu, di sana makanannya lebih segar. "Aku masih tidak mengerti," gumam Pak Pelatih Hedge selagi mereka menjelajahi lorong tengah antar-rak. "Mereka menamai seisi kota dari nama meja Leo?" "Sepertinya kota ini berdiri duluan, Pak Pelatih," kata Nico. "Huh." Sang pelatih mengambil sekotak donat berlumur gula bubuk. "Mungkin kau benar. Ini kelihatannya sudah berumur paling tidak seratus tahun. Aku kangen fartura Portugis." Nico tidak bisa memikirkan Portugal tanpa merasa nyeri di lengan. Di bisepsnya, bekas cakaran manusia serigala masih bengkak dan merah. Sang penjaga toko sempat menanyai Nico apakah dia berkelahi dengan kucing hutan. Mereka membeli perlengkapan P3K, notes (supaya Pak Pelatih Hedge bisa menulis pesan di pesawat kertas untuk istrinya), soda dan sejumlah camilan tidak bergizi (karena meja prasmanan dalam tenda ajaib Reyna hanya menyediakan makanan sehat dan air segar), dan macam-macam perlengkapan berkemah untuk jebakan monster Pak Pelatih Hedge yang tidak berguna, tapi mengesankan sekali saking rumitnya. Nico sebenarnya ingin mencari pakaian baru. Dua hari sejak mereka kabur dari San Juan, dia bosan mondar-mandir dalam balutan baju ISLA DEL ENCANTORICO bermotif tropis nan meriah, terutama karena Pak Pelatih Hedge mengenakan baju yang seragam. Sayangnya, Minimarket Ekspres hanya menjual kaus bergambar bendera Konfederasi dan pepatah basi seperti TETAP TENANG DAN IKUTI ORANG UDIK. Nico memutuskan mending dia mengenakan baju bermotif nuri dan pohon kelapa saja. Nico dan sang satir berjalan kembali ke tempat mereka berkemah, menyusuri jalan dua jalur di bawah sorot matahari yang menyengat. Wilayah Carolina Selatan yang ini didominasi oleh lahan kosong berumput, tiang telepon, dan pohon yang berselimutkan sulur-sulur tumbuhan parasit. Kota Buford sendiri terdiri dari kumpulan gubuk logam portabel —hanya enam atau tujuh, yang barangkali berjumlah sama dengan populasi kota tersebut. Nico tidak gemar-gemar amat berjemur, tapi sekali ini dia menyambut baik kehangatan mentari. Dia jadi merasa lebih substansial —tertambat ke dunia fana. Tiap kali melompati bayangan, semakin sulit saja untuk kembali. Di riang hari bolong sekalipun, tangannya menembus benda padat. Sabuk dan pedangnya terus-menerus merosot tanpa alasan jelas. Suatu kali, ketika berjalan tanpa melihat arah, Nico malah menembus sebatang pohon. Nico teringat perkataan Jason Grace kepadanya di istana Notus: Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang. Kalau saja bisa, pikirnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia mulai takut pada kegelapan, sebab dia APABILA DISURUH MEMILIH ANTARA KEMATIAN dengan Minimarket Ekspres Buford, Nico bakalan kesulitan mengambil keputusan. Setidaknya dia tahu jalan di Negeri Orang Mati. Selain itu, di sana makanannya lebih segar. "Aku masih tidak mengerti," gumam Pak Pelatih Hedge selagi mereka menjelajahi lorong tengah antar-rak. "Mereka menamai seisi kota dari nama meja Leo?" "Sepertinya kota ini berdiri duluan, Pak Pelatih," kata Nico. "Huh." Sang pelatih mengambil sekotak donat berlumur gula bubuk. "Mungkin kau benar. Ini kelihatannya sudah berumur paling tidak seratus tahun. Aku kangen fartura Portugis." Nico tidak bisa memikirkan Portugal tanpa merasa nyeri di lengan. Di bisepsnya, bekas cakaran manusia serigala masih bengkak dan merah. Sang penjaga toko sempat menanyai Nico apakah dia berkelahi dengan kucing hutan. Mereka membeli perlengkapan P3K, notes (supaya Pak Pelatih Hedge bisa menulis pesan di pesawat kertas untuk istrinya), soda dan sejumlah camilan tidak bergizi (karena meja prasmanan dalam tenda ajaib Reyna hanya menyediakan makanan sehat dan air segar), dan macam-macam perlengkapan berkemah untuk jebakan monster Pak Pelatih Hedge yang tidak berguna, tapi mengesankan sekali saking rumitnya. Nico sebenarnya ingin mencari pakaian baru. Dua hari sejak mereka kabur dari San Juan, dia bosan mondar-mandir dalam balutan baju ISLA DEL ENCANTORICO bermotif tropis nan meriah, terutama karena Pak Pelatih Hedge mengenakan baju yang seragam. Sayangnya, Minimarket Ekspres hanya menjual kaus bergambar bendera Konfederasi dan pepatah basi seperti TETAP TENANG DAN IKUTI ORANG UDIK. Nico memutuskan mending dia mengenakan baju bermotif nuri dan pohon kelapa saja. Nico dan sang satir berjalan kembali ke tempat mereka berkemah, menyusuri jalan dua jalur di bawah sorot matahari yang menyengat. Wilayah Carolina Selatan yang ini didominasi oleh lahan kosong berumput, tiang telepon, dan pohon yang berselimutkan sulur-sulur tumbuhan parasit. Kota Buford sendiri terdiri dari kumpulan gubuk logam portabel —hanya enam atau tujuh, yang barangkali berjumlah sama dengan populasi kota tersebut. Nico tidak gemar-gemar amat berjemur, tapi sekali ini dia menyambut baik kehangatan mentari. Dia jadi merasa lebih substansial —tertambat ke dunia fana. Tiap kali melompati bayangan, semakin sulit saja untuk kembali. Di riang hari bolong sekalipun, tangannya menembus benda padat. Sabuk dan pedangnya terus-menerus merosot tanpa alasan jelas. Suatu kali, ketika berjalan tanpa melihat arah, Nico malah menembus sebatang pohon. Nico teringat perkataan Jason Grace kepadanya di istana Notus: Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang. Kalau saja bisa, pikirnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia mulai takut pada kegelapan, sebab dia

Nico tidak menyukai para Pemburu Artemis. Tragedi niscaya membuntuti para Pemburu Artemis, sama seperti anjing dan burung pemangsa milik mereka. Kakaknya, Bianca, meninggal setelah bergabung dengan para Pemburu. Kemudian Thalia Grace menjadi pemimpin mereka dan mulai merekrut semakin banyak wanita muda demi tujuan mereka —seolah-olah kematian Bianca dapat dilupakan. Seolah-olah Bianca dapat digantikan. Ketika Nico siuman di Barrachina dan menemukan pesan yang menyebutkan bahwa para Pemburu menculik Reyna, dia mengobrak-abrik halaman karena murka. Dia tidak ingin para Pemburu lagi-lagi merampas orang yang penting baginya. Untungnya, Reyna kembali, tapi Nico tidak suka meliha betapa murungnya gadis itu sekarang. Tiap kali Nico mencoba menanyai Reyna tentang insiden di Calle San Jose —hantu-hantu di balkon, semua menatapnya, membisikkan tuduhan demi tuduhan —Reyna semata-mata menutup diri, menolak bicara kepada Nico. Nico tahu sedikit tentang hantu. Berbahaya membiarkan mereka masuk ke kepala kita. Dia ingin membantu Reyna, tapi karena strategi Nico biasanya adalah menghadapi masalah seorang diri, menampik siapa saja yang coba-coba mendekat, dia tidak bisa mengkritik Reyna karena berbuat serupa. Reyna mendongak saat mereka mendekat. "Aku ingat." "Situs historis apa ini?" tanya Hedge. "Bagus, soalnya aku jadi gila karena penasaran." "Pertempuran Waxhaw," kata Reyna. "Ah, betul ..." Hedge mengangguk khidmat. "Perkelahian yang brutal." Nico mencoba mengindrai arwah penasaran di area itu, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Tidak lazim untuk medan tempur. "Apa kau yakin?" Nico "Tahun 1780," kata Reyna. "Revolusi Amerika. Sebagian r besar pemimpin kaum Kolonis adalah demigod Yunani. Jenderal-lenderal Britania adalah demigod Romawi." "Karena Inggris dulu seperti Romawi," tebak Nico. "Imperium yang tengah bangkit." Reyna memungut buket gepeng. "Menurutku aku tahu apa sebabnya kita mendarat di sini. Ini salahku." "Ah, jangan begitu," tegur Hedge. "Minimarket Ekspres Buford bukan salah siapa-siapa. Yang demikian bisa saja terjadi kadang-kadang." Reyna mencuili bunga-bunga plastik pudar. "Semasa Revolusi, empat ratus orang Amerika disusul oleh kavaleri Britania. Pasukan Kolonis mencoba menyerah, tapi orang-orang Britania menginginkan darah. Mereka membantai orang-orang Amerika bahkan sesudah mereka menjatuhkan senjata. Hanya Nico tidak menyukai para Pemburu Artemis. Tragedi niscaya membuntuti para Pemburu Artemis, sama seperti anjing dan burung pemangsa milik mereka. Kakaknya, Bianca, meninggal setelah bergabung dengan para Pemburu. Kemudian Thalia Grace menjadi pemimpin mereka dan mulai merekrut semakin banyak wanita muda demi tujuan mereka —seolah-olah kematian Bianca dapat dilupakan. Seolah-olah Bianca dapat digantikan. Ketika Nico siuman di Barrachina dan menemukan pesan yang menyebutkan bahwa para Pemburu menculik Reyna, dia mengobrak-abrik halaman karena murka. Dia tidak ingin para Pemburu lagi-lagi merampas orang yang penting baginya. Untungnya, Reyna kembali, tapi Nico tidak suka meliha betapa murungnya gadis itu sekarang. Tiap kali Nico mencoba menanyai Reyna tentang insiden di Calle San Jose —hantu-hantu di balkon, semua menatapnya, membisikkan tuduhan demi tuduhan —Reyna semata-mata menutup diri, menolak bicara kepada Nico. Nico tahu sedikit tentang hantu. Berbahaya membiarkan mereka masuk ke kepala kita. Dia ingin membantu Reyna, tapi karena strategi Nico biasanya adalah menghadapi masalah seorang diri, menampik siapa saja yang coba-coba mendekat, dia tidak bisa mengkritik Reyna karena berbuat serupa. Reyna mendongak saat mereka mendekat. "Aku ingat." "Situs historis apa ini?" tanya Hedge. "Bagus, soalnya aku jadi gila karena penasaran." "Pertempuran Waxhaw," kata Reyna. "Ah, betul ..." Hedge mengangguk khidmat. "Perkelahian yang brutal." Nico mencoba mengindrai arwah penasaran di area itu, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Tidak lazim untuk medan tempur. "Apa kau yakin?" Nico "Tahun 1780," kata Reyna. "Revolusi Amerika. Sebagian r besar pemimpin kaum Kolonis adalah demigod Yunani. Jenderal-lenderal Britania adalah demigod Romawi." "Karena Inggris dulu seperti Romawi," tebak Nico. "Imperium yang tengah bangkit." Reyna memungut buket gepeng. "Menurutku aku tahu apa sebabnya kita mendarat di sini. Ini salahku." "Ah, jangan begitu," tegur Hedge. "Minimarket Ekspres Buford bukan salah siapa-siapa. Yang demikian bisa saja terjadi kadang-kadang." Reyna mencuili bunga-bunga plastik pudar. "Semasa Revolusi, empat ratus orang Amerika disusul oleh kavaleri Britania. Pasukan Kolonis mencoba menyerah, tapi orang-orang Britania menginginkan darah. Mereka membantai orang-orang Amerika bahkan sesudah mereka menjatuhkan senjata. Hanya

karena kau memiliki keterikatan dengan hantu-hantu itu. Seperti yang terjadi di San Juan?" Selama sepuluh detik, Reyna tidak berkata apa-apa, hanya membolak-balik buket plastik di tangannya. "Aku tidak mau membicarakan San Juan." "Sebaiknya kau bicarakan." Nico merasa bagaikan orang asing dalam tubuhnya sendiri. Kenapa dia mendorong Reyna untuk berbagi? Tidak biasa-biasanya. Lagi pula, itu juga bukan urusannya. Namun demikian, Nico terus bicara. "Yang utama soal hantu adalah, kebanyakan dari mereka kehilangan suara. Di Asphodel, berjuta-juta roh mengeluyur tak tentu arah, berusaha mengingat-ingat siapa diri mereka. Kau tahu apa sebabnya mereka jadi seperti itu? Karena semasa hidup, mereka plinplan. Mereka tidak pernah angkat bicara, maka mereka tidak pernah didengar. Suaramu adalah identitasmu. Jika kau tak menggunakannya," kata Nico sambil mengangkat bahu, "kau sudah setengah jalan menuju Asphodel." Reyna cemberut. "Apa kau bermaksud menyemangatiku?" Pak Pelatih Hedge berdeham. "Waduh, terlalu mirip obrolan dengan psikolog. Aku tidak ikut-ikutan. Aku akan menulis surat Baja. Sang satir mengeluarkan notesnya dan menuju ke dalam hutan. Kira-kira sehari terakhir ini, dia banyak menulis —rupanya bukan cuma untuk Mellie. Sang pelatih tidak mau berbagi paparan mendetail, tapi dia menyiratkan bahwa dia minta bantuan untuk memperlancar misi mereka. Dia mungkin menyurati Jackie Chan juga; Nico tidak tahu. Nico membuka kantong belanjaannya. Dia mengeluarkan sekotak Pai Krim Havermut Debbie Cilik dan menawari Reyna. Gadis itu mengernyitkan hidung. "Makanan itu kelihatannya sudah basi sejak zaman dinosaurus." "Mungkin. Tapi, selera makanku besar akhir-akhir ini. Makanan apa saja terasa enak kecuali mungkin biji delima. Aku sudah bosan makan itu." Reyna mengambil sekeping pai krim dan menggigitnya. "Hantu- hantu di San Juan ... mereka itu leluhurku." Nico menunggu. Angin sepoi-sepoi mendesirkan jaring kamuflase yang menutupi Athena Parthenos. "Keluarga Ramirez-Arellano punya garis keturunan jauh ke belakang," lanjut Reyna. "Aku tidak tahu cerita lengkapnya. Leluhurku tinggal di Spanyol sewaktu wilayah itu masih merupakan provinsi Romawi. Kakek moyangku seorang conquistador. Dia datang ke Puerto Rico bersama Ponce de Leon." "Salah satu hantu di balkon mengenakan baju zirah conquis- tador," Nico mengingat-ingat. "Itu dia." "Jadi seluruh keluargamu adalah keturunan Bellona? Kukira kau dan Hylla adalah putrinya, bukan keturunannya." Nico terlambat menyadari bahwa dia semestinya tidak mengungkit-ungkit nama Hylla. Ekspresi putus asa terlintas di wajah Reyna, walaupun dia berhasil menyembunyikannya cepat-cepat. "Kami memang putri Bellona," kata Reyna. "Dalam keluarga Ramirez- Arellano, kamilah anak Bellona yang pertama. Selain itu, Bellona senantiasa memberi restunya kepada klan kami semenjak dulu. Bermilenium-milenium lampau, Bellona menitahkan bahwa kami akan memegang peranan sentral dalam banyak pertempuran." "Seperti yang kau lakukan sekarang," kata Nico. Reyna mengelap remah-remah pai dari dagunya. "Barangkali. Beberapa leluhurku adalah pahlawan.

Sebagian lain penjahat. Kau melihat hantu dengan luka tembak di dada?" Nico mengangguk. "Bajak laut?"

"Yang paling tersohor dalam sejarah Puerto Rico. Dia dijuluki Cofresi si Perompak, tapi nama keluarganya adalah Ramirez de Arellano. Rumah kami, vila keluarga kami, dibangun dengan uang dari harta karun yang dia kubur." Sekejap Nico merasa seperti anak-anak lagi. Dia tergoda untuk menyemburkan: Keren deb! Bahkan sebelum menggandrungi Mythomagic, dia sudah terobsesi pada bajak laut. Mungkin itulah sebabnya dia terpesona kepada Percy, putra Dewa Laut. "Hantu-hantu yang lain bagaimana?" tanya Nico. Reyna kembali menggigit pai krim. "Laki-laki berseragam Angkatan Laut Amerika Serikat dia paman buyutku dari zaman Perang Dunia II, komandan kapal selam pertama beretnis Latino. Kau paham, Ian?! Banyak pendekar. Bellona adalah dewi pelindung kami selama bergenerasi-generasi." "Tapi, dia tidak pernah memiliki anak demigod dalam keluarga Ramirez- Arellano —sampai kalian." "Sang dewi dia jatuh cinta pada ayahku, Julian. Ayahku menjadi prajurit di Irak. Dia —" Suara Reyna pecah. Dilemparkannya buket bunga plastik. "Aku tak bisa melakukan ini. Aku tak bisa membicarakan ayahku." Awan berarak di atas, menyelimuti hutan dengan bayang-bayang. Nico tidak ingin memaksa Reyna. Hak apa yang dia punya? Dia meletakkan pai krim havermutnya dan menyadari bahwa ujung jemarinya berubah menjadi asap. Sinar matahari muncul kembali. Tangannya menjadi padat lagi, tapi Nico tegang benar. Dia merasa seperti baru ditarik ke belakang dari tepi balkon tinggi. Suaramu adalah identitasmu, dia memberi tahu Reyna. Jika kau tak menggunakannya, kau sudah setengah jalan menuju Asphodel. Nico benci ketika nasihatnya sendiri berlaku bagi dirinya sendiri. "Ayahku pernah memberiku hadiah," kata Nico. "Satu zombie." Reyna menatapnya bengong. "Apo?" "Namanya Jules-Albert. Orang Prancis." "Zombie ... Prancis?" "Hades bukan ayah terhebat, tapi sesekali dia menunjukkan keinginan untuk mengenal-putraku-lebih-dekat. Kuperkirakan dia mengira zombie itu adalah upeti damai. Dia bilang Jules-Albert bisa menjadi sopirku." Sudut mulut Reyna berkedut-kedut. "Sopir zombie Prancis." Nico menyadari betapa ceritanya kedengaran konyol. Dia tidak pernah memberi tahu siapa-siapa tentang Jules-Albert —bahkan Hazel juga tidak. Tapi, dia terus bicara. "Hades berpikir bahwa aku harus, tahu berusaha bertingkah laku layaknya remaja modern. Berteman. Mengakrabkan diri dengan abad ke-21. Dia samar-samar memahami bahwa orangtua fana menyopiri anak mereka ke mana-mana. Dia tidak bisa melakukan itu. Jadi, solusinya adalah si zombie." "Untuk mengantarmu ke pusat perbelanjaan," kata Reyna. "Atau beli makanan di Burger Masuk-Keluar." "Kurasa begitu." Ketegangan Nico mulai menyusut. "Karena tiada yang lebih ampuh membantu kita mendapat kawan baru daripada mayat membusuk berlogat Prancis." Reyna tertawa. "Maafkan aku aku seharusnya tidak menertawakan." "Tidak apa-apa. Intinya aku juga tidak suka membicarakan ayahku. Tapi, kadang-kadang," katanya sambil menatap mata Reyna, "memang harus."

Ekspresi Reyna berubah menjadi serius. "Aku tidak pernah mengenal ayahku sewaktu kondisinya masih baik. Hylla bilang ayahku dulu lebih lembut ketika dia kecil sekali, sebelum aku lahir. Ayahku prajurit yang baik —tak kenal takut, berdisiplin, tenang di bawah tekanan. Dia tampan. Dia bisa bersikap sangat menawan. Bellona merestuinya, sebagaimana Bellona merestui banyak sekal leluhurku, tapi itu tidak cukup bagi ayahku. Ayahku ingin Bellona menjadi istrinya." Di hutan, Pak Pelatih Hedge berkomat-kamit sendiri selagi menulis. Tiga pesawat terbang kertas sudah berputar-putar ke atas terbawa angin, menuju

entah ke mana. "Ayahku mendedikasikan diri sepenuhnya kepada Bellona," lanjut Reyna. "Menghormati kekuatan perang barangkali wajar, tapi jatuh cinta padanya, itu lain perkara. Aku tidak tahu bagaimana ayahku melakukannya, tapi dia berhasil memenangi hati Bellona. Kakakku lahir tepat sebelum ayahku berangkat ke Irak untuk masa tugasnya yang terakhir. Dia dibebastugaskan dengan hormat, pulang sebagai pahlawan. Kalau kalau dia mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan warga sipil, segalanya mungkin akan baik-baik saj a." "Tapi, dia tak mampu," terka Nico. Reyna mengangguk. "Tidak lama sekembalinya, ayahku bertemu sekali lagi dengan sang dewi itulah, anu, sebabnya aku dilahirkan. Bellona menunjuki ayahku sekilas masa depan. Ibuku menjelaskan kenapa keluarga kami begitu penting baginya. Dia mengatakan warisan Roma takkan runtuh selama garis keturunan keluarga kami masih ada, berjuang untuk mempertahankan kampung halaman kami. Kata-kata itu menurutku Bellona bermaksud memberikan penghiburan, tapi ayahku menjadi terobsesi karenanya." . "Perang kerap kali susah dilupakan," kata Nico, teringat kepada Pietro, salah seorang tetangganya semasa kanak-kanak di Italia. Pietro pulang dengan selamat dari penyerbuan Mussolini ke Afrika, tapi setelah menimpuki orang-orang Ethiopia dengan gas mustard, jiwanya tidak sama lagi. Walaupun udara sedang panas, Reyna merapatkan jubah ke tubuhnya. "Sebagian dari masalahnya adalah stres pasca- trauma. Ayahku tidak bisa berhenti memikirkan peperangan. Belum lagi rasa nyeri terus-menerus —bom pinggir jalan menyisakan pecahan mortir di pundak dan dadanya. Tapi, masalah ayahku lebih dari itu. Tahun demi tahun, selagi aku tumbuh besar, dia dia berubah." Nico tidak menanggapi. Dia tidak pernah mendengar siapa pun berbicara seterbuka ini kepadanya sebelum ini, kecuali mungkin Hazel. Dia merasa sedang menyaksikan sekawanan burung yang bertengger di ladang. Satu suara gaduh bisa serta-merta mengusir mereka. "Dia menjadi paranoid," kata Reyna. "Dia pikir kata-kata Bellona adalah peringatan bahwa garis keturunan keluarga kami akan binasa dan warisan Roma akan runtuh. Dia melihat musuh di mana-mana. Dia menghimpun senjata. Dia menjadikan rumah kami sebagai benteng. Pada malam hari, ayahku mengunci Hylla dan aku dalam kamar kami. Kalau kami menyelinap ke luar, ayahku akan membentak-bentak kami dan melemparkan furnitur dan pokoknya, dia menakuti kami. Ada kalanya, dia bahkan mengira kamilah musuhnya. Dia menjadi yakin bahwa kami memata-matainya, berusaha merendahkan kewibawaannya. Kemudian hantu-hantu mulai muncul. Kuperkirakan mereka sudah berada di sana sejak awal, tapi mereka menangkap kegelisahan ayahku dan mulai mewujud. Mereka berbisik-bisik kepadanya, mengompori kecurigaannya. Akhirnya suatu hari aku tidak tahu kapan . persisnya, aku menyadari bahwa dia bukan lagi ayahku. Dia telah menjadi salah satu dari hantu." Hawa dingin menyesakkan dada Nico. "Mania," dia berspekulasi. "Aku pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Manusia yang mengisut hingga hilang kemanusiaannya. Hanya sifat-sifat terburuknyalah yang tertinggal. Kegilaannya ..." Kentara sekali dari ekspresi Reyna bahwa penjelasan Nico tidak menenangkan. "Apa pun dia," kata Reyna, "menjadi mustahil untuk tinggal bersamanya. Hylla dan aku kabur dari rumah sesering mungkin, tapi ujung-ujungnya kami selalu kembali dan menghadapi amukannya. Kami tidak tahu mesti berbuat apa lagi. Dialah satu-satunya keluarga kami. Kali terakhir kami kembali, dia —dia teramat marah sehingga praktis menyala-nyala. Dia tidak bisa menyentuh benda- benda fisik lagi, tapi dia bisa menggerakkan benda-benda itu seperti arwah penasaran di film-film. Dia mencabuti ubin di lantai. Dia merobek-robek sofa hingga isinya terburai. Akhirnya dia melemparkan kursi, yang menghantam Hylla. Kakakku ambruk. Dia hanya jatuh tak sadarkan diri, tapi aku sempat entah ke mana. "Ayahku mendedikasikan diri sepenuhnya kepada Bellona," lanjut Reyna. "Menghormati kekuatan perang barangkali wajar, tapi jatuh cinta padanya, itu lain perkara. Aku tidak tahu bagaimana ayahku melakukannya, tapi dia berhasil memenangi hati Bellona. Kakakku lahir tepat sebelum ayahku berangkat ke Irak untuk masa tugasnya yang terakhir. Dia dibebastugaskan dengan hormat, pulang sebagai pahlawan. Kalau kalau dia mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan warga sipil, segalanya mungkin akan baik-baik saj a." "Tapi, dia tak mampu," terka Nico. Reyna mengangguk. "Tidak lama sekembalinya, ayahku bertemu sekali lagi dengan sang dewi itulah, anu, sebabnya aku dilahirkan. Bellona menunjuki ayahku sekilas masa depan. Ibuku menjelaskan kenapa keluarga kami begitu penting baginya. Dia mengatakan warisan Roma takkan runtuh selama garis keturunan keluarga kami masih ada, berjuang untuk mempertahankan kampung halaman kami. Kata-kata itu menurutku Bellona bermaksud memberikan penghiburan, tapi ayahku menjadi terobsesi karenanya." . "Perang kerap kali susah dilupakan," kata Nico, teringat kepada Pietro, salah seorang tetangganya semasa kanak-kanak di Italia. Pietro pulang dengan selamat dari penyerbuan Mussolini ke Afrika, tapi setelah menimpuki orang-orang Ethiopia dengan gas mustard, jiwanya tidak sama lagi. Walaupun udara sedang panas, Reyna merapatkan jubah ke tubuhnya. "Sebagian dari masalahnya adalah stres pasca- trauma. Ayahku tidak bisa berhenti memikirkan peperangan. Belum lagi rasa nyeri terus-menerus —bom pinggir jalan menyisakan pecahan mortir di pundak dan dadanya. Tapi, masalah ayahku lebih dari itu. Tahun demi tahun, selagi aku tumbuh besar, dia dia berubah." Nico tidak menanggapi. Dia tidak pernah mendengar siapa pun berbicara seterbuka ini kepadanya sebelum ini, kecuali mungkin Hazel. Dia merasa sedang menyaksikan sekawanan burung yang bertengger di ladang. Satu suara gaduh bisa serta-merta mengusir mereka. "Dia menjadi paranoid," kata Reyna. "Dia pikir kata-kata Bellona adalah peringatan bahwa garis keturunan keluarga kami akan binasa dan warisan Roma akan runtuh. Dia melihat musuh di mana-mana. Dia menghimpun senjata. Dia menjadikan rumah kami sebagai benteng. Pada malam hari, ayahku mengunci Hylla dan aku dalam kamar kami. Kalau kami menyelinap ke luar, ayahku akan membentak-bentak kami dan melemparkan furnitur dan pokoknya, dia menakuti kami. Ada kalanya, dia bahkan mengira kamilah musuhnya. Dia menjadi yakin bahwa kami memata-matainya, berusaha merendahkan kewibawaannya. Kemudian hantu-hantu mulai muncul. Kuperkirakan mereka sudah berada di sana sejak awal, tapi mereka menangkap kegelisahan ayahku dan mulai mewujud. Mereka berbisik-bisik kepadanya, mengompori kecurigaannya. Akhirnya suatu hari aku tidak tahu kapan . persisnya, aku menyadari bahwa dia bukan lagi ayahku. Dia telah menjadi salah satu dari hantu." Hawa dingin menyesakkan dada Nico. "Mania," dia berspekulasi. "Aku pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Manusia yang mengisut hingga hilang kemanusiaannya. Hanya sifat-sifat terburuknyalah yang tertinggal. Kegilaannya ..." Kentara sekali dari ekspresi Reyna bahwa penjelasan Nico tidak menenangkan. "Apa pun dia," kata Reyna, "menjadi mustahil untuk tinggal bersamanya. Hylla dan aku kabur dari rumah sesering mungkin, tapi ujung-ujungnya kami selalu kembali dan menghadapi amukannya. Kami tidak tahu mesti berbuat apa lagi. Dialah satu-satunya keluarga kami. Kali terakhir kami kembali, dia —dia teramat marah sehingga praktis menyala-nyala. Dia tidak bisa menyentuh benda- benda fisik lagi, tapi dia bisa menggerakkan benda-benda itu seperti arwah penasaran di film-film. Dia mencabuti ubin di lantai. Dia merobek-robek sofa hingga isinya terburai. Akhirnya dia melemparkan kursi, yang menghantam Hylla. Kakakku ambruk. Dia hanya jatuh tak sadarkan diri, tapi aku sempat