standar kewajiban yang minimum terhadap negara dalam perlindungan hak asasi manusia.
256
Pada dasarnya istilah “masa perang” dalam berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional, apabila diinterpretasi secara luas dapat mencakup
konflik bersenjata internal atau perang saudara. Tetapi ini juga terdapat perbedaan pendapat, Komentator Protocol No. 6 to the European Convention on Human
Rights, telah menyarankan bahwa istilah tersebut tidak seharusnya mencakup perang saudara, apabila “perang saudara” menjadi pertimbangan penyusun
Protocol tersebut, maka istilah itu akan disebutkan secara eksplisit. Hukum internasional secara umum menggunakan istilah “perang” hanya saat berkaitan
dengan konflik bersenjata internasional. Oleh sebab itu, walaupun larangan ekstradisi tidak disebutkan, hak
negara untuk menolak ekstradisi telah diakui ICCPR dalam pasal tersebut. Hal ini senada dengan Model Perjanjian Ekstradisi PBB, bahwa negara-diminta “boleh”
dan “berhak” menolak ekstradisi atas kejahatan yang diancam hukuman mati.
C. Penerapan Hukuman Mati di Masa Perang
257
Menurut Appeal Chamber of the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, istilah “armed conflict” ataupun konflik bersenjata terjadi saat
ada penyelesaian masalah dengan angkatan bersenjata antara negara atau penggunaan kekerasan bersenjata yang berkepanjangan antara pemerintah dan
kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok-kelompok dalam suatu
256
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op.cit, hal. 43.
257
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 183.
Universitas Sumatera Utara
negara.
258
Kebanyakan produk hukum nasional menerapkan aturan yang berbeda mengenai pemberlakuan hukuman mati di masa perang; lebih sering dijatuhkan
dan tidak terlalu mempedulikan procedural safeguards. Perbedaan ini juga diakui dalam beberapa Protokol Abolisionis. Dalam Protocol No. 6 to the European
Convention on Human Rights, eksekusi di masa perang tidak masuk dalam ruang lingkup pengaturannya. Protokol tersebut melarang hukuman mati hanya di masa
damai, dan memperbolehkan negara membuat peraturan sendiri tentang hukuman mati di masa perang berdasarkan bunyi Pasal 2, “a state may make provision in its
law for the death penalty in respect of acts committed in time of war or of imminent threat of war.”
259
Kompromi pada saat perancangan dari traktat ini mencerminkan fakta bahwa kebanyakan negara Eropa baru menghapus hukuman mati di masa damai.
Tetapi pada saat ini, ada kecenderungan bagi negara-negara tersebut untuk menghapus hukuman mati secara menyeluruh.
260
“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present
Covenant may take measures derogating from their obligations under the ICCPR yang memungkinkan hukuman mati diberlakukan pada saat damai
mengambil langkah yang konsisten walau dalam masa perang. Pasal 4 ayat 1 dari ICCPR menyebutkan:
258
Ibid, hal. 184.
259
Pasal 2 Protocol No. 6 to the 1950 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms.
260
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their
other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language,
religion or social origin.”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: “Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan
keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi
kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-
langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi
semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.”
261
Dalam ayat ini ICCPR memperbolehkan negara anggota untuk mengambil langkah yang berbeda, yang mengurangi kewajiban mereka di bawah konvensi ini
untuk menangani masalah hak sipil dan politik di masa darurat. Sekilas seperti ICCPR memberi ruang yang cukup luas untuk mengambil pendekatan berbeda di
masa perang, tetapi hal ini tidak dapat diterapkan pada semua jenis hak asasi. ICCPR kemudian menegaskan dalam ayat 2 di pasal yang sama, bahwa “no
derogation from articles 6, 7, 8 paragraphs I and 2, 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.” Mengenai hak untuk hidup dan hukuman mati yang
diatur dalam pasal 6 ICCPR, tidak diizinkan adanya pengurangan kewajiban walaupun negara dalam keadaan darurat sekalipun.
262
261
Pasal 4 Ayat 1 International Covenant on Civil and Political Rights.
262
Pasal 4 1 dan 2 International Covenant on Civil and Political Rights.
Hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi kewajiban untuk menerapkannya ini dikenal dengan istilah non-
Universitas Sumatera Utara
derogable rights.
263
Hal ini ditegaskan kembali oleh United Nations Human Rights Committee bahwa hak untuk hidup right to life adalah the supreme right yang pengurangan
kewajiban derogation terhadapnya tidak diizinkan, dalam keadaan darurat sekalipun.
264
Second Optional Protocol dari ICCPR mengambil pendekatan yang berbeda, melarang hukuman mati dalam segala keadaan, tetapi memperbolehkan
negara untuk membuat reservasi apabila mereka ingin mempertahankan kemungkinan memberlakukan hukuman mati di masa perang untuk kejahatan
berat yang bersifat militer.
265
Hukum humaniter turut mencatat pengaturan spesifik mengenai hukuman mati di masa perang, seperti Third Geneva Convention tahun 1949. Menurut
konvensi ini, tawanan perang tunduk pada hukum, pengaturan dan perintah dari pihak yang menahannya. Apabila hukuman mati berlaku dalam hukum pihak yang
menahannya, maka seorang tawanan perang bisa diancam dijatuhkannya hukuman mati.
Pendekatan ini walaupun berbeda namun tetap dalam koridor ICCPR karena ICCPR pada dasarnya tidak melarang hukuman
mati.
266
Sedangkan dalam Fourth Geneva Convention yang mengatur tentang
263
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op.cit, hal. 31.
264
Ibid.
265
Pasal 2 Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty; William A. Schabas, 2, op. cit.
266
William A. Schabas, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
okupasi atau pendudukan sebagai hasil rancangan setelah penyalahgunaan hukuman mati secara besar-besaran oleh Nazi, konvensi ini melarang eksekusi
terhadap orang yang melakukan kejahataan pada saat di bawah umur 18 tahun, dan menerapkan penangguhan 6 bulan untuk eksekusi setelah dijatuhi hukuman.
Di dalamnya juga disebutkan bahwa pihak yang melakukan pendudukan tidak boleh menerapkan hukuman mati apabila hukuman tersebut telah dihapus oleh
negara yang diduduki sebelum terjadinya konflik.
267
267
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan