V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gejala Deurbanisasi
Dalam tahap awal pembangunan perkotaan, migrasi penduduk yang banyak terjadi di dunia adalah urbanisasi. Berdasarkan penelitian terdahulu,
penduduk urban di dunia telah meningkat, dari 730 juta orang pada tahun 1950 menjadi 1590 juta orang pada tahun 1975 dan diperkirakan menjadi 3132 juta
orang pada tahun 2000. Proses urbanisasi terjadi lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang. Karena, dalam negara berkembang, sebagian besar penduduk
masih tinggal di desa. Sehingga, kemungkinan pada negara-negara berkembang, penduduk urban berkembang lebih cepat Alatas, 1988.
Tahap awal pembangunan di Indonesia adalah penerapan pembangunan dengan sistem titik kutub. Pembangunan titik kutub adalah pembangunan yang
terpusat pada wilayah-wilayah tertentu dengan harapan akan terjadi proses trickle down efect pada wilayah lainnya. Namun, pembangunan titik kutub ini justru
menyebabkan ketimpangan yang tinggi antar daerah, Hal ini terbukti melalui terpusatnya tingkat migrasi hanya pada kota-kota besar.
Salah satu kota yang menjadi pusat urbanisasi yang tinggi adalah Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, pusat industri, dan pusat perkantoran, Jakarta
memiliki pembangunan yang lebih pesat dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Akibatnya, harapan untuk hidup lebih baik di Jakarta
meningkat. Hal ini menyebabkan Jakarta harus menjadi wilayah yang pemukiman bagi para migran yang menuju Jakarta.
Namun, gejala deurbanisasi pada Jakarta mulai terlihat sejak tahun 1990, dimana laju pertumbuhan migrasi keluar lebih tinggi dibadingkan dengan laju
migrasi masuk menuju Jakarta, serta laju migrasi masuk menuju wilayah Jakarta yang selalu menurun setiap tahun dan menurun dengan pesat pada tahun 2005.
Berdasarkan data sensus, jumlah migrasi masuk Jakarta terus meningkat setiap tahunnya. Namun, pembangunan Jakarta yang terus meningkat setiap tahunnya
tidak menyebabkan pertumbuhan migrasi masuk Jakarta meningkat. Pertumbuhan migrasi masuk Jakarta terus menurun sejak tahun 1980. Bahkan jumlah migrasi
masuk Jakarta menurun pada tahun 2005. Apabila dibandingkan dengan jumlah migrasi keluar Jakarta, tingkat pertumbuhan migrasi keluar selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk, walaupun tingkat pertumbuhan keduanya menurun.
Sumber : SUPAS, 2005 diolah Gambar 5.1. Laju Pertumbuhan Migrasi DKI Jakarta persen
Tingkat pertumbuhan migrasi Jakarta berbanding terbalik dengan tingkat migrasi di Jawa Barat dan Banten. Walaupun pada tahun 2005 tingkat migrasi
-100 100
200 300
1980 1990
2000 2005
Migrasi Masuk Migrasi Keluar
Migrasi Neto
Jawa Barat dan Banten relatif menurun, namun Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi tujuan utama migran di Indonesia. Apabila dilihat perwilayah, tingkat
migrasi di Jawa Barat dan Banten terpusat pada wilayah Bodetabek. Dari total migrasi yang masuk ke wilayah Jawa Barat dan Banten pada tahun 2000, 39persen
migrasi masuk terpusat pada wilayah Bodetabek. Jumlah ini meningkat menjadi 49persen pada tahun 2005. Dari total migran menuju wilayah Bodetabek pada
tahun 2005, sebesar 42persen berasal dari Ibu Kota Jakarta. Hal ini bertentangan dengan hukum migrasi, yaitu semakin tinggi pembangunan dalam suatu wilayah,
maka akan semakin tinggi tingkat migrasi menuju wilayah tersebut.
Sumber : SUPAS, 2005 diolah Gambar 5.2. Laju Pertumbuhan Migrasi Provinsi Jawa Barat persen
Terjadinya migrasi dari pusat kota Jakarta menuju wilayah pinggirannya, Bodetabek, dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, pembangunan Jakarta
yang terus meningkat menyebabkan permintaan akan lahan di Jakarta semakin tinggi. Akibatnya, banyak pembangunan yang tidak tertampung di Jakarta
bergeser ke wilayah-wilayah pinggiran Jakarta. Pada tahap awal, pembangunan yang bergeser adalah industri manufaktur dan pemukiman. Hal ini dikarenakan
industri manufaktur memerlukan lahan yang luas namun murah untuk mengurangi
-300 -200
-100 100
200
1980 1990
2000 2005
Migrasi Masuk Migrasi Keluar
Migrasi Neto
500 1,000
1,500 2,000
2,500
2001 2002
2003 2004
2005 Jakarta Selatan
Jakarta Timur Jakarta Pusat
Jakarta Barat Jakarta Utara
Kep Seribu Kab Bogor
Kab Bekasi Kota Bogor
Kota Bekasi Depok
Kab Tangerang Kota Tangerang
biaya produksinya. Demikian juga dengan pemukiman. Harga lahan yang lebih murah di Bodetabek memungkinkan penduduknya untuk memiliki tempat tinggal
yang lebih nyaman.
Sumber : Dirjen Pajak KEMENKEU, 2005 diolah Gambar 5.3. Nilai Jual Objek Pajak Bumi Ribu Rupiah
Berdasarkan Gambar 5.3 terlihat bahwa harga lahan pada tahun 2001 hingga tahun 2005 di seluruh kabupaten di Jakarta jauh lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan seluruh wilayah di Bodetabek. Perbedaan harga lahan yang tinggi menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi lahan yaitu, pergeseran lahan di
Jakarta dari industri dan pemukiman menjadi pusat jasa dan pergeseran lahan di Bodetabek dari pertanian menuju industri dan pemukiman.
100 200
300 400
500
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Jumlah Penduduk Miskin
Kedua, tingginya angka migrasi masuk menuju Jakarta menyebabkan menurunnya kemampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas pembangunan yang
memadai bagi seluruh migran yang masuk. Kecepatan pembangunan di Jakarta masih lebih lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan migrasi masuk. Hal
ini diperparah dengan adanya migran menuju Jakarta yang tanpa dibekali dengan kemampuan. Ketidakmampuan Jakarta dalam menyediakan fasilitas serta adanya
migran dengan kemampuan rendah akibatnya menambah jumlah kemiskinan di Jakarta.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2009 diolah
Gambar 5.4. Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Ribu Orang Gambar 5.4 Menggambarkan jumlah dan persentase kemiskinan di
Jakarta. Berdasarkan Gambar 5.4 pada tahun 2003, angka kemiskinan di Jakarta menurun, hal ini dikarenakan pada tahun tersebut kondisi ekonomi di Jabodetabek
mengalami perbaikan. Namun, angka kemiskinan di Jakarta terus meningkat sejak tahun 2003 hingga tahun 2007. Apabila dibandingkan dengan jumlah kemiskinan
yang ada di Bodetabek, tingkat kemiskinan di Jakarta kedua tertinggi setelah Kabupaten Bogor. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat-masyarakat miskin
di Jakarta mulai berpindah menuju Bodetabek. Dampak negatif yang akan
200 400
600 800
1000 1200
1400
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kab.Bogor
Kab.Bekasi Kot. Bogor
Kot. Bekasi Depok
Kab.Tanggerang Kot.Tanggerang
Jakarta
dirasakan bagi wilayah Bodetabek adalah munculnya area perkumuhan baru di wilayah-wilayah ini.
Ketiga, biaya hidup di Bodetabek yang lebih murah dibandingkan dengan Jakarta. Tingkat biaya hidup yang lebih murah akan menyebabkan masyarakat
dengan kemampua minimum akan memilih tempat tinggal dengan biaya hidup yang lebih murah agar mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
Biaya hidup dalam penelitian ini menggunakan tingkat upah minimum, dimana tingkat upah minimum menggambarkan biaya hidup minimum yang
dikeluarkan dalam sebulan. Tingkat upah minimum didasarkan pada tingkat kebutuhan fisik minimum.
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2001-2010 diolah
Gambar 5.5 Laju Tingkat Upah Minimum Jabodetabek Rupiah Berdasarkan Gambar 5.5 terlihat bahwa pada awalnya, biaya hidup di
Jakarta melebihi tingkat biaya hidup di wilayah Bodetabek. Namun, seiring pertumbuhan wilayah, tingkat biaya hidup tertinggi justru berada di Kota Depok.
Hal ini dikarenakan semakin tingginya jumlah masyarakat yang bermukim di wilayah Depok, akibatnya tingkat konsumsi di wilayah Depok menjadi lebih
tinggi dibandingkan dengan Jakarta.
5.2 Dampak Gejala Deurbanisasi