BAB III PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA
DALAM KAITAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATURNYA
A. Penerapan dan Penghapusan Hukuman Mati di Dunia
Pada abad pertengahan, legitimasi hukuman mati didukung oleh banyak pemikir besar pada zaman Ressainance dan Reformation. Grotius menyatakan
bahwa hukuman mati dapat dibenarkan dengan merujuk pada Alkitab dan adat Kristen dan bahkan menggunakan persetujuan terhadap hukuman mati ini untuk
membenarkan legalitas perang. Thomas Hobbes dan John Locke juga mengakui bahwa hukuman mati dapat dibenarkan.
94
Jean-Jacques Rousseau memegang pandangan bahwa dalam suatu masyarakat, seorang manusia memiliki hak untuk tidak dibunuh selama dia tidak
membunuh orang lain. Di lain sisi, penerangan juga terjadi dengan munculnya kaum abolisionis parsial. Contohnya, Montesquieu, yang menghimbau adanya
pembatasan pada hukuman mati hanya terhadap pembunuhan, percobaan terhadap pembunuhan, berbagai jenis pembantaian terhadap manusia dan beberapa
kejahatan terhadap harta benda, walaupun dia tidak mengikatkan diri pada paham penghapusan penuh.
95
Suara yang menghendaki hapusnya hukuman mati pada dasarnya baru muncul sejak tahun 1764. Cesare Beccaria, seorang Kriminologis Italia, dalam
bukunya On Crimes and Punishment menulis uraian sebagai berikut:
94
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 4.
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than
the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception
of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behavior
which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes.”
96
Hasil karya dari Beccaria berhasil meyakinkan para negarawan seperti Voltaire, Jefferson, Paine, Lafayette dan Robespierre bahwa hukuman mati tidak
berguna dan tidak berperikemanusiaan, dan bahkan berhasil menghapuskan hukuman mati di Austria dan Toscany dalam waktu yang sangat singkat.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
“Hukuman mati, yang tidak berperikemanusiaan dan tidak efektif: merupakan suatu senjata yang tidak dapat diterima untuk digunakan oleh
suatu negara modern yang telah tercerahkan, dan bahkan lebih tidak efektif daripada kepastian dalam hukuman penjara. Lebih lagi, hukuman mati
mendatangkan efek sebaliknya apabila tujuan hukum adalah untuk mengutarakan suatu pemikiran moral tentang kewajiban sesama warga
negara. Karena, jika suatu negara sampai menggunakan pembunuhan demi melaksanakan kehendaknya, ini akan mengesahkan suatu tingkah laku
yang awalnya berusaha ditekan oleh hukum, yakni penggunaan kekerasan yang mematikan untuk menyelesaikan sengketa.
97
Pada tahun 1846, negara bagian Amerika Serikat, Michigan, menjadi yurisdiksi pertama di masa modern yang menghapus hukuman mati untuk
kejahatan pembunuhan, diikuti oleh Rhone Island dan Wisconsin. Pada awal Abad ke-20, beberapa negara-negara Eropa telah menghapus hukuman mati di masa
damai seperti Portugis, Belanda, Norwegia dan lain-lain, begitu juga dengan beberapa negara di Amerika Selatan setelah mencapai kemerdekaan, seperti
96
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 11.
97
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Brazil, Columbia, Ekuador, dan lain-lain.
98
Tentu saja, gerakan ini tidak berjalan mulus. Hukuman mati kembali diberlakukan di beberapa rezim otoriter di Eropa maupun Amerika Selatan. Di
Italia, misalnya, hukuman mati diberlakukan kembali oleh rezim Fasis Mussolini pada tahun 1927, dan bahkan dikembangkan di Jerman oleh Nazi. Hancurnya
kedua rezim ini setelah Perang Dunia II diikuti langsung dengan gerakan baru penghapusan hukuman mati.
99
Tetapi perlu diakui, saat UDHR disahkan pada tahun 1948, mayoritas negara anggota PBB masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem hukum
nasionalnya. Demikian juga, pada saat itu hukuman mati juga masih dianggap sebagai hukuman yang pantas bagi para penjahat perang dan dijatuhkan oleh
pengadilan pasca perang postwar tribunals di Nuremberg dan Tokyo.
100
Dipandang dari segi penerapan langsung oleh negara, berbagai konstitusi nasional pada abad-19 dan awal abad ke-20 juga mengakui hak untuk hidup
dengan diikuti dengan frase yang menyatakan bahwa pengecualian terhadap hak untuk hidup berupa hukuman mati. Contohnya Konstitusi Sweden pada tahun
1809 menyatakan bahwa “the King… shall not deprive anyone or permit anyone to be deprived of life without legal trial and sentence.” Yang artinya, Raja tidak
boleh merampas nyawa orang atau mengizinkan dirampasnya nyawa orang tanpa
98
Roger Hood, The Death Penalty – A Worldwide Perspective, 3
rd
ed., United States: Oxford University Press, 2002, hal. 9-10.
99
Ibid, hal. 10
100
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
proses peradilan dan penjatuhan hukuman secara sah.
101
Namun seiring dengan perkembangan zaman, hukuman mati tampak tidak begitu meyakinkan lagi dengan semakin dikenalnya norma-norma Hak Asasi
Manusia HAM dalam hukum internasional. Dalam lingkungan pengadilan internasional misalnya, Pengadilan Pidana Internasional International Criminal
Tribunals generasi kedua dan pengadilan Ad Hoc untuk negara bekas Yugoslavia dan Rwanda ad hoc tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda menolak
untuk memberlakukan hukuman mati walaupun untuk kejahatan yang paling berat sekalipun. Selain itu, traktat-traktat hak asasi manusia internasional juga telah
dilengkapi dengan protokol tambahan additional protocols yang melarang hukuman mati.
102
Perubahan pendirian dari Pengadilan Internasional berjalan seiringan dengan perubahan sikap negara-negara di dunia. Pada akhir 1950an, kebanyakan
negara Eropa telah pada jalannya untuk melakukan penghapusan dalam hukum nasionalnya sendiri. Penghapusan secara de facto menjadi hukum yang berlaku di
Eropa barat. Pada tahun 1980, the Council of Europe mulai menyusun suatu protokol tambahan terhadap European Convention on Human Rights yang
menghapus hukuman mati pada masa damai. Protocol No. 6 ini mulai berlaku sejak 1985 dan telah diratifikasi oleh hampir semua dari 43 negara anggota dari
Council of Europe. Council of Europe juga menuntut negara anggota baru untuk meratifikasi Protokol tersebut, syarat yang diberlakukan ini telah menyebabkan
101
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 10.
102
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
pengapusan hukuman mati di seluruh Eropa timur.
103
Pada tahun 1998, telah ada 51 negara yang terikat dengan norma baru dalam hukum internasional ini dan menghapus hukuman mati, baik secara de
facto maupun de jure.
104
Tentu saja, ada kalanya negara bergerak mundur, misalnya Papua Nugini yang menghapus hukuman mati pada tahun 1975
memberlakukannya kembali pada tahun 1991. Selain itu, Filipina yang telah menghapus hukuman mati pada tahun 1987 memberlakukannya kembali pada
tahun 1993. Masa penghapusan hukuman mati di Gambia lebih pendek lagi, yaitu hanya tiga tahun 1993-1995. Negara bagian Amerika Serikat, New York, juga
memberlakukan hukuman mati kembali pada tahun 1995 setelah menghapusnya selama 30 tahun.
105
Asia menunjukkan progres yang paling lambat dalam melakukan penghapusan. Ini tidak berarti norma hukum internasional mengenai hukuman
mati tidak dapat menyentuh benua ini. Tidak hanya banyak negara Asia yang merupakan anggota aktif dalam sistem hak asasi manusia, juga telah ada inisiatif
yang penting dari masyarakat internasional yang berupaya untuk membatasi dan menghapus hukuman mati. Misalnya, Cina pada saat ini masih berusaha
membatasi hukuman mati berhubung negara ini sedang mempersiapkan diri untuk meratifikasi ICCPR, selain itu, parlemen Eropa mengancam akan menarik status
pengamat dari Jepang di Council of Europe apabila Jepang tidak mengambil
103
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 14.
104
William A. Schabas, 2, op. cit.
105
Roger Hood, op.cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
langkah untuk memenuhi standar hukum internasional.
106
Ada berbagai cara yang berbeda yang dapat ditempuh untuk menghapus hukuman mati. Di beberapa negara, penghapusan hukuman mati bisa dilakukan
dengan pencantuman secara eksplisit dalam konstitusi nasional yang telah berevolusi menyesuaikan diri dengan konvensi-konvensi internasional. Sementara
di negara-negara lain, penghapusan dilakukan melalui proses peradilan. Para hakim mengambil landasan hukum dari Konstitusi yang walaupun tidak menyebut
tentang penghapusan hukuman mati, tetapi menjunjung tinggi hak untuk hidup right to life dan melarang adanya hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia prohibition of cruel, inhuman, and degrading treatment or punishment.
107
Secara ringkas, jumlah negara yang mempertahankan atau menghapus hukuman mati pada zaman sekarang dapat dilihat dari data yang dikumpul oleh
Amnesty International pada tahun 2006, yang terbagi dalam empat kategori:
108
1. Sejumlah 88 delapan puluh delapan negara dan teritori telah
menghapus hukuman mati untuk semua jenis tindak pidana abolitionist for all crimes.
2. Sejumlah 11 sebelas negara telah menghapus hukuman mati untuk
tindak pidana biasa abolitionist for ordinary crimes only. Negara- negara tersebut masih memberlakukan hukuman mati hanya untuk
106
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 15.
107
William A. Schabas, 2, op. cit.
108
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 59-60.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan-kejahatan luar biasa seperti kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa, misalnya dalam keadaan perang.
3. Sejumlah 30 tiga puluh negara telah menghapus hukuman mati
dalam praktiknya tidak pernah lagi menjatuhkan putusan pidana mati walaupun belum secara resmi menghapus hukuman mati abolitionist
in practice. 4.
Sejumlah 68 enam puluh delapan negara masih mempertahankan hukuman mati retentionist.
Selain sikap daripada negara-negara, tren penghapusan hukuman mati juga dijumpai pada tribunal-tribunal yang dibentuk oleh PBB untuk mengadili para
pelaku kejahatan luar biasa misalnya genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila dulunya hukuman mati merupakan hukuman yang
digunakan oleh pengadilan internasional untuk kejahatan paling berat dan kejam menurut hukum internasional, sekarang tidak lagi demikian.
109
Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang terdapat pada statute-statuta berikut ini:
110
1. Pasal 77 Ayat 1 Statute of the International Criminal Court of 1998
membatasi bahwa hukuman maksimum adalah hukuman seumur hidup.
2. Pasal 24 Ayat 1 Statute of the International Criminal Tribunal for
the former Yugoslavia of 1993 membatasi bahwa hukuman hanya dalam bentuk hukuman penjara.
109
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 17.
110
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 57-58.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasal 23 Ayat 1 Statute of the International Criminal Tribunal for
Rwanda of 1994 juga membatasi bahwa hukuman hanya dalam bentuk hukuman penjara.
4. Pasal 19 Ayat 1 Statute of the Special Court for Sierra Leone of
2002
111
B. Instrumen Hukum Internasional yang Mengatur tentang Hukuman Mati