tempat tinggal yang lebih menarik dari pada di desa, dan faktor-faktor lainnya. Saepudin, 2007
Menurut Suryani
dalam Achmad
2003, dalam
penelitiannya menggunakan data SUPAS 1995, ditemukan dua faktor alasan utama migrasi ke
Botabek, pertama adalah alasan perumahan dan keluarga bagi yang migran asal Jakarta, dan kedua, alasan pekerjaan bagi migran asal luar Jakarta.
Pembangunan selama masa orde baru yang bisa ke perkotaan dan bias Jawa menjadi sebab utama perbedaan karakteristik kota Jakarta dengan kota-kota
lain dan Jakarta menjadi daya tarik sendiri bagi tujuan migrasi dan penduduk berbagai wilayah Indonesia.
2.3. Faktor-Faktor Pendorong Mobilitas Penduduk
Konsep utama dalam migrasi adalah keinginan setiap masyarakat untuk mendapatkan hidup yang lebih baik pada daerah tujuan atau pencapaian
kesejahteraan maksimum. Tingkat pencapaian ini tidak hanya didasarkan pada pekerjaan yang didapatkan, namun juga faktor-faktor lain seperti kenyamanan
tempat tinggal, pendidikan yang lebih baik, kesehatan, dan faktor lainnya. Analisa lain mengenai konsep migrasi adalah migrasi berhubungan dengan
mobilitas tenaga kerja, dimana dengan semakin terbukanya sarana transportasi serta fasilitas informasi dengan jangkauan yang lebih luas, tenaga kerja semakin
mudah dalam melakukan mobilisasi. Sehingga, masyarakat tidak lagi perlu tinggal di pusat pasar.
2.4. Teori Urbanisasi
Salah satu jenis perpindahan penduduk yang terjadi cukup tinggi di negara berkembang adalah urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan masyarakat
desa menuju ke kota dalam jangka waktu lebih dari enam bulan. Menurut Alatas 1988, tingkat urbanisasi adalah proporsi jumlah penduduk yang tinggal di
daerah urban terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada suatu waktu tertentu, dan urbanisasi adalah kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah
urban dalam suatu periode tertentu. Menurut Wiradi dalam Achmad 2003, urbanisisasi biasanya diberi
pengertian sebagai suatu gejala yang mencakup sekaligus beberapa proses berbeda tetapi saling berkaitan, yaitu : a meningkatkan rasio kepadatan penduduk desa
sebagai akibat gerak penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran; b perluasanpengembangan kota sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk; c
merembes dan menyebarnya pengaruh pola perilaku kehidupan kota ke wilayah sekitarnya, bahkan keseluruh masyarakat; dan d semakin kaburnya batas-batas
ciri budaya antara rural dan urban sebagai akibat dari perembesan pola perilaku tersebut.
Di negara berkembang seperti di Indonesia, terdapat kecenderungan yang mendorong terjadinya urbanisasi lebih dikarenakan kemiskinan dan sempitnya
lapangan kerja di desa daripada daya tarik perkotaan. Sehingga, tenaga kerja yang masuk ke perkotaan lebih banyak tenaga kerja yang berada pada sektor informal
dan pengangguran tak kentara.
Dalam Rustiadi et al. 1999, mengatakan bahwa terdapat keterkaitan antara proses suburbanisasi dengan meningkatnya pencampuran penggunaan
lahan di kawasan suburban yang sedang berkembang. Suburbanisasi adalah proses terbentuknya pemukiman-pemukiman baru dan kawasan-kawasan industri di
pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan penduduk kota. Kemudian, Rustiadi juga membahas terdapat tiga proses suburbanisasi di
wilayah Bekasi : 1 pra-suburbanisasi hingga tahun 1970, 2 suburbanisasi tahap pertama awal 1980-an, dan 3 suburbanisasi tahap kedua mulai 1990-an.
Tahap pra-suburbanisasi di wilayah Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya tingkat produktivitas lahan sawah dan
pertanian pada umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi utama. Wilayah Bekasi di wilayah Jawa Barat masih di sekeliling kota
Jakarta merupakan sumber asal migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk
bermigrasi ke kota khususnya kota Jakarta. Wilayah-wilayah yang berbatasan dan berdekatan dengan Kota Jakarta
mengalami proses pertambahan penduduk yang paling pesat seiring dengan banyaknya penduduk asal Jakarta yang mencari lahan yang lebih murah untuk
perumahan. Suburbanisasi pada tahap ini masih didominasi oleh pembangunan perumahan yang dibangun secara mandiri. Dalam banyak hal, pembangunan
perumahan baru di daerah perbatasan dengan Kota Jakarta telah menciptakan kampong-kampung perkotaan baru dan kekumuhan baru akibat pembangunan
yang tidak diimbangi dengan infrastuktur yang memadai.
Pada suburbanisasi tahap kedua, luasan lahan sawah semakin menurun, seiring dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan
urban khususnya perumahan real-estate dan industri. Pola migrasi di Jakarta berubah. Jumlah migrasi di Jakarta menurun. Hal ini terutama diakibatkan oleh
pesatnya proses subrubanisasi, akibat migrasi penduduk yang mencari perumahan di wilayah suburban. Achmad, 2003.
2.4.1. Deurbanisasi
Terdapat empat tahapan dalam proses urbanisasi, yaitu : 1.
Urbanisasi Tingginya perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan menuju wilayah perkotaan
2. Suburbanisasi Adanya ekspansi masyarakat kota terhadap wilayah
satelit, atau wilayah sekeliling pusat kota 3.
Deurbanisasi Menurunya jumlah populasi di wilayah pusat kota 4.
Re-urbanisasi Kembalinya karakter perkotaan di wilayah perkotaan
Pengertian deurbanisasi dalam penelitian ini adalah menurunnya jumlah populasi di wilayah pusat kota dan meningkatnya jumlah populasi di wilayah
satelit. Seperti mobilasasi penduduk pada umumnya, deurbanisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Ketika ketimpangan
antara kota dan desa semakin tajam, maka daya tarik kota akan semakin kuat. Hal ini akan berpengaruh besar pada tingginya tingkat urbanisasi menuju kota
tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk di kota tentunya berdampak pada meningkatnya kebutuhan hidup. Kemudian, kebutuhan yang meningkat diiringi
dengan meningkatnya harga lahan di pusat kota. Dinamika ini menimbulkan dua gejala baru, yaitu tumbuhnya daerah-daerah kumuh di pusat kota dan semakin
berkembangnya daerah pinggiran kota Susanto dan Nugroho, 1997. Terdapat empat hal yang melatarbelakangi terjadinya deurbanisasi, yaitu :
1. Pergeseran sektor industri, dimana perusahaan lebih memilih
wilayah yang memiliki biaya lebih murah 2.
Adanya pembangunan transportasi serta meningkatnya kepemilikan kendaraan, yang menyebabkan mudahnya masyarakat
untuk melakukan mobilisasi 3.
Semakin majunya teknologi seperti internet dan alat komunikasi lainnya, sehingga masyarakat dapat bekerja di rumah
4. Adanya pendapat bahwa kehidupan di wilayah pinggiran kota lebih
aman daripada di pusat kota. Jumlah kriminalitas yang lebih tinggi berada pada pusat kota
5. Kualitas hidup yang lebih baik terdapat pada wilayah di luar pusat
kota.
2.4.2. Megapolitan
Megapolitan adalah sebuah wilayah kota besar beserta kota sekunder disekitarnya yang secara spasial, fungsi ekonomis, dan gaya hidup masyarakat
semakin terintegrasi melampaui batas-batas administratif wilayahnya. Daerah megapolitan merupakan jaringan yang terintegrasi dari daerah metropolitan dan
mikropolitan. Sebuah wilayah dapat diklasifikasikan kedalam megapolitan apabila memenuhi syarat :
1. Wilayah tersebut menggabungkan dua atau lebih daerah metropolitan atau
mikropolitan dengan total penduduk melebihi 8-10 juta jiwa. 2.
Wilayah yang digabungkan dalam metroploitan dan mikropolitan bersebelahan satu dengan yang lain.
3. Memiliki kesatuan budaya
4. Wilayah tersebut berada di lingkungan alam dan fisik yang kurang lebih sama
5. Wilayah tersebut memiliki infrastruktur transportasi yang menghubungkan
daerah-daerah tersebut, ditandai dengan lalu lintas barang-barang ekonomi dan jasa.
Tingginya pembangunan di pusat kota menyebabkan terjadinya proses restrukturisasi internal, baik secara sosial ekonomi maupun fisik. Salah satu hal
yang paling terlihat dalam proses ini adalah terjadinya pergeseran fungsi kota inti dari pusat manufaktur menjadi pusat kegiatan jasa dan keuangan. Sementara
manufaktur bergeser ke arah pinggiran kota. Secara fisik, proses ini ditandai dengan terjadinya alih fungsi lahan antara pusat kota dan pinggiran kota. Kawasan
pusat kota mengalami pergeseran lahan dari kawasan pemukiman menjadi kawasan bisnis, perkantoran, perhotelan, dan sebagainya. Sementara, kawasan
pinggiran kota terjadi pergeeran fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan pemukiman dan kawasan industri.
Meningkatnya pembangunan di kawasan pusat dan pinggiran kota menyebabkan mengaburnya batasan administratif antara wilayah pusat kota dan
pinggiran kota. Hal ini dikarenakan tingginya pembangunan ekonomi yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur serta transportasi yang semakin meningkat.
Akibatnya, waktu tempuh antarlokasi semakin pendek dan kegiatan perkotaan dapat dengan mudah masuk ke wilayah pedesaan dengan intensitas hubungan
serta pergerakan penduduk yang semakin tinggi. Faktor-faktor pendorong terjadinya megapolitan adalah perkembangan
investasi di bidang manufaktur yang berorientasi ekspor. Kebijakan untuk menarik investasi asing yang berupa deregulasi di bidang investasi, keuangan dan
perdagangan internasional, serta debirokatisasi adalah proses yang mempercepat terjadinya mega-urban.
Sementara itu, perkembangan kawasan pinggiran kota umumnya tumbuh akibat pembangunan pemukiman yang tinggi. Area ini merupakan area alternatif
untuk beraktivitas dan bermukim bagi warga kota yang jenuh akibat kehidupan di pusat kota yang terlalu padat atau kurangnya kemampuan untuk membeli lahan di
pusat kota akibat harga lahan yang terlalu tinggi.
2.5. Kerangka Pemikiran
Saat ini, pembangunan ekonomi Jakarta semakin meluas. Sejak Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia, Jakarta menjadi pusat pembangunan
industri, perkantoran, dan pusat pemerintahan. Pembangunan Jakarta yang sangat pesat menjadi daya tarik baru bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan
urbanisasi menuju Jakarta. Akibatnya, sebagai pusat urbanisasi, Jakarta juga menjadi kawasan pemukiman. Tingginya pembangunan di Jakarta dengan jumlah
lahan yang tetap, menyebabkan banyak pembangunan yang bergeser ke wilayah pinggiran Jakarta, yaitu Bodetabek. Dengan perbedaan harga lahan Jakarta dan
Bodetabek yang relatif jauh, menyebabkan pembangunan-pembangunan yang
membutuhkan lahan yang luas bergeser ke kawasan Bodetabek. Hampir seluruh pusat industri dan pemukiman di Jakarta beralih menuju Bodetabek. Akibatnya,
fungsi wilayah Jakarta bergeser menjadi pusat jasa, sementara Bodetabek beralih fungsi dari pertanian menuju sektor industri dan pemukiman.
Pembangunan kedua sektor ini merupakan titik tolak pembangunan Bodetabek dan daya tarik baru bagi para migran di Indonesia. Saat pertumbuhan
migrasi masuk menuju Jakarta kian melambat, dan menurun secara nyata pada tahun 2005, jumlah migrasi masuk menuju Jawa Barat dan Banten terus
meningkat. Migrasi masuk yang menuju Jawa Barat dan Banten sebagian besar berpusat pada wilayah Bodetabek. Namun, apabila dilihat dari asal migran yang
masuk ke Bodetabek, sebagian besar migran justru berasal dari Jakarta. Tingkat mobilitas penduduk tergantung pada pembangunan suatu
kawasan. Semakin tinggi pembangunan dalam suatu kawasan, maka mobilitas penduduk menuju kawasan tersebut akan semakin tinggi. Namun, hal yang
sebaliknya justru terjadi. Jakarta sebagai titik pertumbuhan memiliki pembangunan ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan wilayah
Bodetabek. Namun, tingkat migrasi dari Jakarta menuju Bodetabek terus meningkat. Hal ini menunjukkan terjadinya gejala deurbanisasi, yaitu menurunnya
jumlah migrasi menuju pusat kota dan meningkatnya jumlah migrasi menuju wilayah pinggiran kota.
Deurbanisasi pada Jakarta menuju Bodetabek ditandai dengan meningkatnya pembangunan ekonomi di kawasan Bodetabek. Dengan
meningkatnya jumlah migrasi menuju Bodetabek, maka diharapkan akan
tumbuhnya kawasan perkantoran baru di Bodetabek, sehingga pembangunan ekonomi Bodetabek tidak hanya bergantung pada sektor sekunder, tetapi juga
bergantung pada sektor tersier. Apabila hal ini terjadi, maka dampak penetesan ke bawah dalam perencanaan pembangunan Jakarta sebagai kutub pertumbuhan
dapat dikatakan berhasil. Sehingga, Bodetabek dapat menjadi pasar baru selain Jakarta.
Untuk meningkatkan pembangunan tersebut, karakteristik setiap individu migrasi menuju Bodetabek sangat mempengaruhi. Tingkat usia, jenis pekerjaan
yang dimiliki, serta tingkat pendidikan sangat menentukan pembangunan ekonomi di kawasan Bodetabek. Semakin banyak migran denga tingkat pendidikan yang
tinggi, usia yang produktif dan bekerja di Bodetabek, maka pertumbuhan pembangunan ekonomi di Bodetabek akan semakin cepat.
Selain itu, pembangunan ekonomi tidak hanya bertumpu pada pembangunan persektor, namun juga harus diiringi dengan penyediaan fasilitas
sebagai penunjang pembangunan sektor. Pembangunan layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, dan sekolah diperlukan sebagai penunjang kebutuhan
hidup para migrasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan transportasi juga diperlukan sebagai sarana mobilisasi masyarakat di Jakarta dan Bodetabek.
Pembangunan sektor-sektor ekonomi di Bodetabek harus berjalan seiring dengan pembangunan sarana infrastruktur di Bodetabek. Apabila pembangunan
tersebut timpang, yaitu kawasan Bodetabek lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur dan sarana publik, maka yang terbentuk dalam kawasan ini adalah
konsep Megapolitan Jabodetabek. Dalam konsep ini, Jakarta sebagai pusat tetap
menjadi pasar utama bagi kegiatan ekonomi, sementara Bodetabek lebih berperan sebagai penyedia fasilitas pembangunan yang tidak lagi tertampung di Jakarta,
yaitu industri dan pemukiman. Konsep megapolitan ini ditandai dengan lebih tingginya pembangunan
pemukiman dan fasilitas publik sebagai penunjangnya, seperti rumah sakit dan sekolah. Serta tingginya pembangunan di sektor sekunder, yaitu manufaktur,
dimana sektor ini lebih membutuhkan pekerja dengan tingkat pendidikan menengah. Selain itu, konsep Megapolitan menekankan pada mengaburnya
batasan administratif di antara wilayah-wilayahnya. Sehingga, akan terjadi pembangunan jalan dan alat transportasi yang terus meningkat untuk menunjang
mobilisasi yang bersifat komutasi ini, serta tingginya jumlah komuter di kawasan Bodetabek.
Keterangan : I
Indiksi Dampak
Pembentuk
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Menurunnya Tingkat Migrasi
Jakarta Meningkatnya Migrasi
Jakarta menuju Bodetabek
Gejala Deurbanisasi
Konsep Megapolitan JABODETABEK
Meningkatnya Infrastruktur dan
Transportasi Jumlah Komuter
Tingginya Pembangunan
Industri dan Pemukiman
Pembangunan Sektor Sekunder dan Tersier di
Bodetabek Karakteristik
Migrasi Jumlah Lapangan
Pekerjaan
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Kementrian Keuangan. Data yang
digunakan adalah data Survei Antar Sensus SUPAS 2005, Produk Regional Domestik Bruto JABODETABEK, data Nilai Jual Objek Pajak NJOP untuk
lahan dan perumahan, tingkat upah minimum kabupaten dan kota, serta data pendukung lainnya. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang informatif
mengenai subjek yang akan diteliti. Analisis ini dijabarkan dengan menggunakan diagram sederhana. Data yang digunakan merupakan perbandingan kondisi baik
kondisi migran ataupun kondisi perekonomian antar wilayah Bodetabek dalam rentang waktu 2001 hingga tahun 2009