3. Larangan atas Summary Execution dengan Tidak Memenuhi
Syarat Pengadilan yang Kompeten Procedural Safeguards
Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan dalam keadaaan “when the guilt of the person charged is based upon clear and convincing evidence leaving no room
for an alternative explanation of the facts.”
215
Dalam Pasal 6 Ayat 2 dari ICCPR menyebutkan bahwa hukuman mati hanya dapat dilaksanakan dengan putusan yang final dari pengadilan yang
kompeten final judgment rendered by a competent court. Untuk menentukan hal ini, tentu
saja diperlukan proses peradilan yang memadai.
216
Pengadilan kompeten dalam hal ini tentu saja harus memenuhi syarat-syarat internasional
ataupun yang dinamakan dengan procedural safeguards, yang diuraikan dalam Pasal 14 ICCPR.
217
Penjatuhan hukuman mati dengan peradilan yang tidak adil adalah pelanggaran tidak hanya pada norma prosedural tetapi juga pada hak untuk hidup.
Dengan kata lain, jika Pasal 14 ICCPR dilanggar dalam proses peradilan yang menjatuhkan hukuman mati, maka Pasal 6 juga turut terlanggar. Hal ini membuat
Pasal 14 turut menjadi pasal yang non-derogable tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun khususnya dalam kasus hukuman mati.
218
Hal ini sesuai dengan pendapat mantan Special Rappoteur PBB, Amos Wako, pengadilan yang dijalankan tanpa memenuhi jaminan dalam Pasal 14
215
William A. Schabas, 2, op. cit.
216
Pasal 62 International Covenant on Civil and Political Rights.
217
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 101.
218
Ibid, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
ICCPR adalah merupakan “summary executions”
219
dan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 ICCPR, apabila hukuman mati dijatuhkan.
220
Dalam konteks summary executions, hukuman mati biasanya dijatuhkan oleh pengadilan khusus, seperti people’s court, revolutionary court, ataupun
military tribunal, tanpa peraturan prosedural standar. Seringkali persidangan diadakan dengan in camera tidak terbuka untuk umum, terdakwa tidak diberikan
penasehat hukum, dan ‘hakim’nya juga baru direkrut tidak lama, dan biasanya dari militer, tidak ada pengakuan hak untuk mengajukan banding ataupun
memohon grasi pardon and clemency, dan eksekusi dilakukan dalam waktu cepat setelah penjatuhan hukuman.
221
Menurut Pasal 14 ICCPR, pengadilan yang kompeten harus bisa memberikan jaminan sebagai berikut dalam Bahasa Indonesia:
222
1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan
dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu
gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan
tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena
alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan
menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap
keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan
219
Istilah Summary Execution harus dibedakan dari Arbitrary Execution. Dalam Summary Executions, perlindungan prosedural yang tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ICCPR tidak
dipatuhi; sedangkan dalam Arbitrary Executions sama sekali tidak terdapat proses hukum.
220
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 101.
221
Ibid.
222
Pasal 143 International Covenant on Civil and Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. 3.
Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam
persamaan yang penuh: a
Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya; b
Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara
yang dipilihnya sendiri; c
Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; d
Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk
diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan,
dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;
e Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi- saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama
dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
f Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila
ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
g Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. 4.
Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka. 5.
Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih
tinggi, sesuai dengan hukum.
Perlu ditambahkan bahwa, selain syarat prosedural seperti pada Pasal 14 ICCPR di atas, pelanggaran terhadap Vienna Convention on Consular Relations
misalnya, juga dapat menimbulkan isu hak asasi manusia yang sangat serius. Pasal 36 Ayat 1 Huruf b, misalnya, yang menjamin hak untuk diberitahukan
dan hak untuk memperoleh bantuan Konsuler bagi seorang warga negara asing.
Universitas Sumatera Utara
Pasal ini menjamin keadilan prosedural yang sangat penting dalam kasus hukuman mati.
223
Hukum kebiasaan internasional baru ada jika adanya bukti praktik negara yang dilakukan aspek materi secara berulang-ulang dan didampingi dengan
opinio juris sive necessitates aspek psikologis. Kaidah kebiasaan tersebut harus bisa dibuktikan bahwa “karena sifatnya, dan telah diterima secara luas dan umum,
kaidah tersebut hampir tidak mungkin akan ditolak oleh setiap negara beradab.”
4. Berbagai Standar Perlindungan Internasional terhadap Penerapan Hukuman Mati sebagai Hukum Kebiasaan Internasional
224
Ini sesuai dengan isi putusan Mahkamah Internasional dalam kasus LibyaMalta, bahwa muatan dari hukum internasional harus dilihat terutama dari praktik actual
dan opinio juris dari negara-negara.
225
Dengan kurang dari setengah negara-negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati. Masih terlalu cepat untuk berpendapat bahwa
penghapusan hukuman mati telah memperoleh posisi norma kebiasaan dalam hukum internasional. Namun, ada argumen yang cukup kuat untuk menyatakan
bahwa pembatasan-pembatasan dalam pemberlakuan hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 6 ICCPR telah menjadi hukum kebiasaan internasional.
226
223
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 18.
224
J. G. Starke, 1, op.cit, hal. 49.
225
Malcolm N. Shaw, International Law, 5
th
ed., United Kingdom: Cambridge University Press, 2003, hal. 70.
226
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Keharusan bagi setiap negara untuk memastikan pelaksanaan hukuman mati didampingi procedural safeguards seperti yang dicantumkan dalam Pasal 14
ICCPR, jelas merupakan hukum kebiasaan internasional. Celaan universal terhadap summary execution dalam badan-badan hak asasi manusia di PBB
menunjukkan adanya persamaan sikap dalam hal ini. Lebih-lebih lagi, Common Article 3 dalam Geneva Conventions, yang dianggap sebagai lowest common
denominator of humane behavior, menyebutkan bahwa “the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounced by a
regularly constituted court affording all the judicial guarantees which are recognized as indispensable by civilized peoples.” penjatuhan dan pelaksanaan
hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang
diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab. Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa Common Article 3 merupakan norma kebiasaan.
227
Pada dasarnya serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara beruang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan
internasional yang maksudnya sama.
228
Selain itu, suatu kaidah kebiasaan mengikat bagi semua negara, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang tidak diterima
oleh negara tersebut, asalkan perkembangannya tidak ditolak secara tegas dan terus-menerus.
229
227
Ibid.
228
J. G. Starke, 1, op.cit, hal. 55.
229
C. de Rover, op.cit, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
Dalam General Comment, Human Rights Committee menyatakan bahwa isi dari ICCPR yang juga merupakan hukum kebiasaan internasional tidak boleh
dilakukan reservasi, norma hukum kebiasaan tersebut kemudian disebutkan sebagai berikut:
Accordingly, a State may not reserve the right to engage in slavery, in torture, to subject persons to cruel, inhuman or degrading treatment of
punishment, to arbitrarily deprive persons of their lives, to arbitrarily arrest and detain persons, to deny freedom of thought, conscience and
religion, to presume a person guilty unless he proves his innocence, to execute pregnant women and children, to permit the advocacy of national,
racial or religious hatred, to deny to persons of marriageable age the right to marry, or to deny to minorities the right to enjoy their own culture,
profess their own religion or use their own language. And while reservations to particular clauses of Article 14 may be acceptable, a
general reservation to a fair trial would not be.
230
Berdasarkan pandangan Human Rights Committee di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perampasan nyawa seseorang secara sewenang-wenang,
mengeksekusi wanita dan anak-anak, ataupun membuat reservasi terhadap Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Suatu negara tidak diperbolehkan untuk membuat reservasi atas haknya untuk terlibat dalam pembudakan, dalam penyiksaan, untuk
memperlakukan atau menghukum seseorang secara kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, untuk mencabut hidup mereka
secara sewenang-wenang, untuk menangkap dan menahan orang secara sewenang-wenang, untuk mengingkari kebebasan berpikir dan kebebasan
beragama, untuk menduga seseorang bersalah sebelum dibuktikan ketidakbersalahannya, untuk mengeksekusi wanita hamil dan anak-anak,
untuk memperbolehkan pembelaan atas kebencian berdasarkan kewarganegaraan, ras dan agama, untuk menyangkal hak nikah seseorang
pada umur yang pantas untuk nikah, atau menyangkal hak minoritas untuk menikmati budaya mereka, menganut agama sendiri atau menggunakan
bahasa sendiri. Dan walaupun reservasi terhadap klausula tertentu dari Pasal 14 dapat diterima, suatu reservasi secara umum terhadap proses
peradilan yang adil merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.
230
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
pengaturan peradilan yang adil merupakan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hukum kebiasaan internasional.
B. Penolakan Ekstradisi atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mati sebagai Instrumen untuk Mendorong Penghapusan Hukuman Mati
Ancaman hukuman terhadap kejahatan yang dapat dimintakan penyerahannya mungkin berbeda antara hukum di negara-peminta dengan hukum
di negara-diminta. Perbedaan ancaman hukuman tersebut juga mempunyai arti penting dalam perumusan suatu perjanjian ekstradisi internasaional apabila
kejahatan yang dijadikan sebagai dasar atau alasan untuk meminta penyerahan atas diri pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati oleh negara-peminta
sedangkan oleh hukum negara-diminta diancam dengan hukuman yang lebih ringan.
231
Dalam hal ini, ekstradisi sendiri telah menjadi instrumen penting bagi masyarakat internasional kaum abolisionis untuk mendorong penghapusan
hukuman mati walau secara tidak langsung. Negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati sering harus menghadapi tekanan dari luar negeri
yang menghimbau dilakukannya penghapusan. Salah satu contoh tekanan yang paling langsung misalnya adalah penolakan ekstradisi penjahat yang kemungkinan
akan berhadapan dengan hukuman mati.
232
231
I Wayan Parthiana, 1, op.cit, hal . 99.
232
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Ekstradisi Secara Umum