Gejala deurbanisasi Jakarta dan lahirnya megapolitan

(1)

OLEH

HESTI AYU HAPSARI H14070046

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

(dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO).

Meningkatnya pembangunan di DKI Jakarta tidak menyebabkan meningkatnya pertumbuhan migrasi masuk Jakarta. Tingkat pertumbuhan migrasi masuk Jakarta berkurang setiap tahun, bahkan jumlah migrasi masuk Jakarta menurun sangat tajam pada tahun 2005. Disisi lain, tingkat pertumbuhan migrasi masuk di wilayah Bodetabek terus bertambah. Migrasi yang masuk menuju Bodetabek didominasi oleh migran asal Jakarta. Hal ini mengindikasikan terjadinya gejala deurbanisasi Jakarta, yaitu menurunnya migrasi ke pusat kota dan meningkatnya migrasi menuju wilayah pinggiran kota.

Proses deurbanisasi ini dipengaruhi oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bodetabek, biaya hidup yang lebih murah di Bodetabek, dan harga lahan di Jakarta yang melambung tinggi. Namun, proses trickle down effect yang seharusnya terjadi akibat deurbanisasi belum terlihat dengan jelas dalam pembangunan Bodetabek terutama pada pembangunan wilayah tingkat kabupaten. Hal ini dikarenakan pembangunan di Bodetabek belum merata ke seluruh wilayah.

Selain itu, perencanaan pembangunan di wilayah Bodetabek sejak awal pembangunan ditujukan untuk membentuk kawasan Megapolitan Jabodetabek. Hal ini dapat terlihat pada besarnya peranan Bodetabek sebagai penyangga Ibu Kota Jakarta. Kawasan Bodetabek didominasi dengan pembangunan industri, pemukiman dan perdagangan. Namun pada nyatanya, pembangunan kawasan Megapolitan Jabodetabek masih berada pada wilayah-wilayah sekitar Jakarta, sehingga wilayah kabupaten yang terletak agak jauh dari Jakarta belum mengalami perubahan secara signifikan.


(3)

Oleh

HESTI AYU HAPSARI H14070046

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(4)

Menyetujui, Dosen Pembimbing

D.S. Priyarsono, Ph.D NIP. 19610501 198601 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003


(5)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2011

Hesti Ayu Hapsari H14070046


(6)

Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. M. Husni, MM dan Istiati Rahayu. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD-K Permata Bunda Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SLTPN 3 Depok. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Matematika Aktuaria. Selama menjadi mahasiswa, penulis mencoba mengaktualisasi diri bergabung dengan Gentra Kaheman sebagai anggota, HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) sebagai sekretaris dan ketua pada Divisi Kewirausahaan dan organisasi IMEPI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia) sebagai anggota. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti MAGIC 2008, Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2009, Espresso (2008), Hipotex-R 2009, Latihan Kepemimpinan dan Organisasi (LKO) IMEPI Jabagbar 2010, Economic Work (E-work) 2010, dan kegiatan kepanitiaan lainnya.

Tahun 2011 penulis melakukan penelitian dengan judul “Terjadinya Gejala Deurbanisasi Jakarta dan Lahirnya Megapolitan” untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Gejala Deurbanisasi Jakarta dan Lahirnya Megapolitan”. Mobilitas penduduk merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:

1. Dominicus Savio Priyarsono, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr. Yeti Lis Purnamadewi sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Ranti Wiliasih M,Si sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

5. Kedua Orangtua tercinta Papa Ir. M.Husni, MM dan Mama Istiati Rahayu, adik Hesti Ayu Devitasari serta segenap keluarga besar, yang


(8)

telah memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dukungan baik moril maupun material serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabatku Anisa Milki, Artanti Y, dan Teh Wulan, atas sharing,

motivasi, dukungan, dan doanya untuk penulis selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Putri Nilam Kencana, Fatmawati, dan Ni Luh Putu Aria Permanasari atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.

8. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Ajeng Endartrianti, Michelia Widya Agri, Risa Pragari, Retno Khairunisa, Reni Tilova, Kristina Sari, Lisa P, Nancy I, Retni C, Andi Inggryd, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman IE 44: Fatmawati, Hilman K, Malo B, Ranty P, dan lainnya yang sudah membantu dalam pencarian data.

10.Hipotesa dan DISTRO 2009-2010, atas kebersamaannya yang luar biasa. 11.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

Hesti Ayu Hapsari H14070046


(9)

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ...viii

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...5

1.3. Tujuan ...6

1.4. Manfaat Penulisan ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1. Mobilitas Penduduk ...8

2.2. Faktor-Faktor Penentu Mobilitas Penduduk ...8

2.3. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Penduduk ...9

2.4. Teori Urbanisasi ...10

2.4.1 Deurbanisasi ...12

2.4.2. Megapolitan ...13

2.5. Kerangka Pemikiran ...15

III. METODE PENELITIAN ...20

3.1. Jenis dan Sumber Data ...20

3.2. Metode Analisis Data ...20

IV. GAMBARAN UMUM ...21

4.1. Wilayah Goegrafis dan Administratif ...21

4.2 Kabupaten Bogor ...22

4.3. Kabupaten Bekasi ...23

4.4. Kota Bogor ...23

4.5. Kota Bekasi ...24

4.6. Kota Tangerang ...24

4.7. Kabupaten Tangerang...24


(10)

5.1. Gejala Deurbanisasi ...26

5.2 Dampak Gejala Deurbanisasi ... 32

5.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Bodetabek ...32

5.1.2. Pertumbuhan Sektor Sekunder dan Tersier ... 33

5.2.3. Karakteristik Migrasi Jakarta Menuju Bodetabek ...38

5.2.4 Pertumbuhan Lapangan Kerja Di Bodetabek ...44

5.3 Konsep Megapolitan Jabodetabek ...46

5.3.1 Pembangunan Sektor di Bodetabek ...48

5.3.2 Tingkat Migrasi Non-Permanen... 49

5.3.3 Pembangunan Infrastruktur ... 51

5.3.4 Perkembangan Pembangunan Megapolitan di Bodetabek ... 53

5.3.4.1 Pergeseran Fungsi Lahan ... 54

5.3.4.2 Karakteristik Migran ... 56

5.3.4.3 Tingkat Kemiskinan ... 59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...62

6.1. Kesimpulan ...62

6.2. Saran ...63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

4.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Bodetabek ...22 5.1. Daftar Kawasan Industri ...36


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ... 3

1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ... 4

2.1. Kerangka Pemikiran ...19

4.1. Peta Wilayah JABODETABEK ...21

5.1. Laju Pertumbuhan Migrasi Jakarta ...27

5.2. Laju Pertumbuhan Migrasi Provinsi Jawa Barat ...28

5.3. Laju Nilai Jual Objek Pajak Bumi ...29

5.4. Laju Kemiskinan DKI Jakarta ...30

5.5. Laju Tingkat Upah Minimum Jabodetabek ...31

5.6. PDRB Bodetabek ...33

5.7. PDRB DKI Jakarta ...34

5.8. PDRB Bodetabek per Sektor ...35

5.9. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...39

5.10 Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...42

5.11. Status Kerja Migran Berdasarkan Sektor Ekonomi di Bodetabek ...43

5.12. Status Kerja Masyarakat Bodetabek ...45

5.12 Jumlah Penumpang Kereta Api ...49

5.13. Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta ...50

5.14 Persentase Komuter di Bodetabek ...50

5.15 Jumlah Sekolah di Bodetabek ...52

5.16 Jumlah Puskesmas di Bodetabek ...52

5.17 Jumlah Rumah Sakit di Bodetabek ...52

5.18 Jumlah Dokter di Bodetabek ...53

5.19 Penggunaan Lahan Bodetabek ...55

5.20 Distribusi Migran Jakarta-Bodetabek ...57

5.21 Alasan Pindah Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...58


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi ...70

2. Migrasi DKI Jakarta ...71

3. Migrasi Provinsi Jawa Barat ...71

4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi ...72

5. Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta ...72

6. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...72

7. Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek ...72

8. Status Kerja Migran Berdasarkan Sektor Ekonomi di Bodetabek ... 73 9. Persentase Status Kerja Masyarakat Jabodetabek ...73

10.Jumlah Penumpang Kereta Api ...74

11.Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta ...75

12.Persentase Komuter di Bodetabek ...75

13.Jumlah Puskesmas di Bodetabek ...76

14.Jumlah Rumah Sakit di Bodetabek ...76

15.Jumlah Dokter di Bodetabek ...76

16.Persentase Distribusi Migran Jakarta-Bodetabek ...77

17.Jumlah Masyarakat Miskin di Jabodetabek...77

18.PDRB Jabodetabek ...78

19.Persentase Penggunaan Lahan Bodetabek ...87

20.Alasan Migrasi Masuk Bodetabek ...89


(14)

Masalah mobilitas penduduk sering kali menjadi permasalahan utama bagi pembangunan suatu wilayah. Antara mobilitas penduduk dan pembangunan wilayah terdapat hubungan timbal balik yang saling terkait satu sama lain. Pembangunan suatu wilayah dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan mobilisasi. Namun, pembangunan juga tidak akan terjadi tanpa adanya mobilitas penduduk yang tinggi menuju wilayah tersebut.

Mobilitas penduduk dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti alasan sosial, ekonomi, agama, atau lainnya. Berdasarkan alasan ekonomi, alasan utama terjadinya mobilitas penduduk lebih dikarenakan setiap masyarakat ingin mencapai tingkat kepuasan maksimumnya. Tingkat kepuasan tersebut dapat diukur melalui berbagai hal, antara lain, status pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang nyaman, serta tingkat upah yang memadai, guna tercapainya tingkat kesejahteraan yang cukup bagi kehidupannya.

Mobilitas penduduk terjadi pada daerah dengan pembangunan yang tertinggal menuju ke daerah dengan pembangunan yang pesat. Semakin tinggi pembangunan di suatu wilayah, maka akan semakin tinggi tingkat migrasi menuju wilayah tersebut. Tingginya tingkat ketimpangan pembangunan menyebabkan terjadinya faktor pendorong maupun faktor penarik di antara wilayah-wilayah tersebut. Faktor pendorong biasanya terjadi pada daerah-daerah asal yang memiliki sedikit pembangunan. Faktor-faktor pendorong masyarakat tersebut


(15)

keluar dari wilayahnya adalah sempitnya lapangan pekerjaan, tingkat upah rendah, kondisi sosial yang rendah, tingginya angka pengangguran, dan lain-lain. Sementara faktor penarik biasanya terjadi pada daerah-daerah tujuan dengan tingkat pembangunan yang pesat di dalamnya. Faktor-faktor penarik bagi masyarakat menuju daerah tersebut adalah telihatnya kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik yang tercermin melalui pesatnya pembangunan industri, infrastruktur, serta berbagai layanan publik yang memadai.

Mobilitas penduduk yang seringkali terjadi dalam negara berkembang adalah migrasi desa-kota atau urbanisasi. Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2010, jumlah penduduk telah meningkat sebesar 32,48persen. Namun, peningkatan jumlah penduduk ini belum tersebar secara merata ke seluruh daerah di Indonesia. Penyebaran penduduk masih berpusat di Pulau Jawa dan Sumatera. Ketimpangan distribusi penduduk ini masih disebabkan oleh timpangnya pembangunan-pembangunan perkotaan di wilayah-wilayah di Indonesia.

Salah satu kota di Indonesia yang menjadi pusat urbanisasi adalah Jakarta. Sejak jaman orde lama, Jakarta dijadikan pusat industri bagi daerah Jawa bagian barat. Pembangunan ekonomi yang pesat di Jakarta tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi, namun juga menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk berpindah tempat ke Jakarta. Jumlah masyarakat yang bermigrasi menuju Jakarta berbanding lurus dengan pembangunan sektor-sektor perekonomian Jakarta. Hal ini terlihat dari trend arus migrasi menju Jakarta sejak tahun 1970 hingga tahun 2000 yang selalu mengalami peningkatan.


(16)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

1971 1980 1990 1995 2000 2010*)

Aceh

Sumatera Utara Sumatera Barat R i a u J a m b i Sumatera Selatan B e n g k u l u L a m p u n g Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten B a l i

Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat M a l u k u Maluku Utara Sumber : Badan Pusat Statistik, 1971-2010 (diolah)

Grafik 1.1 Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Provinsi (Juta Orang) Jumlah urbanisasi penduduk menuju Jakarta ini menyebabkan ledakan penduduk yang cukup besar di Jakarta. Di satu sisi, peningkatan arus urbannisasi menuju Jakarta menyebabkan semakin meningkatnya pembangunan. Namun, jumlah arus urbanisasi Jakarta yang besar juga menyebabkan sulitnya kemampuan Jakarta untuk menyediakan berbagai fasilitas seperti wilayah pemukiman, layanan publik dan fasilitas lainnya yang sesuai dengan jumlah penduduk di Jakarta. Akibatnya, tingkat permintaan akan kebutuhan hidup semakin tinggi, sementara tingkat supply dari produsen penyedian kebutuhan di Jakarta terbatas. Sehingga, harga barang-barang kebutuhan semakin tinggi walaupun tingkat pendapatan masyarakat juga semakin tinggi.


(17)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

1971 1980 1990 2000 2005

Migrasi Masuk Migrasi Keluar Migrasi Neto Sumber : Badan Pusat Statistik, 1971-2010 (diolah)

Grafik 1.2 Jumlah Migrasi DKI Jakarta (Ratus Ribu Orang)

Ledakan arus urbanisasi ini juga berdampak pada tingginya permintaan akan lahan. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sebagian lahan Jakarta digunakan sebagai lokasi industrialisasi, pembangunan area perkantoran, dan area pemerintahan. Namun, sebagai pusat urbanisasi, Jakarta juga digunakan sebagai pusat pemukiman. Dengan permintaan lahan yang terus meningkat, sementara luas lahan wilayah Jakarta semakin sempit, menyebabkan harga lahan di Jakarta yang semakin tinggi.

Desakan permintaan akan lahan, menyebabkan alih fungsi lahan di Jakarta bergeser. Wilayah-wilayah industri dan pemukiman terdorong ke wilayah-wilayah di sekitar Jakarta, yaitu wilayah Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi. Sehingga, Bodetabek yang berperan sebagai penyangga Jakarta terus mengalami pembangunan-pembangunan baru yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi kota-kota ini terus meningkat.


(18)

Apabila dilihat dari trend migrasi perprovinsi, Jawa Barat dan Banten justru menjadi tujuan utama masyarakat untuk melakukan migrasi. Sementara itu, walaupun hingga tahun 2000 jumlah migrasi menuju Jakarta terus meningkat, namun pada tahun 2005, arus migrasi menuju Jakarta terus mengalami penurunan. Di wilayah Jawa Barat dan Banten, apabila dilihat perwilayah, arus migrasi masih terkonsentrasi di wilayah Bodetabek. Pada tahun 2000, jumlah migrasi masih sebesar 37persen dari total migrasi Jawa Barat dan Banten, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi sebesar 49persen.

1.2 Perumusan Masalah

Penurunan jumlah arus migrasi menuju Jakarta dan meningkatnya arus migrasi keluar dari Jakarta mengindikasikan akan tingginya tingkat persaingan hidup di Jakarta. Ledakan migrasi yang menyebabkan tingginya permintaan akan kebutuhan hidup, baik lapangan pekerjaan, lahan pemukiman, infrastruktur serta layanan publik lainnya, dan keterbatasan kemampuan Jakarta dalam memenuhinya, membuat harga-harga kebutuhan hidup di Jakarta kian meningkat. Akibatnya, jumlah lokasi-lokasi pemukiman kumuh terus bertambah, yang disertai dengan meningkatnya angka kemiskinan di Jakarta.

Sementara di sisi lain, Bodetabek yang berperan sebagai penyangga Ibu Kota terus mengalami peningkatan pembangunan. Bergesernya sektor-sektor industri ke wilayah Bodetabek meningkatkan jumlah lapangan kerja baru. Selain itu, munculnya wilayah-wilayah pemukiman di Bodetabek juga meningkatkan pembangunan infrastruktur serta layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit. Dampak lain dari pembangunan industri dan pemukiman di Bodetabek adalah


(19)

munculnya sektor-sektor informal baru. Sehingga, Bodetabek juga dapat diharapkan untuk menjadi pusat pasar baru setelah Jakarta.

Kedua sisi ini dapat menimbulkan dua kemungkinan yang terjadi. Yang pertama adalah terjadinya deurbanisasi, yaitu menurunnya migrasi dari Jakarta dan meningkatnya migrasi menuju Bodetabek yang kemudian diharapkan dapat terjadi trickle down effect terhadap pembangunan Bodetabek. Yang kedua adalah terbentuknya kota megapolitan di Jabodetabek, yaitu perpindahan masyarakat dari Jakarta menuju Bodetabek lebih diakibatkan karena tingginya biaya hidup di Jakarta sehingga mereka lebih memilih untuk tinggal di Bodetabek, namun Jakarta tetap menjadi tujuan utama untuk mencari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gejala deurbanisasi yang terjadi di Jabodetabek ?

2. Bagaimana pembangunan di setiap wilayah Bodetabek dalam membentuk Kota Megapolitan Jabodetabek?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang muncul, penilitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis gejala deurbanisasi yang terjadi di Jabodetabek

2. Menganalisis pembangunan di setiap wilayah Bodetabek dalam membentuk Kota Megapolitan Jabodetabek


(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Kalangan akademisi untuk dapat mengembangkan berbagai penelitian mengenai konsep ekonomi regional.

2. Pembuat kebijakan sebagai masukan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan yang mendorong pertumbuhan daerah.


(21)

Mobilitas penduduk merupakan perpindahan penduduk dari suatu wilayah menuju wilayah lain melewati batas administratif wilayah tersebut. Mobilitas penduduk terbagi menjadi dua, yaitu permanen dan non permanen. Mobilitas penduduk yang permanen disebut juga dengan migrasi penduduk. Mobilitas non permanen terbagi lagi menjadi dua, yaitu sirkulasi dan komutasi. Sirkulasi terjadi apabila seseorang berpindah ke suatu wilayah dan kembali lagi ke wilayah asalnya secara rutin dengan jangka waktu lebih dari satu malam di wilayah tujuan. Sementara komutasi terjadi apabila seseorang secara rutin berpindah ke wilayah lain kemudian kembali lagi ke wilayah asal hanya dalam satu hari.

Migrasi merupakan perpindahan dari suatu wilayah menuju wilayah lainnya dengan tingkat administratif yang berbeda dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Banyak faktor yang mendorong terjadinya migrasi dalam suatu wilayah. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari wilayah asal yang merupakan faktor pendorong atau berasal dari wilayah tujuan sebagai faktor penarik.

2.2. Faktor-Faktor Penentu Mobilitas Penduduk

Hukum Migrasi, adalah berpindahnya penduduk dari wilayah yang lebih miskin menuju wilayah yang lebih kaya. Selain itu, hampir semua migran hanya pindah dalam jarak sehingga diduga adanya hubungan yang kuat antara migrasi dan jarak. Namun, selain alasan tersebut, migrasi juga sering terjadi karena alasan-alasan sosial, seperti dekat dengan keluarga lainnya, faktor kota merupakan


(22)

tempat tinggal yang lebih menarik dari pada di desa, dan faktor-faktor lainnya. (Saepudin, 2007)

Menurut Suryani dalam Achmad (2003), dalam penelitiannya menggunakan data SUPAS 1995, ditemukan dua faktor alasan utama migrasi ke Botabek, pertama adalah alasan perumahan dan keluarga bagi yang migran asal Jakarta, dan kedua, alasan pekerjaan bagi migran asal luar Jakarta.

Pembangunan selama masa orde baru yang bisa ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dengan kota-kota lain dan Jakarta menjadi daya tarik sendiri bagi tujuan migrasi dan penduduk berbagai wilayah Indonesia.

2.3. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Penduduk

Konsep utama dalam migrasi adalah keinginan setiap masyarakat untuk mendapatkan hidup yang lebih baik pada daerah tujuan atau pencapaian kesejahteraan maksimum. Tingkat pencapaian ini tidak hanya didasarkan pada pekerjaan yang didapatkan, namun juga faktor-faktor lain seperti kenyamanan tempat tinggal, pendidikan yang lebih baik, kesehatan, dan faktor lainnya.

Analisa lain mengenai konsep migrasi adalah migrasi berhubungan dengan mobilitas tenaga kerja, dimana dengan semakin terbukanya sarana transportasi serta fasilitas informasi dengan jangkauan yang lebih luas, tenaga kerja semakin mudah dalam melakukan mobilisasi. Sehingga, masyarakat tidak lagi perlu tinggal di pusat pasar.


(23)

2.4. Teori Urbanisasi

Salah satu jenis perpindahan penduduk yang terjadi cukup tinggi di negara berkembang adalah urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan masyarakat desa menuju ke kota dalam jangka waktu lebih dari enam bulan. Menurut Alatas (1988), tingkat urbanisasi adalah proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada suatu waktu tertentu, dan urbanisasi adalah kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah urban dalam suatu periode tertentu.

Menurut Wiradi dalam Achmad (2003), urbanisisasi biasanya diberi pengertian sebagai suatu gejala yang mencakup sekaligus beberapa proses berbeda tetapi saling berkaitan, yaitu : (a) meningkatkan rasio kepadatan penduduk desa sebagai akibat gerak penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran; (b) perluasan/pengembangan kota sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk; (c) merembes dan menyebarnya pengaruh pola perilaku kehidupan kota ke wilayah sekitarnya, bahkan keseluruh masyarakat; dan (d) semakin kaburnya batas-batas ciri budaya antara rural dan urban sebagai akibat dari perembesan pola perilaku tersebut.

Di negara berkembang seperti di Indonesia, terdapat kecenderungan yang mendorong terjadinya urbanisasi lebih dikarenakan kemiskinan dan sempitnya lapangan kerja di desa daripada daya tarik perkotaan. Sehingga, tenaga kerja yang masuk ke perkotaan lebih banyak tenaga kerja yang berada pada sektor informal dan pengangguran tak kentara.


(24)

Dalam Rustiadi et al. (1999), mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara proses suburbanisasi dengan meningkatnya pencampuran penggunaan lahan di kawasan suburban yang sedang berkembang. Suburbanisasi adalah proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota.

Kemudian, Rustiadi juga membahas terdapat tiga proses suburbanisasi di wilayah Bekasi : (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di wilayah Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya tingkat produktivitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi utama. Wilayah Bekasi di wilayah Jawa Barat masih di sekeliling kota Jakarta merupakan sumber asal migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk bermigrasi ke kota khususnya kota Jakarta.

Wilayah-wilayah yang berbatasan dan berdekatan dengan Kota Jakarta mengalami proses pertambahan penduduk yang paling pesat seiring dengan banyaknya penduduk asal Jakarta yang mencari lahan yang lebih murah untuk perumahan. Suburbanisasi pada tahap ini masih didominasi oleh pembangunan perumahan yang dibangun secara mandiri. Dalam banyak hal, pembangunan perumahan baru di daerah perbatasan dengan Kota Jakarta telah menciptakan kampong-kampung perkotaan baru dan kekumuhan baru akibat pembangunan yang tidak diimbangi dengan infrastuktur yang memadai.


(25)

Pada suburbanisasi tahap kedua, luasan lahan sawah semakin menurun, seiring dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan real-estate dan industri. Pola migrasi di Jakarta berubah. Jumlah migrasi di Jakarta menurun. Hal ini terutama diakibatkan oleh pesatnya proses subrubanisasi, akibat migrasi penduduk yang mencari perumahan di wilayah suburban. (Achmad, 2003).

2.4.1. Deurbanisasi

Terdapat empat tahapan dalam proses urbanisasi, yaitu :

1. Urbanisasi (Tingginya perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan menuju wilayah perkotaan)

2. Suburbanisasi (Adanya ekspansi masyarakat kota terhadap wilayah satelit, atau wilayah sekeliling pusat kota)

3. Deurbanisasi (Menurunya jumlah populasi di wilayah pusat kota) 4. Re-urbanisasi (Kembalinya karakter perkotaan di wilayah

perkotaan)

Pengertian deurbanisasi dalam penelitian ini adalah menurunnya jumlah populasi di wilayah pusat kota dan meningkatnya jumlah populasi di wilayah satelit. Seperti mobilasasi penduduk pada umumnya, deurbanisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Ketika ketimpangan antara kota dan desa semakin tajam, maka daya tarik kota akan semakin kuat. Hal ini akan berpengaruh besar pada tingginya tingkat urbanisasi menuju kota tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk di kota tentunya berdampak pada meningkatnya kebutuhan hidup. Kemudian, kebutuhan yang meningkat diiringi


(26)

dengan meningkatnya harga lahan di pusat kota. Dinamika ini menimbulkan dua gejala baru, yaitu tumbuhnya daerah-daerah kumuh di pusat kota dan semakin berkembangnya daerah pinggiran kota (Susanto dan Nugroho, 1997).

Terdapat empat hal yang melatarbelakangi terjadinya deurbanisasi, yaitu : 1. Pergeseran sektor industri, dimana perusahaan lebih memilih

wilayah yang memiliki biaya lebih murah

2. Adanya pembangunan transportasi serta meningkatnya kepemilikan kendaraan, yang menyebabkan mudahnya masyarakat untuk melakukan mobilisasi

3. Semakin majunya teknologi seperti internet dan alat komunikasi lainnya, sehingga masyarakat dapat bekerja di rumah

4. Adanya pendapat bahwa kehidupan di wilayah pinggiran kota lebih aman daripada di pusat kota. Jumlah kriminalitas yang lebih tinggi berada pada pusat kota

5. Kualitas hidup yang lebih baik terdapat pada wilayah di luar pusat kota.

2.4.2. Megapolitan

Megapolitan adalah sebuah wilayah kota besar beserta kota sekunder disekitarnya yang secara spasial, fungsi ekonomis, dan gaya hidup masyarakat semakin terintegrasi melampaui batas-batas administratif wilayahnya. Daerah megapolitan merupakan jaringan yang terintegrasi dari daerah metropolitan dan mikropolitan. Sebuah wilayah dapat diklasifikasikan kedalam megapolitan apabila memenuhi syarat :


(27)

1. Wilayah tersebut menggabungkan dua atau lebih daerah metropolitan atau mikropolitan dengan total penduduk melebihi 8-10 juta jiwa.

2. Wilayah yang digabungkan dalam metroploitan dan mikropolitan bersebelahan satu dengan yang lain.

3. Memiliki kesatuan budaya

4. Wilayah tersebut berada di lingkungan alam dan fisik yang kurang lebih sama 5. Wilayah tersebut memiliki infrastruktur transportasi yang menghubungkan

daerah-daerah tersebut, ditandai dengan lalu lintas barang-barang ekonomi dan jasa.

Tingginya pembangunan di pusat kota menyebabkan terjadinya proses restrukturisasi internal, baik secara sosial ekonomi maupun fisik. Salah satu hal yang paling terlihat dalam proses ini adalah terjadinya pergeseran fungsi kota inti dari pusat manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan. Sementara manufaktur bergeser ke arah pinggiran kota. Secara fisik, proses ini ditandai dengan terjadinya alih fungsi lahan antara pusat kota dan pinggiran kota. Kawasan pusat kota mengalami pergeseran lahan dari kawasan pemukiman menjadi kawasan bisnis, perkantoran, perhotelan, dan sebagainya. Sementara, kawasan pinggiran kota terjadi pergeeran fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan pemukiman dan kawasan industri.

Meningkatnya pembangunan di kawasan pusat dan pinggiran kota menyebabkan mengaburnya batasan administratif antara wilayah pusat kota dan pinggiran kota. Hal ini dikarenakan tingginya pembangunan ekonomi yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur serta transportasi yang semakin meningkat.


(28)

Akibatnya, waktu tempuh antarlokasi semakin pendek dan kegiatan perkotaan dapat dengan mudah masuk ke wilayah pedesaan dengan intensitas hubungan serta pergerakan penduduk yang semakin tinggi.

Faktor-faktor pendorong terjadinya megapolitan adalah perkembangan investasi di bidang manufaktur yang berorientasi ekspor. Kebijakan untuk menarik investasi asing yang berupa deregulasi di bidang investasi, keuangan dan perdagangan internasional, serta debirokatisasi adalah proses yang mempercepat terjadinya mega-urban.

Sementara itu, perkembangan kawasan pinggiran kota umumnya tumbuh akibat pembangunan pemukiman yang tinggi. Area ini merupakan area alternatif untuk beraktivitas dan bermukim bagi warga kota yang jenuh akibat kehidupan di pusat kota yang terlalu padat atau kurangnya kemampuan untuk membeli lahan di pusat kota akibat harga lahan yang terlalu tinggi.

2.5. Kerangka Pemikiran

Saat ini, pembangunan ekonomi Jakarta semakin meluas. Sejak Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia, Jakarta menjadi pusat pembangunan industri, perkantoran, dan pusat pemerintahan. Pembangunan Jakarta yang sangat pesat menjadi daya tarik baru bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan urbanisasi menuju Jakarta. Akibatnya, sebagai pusat urbanisasi, Jakarta juga menjadi kawasan pemukiman. Tingginya pembangunan di Jakarta dengan jumlah lahan yang tetap, menyebabkan banyak pembangunan yang bergeser ke wilayah pinggiran Jakarta, yaitu Bodetabek. Dengan perbedaan harga lahan Jakarta dan Bodetabek yang relatif jauh, menyebabkan pembangunan-pembangunan yang


(29)

membutuhkan lahan yang luas bergeser ke kawasan Bodetabek. Hampir seluruh pusat industri dan pemukiman di Jakarta beralih menuju Bodetabek. Akibatnya, fungsi wilayah Jakarta bergeser menjadi pusat jasa, sementara Bodetabek beralih fungsi dari pertanian menuju sektor industri dan pemukiman.

Pembangunan kedua sektor ini merupakan titik tolak pembangunan Bodetabek dan daya tarik baru bagi para migran di Indonesia. Saat pertumbuhan migrasi masuk menuju Jakarta kian melambat, dan menurun secara nyata pada tahun 2005, jumlah migrasi masuk menuju Jawa Barat dan Banten terus meningkat. Migrasi masuk yang menuju Jawa Barat dan Banten sebagian besar berpusat pada wilayah Bodetabek. Namun, apabila dilihat dari asal migran yang masuk ke Bodetabek, sebagian besar migran justru berasal dari Jakarta.

Tingkat mobilitas penduduk tergantung pada pembangunan suatu kawasan. Semakin tinggi pembangunan dalam suatu kawasan, maka mobilitas penduduk menuju kawasan tersebut akan semakin tinggi. Namun, hal yang sebaliknya justru terjadi. Jakarta sebagai titik pertumbuhan memiliki pembangunan ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan wilayah Bodetabek. Namun, tingkat migrasi dari Jakarta menuju Bodetabek terus meningkat. Hal ini menunjukkan terjadinya gejala deurbanisasi, yaitu menurunnya jumlah migrasi menuju pusat kota dan meningkatnya jumlah migrasi menuju wilayah pinggiran kota.

Deurbanisasi pada Jakarta menuju Bodetabek ditandai dengan meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan Bodetabek. Dengan meningkatnya jumlah migrasi menuju Bodetabek, maka diharapkan akan


(30)

tumbuhnya kawasan perkantoran baru di Bodetabek, sehingga pembangunan ekonomi Bodetabek tidak hanya bergantung pada sektor sekunder, tetapi juga bergantung pada sektor tersier. Apabila hal ini terjadi, maka dampak penetesan ke bawah dalam perencanaan pembangunan Jakarta sebagai kutub pertumbuhan dapat dikatakan berhasil. Sehingga, Bodetabek dapat menjadi pasar baru selain Jakarta.

Untuk meningkatkan pembangunan tersebut, karakteristik setiap individu migrasi menuju Bodetabek sangat mempengaruhi. Tingkat usia, jenis pekerjaan yang dimiliki, serta tingkat pendidikan sangat menentukan pembangunan ekonomi di kawasan Bodetabek. Semakin banyak migran denga tingkat pendidikan yang tinggi, usia yang produktif dan bekerja di Bodetabek, maka pertumbuhan pembangunan ekonomi di Bodetabek akan semakin cepat.

Selain itu, pembangunan ekonomi tidak hanya bertumpu pada pembangunan persektor, namun juga harus diiringi dengan penyediaan fasilitas sebagai penunjang pembangunan sektor. Pembangunan layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, dan sekolah diperlukan sebagai penunjang kebutuhan hidup para migrasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan transportasi juga diperlukan sebagai sarana mobilisasi masyarakat di Jakarta dan Bodetabek.

Pembangunan sektor-sektor ekonomi di Bodetabek harus berjalan seiring dengan pembangunan sarana infrastruktur di Bodetabek. Apabila pembangunan tersebut timpang, yaitu kawasan Bodetabek lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur dan sarana publik, maka yang terbentuk dalam kawasan ini adalah konsep Megapolitan Jabodetabek. Dalam konsep ini, Jakarta sebagai pusat tetap


(31)

menjadi pasar utama bagi kegiatan ekonomi, sementara Bodetabek lebih berperan sebagai penyedia fasilitas pembangunan yang tidak lagi tertampung di Jakarta, yaitu industri dan pemukiman.

Konsep megapolitan ini ditandai dengan lebih tingginya pembangunan pemukiman dan fasilitas publik sebagai penunjangnya, seperti rumah sakit dan sekolah. Serta tingginya pembangunan di sektor sekunder, yaitu manufaktur, dimana sektor ini lebih membutuhkan pekerja dengan tingkat pendidikan menengah. Selain itu, konsep Megapolitan menekankan pada mengaburnya batasan administratif di antara wilayah-wilayahnya. Sehingga, akan terjadi pembangunan jalan dan alat transportasi yang terus meningkat untuk menunjang mobilisasi yang bersifat komutasi ini, serta tingginya jumlah komuter di kawasan Bodetabek.


(32)

Keterangan :

I Indiksi

Dampak Pembentuk

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Menurunnya

Tingkat Migrasi Jakarta

Meningkatnya Migrasi Jakarta menuju

Bodetabek

Gejala Deurbanisasi

Konsep Megapolitan JABODETABEK

Meningkatnya Infrastruktur dan

Transportasi Jumlah Komuter

Tingginya Pembangunan

Industri dan Pemukiman Pembangunan Sektor Sekunder dan Tersier di

Bodetabek

Karakteristik Migrasi

Jumlah Lapangan Pekerjaan


(33)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data yang digunakan adalah data Survei Antar Sensus (SUPAS) 2005, Produk Regional Domestik Bruto JABODETABEK, data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk lahan dan perumahan, tingkat upah minimum kabupaten dan kota, serta data pendukung lainnya. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang informatif mengenai subjek yang akan diteliti. Analisis ini dijabarkan dengan menggunakan diagram sederhana. Data yang digunakan merupakan perbandingan kondisi baik kondisi migran ataupun kondisi perekonomian antar wilayah Bodetabek dalam rentang waktu 2001 hingga tahun 2009


(34)

Sumber: Google Maps

Gambar 4.1. Peta Wilayah JABODETABEK

Wilayah Bodetabek merupakan wilayah bagian dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Wiayah Bodetabek terdiri dari tujuh wilayah administratif yang terdiri dari empat wilayah kota dan tiga wilayah kabupaten. Total wilayah Bodetabek sekitar 5.181 km2 dengan total penduduk lebih dari 16 juta jiwa. Wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam Bodetabek adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok,yang berada pada Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang berada pada Provinsi Banten.


(35)

Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Bodetabek

KAB/KOT Jumlah

Penduduk

Luas Wilayah

(Km2)

Kepadatan Penduduk

Kab. Bogor 4.453.927 2.237 1.991,027

Kab. Bekasi 2.121.122 1.065 1.991,664

Kota Bogor 895.596 109 8.216,477

Kota Bekasi 2.176.743 210 1.0365,44

Kota Depok 1.465.826 212 6.914,274

Kab. Tangerang 3.676.684 1.160 3.169,555

Kota Tangerang 1.554.827 187 8.314,583

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

4.2 Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor terletak pada 6°19’-6°47’ lintang selatan dan 106°21’

-10°13’ bujur timur. Batas-batas wilayah Kabupaten ini adalah :

 Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi

 Sebelah timur : Kabupaten Karawang

 Sebelah selatan : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi

 Sebelah Barat : Kabupaten Lebak.

Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan. Hingga saat ini, wilayah timur Kabupaten Bogor merupakan kawasan utama pengembangan wilayah pemukiman. Hal ini dikarenakan telah dibukanya jalur jalan baru dari Cibubur menuju Bandung melewati Gunung Putri dan Cileungsi.


(36)

Jalur ini belum memiliki nama resmi, sedangkan nama yang secara umum digunakan masyarakat adalah Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi.

4.3. Kabupaten Bekasi

Secara geografis, Kabupaten Bekasi terletak pada 106°48’28’’ -

107°21’29’’ Bujur Timur dan 6°10’6’’ - 6°30’6’’ Lintang Selatan. Batas-batas wilayah ini adalah :

 Sebelah utara : Laut Jawa

 Sebelah timur : Kabupaten Karawang

 Sebelah selatan : Kabupaten Bogor

 Sebelah barat : Kota Bekasi, DKI Jakarta, Laut Jawa

Sebagian besar, perekonomian Kabupaten Bekasi ditopang oleh sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian. Banyak industri manufaktur yang terdapat di Bekasi, diantaranya kawasan industri Jababeka, Greenland International Industrial Center (GIIC), Kota Deltamas, EJIP, Delta Silicon, MM2100, BIIE dan sebagainya. Kawasan-kawasan industri tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional (ZONI) yang memiliki fasilitas khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal.

4.4. Kota Bogor

Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, 22 kelurahan, da 46 desa. Letak Kota bogor dikelilingi oleh Kabupaten Bogor. Tingkat perekonomian Kota Bogor ditopang oleh sektor perdagangan.


(37)

4.5. Kota Bekasi

Kota Bekasi dimekarkan dari KAbupaten Bekasi sejak tahun 1996. Secara geografis, batas-batas wilayah Kota Bekasi adalah:

 Sebelah barat: Jakarta

 Sebelah selatan : Kabupaten Bogor

 Sebelah barat daya : Kota Depok

Saat ini penggunaan lahan Kota Bekasi sebagian besar digunakan sebagai kawasan pemukiman, perdagangan, serta industri.

4.6. Kota Tangerang

Pada tingkat administratif, Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan. Batas-batas wilayah goegrafis Kota Tangerang adalah

 Sebelah barat : Kabupaten Tangerang

 Sebelah timur : Jakarta

 Sebelah selatan : Kabupaten Tangerang

4.7. Kabupaten Tangerang

Secara geografis, Kabupaten Tangerang batas-batas wilayah Kabupaten Tangerang adalah

 Sebelah timur : Jakarta, Kota Tangerang

 Sebelah utara : Laut Jawa

 Sebelah barat : Kabupaten Serang


(38)

Tangerang merupakan wilayah perkembangan Jakarta. Secara umum, Kabupaten Tangerang dapat dikelompokkan menjadi 3 wilayah pertumbuhan, yakni:

 Pusat Pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa, berada di bagian barat, difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan.

 Pusat Pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, mengedepankan industri pariwisata alam dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan.

 Pusat Pertumbuhan wilayah Serpong, berada di bagian timur (berbatasan dengan Jakarta), difokuskan sebagai wilayah pemukiman dan komersial.


(39)

1. Gejala deurbanisasi yang terdapat dalam lingkup Jabodetabek diindikasikan dengan berkurangnya jumlah migran yang masuk menuju Jakarta serta meningkatnya jumlah migrasi masuk menuju wilayah Bodetabek. Hal ini dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Bodetabek, harga lahan yang lebih murah, biaya hidup yang lebih murah, dan tingginya tingkat kemiskinan di Jakarta. Namun, dalam pembangunan wilayah, konsep deurbanisasi yang diharapkan, yaitu terjadinya trickle down effect bagi wilayah penyangga belum jelas terlihat, terutama di

wilayah kabupaten. Pembangunan wilayah di Bodetabek adalah pembangunan yang ditujukan untuk menopang perekonomian Jakarta. Sehingga, pusat perekonomian masih berada pada wilayah Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan sektor yang memiliki peranan penting dalam pembantukan PDRB adalah industri dan perdagangan serta banyaknya jumlah kawasan industri, namun masyarakat migran sebagian besar bekerja pada sektor tersier dan lainnya.

2. Konsep Megapolitan Jabodetabek hingga saat ini sudah berkembang. Hingga saat ini, jumlah masyarakat yang melakukan komutasi terus meningkat. Hal ini dapat diindikasikan melalui jumlah penumpang kereta api Jabodetabek serta jumlah kendaraan yang masuk tol. Selain itu, konsep megapolitan terlihat bagi di beberapa wilayah melalui alasan migrasi.


(40)

Untuk wilayah Depok, Kota Bekasi, Kota Tanggerang, dan Kota Bogor, setelah alasan mengikuti keluarga, alasan tertinggi selanjutnya adalah alasan perumahan.

3. Pembangunan konsep megapolitan belum merata ke seluruh wilayah Bodetabek. Dampak pembangunan megapolitan lebih dirasakan pada wilayah dengan tingkat administratif kota. Sedangkan untuk kabupaten, ketimpangan pembangunan masih terlihat. Hal ini ditunjukkan oleh distribusi migrasi terpusat pada wilayah kota, alih fungsi lahan cenderung lebih tinggi pada wilayah kota, karakteristik migrasi, dimana untuk wilayah kota adalah masyarakat menengah ke atas dan untuk wilayah kabupaten adalah masyarakat menengah kebawah, tingkat kemiskinan yang tinggi di wilayah kabupaten serta pekerja informal lebih tinggi pada wilayah kabupaten

4. Secara keseluruhan, pembangunan wilayah Bodetabek mengarah pada pembangunan yang bersifat menopang bagi pembangunan wilayah Jakarta. Sehingga, pembangunan lebih ditujukan pada penyediaan lahan pembangunan industri dan pemukiman, sementara lapangan kerja di Bodetabek masih terbilang rendah. Hal ini terlihat pada tingginya sektor informal di Bodetabek.

6.2 Saran

1. Perlu adanya pembangunan berkelanjutan yang mengarah pada pemerataan pembangunan, sehingga pembangunan tidak hanya terpusat pada wilayah – wilayah yang dekat dengan Jakarta.


(41)

2. Peningkatan produktivitas sektor-sektor informal yang diperkirakan dapat berkembang dengan baik untuk menumbuhkan perekonomian lokal. Pengadaan kegiatan-kegiatan pelatihan serta peningkatan jaringan antar sektor informal tersebut.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut secara statistik untuk mengukur terjadinya deurbanisasi serta kesiapan pembangunan kawasan Megapolitan Jabodetabek.


(42)

Dalam tahap awal pembangunan perkotaan, migrasi penduduk yang banyak terjadi di dunia adalah urbanisasi. Berdasarkan penelitian terdahulu, penduduk urban di dunia telah meningkat, dari 730 juta orang pada tahun 1950 menjadi 1590 juta orang pada tahun 1975 dan diperkirakan menjadi 3132 juta orang pada tahun 2000. Proses urbanisasi terjadi lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang. Karena, dalam negara berkembang, sebagian besar penduduk masih tinggal di desa. Sehingga, kemungkinan pada negara-negara berkembang, penduduk urban berkembang lebih cepat (Alatas, 1988).

Tahap awal pembangunan di Indonesia adalah penerapan pembangunan dengan sistem titik kutub. Pembangunan titik kutub adalah pembangunan yang terpusat pada wilayah-wilayah tertentu dengan harapan akan terjadi proses trickle down efect pada wilayah lainnya. Namun, pembangunan titik kutub ini justru

menyebabkan ketimpangan yang tinggi antar daerah, Hal ini terbukti melalui terpusatnya tingkat migrasi hanya pada kota-kota besar.

Salah satu kota yang menjadi pusat urbanisasi yang tinggi adalah Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, pusat industri, dan pusat perkantoran, Jakarta memiliki pembangunan yang lebih pesat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, harapan untuk hidup lebih baik di Jakarta


(43)

meningkat. Hal ini menyebabkan Jakarta harus menjadi wilayah yang pemukiman bagi para migran yang menuju Jakarta.

Namun, gejala deurbanisasi pada Jakarta mulai terlihat sejak tahun 1990, dimana laju pertumbuhan migrasi keluar lebih tinggi dibadingkan dengan laju migrasi masuk menuju Jakarta, serta laju migrasi masuk menuju wilayah Jakarta yang selalu menurun setiap tahun dan menurun dengan pesat pada tahun 2005. Berdasarkan data sensus, jumlah migrasi masuk Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Namun, pembangunan Jakarta yang terus meningkat setiap tahunnya tidak menyebabkan pertumbuhan migrasi masuk Jakarta meningkat. Pertumbuhan migrasi masuk Jakarta terus menurun sejak tahun 1980. Bahkan jumlah migrasi masuk Jakarta menurun pada tahun 2005. Apabila dibandingkan dengan jumlah migrasi keluar Jakarta, tingkat pertumbuhan migrasi keluar selalu lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk, walaupun tingkat pertumbuhan keduanya menurun.

Sumber : SUPAS, 2005 (diolah)

Gambar 5.1. Laju Pertumbuhan Migrasi DKI Jakarta (persen)

Tingkat pertumbuhan migrasi Jakarta berbanding terbalik dengan tingkat migrasi di Jawa Barat dan Banten. Walaupun pada tahun 2005 tingkat migrasi

-100 0 100 200 300

1980 1990 2000 2005


(44)

Jawa Barat dan Banten relatif menurun, namun Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi tujuan utama migran di Indonesia. Apabila dilihat perwilayah, tingkat migrasi di Jawa Barat dan Banten terpusat pada wilayah Bodetabek. Dari total migrasi yang masuk ke wilayah Jawa Barat dan Banten pada tahun 2000, 39persen migrasi masuk terpusat pada wilayah Bodetabek. Jumlah ini meningkat menjadi 49persen pada tahun 2005. Dari total migran menuju wilayah Bodetabek pada tahun 2005, sebesar 42persen berasal dari Ibu Kota Jakarta. Hal ini bertentangan dengan hukum migrasi, yaitu semakin tinggi pembangunan dalam suatu wilayah, maka akan semakin tinggi tingkat migrasi menuju wilayah tersebut.

Sumber : SUPAS, 2005 (diolah)

Gambar 5.2. Laju Pertumbuhan Migrasi Provinsi Jawa Barat (persen)

Terjadinya migrasi dari pusat kota Jakarta menuju wilayah pinggirannya, Bodetabek, dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, pembangunan Jakarta yang terus meningkat menyebabkan permintaan akan lahan di Jakarta semakin tinggi. Akibatnya, banyak pembangunan yang tidak tertampung di Jakarta bergeser ke wilayah-wilayah pinggiran Jakarta. Pada tahap awal, pembangunan yang bergeser adalah industri manufaktur dan pemukiman. Hal ini dikarenakan industri manufaktur memerlukan lahan yang luas namun murah untuk mengurangi -300

-200 -100 0 100 200

1980 1990 2000 2005


(45)

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500

2001 2002 2003 2004 2005

Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kep Seribu Kab Bogor Kab Bekasi Kota Bogor Kota Bekasi Depok

Kab Tangerang Kota Tangerang biaya produksinya. Demikian juga dengan pemukiman. Harga lahan yang lebih murah di Bodetabek memungkinkan penduduknya untuk memiliki tempat tinggal yang lebih nyaman.

Sumber : Dirjen Pajak KEMENKEU, 2005 (diolah)

Gambar 5.3. Nilai Jual Objek Pajak Bumi (Ribu Rupiah)

Berdasarkan Gambar 5.3 terlihat bahwa harga lahan pada tahun 2001 hingga tahun 2005 di seluruh kabupaten di Jakarta jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan seluruh wilayah di Bodetabek. Perbedaan harga lahan yang tinggi menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi lahan yaitu, pergeseran lahan di Jakarta dari industri dan pemukiman menjadi pusat jasa dan pergeseran lahan di Bodetabek dari pertanian menuju industri dan pemukiman.


(46)

0 100 200 300 400 500

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Penduduk Miskin

Kedua, tingginya angka migrasi masuk menuju Jakarta menyebabkan menurunnya kemampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas pembangunan yang memadai bagi seluruh migran yang masuk. Kecepatan pembangunan di Jakarta masih lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk. Hal ini diperparah dengan adanya migran menuju Jakarta yang tanpa dibekali dengan kemampuan. Ketidakmampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas serta adanya migran dengan kemampuan rendah akibatnya menambah jumlah kemiskinan di Jakarta.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2009 (diolah)

Gambar 5.4. Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta (Ribu Orang)

Gambar 5.4 Menggambarkan jumlah dan persentase kemiskinan di Jakarta. Berdasarkan Gambar 5.4 pada tahun 2003, angka kemiskinan di Jakarta menurun, hal ini dikarenakan pada tahun tersebut kondisi ekonomi di Jabodetabek mengalami perbaikan. Namun, angka kemiskinan di Jakarta terus meningkat sejak tahun 2003 hingga tahun 2007. Apabila dibandingkan dengan jumlah kemiskinan yang ada di Bodetabek, tingkat kemiskinan di Jakarta kedua tertinggi setelah Kabupaten Bogor. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat-masyarakat miskin di Jakarta mulai berpindah menuju Bodetabek. Dampak negatif yang akan


(47)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Kab.Bogor Kab.Bekasi Kot. Bogor Kot. Bekasi Depok

Kab.Tanggerang Kot.Tanggerang Jakarta

dirasakan bagi wilayah Bodetabek adalah munculnya area perkumuhan baru di wilayah-wilayah ini.

Ketiga, biaya hidup di Bodetabek yang lebih murah dibandingkan dengan Jakarta. Tingkat biaya hidup yang lebih murah akan menyebabkan masyarakat dengan kemampua minimum akan memilih tempat tinggal dengan biaya hidup yang lebih murah agar mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

Biaya hidup dalam penelitian ini menggunakan tingkat upah minimum, dimana tingkat upah minimum menggambarkan biaya hidup minimum yang dikeluarkan dalam sebulan. Tingkat upah minimum didasarkan pada tingkat kebutuhan fisik minimum.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-2010 (diolah)

Gambar 5.5 Laju Tingkat Upah Minimum Jabodetabek (Rupiah)

Berdasarkan Gambar 5.5 terlihat bahwa pada awalnya, biaya hidup di Jakarta melebihi tingkat biaya hidup di wilayah Bodetabek. Namun, seiring pertumbuhan wilayah, tingkat biaya hidup tertinggi justru berada di Kota Depok.


(48)

Hal ini dikarenakan semakin tingginya jumlah masyarakat yang bermukim di wilayah Depok, akibatnya tingkat konsumsi di wilayah Depok menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta.

5.2 Dampak Gejala Deurbanisasi

Gejala deurbanisasi yang terjadi pada Jakarta diharapkan dapat membangun wilayah di pinggiran Jakarta menjadi wilayah yang berkembang seiring dengan pembangunan Jakarta yang pesat. Tingginya pembagunan ekonomi di wilayah Bodetabek menggambarkan terjadinya trickle down effect yang diharapkan pada awal pembangunan di Indonesia. Ciri-ciri yang menandakan terjadinya trickle down effect di Bodetabek adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang digambarkan melalui PDRB Bodetabek, tumbuhnya sektor sekunder dan sektor tersier, karakteristik migrasi yang berkualitas, serta tingginya lapangan kerja baru bagi masyarakat di Bodetabek.

5.2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ibu kota Jakarta yang semakin meluas dan tingginya tingkat migrasi menuju Bodetabek memiliki dampak yang positif bagi pembangunan ekonomi di Bodetabek. Pembangunan dan tingkat mobiltas penduduk merupakan hubungan sebab akibat. Tingginya pembangunan akan menarik masyarakat untuk menuju wilayah tersebut. Tingginya tingkat mobilisasi masyarakat akan merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi dalam wilayah tersebut.


(49)

10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kab Bogor Kab Bekasi Kota Bogor Kota Bekasi

Depok Kab Tangerang Kota Tangerang

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-2008 (diolah)

Gambar 5.6. PDRB Bodetabek (Trilyun Rupiah)

Berdasarkan Gambar 5.6 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 hingga tahun 2008 di Bodetabek terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan meningkatnya pembangunan ekonomi yang berdampak pada meluasnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Bodetabek.

5.2.2 Pertumbuhan Sektor Sekunder dan Tersier

Sektor-sektor perekonomian terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sektor primer (pertanian), sekunder (pertambangan dan industri manufaktur), dan tersier (jasa, keuangan, dan perdagangan). Dalam perkembangannya, kontribusi sektor primer hampir tidak ada di setiap wilayah perkotaan di Indonesia. Pembangunan perkotaan menyebabkan fungsi ekonomi wilayah bergeser dari primer menuju sektor sekunder dan tersier. Semakin tinggi pembangunan ekonomi dalam suatu


(50)

50.00 100.00 150.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian Pertambagan & Penggalian

Industri Pengolahan Listrik. Gas & Air Bersih

Konstruksi Perdagangan. Hotel. & Restoran

Pengangkutan & Komunikasi Keuangan. Real Estate. & Jasa Perusahaan

Jasa-Jasa

wilayah, maka peranan sektor tersier dalam struktur ekonomi akan semakin besar. Peranan sektor tersier yang lebih diutamaka dalam pembangunan suatu wilayah adalah berkembangnya sektor jasa keuangan.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-208 (diolah)

Gambar 5.7. PDRB DKI Jakarta (Trilyun Rupiah)

Sejak tahun 2001 hingga tahun 2008, sektor tersier dalam perekonomian Jakarta merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukkan PDRB Provinsi Jakarta. Hal ini menunjukkan, pembangunan ekonomi di Jakarta terkonsentrasi pada pembangunan perkantoran, hotel, perdagangan, dan keuangan.

Pergeseran fungsi ekonomi Jakarta juga terjadi pada Bodetabek. Pembangunan industri yang pesat di Bodetabek menyebabkan penurunan kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri dan jasa dalam pembentukan PDRB wilayah.


(51)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Bogor

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Bekasi

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kabupaten Bogor

Pertanian Pertambagan & Penggalian

Industri Pengolahan Listrik. Gas & Air Bersih

Konstruksi Perdagangan. Hotel. & Restoran

Pengangkutan & Komunikasi Keuangan. Real Estate. & Jasa Perusahaan

Jasa-Jasa

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Depok

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


(52)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kota Tanggerang

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Kabupaten Bekasi

Sumber : BPS Jawa Barat 2001-2008

Gambar 5.8.PDRB Bodetabek per Sektor (Trilyun Rupiah) Berdasarkan PDRB Bodetabek dari tahun 2001 hingga tahun 2008, sektor industri tetap menjadi pembentuk PDRB tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya di Bodetabek. Pembangunan industri di Bodetabek semakin pesat sejak dibentuknya kawasan industri di beberapa wilayah di Bodetabek. Wilayah industri terbesar di Bodetabek adalah kawasan industri Jababeka seluas 1570 Ha di wilayah Kabupaten Bekasi.

Tabel 5.1. Daftar Kawasan Industri

Company Name / PT / IE Size (Ha) Location Bekasi Fajar Industrial Estate 200 Bekasi

East Jakarta Industrial Park 320 Bekasi

Gobel Dharma Nusantara 54 Bekasi

Hyundai Inti Development 200 Bekasi

Jababeka Tbk. 1.570,00 Bekasi

Kawasan Industri Terpadu Indonesia

China 200 Bekasi

Lippo Cikarang Tbk. 1.000,00 Bekasi

Megalopolis Manunggal Ind. Dev. 1.000,00 Bekasi

Patria Manunggal Jaya 220 Bekasi

Puradelta Lestari 1.000,00 Bekasi


(53)

Alindatamasakti Brother Corp. 400 Bekasi

Amcol Propertindo Inv. 230 Bekasi

Bekasi Matra Real Estate 500 Bekasi

Cikarang Hijau Indah 230 Bekasi

Gerbang Teknologi Cikarang 300 Bekasi

Great Jakarta Inti Development 12,5 Bekasi

Indocargomas Persada 230 Bekasi

Jatiwangi Utama 220 Bekasi

Kawasan Darma Industri 18 Bekasi

Kreasi Intan 300 Bekasi

Sarana Panca Utama 250 Bekasi

YKK Indonesia Ziper Co. Ltd. 0 Bekasi

Bumi Serpong Damai 200 Tangerang

Bumi Citra Permai 400 Tangerang

Mitratangerang Bhumimas 250 Tangerang

Sanggraha Daksamitra 102 Tangerang

Adhibalaraja 300 Tangerang

Benua Permai Lestari 130 Tangerang

Cidurian Sarananiaga Permai 105 Tangerang

Cipta Cakra Murdaya 300 Tangerang

Grahapermai Raharja 76 Tangerang

Mitra Indotextil 150 Tangerang

Pentabinangun Sejahtera 150 Tangerang

Purati Kencana Alam 70 Tangerang

Putera Daya Perkasa 73,64 Tangerang

Sinar Serpong Subur 150 Tangerang

Surya Karya Luhur & Elang Mas 250 Tangerang Tejopratama Mandiri Gemilang 170 Tangerang

1. Bogorindo Cemerlang 100 Bogor

2. Cibinong Center Industrial Estate 140 Bogor

7. Aspex Paper 20 Bogor

8. Cileungsi Perdana Industrial Estate 300 Bogor

9. Menara Permai 60 Bogor

Sumber : http://www.hki-industrialestate.com/

Tabel di 5.1 adalah kawasan-kawasan industri di wilayah Bodetabek. Kawasan industri terbanyak berada pada wilayah Bekasi dan Tangerang. Hal ini


(54)

sesuai dengan tingginya kontribusi industri dalam pembentukan PDRB di kedua wilayah tersebut.

Selain industri, sektor tersier di beberapa wilayah di Bodetabek sudah memiliki kontribusi yang tinggi walaupun masih berada di bawah sektor industri. Hal ini menunjukkan pada wilayah tersebut, pembangunan ekonomi semakin tinggi. Pertumbuhan sektor industri di Bodetabek lebih berkembang pada wilayah dengan tingkat administratif kota. Sehingga, dapat disimpulkan dampak pembangunan di Jakarta lebih berpengruh besar pada wilayah tingkat administratif kota. Namun, pembangunan sektor tersier di Bodetabek lebih tinggi berada pada sektor perdagangan, bukan pada sektor jasa keuangan. Pertumbuhan sektor jasa keuangan di Bodetabek belum berkembang dengan pesat. Wilayah Bodetabek dengan sektor jasa keuangan yang cukup tinggi hanya terdapat pada wilayah Kota Bogor.

5.2.3 Karakteristik Migrasi Jakarta Menuju Bodetabek

Karakteristik migrasi dalam penelitian ini hanya diklasifikasikan ke dalam tingkat usia, pendidikan, dan pekerjaan, karena karakteristik migrasi tersebut yang dapat mempengaruhi pembangunan suatu wilayah.

a. Tingkat usia

Tingkat usia individu dapat menentukan tingkat produktivitasnya. Pada umumnya, migrasi terbanyak terdapat pada masyarakat dengan rentang usia 20-35 tahun. Hal ini dikarenakan, pada usia tersebut, masyarakat biasanya memulai untuk lepas dari orang tua dan mencari kemapanan yang cukup bagi kehidupannya kelak. Sementara umur dua


(55)

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 Kab.Bogor

Kab.Bekasi Kot. Bogor Kot. Bekasi Depok Kab.Tangerang Kot.Tangerang

>35 21-35 0-20 puluh tahun kebawah, biasanya migrasi terjadi dikarenakan mengikuti orang tua yang migrasi atau alasan pendidikan. Sementara masyarakat dengan umur diatas 35 tahun, sebagian besar telah mencapai kemapanan dalam hidupnya, sehingga cenderung untuk menetap di satu tempat tanpa berpindah-pindah lagi. Sekalipun masyarakat dengan usia di atas 35 tahun melakukan mobilisasi penduduk, maka hal tersebut lebih dikarenakan alasan tempat tinggal, bukan karena alasan mencari pekerjaan. Sehingga, umur dibawah 21 tahun dan diatas 35 tahun cnderung lebih sedikit dalam melakukan migrasi.

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

Gambar 5.9. Usia Migran Risen Jakarta-Bodetabek (Ribu Orang) Berdasarkan Gambar 5.4 terlihat bahwa jumlah migran yang paling besar terdapat pada usia antara 21 hingga 35 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang telah dipaparkan diatas, dimana pada usia tersebut, mobilisasi cenderung tinggi, karena setiap orang ingin mengejar kemapanan maksimum yang dapat dicapai.

Rogers (1984) mengungkapkan bahwa tingkat migrasi tertinggi biasanya berada pada penduduk umur awal duapuluhan dan yang terendah adalah awal atau pertengahan umur belasan tahun. Selain itu sejalan


(56)

dengan hasil penelitian Speare et al (1975) seperti dikutip oleh Alatas,(1985), bahwa pada umur-umur tersebut orang biasnaya suadah tamat sekolah, mencari pekerjaan, mendapat pekerjaan, mulai mandiri, ganti pekerjaan, memperoleh anak, yang dapat menyebabkan orang untuk melakukan migrasi. Selanjutnya Enhenberg mempertegas bahwa migrasi banyak dilakukan oleh usia muda sesuai dengan teori human capital karena hal ini dapat memperoleh manfaat yang lebih panjang dari investasi dan besarnya nilai sekarang atas manfaat migrasinya. (Saepudin, 2007). Apabila di telusuri lebih jauh, alasan pindah pada setiap tingkatan umur adalah :

 Umur nol tahun hingga dua puluh tahun, di setiap wilayah, sebagian besar dikarenakan mengikuti orang tua atau keluarga. Ini dikarenakan keputusan seseorang dengan status anak cenderung mengikuti orang tua.

 Umur 21 hingga 35 sebagian besar dikarenakan mengikuti keluarga, baik orang tua, istri, ataupun suami. Kemudian, alasan utama lainnya, untuk Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang, dikarenakan alasan pindah pekerjaan. Sedangkan untuk Kota Tangerang, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Depok, alasan utama lainnya adalah perumahan.

 Umur lebih dari 35, alasan utama terjadinya migrasi sebagian besar dikarenakan alasan perumahan atau mengikuti keluarga. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa terjadinya migran pada umur lebih dari


(57)

35 tidak lagi dikarenakan alasan pekerjaan. Karena, pada umur lebih dari 35 tahun, rata-rata masyakarakat sudah mencapai tingkat kemapanan, dimana pekerjaan yang dimiliki sudah cukup baik.

b. Tingkat pendidikan

Berdasarkan penelitian terdahulu terlihat bahwa semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat mobilisasi orang tersebut. Biasanya, perpindahan tersebut berasal dari wilayah yang kurang maju pertumbuhan ekonominya menuju ke wilayah yang pertumbuhannya sedikit. Namun. kasus yang terjadi dalam migrasi dari Jakarta menuju Bodetabek adalah perpindahan masyarakat dari wilayah perkotaan menuju ke wilayah penyangganya, dimana perekonomian wilayah penyangga ini masih dibawah wilayah perkotaan terebut. Sehingga, terdapat dua asumsi yang terjadi dalam migrasi ini, yaitu pertama, orang-orang yang melakukan migrasi menuju wilayah Bodetabek memang dikarenakan wilayah Bodetabek merupakan wilayah yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dibandingkan dengan Jakarta. Kedua, orang-orang yang melakukan migrasi lebih dikarenakan tidak kuat menanggung biaya hidup di Jakarta yang terlalu tinggi dan lapangan pekerjaan yang sempit, sehingga mereka lebih memilih tinggal di wilayah Bodetabek dengan tersedianya lapangan kerja dengan biaya hidup yang lebih murah.


(58)

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0

SD

SMP

SMA

PT

TIDAK TAHU

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

Gambar 5.10 Pendidikan Tertinggi Migran Risen Jakarta-Bodetabek (Ribu Orang) Berdasarkan Gambar 5.6 terlihat bahwa hampir seluruh migran di Bodetabek sebagian besar berpendidikan SMU. Hal ini dapat dikarenakan, Bodetabek merupakan wilayah yang banyak menampung industri yang lebih membutuhkan masyarakat berpendidikan minimal SMU. Untuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, jenjang pendidikan terbanyak setelah SMU justru berpendidikan SD dan SMP. Hal ini menunjukkan bahwa, para migran yang migrasi menuju Kabupaten Bogor sebagian besar akan berkerja pada sektor informal, dimana masyarakat berpendidikan SD dan SMP mampu untuk bekerja.

Sedangkan untuk Kota Bekasi, Depok, dan Kabupaten Tangerang, jenjang pendidikan tertinggi setelah SMU adalah perguruan tinggi. Sehingga di wilayah ini, para migran umumnya bekerja di sektor formal, yaitu industri, perdagangan, dan jasa. Untuk wilayah Kota Bogor, masyarakat terbanyak justru lebih banyak yang berpendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan Kota Bogor merupakan wilayah yang memiliki cukup


(59)

0.00 20.00 40.00 60.00

Kab Bogor Kab Bekasi Kota Bogor Kota Bekasi Depok Kab Tangerang

Kota Tangerang

Primer Sekunder Tersier Lainnya banyak universitas, sehingga banyak masyarakat migran yang datang ke Kota Bogor dengan tujuan pendidikan.

c. Status Pekerjaan

Salah satu faktor penarik migran pindah menuju suatu wilayah adalah tersedianya lapangan kerja yang memadai di wilayah tersebut. Tingginya lapangan pekerjaan menandakan tingginya kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. Bodetabek merupakan wilayah dengan kontribusi sektor industri tertinggi. Sehingga, diperkirakan tujuan utama migran menuju wilayah Bodetabek adalah bekerja di sektor industri tersebut.

Dalam penelitian ini, pekerjaan persektor terbagi menjadi empat, yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (industri, konstruksi, dan air dan listrik), sektor tersier (perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa), dan sektor lainnya, yang merupakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam sektor-sektor tersebut dan termasuk sektor informal.

Sumber : SUPAS,2005 (diolah)

Gambar 5.11. Status Kerja Migran Berdasarkan Sektor Ekonomi di Bodetabek (Ribu Orang)


(60)

Berdasarkan Gambar 5.8, terlihat bahwa hampir diseluruh wilayah di Bodetabek, status kerja migran terbesar berada pada sektor lainnya, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam sektor-sektor ekonomi. Hal ini tidak sejalan dengan perkembangan industri yang pesat di Bodetabek. Pembangunan industri di Bodetabek yang diperkirakan merupakan tujuan utama perpindahan migran, ternyata tidak berlaku bagi migran Jakarta menuju Bodetabek. Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan industri di Bodetabek belum dapat menjadi daya tarik bagi migran asal Jakarta.

Untuk wilayah Kota Bogor, pekerjaan migran Jakarta lebih besar berada pada sektor tersier. Hal ini sesuai dengan kontribusi sektor tersier, yaitu perdagangan yang memiliki pengaruh lebih besar dalam perekonomian Kota Bogor.

5.2.4 Pertumbuhan Lapangan Kerja Di Bodetabek

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Jumlah lapangan pekerjaan merupakan daya tarik terbesar bagi masyarakat untuk melakukan suatu mobilisasi. Semakin tinggi lapangan pekerjaan dalam suatu wilayah, maka akan semakin tinggi tingkat harapan hidup bagi masyarakat.

Tingginya jumlah lapangan pekerjaan di dalam suatu wilayah terlihat melalui status pekerjaan masyarakatnya. Semakin tinggi jumlah pekerja di sektor


(61)

0 50 100 2003 2005 2007 2009 KABUPATEN BEKASI FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KABUPATEN BOGOR FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KOTA DEPOK FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KABUPATEN TANGGERANG FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KOTA BOGOR FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KOTA BEKASI FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

0 50 100

2003 2005 2007 2009 KOTA TANGGERANG FORMAL INFORMAL TIDAK BEKERJA

formal, maka ketersediaan lapangan pekerjaan di wilayah tersebut tinggi. Namun sebaliknya, jumlah pengangguran dan pekerja di sektor informal menggambarkan rendahnya jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Sumber : BPS, 2002-2009 (diolah)


(62)

Berdasarkan Gambar 5.12 terlihat bahwa jumlah pekerja sektor formal dan pekerja di sektor informal berada pada jumlah yang hampir sama. Bahkan, untuk wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Tangerang terlihat bahwa jumlah pekerja di sektor informal lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pekerja di sektor formal. Walaupun tingkat pengangguran di wilayah Bodetabek cenderung mengalami penurunan, namun pertumbuhan jumlah pekerja di sektor informal di setiap tahunnya tidak berkurang, melainkan terus meningkat sejak tahun 2003. Hal ini menggambarkan pembangunan di Bodetabek kurang berdampak pada peningkatan jumlah lapangan kerja.

5.3 Konsep Megapolitan JABODETABEK

Konsep kawasan Megapolitan di Jabodetabek sudah direncanakan oleh pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Metropolitan Jabodetabek. Konsep ini menekankan pada pembangunan kawasan mega-urban, dimana terdapat satu pusat kota dengan beberapa kota di sekelilingnya yang berfungsi sebagai penyangga. Wilayah-wilayah penyangga merupakan wilayah yang terkena dampak pembangunan pusat kota secara signifikan. Kebijakan-kebijakan di wilayah penyangga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang disangga. Penerapan konsep Megapolitan disebabkan oleh terjadinya perkembangan suatu kota yang mengakibatkan pada pembengkakan yang besar pada wilayah tersebut secara fisik maupun demografis. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah dampak negatif yang diakibatkan pertumbuhan wilayah tersebut.


(63)

Berdasarkan penelitian Jones dan Mamas pada tahun 1996 dalam jurnal The Changing Employment Structure of The Extended Jakarta Metropolitan

Region, wilayah Bodetabek terbagi kedalam wilayah didalam lingkaran dan

wilayah yang berada di luar lingkaran. Wilayah yang berada di dalam lingkaran merupakan wilayah yang terdekat dengan pusat kota Jakarta hingga jarak tertentu. Sedangkan wilayah di luar lingkaran adalah wilayah Bodetabek yang terjauh dari pusat kota Jakarta. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa wilayah-wilayah yang berada di dalam lingkaran adalah wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, pertumbuhan populasi yang tinggi, serta struktur tenaga kerja yang berubah secara cepat. Hal ini dikarenakan wilayah-wilayah yang berada di dalam lingkaran merupakan wilayah yang memiliki dampak paling signifikan akibat pergeseran fungsi ekonomi di Jakarta. Wilayah-wilayah ini memiliki kawasan industri, perdagangan, mobilitas dan pelayanan publik yang mengikuti arah perkembangan Jakarta. Migrasi Jakarta menuju Bodetabek terpusat dalam wilayah ini, dengan tingkat pemukiman yang memadai dan tersedianya infrastruktur transportasi yang memadai. Sehingga, sebagian besar migrasi Jakarta menuju Bodetabek merupakan komuter, mobilitas penduduk dari tempat tinggal menuju wilayah di luar batas administratif, yang dilakukan setiap hari. Tingginya jumah migrasi komutasi ini dikarenakan rata-rata migrasi Jakarta menuju Bodetabek masih bekerja di Jakarta namun memiliki tempat tinggal di Bodetabek.

Sedangkan wilayah yang terletak pada luar lingkaran memiliki pertumbuhan ekonomi yang berbeda dibandingkan dengan wilayah yang berada di


(64)

dalam lingkaran. Wilayah yang berada di luar lingkaran tidak terlalu terpengaruh dengan pesatnya pembangunan di pusat kota. Hal ini dikarenakan wilayah-wilayah tersebut kurang baik sebagai pengalokasian industri manufaktur dan jasa perdagangan akibat letaknya yang jauh dari pusat kota. Selain itu, sebagai wilayah pemukiman, wilayah-wilayah tersebut juga tergolong jauh untuk masyarakat yang melakukan mobilitas komutasi. Migran yang masuk ke wilayah ini sebagian besar berasal dari luar Jakarta yang ingin mencari pekerjaan di kota. Dalam penelitian ini, pembentukkan megapolitan akan di analisis pada setiap wilayah dengan batasan administratif per wilayah.

5.3.1 Pembangunan Sektor di Bodetabek

Berdasarkan uraian mengenai pembangunan Bodetabek yang telah dibahas, seluruh wilayah Bodetabek memiliki tingkat pembangunan yang hampir seragam. Pembentukan PDRB di setiap wilayah didominasi oleh sektor industri dan perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Bodetabek memang dipersiapkan untuk membentuk Megapolitan Jabodetabek. Wilayah Bodetabek dikonsetrasikan pada pembentukan kota penyangga bagi perekonomian Jakarta. Bodetabek menjadi wilayah penampung bagi kawasan industri dan pemukiman. Sehingga arah pembangunan Bodetabek lebih mengutamakan pada pembangunan yang menunjang peningkatan kawasan industri dan pemukiman tersebut.

Apabila dilihat dari pembentukan PDRB, salah satu penunjang bagi peningkatan kawasan industri dan pemukiman adalah perdagangan, hotel, dan


(65)

0 50 100 150 200

199519961997199819992000200120022003200420052006200720082009

total jabotabek

restoran. Sebagai kawasan pemukiman, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan Bodetabek.

5.3.2 Tingkat Migrasi Non-Permanen

Muculnya Megapolitan dikarenakan pembangunan wilayah suatu perkotaan telah melewati batas administratifnya. Sehingga, konsep Megapolitan Jabodetabek menitikberatkan pada hilangnya batasan administratif akibat majunya sarana transportasi dan komunikasi. Kemajuan sarana komunikasi dan transportasi mendukung terjadinya tingkat mobilitas yang tinggi bagi masyarakat di setiap wilayah tersebut. Tingginya mobilitas inilah yang menyebabkan kaburnya batasan administratif antar wilayah, sehingga wilayanh-wilayah tersebut terlihat menjadi satu kota besar, yaitu kota megapolitan. Sarana infrastruktur yang disediakan pemerintah dalam mempermudah mobilitas antar wilayah adalah sarana transportasi masal yaitu kereta api dan jalan tol.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 1995-2009 (diolah)


(66)

0 10 20 30

Jumlah Komuter Bodetabek 0

200 400 600 800

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Jumlah Kendaraan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 5.13. Jumlah Kendaraan Masuk Tol Jakarta (Juta Mobil)

Sumber : SUPAS, 2005

Gambar 5.14 Persentase Komuter di Bodetabek (persen)

Ketiga Gambar tersebut menggambarkan tingkat komutasi di Bodetabek. Gambar 5.12 dan 5.13 memperlihatkan laju komutasi. Pada Gambar 5.12 adalah jumlah penumpang kereta api baik secara total maupun tingkat Jabodetabek sejak tahun 1995 hingga tahun 2009. Walaupun terjadi fluktuatif, namun secara umum jumlah pengguna kereta mengalami peningkatan. Jumlah pengguna kereta api Bodetabek selalu mendekati jumlah total pengguna kereta api. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pengguna kereta api adalah komuter di Jabodetabek.

Gambar 5.13 menggambarkan jumlah kendaraan masuk tol setiap tahunnya sejak tahun 2001 hingga tahun 2008. Seperti pengguna kereta api,


(1)

85

Kota Tangerang Tahun

Lapangan

Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian 37.903,00 42.886,00 46.951,33 40.614,78 41.866,84 41.398,31 42.638,97 43.929,58

Pertambagan & Penggalian

- - - -

Industri Pengolahan

10.855.606,00 12.576.533,00 13.940.587,13 11.147.336,18 11.803.914,28 12.446.047,22 12.945.133,71 13.229.926,65 Listrik. Gas &

Air Bersih

254.769,00 310.604,78 332.556,95 278.842,07 292.790,73 281.532,81 256.482,86 253.759,28

Konstruksi 311.459,00 349.887,00 380.012,46 324.248,99 349.313,44 380.694,23 436.313,66 481.079,44

Perdagangan. Hotel. & Restoran

4.579.695,00 5.237.484,00 5.824.711,94 5.141.127,01 5.475.230,53 5.902.258,34 6.668.785,08 7.498.129,55 Pengangkutan &

Komunikasi

1.807.113,00 2.080.594,07 2.324.053,57 2.271.138,46 2.458.273,18 2.737.276,06 2.887.297,40 3.119.501,48 Keuangan. Real

Estate. & Jasa Perusahaan

23.753,00 53.888,00 549.374,77 468.894,90 609.842,50 683.317,84 766.248,67 880.174,67

Jasa-Jasa 368.668,00 417.267,00 465.606,89 407.066,15 430.936,43 460.078,07 502.217,67 560.491,86


(2)

86

Jakarta Tahun

Lapangan

Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pertanian 380.399 345.580 291.285 287.574 290.599 293.874,08 298.414,89 300.720,02

Pertambagan & Penggalian

1.274.731 1.233.252 1.059.606 987.492 915.977 933.061,33 937.342,53 940.366,83

Industri Pengolahan

41.924.869 43.847.424 46.063.293 48.707.026 51.177.800 53.721.724,44 56.195.162,89 58.367.313,85

Listrik. Gas & Air Bersih

1.555.123 1.655.312 1.749.704 1.848.696 1.977.202 2.075.804,24 2.183.805,76 2.321.901,66

Konstruksi 24.426.991 25.291.114 26.312.138 27.475.878 29.094.580 31.166.114,00 33.600.763,83 36.178.854,22

Perdagangan. Hotel. & Restoran

48.118.887 51.614.121 55.020.400 58.848.583 63.492.894 67.597.897,38 72.249.705,68 76.766.385,93

Pengangkutan & Komunikasi

14.434.441 16.215.672 18.254.714 20.559.713 23.290.709 26.636.287,91 30.697.406,35 35.291.562,21

Keuangan. Real Estate. & Jasa

Perusahaan

78.076.599 80.606.200 83.803.540 87.294.377 90.870.317 94.342.479,29 98.558.328,43 102.807.651,21

Jasa-Jasa 28.464.099 29.522.482 31.069.562 32.515.484 34.160.467 36.059.470,09 38.250.324,46 40.564.301,24

PDRB 238.656.138 250.331.157 263.624.242 278.524.822 295.270.544 312.826.712,76 332.971.254,83 353.539.057,17 Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2008 (diolah)


(3)

87 Lampiran 19. Persentase Penggunaan Lahan Bodetabek

KABUPATEN BOGOR

PENGGUNAAN LAHAN 2002 2003 2004 2005 2006 2008 2009

PEMUKIMAN DAN JASA 5,72 16,80 6,92 8,85 9,23 9,47 13,23

INDUSTRI 0,47 1,39 0,56 0,53 0,55 0,54 0,75

PERTANIAN 88,78 67,30 86,50 87,90 87,96 88,92 84,53

TANAH RUSAK/KOSONG 2,84 8,16 3,40 0,89 0,42 0,47 0,65

LAIN2 2,19 6,35 2,62 1,83 1,83 0,60 0,84

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100

KABUPATEN BEKASI

PENGGUNAAN LAHAN 2002 2003 2004 2005 2006 2008 2009

PEMUKIMAN DAN JASA 14,56 17,38 1,62 14,61 13,71 14,31 18,59

INDUSTRI 2,92 3,51 3,36 3,14 2,95 0,80 1,04

PERTANIAN 69,87 63,94 80,45 67,55 70,56 84,77 80,21

TANAH RUSAK/KOSONG 0,56 0,82 0,63 1,68 0,56 0,11 0,14

LAIN2 12,09 14,36 13,93 13,01 12,21 0,01 0,02

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100

KOTA BOGOR

PENGGUNAAN LAHAN 2002 2003 2004 2005 2006 2008 2009

PEMUKIMAN DAN JASA 96,45 98,52 46,71 41,17 41,37 50,23 83,86

INDUSTRI 1,45 1,48 0,74 0,56 0,56 0,10 0,17

PERTANIAN 2,10 0,00 52,54 45,89 45,63 48,95 14,78

TANAH RUSAK/KOSONG 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,72 1,20

LAIN2 0,00 0,00 0,00 12,38 12,44 0,00 0,00


(4)

88 KOTA BEKASI

PENGGUNAAN LAHAN 2002 2003 2004 2005 2006 2008 2009

PEMUKIMAN DAN JASA 77,83 78,57 13,72 57,58 58,38 57,58 57,58

INDUSTRI 3,69 3,78 4,15 2,73 2,77 2,73 2,73

PERTANIAN 17,42 16,79 81,94 37,54 38,06 37,54 37,54

TANAH RUSAK/KOSONG 0,00 0,00 0,00 1,37 0,00 1,37 1,37

LAIN2 1,06 0,86 0,19 0,78 0,79 0,78 0,78

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100

KOTA DEPOK

PENGGUNAAN LAHAN 2002 2003 2004 2005 2006 2008 2009

PEMUKIMAN DAN JASA 51,50 55,87 31,69 39,59 39,99 42,46 49,36

INDUSTRI 6,63 7,13 4,04 3,34 3,38 3,14 3,65

PERTANIAN 34,95 30,06 60,05 54,24 54,78 49,48 41,28

TANAH RUSAK/KOSONG 0,77 0,82 0,47 0,99 0,00 3,11 3,61

LAIN2 6,15 6,12 3,75 1,84 1,86 1,81 2,11

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100

KAB TANGGERANG

PENGGUNAAN LAHAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

BUKAN PERTANIAN 71,02 71,02 71,02 71,02 71,02 43,76 43,76 43,76 43,76 43,76

TANAH KOSONG 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50

PERTANIAN 28,98 28,98 28,98 28,98 28,98 51,74 51,74 51,74 51,74 51,74


(5)

89 KOTA TANGGERANG

PENGGUNAAN LAHAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

BUKAN PERTANIAN 92,72 92,72 92,72 92,72 92,72 83,50 83,50 83,50 83,50 83,50

TANAH KOSONG 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 2,72 2,72 2,72 2,72 2,72

PERTANIAN 7,28 7,28 7,28 7,28 7,28 13,78 13,78 13,78 13,78 13,78

TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : Badan Pusat Statistik 2001-2008 (diolah) Lampiran 20. Alasan Migrasi Masuk Bodetabek (Orang)

Alasan Kab.Bogor Kab.Bekasi Kot.

Bogor

Kot.

Bekasi Depok Kab.Tangerang Kot.Tangerang

Pekerjaan 10.168 5.818 692 11.849 7.106 9.251 10.468

Mencari pekerjaan 800 809 - 1.368 2.049 - 3.194

Pendidikan - 754 348 2.149 - - 952

Perubahan status kawin 4.672 - 759 1.911 7.890 945 2.538

Ikut suami/istri/orang tua/anak 28.416 20.941 3.659 54.343 52.776 26.786 32.734

Ikut saudara kandung/famili lain 3.251 2.124 - 7.588 4.607 2.956 1.884

Perumahan 19.114 4.503 945 16.894 13.971 8.919 10.812

Keamanan - - - - 4.820 - -

Lainnya - 621 343 993 2.139 719 690


(6)

90 Lampiran 21. Tingkat Upah Minimum Jabodetabek

Tgkt. Upah Kab.Bogor Kab.Bekasi Kot. Bogor Kot. Bekasi Depok Kab.Tanggerang Kot.Tanggerang Jakarta

2001 417000 417000 417000 417000 417000 426500 426500 426257

2002 576169 575500 576169 575500 579169 590000 590000 591266

2003 600944 631000 576169 631000 579169 628675 628675 631554

2004 639325 670000 620000 670000 642000 660000 660000 671550

2005 656500 710000 659500 710000 618804 693500 693500 711843

2006 737000 824026,34 720750 824000 800000 800000 802500 819100

2007 800000 900000 800000 920000 880100 882500 882500 900560

2008 873231 980580,67 830000 990000 962500 953850 958782 972604

2009 991714 1084140 893412 1089000 1078000 1044500 1054660 1069865