Pemberian Fitoestrogen Ekstrak Tempe pada Induk Bunting dan Induk Laktasi terhadap Fungsi Reproduksi Anak Betina Tikus Sprague Dawley

(1)

  RIDA TIFFARENT. Pemberian Fitoestrogen Ekstrak Tempe pada Induk Bunting dan Induk Laktasi terhadap Fungsi Reproduksi Anak Betina Tikus Sprague Dawley. Di bawah bimbingan NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS

Studi ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh fitoestrogen ekstrak tempe yang diberikan kepada tikus Sprague Dawley bunting dan laktasi, terhadap perkembangan reproduksi anak betina. Sebanyak 12 ekor tikus Sprague Dawley bunting diberi 4.72 gr/kgBBekstrak tempe setiap hari pada usia kebuntingan 2-11 hari (kelompok A), usia kebuntingan 12 hari sampai partus (kelompok B), usia laktasi 2-11 hari (kelompok C), dan tidak diberikan fitoestrogen sebagai kontrol (kelompok K). Tiga anak betina dari masing-masing kelompok merupakan objek penelitian. Parameter-parameter yang diamati adalah lama kebuntingan, jumlah anak dalam sekali melahirkan, bobot badan anak, jarak celah anogenital, usia pubertas, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina. Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada selang kepercayaan sebesar 95% (α=0.05). Hasil penelitian menunjukan bahwa fitoestrogen ekstrak tempe dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi anak betina yaitu memperpanjang jarak celah anogenital, menunda usia pubertas, dan meningkatkan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina anak usia 42 hari setelah partus.


(2)

  RIDA TIFFARENT. The Effects of Phytoestrogen of Tempe Extract through Pregnant and Lactation Sprague Dawley Rats on Reproduction Development of Female Offsprings. Under direction of NASTITI KUSUMORINI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS

This study was aimed to find the effects of phytoestrogen of tempe extract, which were given to pregnant and lactation Sprague Dawley rats, on their reproduction development of female offsprings. Twelve pregnant Sprague Dawley rats were given 4.72 gr/kgBW tempe extract daily on gestation day 2-11 (group A), gestation day 12-birth (group B), lactation day 2-11 (group C), and were not given phytoestrogen for control (group K). Three female offsprings from each group were taken as the object of this research. Parameters observed were length of gestation rats, number of pups, pups body weight, anogenital distance, puberty age, ovarium weight, and utero-vagina weight. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan Test with 95% (α=0.05) confidence interval. The results showed that phytoestrogen of tempe extract could make longer anogenital distance, delayed puberty age, and increased ovarium and utero-vagina pups weight on postpartus day 42.

Keywords: phytoestrogen, reproduction development, female offspring, Sprague Dawley


(3)

 

PEMBERIAN FITOESTROGEN EKSTRAK TEMPE PADA

INDUK BUNTING DAN INDUK LAKTASI TERHADAP

FUNGSI REPRODUKSI ANAK BETINA TIKUS

SPRAGUE

DAWLEY

 

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

 


(4)

  Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pemberian Fitoestrogen Ekstrak Tempe pada Induk Bunting dan Induk Laktasi terhadap Fungsi Reproduksi Anak Betina Tikus Sprague Dawley adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Rida Tiffarent B04080004


(5)

  RIDA TIFFARENT. Pemberian Fitoestrogen Ekstrak Tempe pada Induk Bunting dan Induk Laktasi terhadap Fungsi Reproduksi Anak Betina Tikus Sprague Dawley. Di bawah bimbingan NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS

Studi ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh fitoestrogen ekstrak tempe yang diberikan kepada tikus Sprague Dawley bunting dan laktasi, terhadap perkembangan reproduksi anak betina. Sebanyak 12 ekor tikus Sprague Dawley bunting diberi 4.72 gr/kgBBekstrak tempe setiap hari pada usia kebuntingan 2-11 hari (kelompok A), usia kebuntingan 12 hari sampai partus (kelompok B), usia laktasi 2-11 hari (kelompok C), dan tidak diberikan fitoestrogen sebagai kontrol (kelompok K). Tiga anak betina dari masing-masing kelompok merupakan objek penelitian. Parameter-parameter yang diamati adalah lama kebuntingan, jumlah anak dalam sekali melahirkan, bobot badan anak, jarak celah anogenital, usia pubertas, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina. Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada selang kepercayaan sebesar 95% (α=0.05). Hasil penelitian menunjukan bahwa fitoestrogen ekstrak tempe dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi anak betina yaitu memperpanjang jarak celah anogenital, menunda usia pubertas, dan meningkatkan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina anak usia 42 hari setelah partus.


(6)

  RIDA TIFFARENT. The Effects of Phytoestrogen of Tempe Extract through Pregnant and Lactation Sprague Dawley Rats on Reproduction Development of Female Offsprings. Under direction of NASTITI KUSUMORINI and ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS

This study was aimed to find the effects of phytoestrogen of tempe extract, which were given to pregnant and lactation Sprague Dawley rats, on their reproduction development of female offsprings. Twelve pregnant Sprague Dawley rats were given 4.72 gr/kgBW tempe extract daily on gestation day 2-11 (group A), gestation day 12-birth (group B), lactation day 2-11 (group C), and were not given phytoestrogen for control (group K). Three female offsprings from each group were taken as the object of this research. Parameters observed were length of gestation rats, number of pups, pups body weight, anogenital distance, puberty age, ovarium weight, and utero-vagina weight. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan Test with 95% (α=0.05) confidence interval. The results showed that phytoestrogen of tempe extract could make longer anogenital distance, delayed puberty age, and increased ovarium and utero-vagina pups weight on postpartus day 42.

Keywords: phytoestrogen, reproduction development, female offspring, Sprague Dawley


(7)

 

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

 

FUNGSI REPRODUKSI ANAK BETINA TIKUS

SPRAGUE

DAWLEY

 

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

  Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan 


(9)

  Nama : Rida Tiffarent

NIM : B04080004

Disetujui,

Diketahui

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D., APVet. NIP. 19630810 198803 1 004

Tanggal Lulus:

Pembimbing I

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001

Pembimbing II

Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. NIP. 19600914 198603 2 001


(10)

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini adalah fitoestrogen, dengan judul Pemberian Fitoestrogen Ekstrak Tempe pada Induk Bunting dan Induk Laktasi terhadap Fungsi reproduksi Anak Betina Tikus Sprague Dawley.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti Kusumorini dan Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Edi, Bu Ida, dan Bu Sri dari laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Oktipa Sari, sahabat, dan seluruh keluarga Avenzoar, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012


(11)

  Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 19 Mei 1990 dari ayah Drs. Nedi Herdiana dan ibu Dra. Dedeh Komariah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri Tanjungsari Kabupaten Sumedang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Anatomi Veteriner I pada tahun ajaran 2010/2011 dan asisten mata kuliah Embriologi dan Genetika Perkembangan pada tahun ajaran 2010/2011.


(12)

  Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Tempe ... 3

2.2 Fitoestrogen ... 6

2.2.1 Definisi dan Struktur Kimia Fitoestrogen ... 6

2.2.2 Klasifikasi dan Metabolisme Fitoestrogen ... 7

2.2.3 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen terhadap Fisiologi Tubuh ... 9

2.3 Biologi Umum Tikus ... 11

2.4 Reproduksi Tikus Betina ... 14

2.4.1 Reproduksi Umum Tikus ... 14

2.4.2 Hormon-Hormon yang Berperan dalam Reproduksi Tikus Betina ... 14

2.4.3 Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina ... 16

2.4.4 Pengaruh Hormon Reproduksi terhadap Kebuntingan dan Laktasi ... 17

2.4.5 Organogenesis ... 18

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

Tempat dan Waktu ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Materi Penelitian ... 21

A. Hewan Coba ... 21

B. Fitoestrogen ... 22

Metode Penelitian ... 22

A. Pengelommpokan Hewan Coba ... 22

B. Pelaksanaan Penelitian ... 22

Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya ... 23

A. Kinerja Induk ... 23

1. Lama Kebuntingan ... 23

2. Jumlah Anak dalam Sekali Melahirkan dan Bobot Badan Anak ... 23

B. Kinerja Reproduksi Anak Betina ... 23

1. Jarak Anogenital ... 23

2. Usia Pubertas ... 24

3. Bobot Badan, Bobot Ovarium, dan Bobot Uterus-Vagina 24 Analisis Statistik ... 24


(13)

4.2.1 Jarak Celah Anogenital dan Usia Pubertas ... 28

4.2.2 Bobot Badan, Bobot Ovarium, dan Bobot Uterus-Vagina 31 BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Simpulan ... 35

5.2 Saran ... 35


(14)

  Halaman

1 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe per 100 gram ... 4

2 Komposisi asam amino tempe kedelai ... 4

3 Kandungan isoflavon tempe (mg) dalam 100 gram bahan ... 6

4 Data biologis dan reproduktif tikus ... 13

5 Efek estrogen dan progesteron ... 15

6 Rataan ± SD lama kebuntingan, jumlah anak lahir, dan bobot badan lahir anak ... 26

7 Rataan ± SD jarak celah anogenital dan usia vaginal opening ... 29

8 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus- vagina anak betina usia 28 hari ... 31

9 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus- vagina anak betina usia 42 hari ... 32


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perbandingan struktur kimia kelompok-kelompok fitoestrogen dengan

estrogen endogenous mamalia ... 7

2 Klasifikasi fitoestrogen ... 7

3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina ... 13

4 Tahapan-tahapan kritis pada perkembangan tikus ... 19


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat modern. Kepedulian masyarakat modern terhadap kesehatan ditunjukan dengan gaya hidup sehat yang lebih banyak memanfaatkan bahan-bahan alami daripada bahan-bahan kimia sintetik karena bahan-bahan alami dipercaya memiliki efek samping yang lebih rendah. Contoh bahan alami yang banyak dimanfaatkan adalah senyawa fitoestrogen yang berasal dari tanaman. Senyawa fitoestrogen terdapat dalam kedelai dan produk pangan turunannya (tempe, tahu, kecap, tauco, susu fermentasi, miso), beras merah, gandum, bulgur, sereal, kacang-kacangan, kacang panjang, buncis, brokoli, tauge, daun bawang, daun semanggi merah, teh bunga melati, wortel, tomat, jeruk, dan melon (Nadesul 2008; Santoso & Ismail 2009).

Fitoestrogen adalah zat asal tanaman yang secara struktural dan secara fungsional menyerupai estrogens (Murkies et al. 1998; Whitten & Patisaul 2001). Fitoestrogen dipercaya dapat menggantikan fungsi estradiol yang merupakan estrogen alami tubuh (Whitten & Patisaul 2001). Koswara (2006) menyatakan bahwa sebagian besar negara Asia diperkirakan mengonsumsi isoflavon (salah satu kelompok fitoestrogen) sebanyak 25–45 mg/hari/orang. Jepang sebagai negara pengonsumsi isoflavon terbesar diperkirakan mengonsumsi sebanyak 200 mg/hari/orang dan negara-negara Barat mengonsumsi kurang dari 5 mg/hari/orang. Data epidemiologik mengindikasikan masyarakat Asia yang mengonsumsi makanan kaya fitoestrogen memiliki risiko yang lebih kecil terhadap penyakit-penyakit seperti kanker payudara dan kanker prostat, osteoporosis, penyakit degeneratif, dan penyakit kardiovaskular (Rishi 2002). Data-data tersebut menunjang ketertarikan masyarakat untuk mengonsumsi produk pangan yang mengandung fitoestrogen.

Konsumsi fitoestrogen tidak hanya berdampak positif tetapi juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Wanita Belanda yang mengonsumsi umbi tulip dan wanita yang bekerja dengan tanaman hop (Humulus lupulus L.) mengalami abnormalitas siklus menstruasi karena paparan fitoestrogen yang


(17)

berasal tanaman-tanaman tersebut (Milligan et al. 1999). Fitoestrogen terbukti dapat meningkatkan kejadian kanker payudara seperti efek pemberian diethylstilbestrol (DES) pada mencit perinatal yang menyebabkan tumor mamari (Whitten & Patisaul 2001; Mercola & Droege 2004). North dan Golding (2000) menyatakan bahwa bayi laki-laki yang lahir dari ibu hamil vegetarian mengalami hypospadias (sebuah gangguan diferensiasi seksual jantan) akibat paparan fitoestrogen yang lebih besar dibandingkan ibu hamil bukan vegetarian.

Tempe merupakan produk makanan asli Indonesia turunan kedelai yang mengandung fitoestrogen. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe (Astawan 2009). National Center for Complementary and Alternative Medicine (2010) menyatakan bahwa mengonsumsi berlebih produk makanan kedelai dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan seperti pembentukan kanker payudara dan kanker uterus karena diduga fitoestrogen yang terkandung dapat mengganggu fisiologi hormonal. Kondisi hormonal induk yang sedang bunting atau laktasi sangat terkait dengan jenis makanan yang dikonsumsi dan memiliki peranan penting dalam perkembangan tingkah laku dan fungsi reproduksi anak. Dampak positif dan dampak negatif yang timbul dari konsumsi fitoestrogen tempe oleh individu bunting dan laktasi terhadap reproduksi anak betina masih membutuhkan kajian lebih dalam, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian fitoestrogen tempe pada betina bunting dan betina laktasi terhadap fungsi reproduksi anak betina.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fitoestrogen pada betina bunting dan betina laktasi terhadap perkembangan fungsi reproduksi anak betina tikus Sprague Dawley.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pengaruh pemberian fitoestrogen pada betina bunting dan betina laktasi terhadap perkembangan fungsi reproduksi anak betina tikus Sprague Dawley.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tempe

Tempe dibuat dari biji kedelai yang difermentasi dengan bantuan ragi (Boga 2005). Ragi yang terdapat dalam pembuatan tempe adalah Rhyzopus oligosporus, Rhyzopus oryzae, Rhyzopus stolonifer, Rhyzopus chlamdosporus, dan Rhyzopus arrhizus. Rhyzopus oligosporus lebih banyak mensintesis enzim pemecah protein (protease) dan Rhyzopus oryzae lebih banyak mensintesis enzim pemecah pati (alfa amilase) selama proses fermentasi. Kedua jenis ragi tersebut digunakan dalam pembuatan tempe dengan kadar Rhyzopus oligosporus lebih banyak atau dengan perbandingan 1:2 (Sarwono 2010). Standar Nasional Indonesia atau SNI (2009) menyatakan bahwa tempe merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan ragi Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan, dan berbau khas tempe.

Tempe adalah makan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia (Sugiarto et al. 2002). Tempe biasa diolah menjadi tempe goreng, keripik tempe, dan tempe bacem. Beberapa negara telah mengembangkan inovasi produk olahan tempe seperti pengalengan tempe, sosis tempe, nugget tempe, dan lain-lain (Santoso 2005). Tempe telah merambah ke lima benua. Tempe mulai popular di Eropa pada tahun 1946 melalui negeri Belanda. Perusahaan tempe pada tahun 1984 di Eropa tercatat sebanyak 18 perusahaan, Amerika sebanyak 53 perusahaan, dan Jepang sebanyak 8 perusahaan. Tempe juga sudah mulai dikenal di beberapa negara lain, seperti Cina, India, Taiwan, Srilanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika walaupun masih dalam kalangan terbatas. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% kedelai Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dll). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6.45 kg. Penduduk Indonesia yang cukup banyak mengonsumsi tempe adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, dan DKI Jakarta (Astawan 2009).


(19)

Tempe memiliki komposisi dan nilai gizi yang lebih besar daripada kedelai. Kandungan komposisi zat gizi tempe rata-rata dalam 100 gram adalah 149 kalori, terdiri dari 64% air, 18.3% protein, 4% lemak, 12.7% karbohidrat, 0.129% kalsium, 0.154% fosfor, dan 0.01% zat besi (Santoso 2005). Perbandingan komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe per 100 gram

Faktor Mutu Gizi Kedelai Rebus Tempe

Padatan terlarut (%) 14 34

Nitrogen terlarut (%) 6.5 39

Asam amino bebas (%) 0.5 7.3-12

Asam lemak bebas (%) 0.5 21

Nilai cerna (%) 75 83

Nilai efisiensi protein 1.6 2.1

Skor kimia 75 78

(Astawan 2009)

Ragi tempe menghasilkan enzim-enzim perncernaan seperti amilase, lipase, dan protease. Enzim-enzim pencernaan tersebut mempermudah karbohidrat, lemak, dan protein untuk dicerna di dalam tubuh (Astawan 2009). Protein kedelai dipecah menjadi asam amino dan peptida yang lebih kecil serta larut dalam air selama proses fermentasi tempe. Hal ini menjadikan tempe sebagai pangan sumber protein nabati esensial. Kandungan beberapa asam amino dalam tempe kedelai dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam amino tempe kedelai

Nama Asam Amino Kadar (mg/g nitrogen total)

Isoleusin 333 Leusin 529 Lisin 370 Metionin 71

Sistin 100

Fenilalanin 305 Treonin 245 Triptofan 77 Valin 332 Arginin 407 Histidin 169 Alanin 283

Asam Aspartat 715

Asam Glutamat 987

Glisin 266 Prolin 308

Serin 271


(20)

Fermentasi kedelai selama 48 jam akan meningkatkan jumlah asam lemak bebas dari 1% dalam kedelai menjadi 30% setelah menjadi tempe (Santoso 2005). Asam lemak yang dominan pada tempe adalah asam lemak tidak jenuh yaitu sekitar 80% dari total asam lemak. Asam lemak tidak jenuh tersebut bersifat esensial yang berarti tidak disintesa dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan. Asam lemak tidak jenuh esensial dominan yang terdapat dalam tempe adalah asam linoleat, asam oleat, dan asam linolenat (Utari 2011). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan kandungan kolesterol dalam serum sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol tubuh (Santoso 2005; Astawan 2009).

Tempe memiliki enzim fitase yang dihasilkan oleh ragi untuk menghidrolisa asam fitat (asam pengikat beberapa mineral) menjadi fosfor bebas dan inositol (Santoso 2005; Astawan 2009). Asam fitat yang terurai menjadikan mineral-mineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, seng menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh. Jumlah mineral zat besi, tembaga, dan seng berturut-turut adalah 9.39, 2.87, dan 8.05 mg dalam setiap 100 gram tempe. Jumlah kalsium dan fosfor dalam 100 gram bahan kering tempe berturut-turut adalah 347 dan 724 mg (Astawan 2009).

Dua kelompok vitamin yang terdapat dalam tempe adalah vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe adalah vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan vitamin B12 (sianokobalamin). Selama fermentasi, vitamin B12 jumlahnya meningkat sampai 33 kali, riboflavin meningkat 8-47 kali, piridoksin meningkat 4-14 kali, niasin meningkat 2-5 kali, biotin meningkat 2-3 kali, asam folat meningkat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2 kali. Keberadaan vitamin B12 dalam tempe adalah sangat istimewa karena vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian). Kenaikan jumlah vitamin B12 merupakan kenaikan yang paling mencolok pada pembuatan tempe sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar


(21)

antara 1.5 sampai 6.3 mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini telah dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 satu orang per hari. Vitamin B12 sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel darah merah karena kekurangan vitamin ini akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa (Astawan 2009).

Tempe mengandung zat antioksidan yang dibutuhkan tubuh untuk menghentikan pembentukan radikal bebas. Radikal bebas berpotensi untuk memicu timbulnya kanker. Antioksidan berfungsi untuk mengikat radikal bebas tersebut sehingga efek negatif radikal bebas dapat dicegah. Antioksidan yang telah diidentifikasi dalam tempe dikenal dengan nama antioksidan faktor II (6.7.4-trihidroksi isoflavon) serta isoflavon (daidzein dan genestein) (Santoso 2005; Astawan 2009). Antioksidan 6.7.4-trihidroksi isoflavon mempunyai sifat antioksidan paling kuat. Isoflavon tempe terbukti dapat mencegah kanker prostat dan kanker payudara berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas North Carolina Amerika Serikat (Astawan 2009). Kandungan total isoflavon dalam tempe dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan isoflavon tempe (mg) dalam 100 gram bahan

Jenis Tempe Nutrisi Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal Tempe

Daidzein 17.59 3.13 4.67 27.30

Genistein 24.85 5.47 1.11 39.77

Glycitein 2.10 0.67 0.90 3.20

Total Isoflavon 45.32 8.34 6.88 62.50

Burger Tempe

Daidzein 6.40 6.40 6.40

Genistein 19.60 19.60 19.60

Glycitein 3.00 3.00 3.00

Total Isoflavon 53.00 53.00 53.00

Tempe yang Dimasak

Daidzein 19.25 19.25 19.25

Genistein 31.55 31.55 31.55

Glycitein 2.20 2.20 2.20

Total Isoflavon 53.00 53.00 53.00

(USDA 1999)

2.2 Fitoestrogen

2.2.1 Definisi dan Struktur Kimia Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah zat turunan tanaman yang secara struktural dan secara fungsional mirip estrogen (Murkies et al. 1998; Whitten & Patisaul 2001) dan ditemukan terkandung dalam banyak makanan. Makanan yang mengandung


(22)

senyawa fitoestrogen adalah kedelai dan produk pangan turunannya (tempe, tahu, kecap, tauco, susu fermentasi, miso), beras merah, gandum, bulgur, sereal, kacang-kacangan, kacang panjang, buncis, brokoli, tauge, daun bawang, daun semanggi merah, teh bunga melati, wortel, tomat, jeruk, dan melon (Nadesul 2008; Santoso & Ismail 2009).

Struktur kimia fitoestrogen yang paling khas adalah adanya cincin fenolik yang menjadi prasyarat ikatan pada reseptor estrogen (Murkies et al. 1998). Cincin fenolik inilah yang menjadikan fitoestrogen dapat bekerja seperti estrogen di dalam tubuh.

Gambar 1 Perbandingan struktur kimia kelompok-kelompok fitoestrogen dengan estrogen endogenous mamalia (Murkies et al. 1998).

2.2.2 Klasifikasi dan Metabolisme Fitoestrogen

Fitoestrogens memiliki tiga kelompok utama (Gambar 2) yaitu isoflavon, coumestans, dan lignan (Murkies et al. 1998; Rishi 2002). Isoflavon dan lignan merupakan fitoestrogen yang secara efektif akan bersaing dengan estradiol (E2) untuk berikatan dengan sel yang memiliki reseptor estrogen pada sitosol (Whitten & Patisaul 2001).


(23)

Isoflavon merupakan kelompok fitoestrogen yang menarik untuk dipelajari dalam pandangan kesehatan dan nutrisi. Isoflavon terdiri dari tiga komponen yaitu daidzein, genistein, dan glisetein (Rishi 2002). Genistein dan daidzein merupakan dua komponen utama isoflavon. Genistein merupakan inhibitor kuat untuk protein tirosin kinase (Akiyama et al. 1987) dan dapat mempengaruhi faktor-faktor pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel (Kim et al. 1998). Aktivitas tirosin kinase berkaitan dengan reseptor sel untuk faktor-faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor), faktor pertumbuhan turunan platelet (platelet-derived growth factor), insulin, dan faktor pertumbuhan yang menyerupai insulin (insulin-like growth factor). Oleh karena itu, tirosin kinase memiliki peranan yang penting dalam proliferasi dan transformasi sel (Akiyama et al. 1987).

Isoflavon mengalami konversi metabolik kompleks secara enzimatis yang terjadi dalam saluran pencernaan dan membentuk fenol heterosiklik. Fenol heterosiklik memiliki kesamaan struktur yang mirip dengan estrogen (Setchell et al. 1984). Metabolisme yang terjadi di dalam usus merubah genistein menjadi komponen inaktif pethylphenol (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998; Anderson et al. 1999) dan daidzein dirubah menjadi equol, dihydrodaidzein, serta O desmethylangiolensin (O-DMA) (Bingham et al. 1998; Murkies et al. 1998; Anderson et al. 1999). Metabolit equol daidzein memiliki konsentrasi terbesar dalam darah dan urin manusia (Anderson et al. 1999).

Genistein dan daidzein terdapat pada semua makanan asal kedelai sebagai bentuk tidak terkonjugasi (aglikon) atau sebagai bentuk terkonjugasi (glikosida) (Setchell 1998). Glikosida (bentuk terkonjugasi) tersebut terdiri dari 6-O-malonilglikosida, 6-O-asetilglikosida, dan beta-glikosida. Sejumlah kecil glisetein terkadang juga dapat ditemukan pada makanan asal kedelai. Malonil dan asetil glikosida merupakan komponen yang rentan terhadap panas dan dapat dirubah menjadi beta-glikosida yang lebih stabil (Bames et al. 1994). Glikosida-glikosida ini siap dihidrolisa menjadi aglikon yang aktif secara estrogenik sebagai hasil proses dan pengolahan kedelai atau sebagai hasil metabolisme mikroflora usus (Setchell 1998).


(24)

Hati memiliki peranan yang penting terhadap metabolisme isoflavon sebagaimana metabolisme hormon steroid. Hati mengkonjugasi isoflavon aglikon dengan asam glukoronik dan dengan sejumlah kecil asam sulfurik. Tingginya efisiensi konjugasi isoflavon menyebabkan sedikitnya proporsi isoflavon bebas yang bersirkulasi. Jaringan epitel gastrointestinal memiliki kapasitas jauh lebih tinggi untuk glukuronidasi isoflavon daripada jaringan hati walaupun hal tersebut dapat berbeda pada beberapa spesies (Setchell 1998). Konjugasi usus merupakan tempat utama glukuronidasi diet isoflavon pada manusia. Waktu paruh isoflavon di dalam plasma adalah 7-8 jam pada individu dewasa (Setchell 1998).

Coumestan memiliki kemiripan secara struktur, sifat fisika, dan sifat kimia dengan isoflavon. Coumestrol merupakan komponen coumestan yang paling banyak ditemukan dalam makanan (Humfrey 1998) dan paling sedikit dipelajari dalam aktivitas biologi dan metabolismenya (Rishi 2002). Lignan-lignan yang aktif secara estrogenik, yaitu enterodiol dan enterolaktone merupakan turunan dari zat sekoisolarisiresinol dan matairesinol yang ditemukan dalam tanaman (Murkies et al. 1998).

Metabolit fitoestrogen diserap melalui sirkulasi enterohepatik, dieksresikan dalam empedu (Axelson & Setchell 1981), didekonjugasi oleh flora usus, diserap kembali, dikonjugasi kembali oleh hati, dan dieksresikan dalam urin (Murkies et al. 1998). Urin, plasma, feses, semen, empedu, saliva, dan susu dapat mengandung fitoestrogen (Adlercreutz et al. 1995). Konsentrasi metabolit-metabolitnya berbeda setiap individu meskipun telah diberikan makanan yang dikontrol kuantitasnya (Murkies et al.1998). Perbedaan ini disebabkan oleh mikroflora usus, penggunaan antibiotik, penyakit usus, perbedaan jenis kelamin, dan makanan yang dimakan bersamaan (Setchell et al. 1984; Brown & Setchell 2001).

2.2.3 Pengaruh Pemberian Fitoestrogen terhadap Fisiologi Tubuh Fitoestrogen dapat menurunkan risiko terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung. Protein kedelai yang mengandung fitoestrogen bekerja dengan menurunkan penyerapan kolesterol pada usus halus sehingga menginduksi peningkatan ekskresi fekal asam empedu dan steroid. Hal


(25)

ini menyebabkan hati lebih banyak mengubah kolesterol tubuh menjadi empedu sehingga menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan aktivitas reseptor kolesterol Low Density Lipid (LDL) yang berdampak pada meningkatnya laju penurunan kadar kolesterol. Pengikatan kolesterol LDL ini mirip dengan mekanisme kerja estrogen. Studi epidemiologi membuktikan bahwa masyarakat yang secara teratur mengkonsumsi makanan dari kedelai memiliki kasus kanker payudara, kolon, dan prostat yang lebih rendah. Fitoestrogen kedelai terbukti secara penelitian in vitro menghambat enzim tirosin kinase sehingga dapat menghambat perkembangan sel-sel kanker dan angiogenesis. Fitoestrogen, terutama genistein, menghambat aktivitas enzim tirosin kinase yang bertangungjawab dalam proliferasi sel melalui kemampuan genistein untuk berkompetisi dengan ATP dan membentuk kompleks enzim-substrat yang tidak produktif (Akiyama et al. 1987). Hal ini menyebabkan proliferasi sel atau pertumbuhan tumor terganggu. Fitoestrogen menghambat tumor untuk membuat pembuluh darah baru untuk menyokong pertumbuhannya. Fitoestrogen terutama isoflavon terbukti dapat mencegah kerapuhan tulang pada tikus yang digunakan sebagai model penelitian osteoporosis. Kedelai memiliki kandungan asam amino bersulfur yang rendah. Keberadaan asam amino bersulfur akan menghambat resorpsi kalsium oleh ginjal sehingga tubuh akan mengalami kehilangan kalsium melalui urin sehingga dapat mengurangi densitas tulang. Produk kedelai yang mengandung isoflavon dapat membantu pengobatan sindrom menopause seperti hot flashes pada wanita yang memiliki kadar estrogen rendah (Koswara 2006).

Konsumsi produk makanan yang mengandung fitoestrogen seperti kedelai tidak hanya berdampak positif tetapi juga dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Fitoestrogen dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara pada wanita, kerusakan otak pada pria dan wanita, abnormalitas pada bayi, gangguan tiroid terutama wanita, penurunan asupan mineral karena adanya enzim fitase, pembentukan batu ginjal, kelemahan sistem imun, serta reaksi alergi yang parah dan fatal (Mercola & Droege 2004).

Fitoestrogen terbukti dapat meningkatkan kejadian kanker payudara seperti efek pemberian diethylstilbestrol (DES) pada mencit perinatal yang menyebabkan tumor mamari (Whitten & Patisaul 2001; Mercola & Droege 2004). Pemberian


(26)

preparat estrogen atau fitoestrogen, yang bekerja menyerupai estrogen, pada individu muda akan mempengaruhi kerentanan terhadap kanker mamari. Proliferasi dan diferensiasi struktur epithelial akan menjadi sensitif terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh karsinogen akibat pemberian preparat estrogen atau fitoestrogen (Whitten & Patisaul 2001). Fitoestrogen menyebabkan hilangnya perkembangan sistem reproduksi fetus jantan karena sifat estrogenik fitoestrogen dapat menghambat produksi testosteron yang bertanggungjawab dalam maskulinisasi saluran reproduksi dan genital luar individu jantan (North & Golding 2000; Williams et al. 2001).

2.3 Biologi Umum Tikus

Tikus laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian adalah Rattus norvegicus dan berasal dari galur albino tikus Norway. Peternakan tikus pertama didirikan pada tahun 1925 oleh Mr. Robert Worthington Dawley (1897-1949). Ahli kimia-fisika Universitas Wisconsin ini memberi nama galur tikus dari kombinasi nama gadis istrinya (Sprague) dengan namanya sendiri sehingga membentuk nama Sprague-Dawley. Galur Sprague Dawley dikembangkan dari hibridisasi tikus jantan yang memiliki ukuran dan tenaga luar biasa dan secara genetik berwarna setengah putih. Tikus jantan ini dikawinkan dengan tikus betina putih galur Douredoure yang mungkin berasal dari Wistar selama tujuh generasi. Seleksi dilakukan untuk mempertahankan atau mendapatkan karakteristik unggul seperti laktasi tinggi, pertumbuhan cepat, kuat, temperamen baik, dan resistan tinggi terhadap arsenik trioksida (Suckow et al. 2006).

Tikus termasuk ke dalam ordo Rodentia dan family Muridae. Tikus dewasa secara umum memiliki berat badan antara 300 dan 500 gr, dengan jantan yang lebih besar daripada betina. Kebanyakan tikus laboratorium adalah albino dengan rambut putih dan mata merah muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus memiliki sifat unggul untuk tujuan percobaan, yaitu rentang kehidupan pendek, waktu kebuntingan pendek, jumlah anak seperindukan banyak, keberagaman genetik besar, biaya pembelian dan pemeliharaannya murah, dan mudah dalam perawatan. Tikus merupakan hewan sosial dan dapat berkembang dengan baik meskipun dikandangkan sendiri atau dalam kelompok kecil yang jumlah


(27)

individunya sedikit. Tikus jarang berkelahi satu sama lain dan tikus-tikus jantan dapat dikandangkan bersama. Tikus menggali dan membuat sarang untuk tikus muda (Hrapkiewicz & Medina 1998). Kebanyakan galur tikus bersifat jinak, ingin tahu, dan mudah beradaptasi pada berbagai lingkungan (Reference 2008). Tikus akan menggigit karena takut jika ditangani secara kasar. Data biologi dan reproduksi tikus dapat dilihat pada Tabel 4.

Tikus berukuran jauh lebih besar dibandingkan mencit, memiliki kepala berbentuk kerucut, bertubuh silindris panjang, dan ditutupi oleh rambut. Tikus memiliki kaki yang pendek dan berekor panjang. Tikus memiliki lemak coklat yang penting dalam termogenesis. Lemak coklat ditemukan di antara skapula dan di dalam ventral region servikal. Lemak coklat dapat dikelirukan dengan kelenjar saliva atau limfonodus. Anatomi dari sistem gastrointestinal tikus secara umum mirip dengan mencit. Rumus gigi tikus adalah 2(1/1 seri, 0/0 taring, 0/0 premolar, 3/3 molar). Lambung dibagi menjadi aglandular forestomach dan glandular stomach. Tikus tidak dapat muntah karena lipatan pada batas punggung yang memisahkan dua bagian perut yang menutupi jalan masuk esophagus. Hal unik sistem digesti tikus adalah tidak adanya kantung empedu, adanya difus pankreas, serta sejumlah kelenjar saliva dan organ-organ yang mirip kelenjar di kepala dan leher. Sekum tikus sangat berkembang dan berfungsi untuk mencerna selulosa melalui bantuan mikroba seperti pada rumen. Tikus dengan mikroba sekum yang tidak berkembang menjadikan sekum sangat menggembung dan kadang-kadang berputar pada sumbu aksis sehingga dapat terjadi torsio sekal yang fatal (Hrapkiewicz & Medina 1998).

Penentuan jenis kelamin neonatal dilakukan melalui perbandingan jarak anogenital dan ukuran tonjolan genital. Tonjolan genital yang lebih besar dan jarak anogenital yang lebih besar merupakan ciri tikus jantan. Jenis kelamin tikus dewasa mudah untuk dibedakan. Tikus jantan memiliki testis di dalam skrotum. Testis dapat ditarik ulur karena pembukaan kanal inguinal. Tikus jantan memiliki os penis pada alat kelamin luarnya (Hrapkiewicz & Medina 1998; Suckow et al. 2006). Tikus betina memiliki jaringan mamari yang luas dan terletak di ventral tubuh dari leher ke daerah inguinal. Tikus memiliki 6 pasang kelenjar mamari, 3


(28)

pasang terletak di toraks dan 3 pasang terletak di abdominal (Hrapkiewicz & Medina 1998).

Gambar 3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina (Hrapkiewicz & Medina 1998).

Tabel 4 Data biologis dan reproduktif tikus Bobot Badan Dewasa

Jantan Betina

300-520 g 250-300 g

Usia 2.5-3.5 tahun

Suhu Tubuh 35.9-37.5 °C (96.6-99.5 °F)

Denyut Jantung 250-450 kali per menit

Frekuensi Napas 70-115 kali per menit

Konsumsi makanan 5-6g/100g/ hari

Konsumsi air 10-12 ml/100g/ hari

Umur Kawin

Jantan Betina

65-110 hari 65-110 hari

Panjang Siklus Estrus 4-5 hari

Periode Bunting 21-23 hari

Postpartum Estrus Fertil

Banyaknya Anak 6-12

Usia Penyapihan 21 hari

Lama Masa Kawin 350-330 hari

Jumlah Kromosom (diploid) 42

(Hrapkiewicz & Medina 1998)

Anak tikus dilahirkan tanpa rambut, buta, dan tuli. Anak tikus memiliki rambut secara utuh pada umur 7-10 hari, telinga terbuka pada umur 2.5-3.5 hari, dan mata terbuka pada umur 7-14 hari. Usia penyapihan tikus biasanya 21 hari. Suhu ruangan yang nyaman untuk tikus adalah 18-26 °C (64-79 °F) dan kelembaban sebesar 30% dan 70%. Tikus merupakan hewan nokturnal sehingga pada tikus laboratorium perlu dilakukan pengaturan cahaya. Siklus gelap ditujukan untuk aktivitas normal dan proses fisiologis tikus. Siklus terang di dalam laboratorium biasanya diatur oleh alat yang menyediakan 12-14 jam cahaya per hari. Jika siklus terang tidak diatur maka ritme jantung tikus akan terganggu


(29)

dan merusak hasil manipulasi eksperimental. Tikus dapat dijaga untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar komersial yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak. Tikus dapat makan rata-rata 5-6 g/100 g BB/hari. Tikus dewasa minum rata-rata sebanyak 10-12 ml/100 g BB/hari (Hrapkiewicz & Medina 1998).

2.4 Reproduksi Tikus Betina

2.4.1 Reproduksi Umum Tikus

Tikus mencapai pubertas pada usia 6-8 minggu dan biasanya tidak dikawinkan sampai mencapai umur 3 bulan. Panjang siklus berahi pada tikus betina adalah 4-5 hari yang terdiri dari fase proestrus selama 12 jam, estrus selama 12 jam, metestrus selama 21 jam, dan diestrus selama 57 jam (Hrapkiewicz & Medina 1998; Suckow et al. 2006). Vaginal plug terdapat dalam saluran reproduksi betina pada 12-24 jam setelah koitus. Massa seperti keju ini berguna untuk identifikasi telah terjadinya perkawinan. Deteksi siklus berahi dapat dilakukan dengan membuat preparat ulas vagina dan dilihat gambaran sel epitel vaginanya. Deteksi perkawinan bisa juga dilakukan dengan melihat adanya spermatozoa di antara sel-sel epitel tersebut. Periode kebuntingan tikus biasanya selama 21-23 hari. Tikus betina akan kembali estrus pada 2-4 hari setelah lepas sapih. Rata-rata jumlah anak seperindukan adalah 6-12 anak. Jumlah ini dapat bervariasi tergantung galur dan umur tikus (Hrapkiewicz & Medina 1998).

2.4.2 Hormon-hormon yang berperan dalam reproduksi tikus betina Hormon adalah zat perantara kimiawi jarak jauh yang secara spesifik disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin sebagai respon terhadap sinyal yang sesuai. Darah membawa zat perantara ini ke bagian tubuh lain tempat zat tersebut menimbulkan pengaruhnya pada sel sasaran dan terletak jauh dari tempat sekresinya. Kelenjar-kelenjar endokrin yang menjadi tempat sintesa hormon adalah hipotalamus, hipofisis, pineal, tiroid, paratiroid, adrenal, pankreas, plasenta, ginjal, lambung, duodenum, hati, kulit, timus, jantung, dan gonad (ovarium atau testis) (Sherwood 2001).


(30)

Tabel 5 Efek estrogen dan progesteron

Estrogen Progesteron Efek pada Jaringan Spesifik Seks

Esensial utuk pematangan dan pelepasan ovum Merangsang pertumbuhan dan memelihara

keseluruhan saluran reproduksi betina Merangsang proliferasi sel granulosa yang

menyebabkan pematangan folikel

Menipiskan mukus serviks untuk memudahkan penetrasi sperma

Meningkatkan transportasi sperma ke oviduk dengan merangsang kontraksi uterus dan kontraksi oviduk ke anterior

Merangsang pertumbuhan endomentrium dan miometrium

Menginduksi pementukan reseptor progesteron di endometrium dan selama reseptor oksitosin di miometrium selama gestasi

Efek Reproduksi Lain

Kontrol sekresi GnRH dan gonadotropin Kadar tinggi memicu lonjakan LH

Merangsang perkembangan duktus mamae selama kebuntingan

Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh prolaktin selama kebuntingan

Efek Nonreproduksi

Meningkatkan penimbunan lemak Menutup lempeng epifisis Menurunkan kolesterol darah

Memiliki efek vaskuler (defisiensi dapat menyebabkan hot flashes pada wanita menaupose)

Mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan fetus

Meningkatkan pembentukan sumbat mukus yang kental di kanalis servikalis

Menghambat sekresi GnRH dan gonadotropin hipotalamus

Merangsang perkembangan alveolus mamae selama kebuntingan

Menghambat efek stimulasi sekresi susu oleh prolaktin selama kebuntingan

Menghambat kontraksi uterus selama kebuntingan

(Sherwood 2001)

Ovarium adalah salah satu organ penghasil hormon yang berfungsi dalam sistem reproduksi primer betina. Ovarium melakukan tugas ganda yaitu menghasilkan ovum (oogenesis) dan mengeluarkan hormon-hormon steroid seks betina seperti estrogen dan progesteron. Estrogen bertanggung jawab untuk pematangan dan pemeliharaan seluruh sistem reproduksi betina. Efek estrogen penting pada masa prakonsepsi untuk pematangan folikel yang secara tidak langsung akan merangsang pengeluaran ovum dan pembentukan berbagai karakteristik fisik yang menarik perhatian jantan secara seksual. Estrogen juga penting untuk mengawali kerja hormon progesteron dalam proses proliferasi sel-sel pada uterus. Hormon steroid ovarium lain yaitu progesteron berperan penting untuk mempersiapkan lingkungan uterus yang sesuai untuk embrio yang sedang tumbuh, yaitu untuk proses implantasi, dan berperan dalam kemampuan mamari


(31)

menghasilkan susu (Marks et al. 2000; Sherwood 2001). Progesteron bersama-sama dengan estrogen akan lebih memperkaya lingkungan mikro uterus.

2.4.3 Mekanisme Hormonal Reproduksi Betina

Proses reproduksi hewan betina dimulai saat hewan mencapai usia dewasa kelamin. Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin pada umur 6-8 minggu (Hrapkiewicz & Medina 1998). Tikus betina sudah dapat memulai aktivitas reproduksinya yang diawali dengan terjadinya vaginal opening dan terjadinya siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Mekanisme siklus berahi juga menyebabkan pergantian fase-fase yang terjadi di dalam ovarium yaitu fase folikular yang berlangsung saat proestrus dan estrus serta fase luteal yang berlangsung saat metestrus dan diestrus (Campbell et al. 2004).

Fungsi ovarium secara langsung diatur oleh hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior yaitu FSH dan LH. Kedua hormon ini diatur oleh Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya ekspulsif dan memiliki mekanisme umpan balik. FSH dan LH memiliki target organ ovarium. Ovarium berada dalam fase folikular dan fase luteal secara bergantian setelah pubertas karena adanya pengaruh Follicle-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Fase folikular didominasi oleh adanya folikel matang yang aktif mensekresi estrogen dan fase luteal ditandai dengan adanya korpus luteum yang aktif mensekresi progesteron (Campbell et al. 2004).

Folikel-folikel primer dalam ovarium mulai tumbuh setiap saat sepanjang siklus selama fase folikular dan lingkungan hormonal yang tepat akan mendorong pematangan folikel. FSH adalah hormon yang merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel. Tidak semua folikel berkembang dan menjadi folikel yang matang/dominan. Folikel-folikel yang tidak berkembang dan tidak mendapat bantuan hormon akan mengalami atresia. Folikel-folikel yang berkembang akan memproduksi estrogen. Pengeluaran estrogen yang mencapai puncak dan konsentrasinya yang tinggi akan memicu lonjakan sekresi LH. Lonjakan sekresi LH ini menyebabkan ovulasi folikel yang matang sehingga sekresi estrogen menurun setelah ovulasi (Sherwood 2001; Campbell et al. 2004).


(32)

Sel-sel folikel yang masih tetap berada di ovarium setelah ovulasi, akan berkembang menjadi korpus luteum, yaitu jaringan endokrin yang mensekresikan hormon betina (mengeluarkan progesteron dan sedikit estrogen) selama fase luteal dalam siklus ovarium. Progesteron yang disekresikan akan menghambat sekresi FSH dan LH sehingga kadar kedua hormon tersebut menurun selama fase luteal. Kadar progesteron dan estrogen akan menurun tajam saat korpus luteum berdegenerasi sehingga pengaruh inhibitorik terhadap sekresi FSH dan LH akan hilang. Kadar kedua hormon ini akan kembali meningkat dan merangsang berkembangnya folikel-folikel baru seiring dengan berulangnya fase folikular. Fase-fase uterus juga terjadi bersamaan dengan fase folikular dan fase luteal selama siklus dan mencerminkan pengaruh hormon-hormon ovarium terhadap uterus. Estrogen yang disekresikan saat fase folikular juga akan digunakan untuk proliferasi sel-sel pada uterus sehingga pada awal fase folikular uterus memiliki lapisan endometrium yang kaya pembuluh darah. Akhir fase folikular dengan kadar estrogen yang meningkat akan semakin menyebabkan penebalan endometrium (fase proliferasi uterus). Progesteron dari korpus luteum setelah ovulasi akan menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik di endometrium yang telah dirangsang estrogen untuk menghasilkan lingkungan yang ideal untuk implantasi (fase sekretorik atau pregestasional uterus) (Sherwood 2001; Campbell et al. 2004).

2.4.4 Pengaruh Hormon Reproduksi terhadap Kebuntingan dan Laktasi

Hormon-hormon yang diproduksi selama kebuntingan selain dipergunakan untuk kebutuhan tumbuh kembangnya fetus juga dipergunakan untuk pertumbuhan organ-organ yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fetus. Estrogen berperan dalam perkembangan kelenjar mamari sebagai antisipasi laktasi dan merangsang pertumbuhan miometrium selama masa kebuntingan, serta meningkatkan kekuatan uterus untuk kelahiran. Progesteron selama masa kebuntingan berperan menekan kontraksi uterus agar lingkungan fetus tenang, mendorong pembentukan sumbat mukus di serviks untuk mencegah kontaminasi


(33)

uterus, dan membantu mempersiapkan kelenjar mamari untuk laktasi (Marks et al. 2000; Sherwood 2001).

Air susu yang diproduksi oleh kelenjar mamari merupakan zat esensial bagi keberlangsungan hidup tikus neonatus. Kelenjar mamari akan dipersiapkan untuk laktasi selama masa gestasi. Kelenjar mamari membentuk struktur dan fungsi kelenjar internal yang penting untuk menghasilkan susu di bawah pengaruh hormon-hormon yang terdapat selama kebuntingan. Kelenjar mamari terdiri dari jaringan duktus yang secara progresif mengecil dan bercabang dari puting mamae dan berakhir di lobulus-lobulus. Setiap lobulus terdiri dari sekelompok alveolus berlapis epitel yang membentuk kelenjar penghasil susu. Susu disintesis oleh sel epitel, disekresikan ke dalam lumen alveolus dan mengalir melalui duktus pengumpul susu ke permukaan puting mamae. Konsentrasi estrogen yang tinggi selama kehamilan akan menyebabkan perkembangan duktus yang ekstensif dan kadar progesteron yang tinggi akan merangsang pembentukan lobules alveolus. Peningkatan konsentrasi prolaktin (suatu hormon hipofisis anterior yang dirangsang oleh peningkatan kadar estrogen) akan menginduksi pembentukan enzim-enzim yang diperlukan untuk menghasilkan susu. Keberlangsungan laktasi setelah persalinan akan dipertahankan oleh prolaktin yang bekerja pada epitel alveolus untuk mensekresikan susu dan oksitosin yang menyebabkan penyemprotan susu. Pengeluaran hormon tersebut dirangsang oleh refleks neuroendokrin yang dipicu oleh rangsangan isapan pada puting mamae (Sherwood 2001).

2.4.5 Organogenesis

Organogenesis atau proses pembentukan organ-organ fetus merupakan waktu kritis yang sensitif terhadap agen toksik (Pyror et al. 2000). Proses ini terjadi pada kebuntingan tikus umur 7-17 hari (FSA 2011). Tahapan organogenesis tikus dapat dilihat pada Gambar 4.


(34)

19

 

 


(35)

Beberapa bahan kimia seperti pestisida, surfaktan, fitoestrogen, logam berat, dan obat-obatan farmasi dapat mengurangi jumlah ketersediaan reseptor estrogen. Hal ini disebabkan oleh kemampuan bahan-bahan kimia tersebut untuk berikatan dengan reseptor estrogen karena sifatnya yang menyerupai estrogen alami. Pemaparan bahan-bahan kimia ini selama organogenesis menyebabkan faktor genetik yang mengontrol maturasi akhir saraf di hipotalamus terganggu, sehingga mempengaruhi program proliferasi sel, migrasi, diferensiasi, dan pembentukan sinaps (Ramesh et al. 2004).Gangguan terhadap beberapa tahapan perkembangan fetus dapat menyebabkan perubahan tahapan selanjutnya dari perkembangan saraf sehingga gangguan jangka pendek dapat menyebabkan gangguan jangka panjang (Schettler et al. 2000).Pemaparan zat kimia toksik pada neonatus telah dilaporkan dapat mempengaruhi aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) yang menyebabkan perubahan pengaturan dan aktivasi sehingga HPA sensitif pada tantangan kimia lingkungan saat dewasa (McCormick et al. 1998). Pajanan estrogen selama periode kritis perkembangan fetus dapat merubah morfologi dan fisiologi penanda diferensiasi seksual. Sebuah penelitian dilakukan dengan memberikan 16 mg genistein dan 14 mg daidzein per 100 gram pakan kepada tikus Sparague Dawley bunting dan anak yang dilahirkannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi perpanjangan jarak celah anogenital pada anak tikus betina (Casanova et al. 1999).


(36)

 

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April-November 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah larutan NaCl fisiologis (0,9%), Normal Buffered Formaldehide (NBF), akuades, dan ekstrak tempe.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus berpenutup kawat kasa, timbangan Triple Beam Balance, penggaris, gelas objek, cotton bud, mikroskop, spuit 3 ml, seperangkat sonde lambung, timbangan analitik, kertas saring, peralatan bedah (alas, pisau, pinset, gunting), dan tisu.

Materi Penelitian A. Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus Rattus norvegicus galur Sprague Dawley betina berumur 16 minggu pada awal penelitian dan tikus jantan yang juga berumur 16 minggu untuk mengawini. Tikus dipelihara di Fasilitas Hewan Coba, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Kandang yang digunakan dalam penelitian berukuran 30 x 20 x 12 cm, berbahan dasar plastik, dan berpenutup kawat kasa pada bagian atasnya. Setiap kandang dialasi oleh sekam yang diganti secara periodik. Pakan dan air minum tikus diberikan ad libitum.

Tikus bunting didapatkan melalui perkawinan alamiah antara tikus jantan dan tikus betina dengan perbandingan jantan dan betina sebesar 1:2. Tikus-tikus tersebut ditempatkan dalam satu kandang. Setiap pagi, dilakukan ulas vagina pada masing-masing tikus betina yang telah dikawinkan. Preparat ulas vagina kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Bila pada preparat ulas vagina tersebut ditemukan sel-sel sperma maka tikus betina telah


(37)

  melakukan perkawinan dan pada umumnya dinyatakan bunting hari pertama (H1). Tikus betina yang telah dinyatakan bunting dikandangkan secara individu.

B. Fitoestrogen

Sumber fitoestrogen yang digunakan dalam penelitian berasal dari tempe yang diekstrak oleh ethanol 70% di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro). Setiap 100 gram ekstrak tempe mengandung 87.55 mg isoflavon yang terdiri dari 83.30 mg daidzein dan 4.25 mg genestein (hasil analisis Laboratorium Pengujian - Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian - Kementrian Pertanian).

Metode Penelitian A. Pengelompokan Hewan Coba

Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam empat kelompok percobaan yang masing-masing kelompok berjumlah tiga ekor yaitu: 1) kelompok K merupakan kelompok kontrol, adalah hewan yang tidak diberi ekstrak tempe, 2) kelompok A adalah kelompok hewan yang dicekok ekstrak tempe pada usia awal kebuntingan (H2 sampai H11), 3) kelompok B adalah kelompok hewan yang dicekok ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (H12 sampai H21), dan 4) kelompok C adalah kelompok hewan yang diberi ekstrak tempe pada masa laktasi (P2 sampai P11). Ekstrak tempe dengan dosis 4.72 gr/kgBB dilarutkan terlebih dahulu dalam 4 ml akuades dan diberikan secara force feeding dengan sonde lambung. Pemberian ekstrak tempe pada setiap tikus bunting dilakukan setiap hari selama 10 hari dan dilaksanakan setiap sore hari.

B. Pelaksanaan Penelitian

Tikus-tikus betina bunting pada masing-masing kelompok dibiarkan melahirkan secara alami. Anak tikus yang dilahirkan dibiarkan menyusu pada induknya. Anak tikus yang berjenis kelamin betina tersebut merupakan objek penelitian. Penentuan jenis kelamin anak tikus dilihat dari jarak celah anogenitalnya. Tikus betina memiliki jarak celah anogenital yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus jantan.

Saat tikus-tikus tersebut melahirkan, lama kebuntingan dan jumlah anak dalam sekali melahirkan dihitung. Pada hari kedua kelahiran, bobot anak


(38)

  ditimbang untuk menyatakan rataan bobot lahir. Pada hari ke-15 dan ke-21 setelah kelahiran dilakukan penimbangan bobot badan masing-masing anak dan pengukuran jarak celah anogenital. Penimbangan bobot badan dilakukan dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance dan pengukuran celah anogenital dilakukan dengan menggunakan penggaris.

Penetapan usia pubertas pada anak betina dilakukan dengan melihat hadirnya Vaginal Opening (VO = pembukaan vagina) (Zhou et al. 2007). VO diamati sejak anak betina tersebut berusia 18 hari. Pada saat anak berusia 28 dan 42 hari dilakukan penimbangan bobot badan dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance dan kemudian dinekropsi untuk diambil ovarium, uterus, dan vaginanya. Anak betina tersebut ditidurkan dengan menggunakan eter. Organ ovarium dan uterus-vagina didapatkan dengan menggunakan peralatan bedah. Bobot basah ovarium dan uterus-vagina ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik dan dinyatakan dalam satuan gram. Diagram bagan penelitian disajikan pada Gambar 5.

Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya A. Kinerja Induk

1. Lama Kebuntingan

Lama kebuntingan dihitung sejak ditemukannya sel sperma pada preparat ulasan vagina sampai induk betina tersebut melahirkan dengan satuan hari. 2. Jumlah Anak dalam Sekali Melahirkan dan Bobot Badan Anak

Jumlah anak dalam sekali melahirkan dari setiap induk dihitung melalui jumlah total anak pada hari pertama kelahiran. Bobot anak dihitung pada hari kedua setelah partus.

B. Kinerja Reproduksi Anak Betina 1. Jarak Anogenital

Jarak anogenital pada anak didapatkan dengan mengukur jarak celah yang dibentuk oleh anus dan alat genital dalam skala sentimeter pada usia 15 dan 21 hari.


(39)

  2. Usia Pubertas

Pubertas pada tikus betina ditandai dengan hadirnya Vaginal Opening (VO). Pemeriksaan pubertas dilakukan setiap hari sejak umur anak 18 hari sampai didapatkan VO.

3. Bobot Badan, Bobot Ovarium dan Bobot Uterus-Vagina

Bobot badan, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina ditimbang pada saat anak berusia 28 dan 42 hari dan dinyatakan dalam satuan gram. Bobot badan diukur dengan menggunakan timbangan Triple Beam Balance. Bobot ovarium dan bobot uterus-vagina yang diukur dengan menggunakan timbangan analitik merupakan bobot basah organ. Bobot basah didapat melalui pengkuran segera setelah organ dikeluarkan dari tubuh.

Analisis Statistik

Hasil parameter yang telah diukur dinyatakan dalan rataan ± simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika melalui analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) (Steel & Torrie 1991).


(40)

25


(41)

 

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kinerja Induk

Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak yang meliputi jumlah anak dalam sekali melahirkan dan rataan bobot badan lahir anak. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan ± SD lama kebuntingan, jumlah anak lahir, dan bobot badan lahir anak

Parameter Kelompok P

K A B C Lama Kebuntingan

(Hari) 22 ± 0 22 ± 0 21.7 ± 0.6 22 ± 0 tn

Jumlah Anak dalam Sekali Melahirkan (Ekor)

7.7 ± 1.2 7.7 ± 2.1 7.7 ± 1.2 7.3 ± 0.6 tn Rataan BB Lahir

Anak (Gram) 5.89 ± 0.42

a

4.71 ± 0.40 b 6.69 ± 0.69 a 6.05 ± 0.14 a 0.0046 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

Lama kebuntingan pada kelompok kontrol (K) dan kelompok yang mendapatkan fitoestrogen selama awal kebuntingan (A), akhir kebuntingan (B) dan saat laktasi (C) tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Lama kebuntingan normal pada tikus Sprague Dawley adalah 21-23 hari (Hrapkiewicz & Medina 1998). Namun demikian, kelompok B terlihat memiliki lama kebuntingan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Fitoestrogen diduga dapat menginduksi terjadinya kelahiran melalui mekanismenya yang menyerupai estrogen pada tubuh. Kadar hormon estrogen secara normal akan meningkat seiring bertambahnya usia kebuntingan. Konsentrasi estradiol melonjak secara drastis setelah usia kebuntingan 12 hari hingga mencapai konsentrasi tertinggi sebesar 68.268±1.919 pg/ml pada usia


(42)

  kebuntingan 16 hari (Tuju & Manalu 1996). Peningkatan kadar estrogen selama kehamilan akan menginduksi peningkatan konsentrasi reseptor oksitosin di miometrium secara progresif sehingga dapat menyebabkan dimulainya proses kelahiran (Sherwood 2001).

Hasil pengamatan mengenai jumlah anak dalam sekali melahirkan dari seluruh kelompok tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Jumlah anak dalam sekali melahirkan tikus Sprague Dawley menurut Hrapkiewicz & Medina (1998) adalah 6-12 ekor. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah anak dalam sekali melahirkan dari seluruh kelompok menandakan bahwa pemberian fitoestrogen tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ruhlen et al. (2008) yang menyatakan bahwa jumlah anak dalam sekali melahirkan tidak dipengaruhi oleh pemberian pakan yang mengandung diet fitoestrogen rendah maupun diet fitoestrogen tinggi yang berbahan dasar kedelai.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beda nyata pada rataan bobot badan lahir anak kelompok A (p<0.05). Kelompok A juga terlihat memiliki bobot badan lahir anak yang lebih rendah bila dibandingkan baik dengan kelompok kontrol maupun kelompok B dan C. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok B dan C dalam rataan bobot badan lahir anak. Perbedaan yang nyata pada kelompok A dengan kelompok kontrol ini menunjukan bahwa pemberian fitoestrogen ekstrak tempe pada usia awal kebuntingan yaitu hari ke-2 sampai hari ke-11 (H2-H11) dapat mempengaruhi rataan bobot badan lahir anak. Usia kebuntingan 2-11 hari berada dalam rentang tahapan embrionik dan sel-sel bakal anak aktif membelah. Proses organogenesis yang terdapat dalam tahapan embrionik memiliki laju yang cepat sehingga embrio paling sensitif selama trisemester pertama (awal kebuntingan). Embrio tersebut sensitif terhadap berbagai jenis gangguan seperti radiasi dan obat-obatan yang dapat menyebabkan kecacatan saat lahir (Campbell et al. 2004). Fitoestrogen memiliki komponen berupa genestein yang berasal dari kelompok isoflavon. Genistein memiliki aktivitas yang secara poten dapat menghambat pembelahan sel melalui interaksinya dengan protein tirosin kinase (Akiyama et al. 1987). Penghambatan pembelahan sel oleh fitoestrogen pada sel-sel bakal anak


(43)

  yang berada dalam tahapan embrionik diduga menjadi penyebab rendahnya bobot badan anak yang dilahirkan pada kelompok A.

Kelompok B memiliki nilai rataan bobot badan lahir anak yang tertinggi di antara seluruh kelompok meskipun tidak memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Fitoestrogen diduga dapat mendukung pertumbuhan fetus dalam periode akhir kebuntingan melalui mekanisme kerjanya yang menyerupai estrogen. Pertumbuhan fetus secara alami akan meningkat secara eksponensial pada akhir kebuntingan. Besarnya tingkat pertumbuhan fetus tergantung terutama pada asupan nutrisi dan kemampuan fetus memanfaatkan nutrisi tersebut. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus adalah genetik (spesies, ras, jumlah anak, genotipe), lingkungan (nutrisi induk, ukuran dan aliran darah plasenta), dan hormonal fetus (Jainudeen & Hafez 2000). Fitoestrogen merupakan substansi yang mempunyai kemampuan seperti hormon estrogen. Estrogen tubuh dapat berfungsi untuk menambah proliferasi sel dan meningkatkan penimbunan lemak sehingga estrogen dapat menyebabkan terjadinya kenaikan bobot badan (Sherwood 2001). Mekanisme inilah yang diduga sebagai faktor lain yang dapat menambah bobot badan anak di akhir kebuntingan akibat pemberian fitoestrogen melalui induk. Fitoestrogen ini dapat masuk ke dalam tubuh fetus melalui plasenta induk (Todaka et al. 2005).

4.2 Kinerja Reproduksi Anak Betina

4.2.1 Jarak Celah Anogenital dan Usia Pubertas

Jarak celah anogenital dan usia pubertas yang diekspresikan melalui vaginal opening adalah parameter awal yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak tempe yang diberikan melalui induk terhadap kinerja reproduksi anak betina. Data hasil penelitian ini dicantumkan pada Tabel 7.


(44)

  Tabel 7 Rataan ± SD jarak celah anogenital dan usia vaginal opening

Parameter Kelompok P

K A B C

Jarak Celah Anogenital

Anak 15 Hari (cm) 0.62 ± 0.03

c

0.70 ± 0a 0.60 ± 0c 0.65 ± 0b 0.0001 Jarak Celah Anogenital

Anak 21 Hari (cm) 0.77 ± 0.03

b

0.88 ± 0.03a 0.85 ± 0a 0.75 ± 0b 0.0001 Usia Vaginal Opening

(Hari) 43.3 ± 0.6

c

50.7 ± 3.8b 55.7 ± 0.6a 51.0 ± 0b 0.0004 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus.

Hasil penelitian menunjukan bahwa jarak celah anogenital anak pada usia 15 dan 21 hari kelompok A memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol dan memiliki nilai terbesar di antara semua kelompok (p<0.05). Hal ini menunjukan bahwa pemberian fitoestrogen pada induk di usia awal kebuntingan (usia 2-11 hari) dapat mempengaruhi jarak celah anogenital anak betina yang dilahirkannya. Perpanjangan jarak celah anogenital pada anak tikus betina juga pernah dilaporkan dalam penelitian Casanova et al. (1999) yang memberikan 16 mg genistein dan 14 mg daidzein per 100 gram pakan pada tikus Sparague Dawley bunting dan anak yang dilahirkannya. Perpanjangan jarak celah anogenital merupakan ciri telah terjadinya efek maskulinisasi pada individu betina yang diekspresikan pada alat kelamin luar (Baskin 2000). Fitoestrogen yang diberikan selama perlakuan dapat mempengaruhi perpanjangan jarak celah anogenital melalui interaksinya dengan protein tirosin kinase (Casanova et al. 1999). Protein tirosin kinase ini akan dihambat secara poten oleh genistein, salah satu komponen fitoestrogen (Akiyama et al. 1987), sehingga faktor-faktor pertumbuhan seperti proliferasi sel yang dipengaruhi oleh protein kinase juga terhambat (Kim et al. 1998). Masa kebuntingan awal yang merupakan tahapan embrionik dan di dalamnya terdapat fase organogenesis merupakan fase kritis terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel. Staack et al. (2003) menyatakan bahwa sistem reproduksi betina berkembang dari duktus Mullerian atau para mesonefros yang terjadi selama masa organogenesis. Perkembangan sistem reproduksi betina


(45)

  ini tidak membutuhkan stimulasi hormonal. Oleh karena itu, perkembangan sistem reproduksi betina dipengaruhi oleh keberhasilan sel-sel saat sel berkembang dan berdiferensiasi. Gangguan terhadap protein kinase oleh fitoestrogen dapat menyebabkan terhambatnya proliferasi sel termasuk dalam sel-sel duktus Mullerian yang akan berkembang menjadi organ genital betina. Hal inilah yang diduga sebagai faktor penyebab terjadinya efek maskulinisasi berupa perpanjangan jarak celah anogenital yang terlihat pada tikus betina.

Efek maskulinisasi lain yang dapat terjadi pada tikus betina ditunjukan dengan terjadinya penundaan vaginal opening pada individu tersebut (Strand 1999). Data pengamatan memperlihatkan bahwa terjadinya vaginal opening pada anak betina dari seluruh kelompok perlakuan memiliki usia yang lebih lama dan memiliki nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0.05). Vaginal opening merupakan tanda dimulainya pubertas bagi tikus betina (Zhou et al. 2007). Hrapkiewicz & Medina (1998) menyatakan bahwa pubertas tikus normal terjadi pada usia 6-8 minggu. Usia vaginal opening yang lebih lama pada semua kelompok perlakuan yaitu kelompok A, B, dan C menandakan telah terjadi adanya penundaan pubertas karena pemberian ekstrak tempe. Penundaan pubertas karena pemberian fitoestrogen sejalan dengan penelitian Levy (1995) yang menunjukan bahwa pemberian genistein (sebagai salah satu bagian dari fitoestrogen) sebanyak 5.000 μg secara subkutan pada tikus Charles River CD yang bunting usia 16-20 hari dapat menyebabkan penundaan onset pubertas.

Efek maskulinisasi yang terjadi pada anak betina dalam kelompok perlakuan ditunjukan dengan adanya perpanjangan jarak celah anogenital dan penundaan usia pubertas. Efek maskulinisasi ini menunjukan bahwa fitoestrogen ekstrak tempe dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak betina meskipun fitoestrogen diberikan melalui induk bunting dan induk laktasi. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan fitoestrogen untuk dapat dipindahkan dari induk ke fetus melalui plasenta (Todaka et al. 2005) dan juga fitoestrogen dapat disekresikan melalui susu induk (Lewis et al. 2003).


(46)

  4.2.2 Bobot Badan, Bobot Ovarium, dan Bobot Uterus-Vagina

Parameter lainnya yang diamati untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak tempe yang diberikan melalui induk terhadap kinerja reproduksi anak betina adalah bobot badan, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina. Data dapat dilihat pada Tabel 8 (untuk anak usia 28 hari) dan Tabel 9 (untuk anak usia 42 hari).

Tabel 8 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina anak betina usia 28 hari

Parameter Kelompok P

K A B C Bobot Badan

(Gram) 24.96 ± 3.54

a

16.43 ± 0.50b 24.15 ± 1.31a 23.47± 4.15a 0.0144 Bobot Ovarium

(Gram) 0.02 ± 0.01 0.01± 0.00 0.02 ± 0.00 0.01 ± 0.00 tn Bobot

Uterus-Vagina (Gram) 0.03 ± 0.01

a

0.02± 0.00b 0.04± 0.00a 0.03± 0.01ab 0.0395 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

   

Hasil pengamatan mengenai bobot badan anak usia 28 hari menunjukan bahwa bobot badan anak betina kelompok A memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol dan memiliki nilai terkecil di antara semua kelompok (p<0.05). Kecilnya bobot badan ini diduga disebabkan oleh bobot badan anak saat lahir yang juga kecil. Hal ini diduga karena sebagian besar nutrisi yang didapatkan oleh anak sejak lahir hingga mencapai usia 28 hari merupakan nutrisi yang berasal dari susu induk. Susu induk disekresikan pada masa laktasi yang berlangsung selama 21 hari pertama setelah partus. Pada masa laktasi anak belum mempunyai kemampuan untuk mencari makanannya sendiri. Oleh karena itu, bobot badan anak kelompok A yang sejak lahir memiliki nilai yang terkecil di antara semua kelompok tidak dapat meningkatkan bobot badan yang setara dengan kelompok lainnya yang memiliki rataan bobot lahir yang lebih besar.

Hasil penelitian menunjukan bahwa bobot ovarium pada seluruh kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata, sedangkan bobot uterus-vagina anak kelompok A pada usia 28 hari memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok


(47)

  kontrol (p<0.05). Bobot ovarium anak kelompok A memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol dan bobot uterus-vaginanya memiliki nilai yang terkecil di antara semua kelompok. Bobot ovarium dan bobot uterus-vagina yang kecil berkorelasi dengan rendahnya bobot badan anak kelompok A pada usia 28 hari. Usia 28 hari belum termasuk ke dalam usia pubertas yang memiliki siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus) serta siklus hormonal seperti sekresi estrogen. Belum adanya sekresi estrogen yang memadai menyebabkan proliferasi sel-sel ovarium dan uterus-vagina belum efisien.

Tabel 9 Rataan ± SD bobot badan anak, bobot ovarium, dan bobot uterus-vagina anak betina usia 42 hari

Parameter Kelompok P

K A B C Bobot Badan

(Gram) 52.91 ± 9.88 66.18 ± 4.53 57.01± 4.24 54.17 ± 13.89 tn Bobot Ovarium

(Gram) 0.02± 0.00

c

0.05± 0.00a 0.04± 0.01b 0.03± 0.00b 0.0002 Bobot

Uterus-Vagina (Gram) 0.06 ± 0.01

c

0.10 ± 0.01a 0.08 ± 0.01b 0.07 ± 0.00bc 0.0007 Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukan bahwa hasil

berbeda nyata (p<0.05); K = kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, A = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada akhir kebuntingan (usia 12 hari-partus), C = kelompok perlakuan pemberian ekstrak tempe pada hari ke 2-11 setelah partus; tn = tidak berbeda nyata

Data penelitian menunjukan bahwa bobot badan anak usia 42 hari pada seluruh kelompok tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol. Namun demikian, kelompok A memiliki nilai bobot badan anak tertinggi di antara semua kelompok. Tingginya bobot badan ini diduga merupakan proses fisiologis tubuh anak melalui mekanisme pertumbuhan pengganti (compensatory growth). Kandungan lemak dalam tubuh dapat mempengaruhi bobot badan dan asupan pakan. Selama masa pertumbuhan pengganti, individu akan mengalami hiperfagia, peningkatan bobot badan secara cepat, dan penyimpanan cadangan energi yang banyak (Jobling & Johansen 1999). Hornick et al. (2000) menyatakan bahwa individu yang sangat kurus dan kemudian diberi pakan ad libitum akan mengalami kenaikan asupan pakan sehingga individu tersebut dapat meningkatkan deposisi lemak dalam tubuhnya saat pertumbuhan pengganti berlangsung. Hal ini sejalan dengan penelitian Clearly (1986) yang menunjukan


(48)

  bahwa tikus dapat mengalami kenaikan bobot badan pada masa pertumbuhan pengganti setelah tikus tersebut diberi pakan ad libitum. Pada usia 28 hari bobot badan anak kelompok A memiliki nilai yang terkecil dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya bobot lahir anak kelompok A dan sebagian besar nutrisi yang didapatkan berasal dari susu induk dalam masa laktasi (21 hari setelah partus). Setelah usia 21 hari atau berakhirnya masa laktasi, anak mulai bisa mencari makanan sendiri dan tidak tergantung pada induk. Oleh karena itu, anak betina kelompok A bisa mendapatkan nutrisi tambahan yang berasal dari pakan untuk menaikan bobot badan dan mencapai bobot badan tertinggi di antara seluruh kelompok. Selain itu, mendekati usia 42 hari yang merupakan usia menjelang pubertas terjadi peningkatan aktivitas Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). Peningkatan GnRH akan berdampak terhadap meningkatnya kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing Hormone (LH), dan testosteron. Kenaikan ketiga hormon tersebut berdampak terhadap meningkatnya sintesis estrogen tubuh. Adanya estrogen yang juga berfungsi untuk menambah proliferasi sel dan meningkatkan penimbunan lemak dapat menyebabkan naiknya bobot badan anak betina (Sherwood 2001).

Hasil penelitian mengenai bobot ovarium anak usia 42 hari menunjukan bahwa seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot ovarium yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0.05). Bobot ovarium pada seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal yang sama juga ditunjukan pada bobot uterus-vagina yang memiliki nilai beda nyata (p<0.05) dan seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai bobot uterus-vagina yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Kadar estrogen dalam tubuh anak usia 42 hari yang merupakan usia menjelang puber mengalami peningkatan. Pada tahap awal pubertas, hormon gonadotropin (FSH dan LH) merangsang tahap awal perkembangan folikel sehingga merangsang pematangan sel folikel. Sel-sel folikel yang telah matang dapat menghasilkan estrogen. Estrogen terhadap jaringan reproduksi berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan memelihara keseluruhan saluran reproduksi betina, merangsang proliferasi sel granulosa yang menyebabkan pematangan folikel, serta merangsang pertumbuhan endomentrium dan miometrium (Sherwood 2001). Keberadaan


(49)

  estrogen ini akan meningkatkan perkembangan ovari dan uterus-vagina termasuk bobot organ-organ tersebut.

Tingginya bobot organ reproduksi anak usia 42 hari pada kelompok yang mendapat ekstrak tempe diduga sebagai akibat adanya fitoestrogen yang terkandung dalam ekstrak tempe. Fitoestrogen dapat dipindahkan dari induk ke anak melalui plasenta (Todaka et al. 2005) dan susu induk (Lewis et al. 2003). Oleh karena itu, fitoestrogen dapat berpengaruh terhadap kinerja reproduksi anak betina dalam hal bobot organ reproduksi meskipun fitoestrogen ekstrak tempe yang diberikan pada kelompok perlakuan dilakukan melalui induk bunting dan induk laktasi. Fitoestrogen ini dapat bekerja seperti estrogen saat di dalam tubuh. Estrogen bekerja pada keseluruhan saluran reproduksi betina termasuk dalam pertumbuhan dan proliferasi sel-sel dalam ovarium dan uterus-vagina (Sherwood 2001). Pertumbuhan dan proliferasi ovarium dan uterus-vagina dapat berakibat terhadap bertambahnya bobot organ-organ tersebut. Hal inilah yang diduga sebagai mekanisme terjadinya pertambahan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina akibat pemberian fitoestrogen ekstrak tempe.


(50)

 

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pemberian fitoestrogen yang berasal dari ekstrak tempe dosis 4.72 gr/kgBB pada awal kebuntingan, akhir kebuntingan, dan awal laktasi dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak betina tikus Sprague Dawley berupa:

• memperpanjang jarak celah anogenital • menunda usia pubertas

• meningkatkan bobot ovarium dan bobot uterus-vagina anak usia 42 hari 5.2 Saran

Saran yang diajukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah jumlah ulangan tikus percobaan yang digunakan lebih banyak untuk memperkecil standar deviasi, diperlukan penelitian lanjut dengan menggunakan berbagai tingkatan dosis fitoestrogen, dan penelitian dilanjutkan sampai anak betina mencapai usia dewasa kelamin untuk melihat produktivitasnya.


(51)

 

DAFTAR PUSTAKA

Adlercreutz H, Goldin BR, Gorbach SL. 1995. Soybean phytoestrogen intake and cancer risk. J Nutr. 125:757–770.

Akiyama T et al. 1987. Genistein: a specific inhibitor of tyrosine-specific protein kinase. J Biol Chem 262:5592–5595.

Anderson JJB, Anthony M, Messina M, Garner SC. 1999. Effects of phyto-estrogens on tissues. Nutr Res Rev 12:75-116.

Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Jakarta: Penebar Swadaya.

Axelson M, Setchell KDR. 1981. The excretion of lignans in rats- Evidence for an intestinal bacterial source for this new group of compounds. FEBS Lett 123:337–342.

Bames S, Kirk M, Coward L. 1994. Isoflavones and their conjugates in soy foods: extraction conditions an analysis by hplc-mass spectrometry. J Agric Food Chem 42:2466-74.

Baskin LS. 2000. Hypospadias and Genital Development Volume 545. San Fransisco: University of California.

Bingham SA, Atkinson C, Liggins J, Bluck L, Coward A. 1998. Phyto-oestrogens: where are we now?. J Nutr 79:393-406.

Boga Y. 2005. Tahu & Tempe Plus Susu Kedelai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Brown NM, Setchell KDR. 2001. Animal models impated by phytoestrogens in commercial chow: implications for pathways influenced by hormons. Lab Invest 81: 735-747.

Campbell, Jane B, Reece. 2004. Biology Ed 3. Jakarta: Erlangga.

Casanova M et al. 1999. Rats and Interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors α and β in vitro. J Toxicol Sci 51: 236-244.

Clearly MP. 1986. Consequences of restricted feeding/refeeding cycles in lean and obese female zucker rats. J Nutr 116: 290-303.

[FSA] Food Standards Agency. 2011. Effects of phytoestrogens on fertility and development. [terhubung berkala]. http://www.food.gov.uk. [10 Nov 2011].


(1)

 

PEMBERIAN FITOESTROGEN EKSTRAK TEMPE PADA

INDUK BUNTING DAN INDUK LAKTASI TERHADAP

FUNGSI REPRODUKSI ANAK BETINA TIKUS

SPRAGUE

DAWLEY

 

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012 


(2)

 

DAFTAR PUSTAKA

Adlercreutz H, Goldin BR, Gorbach SL. 1995. Soybean phytoestrogen intake and cancer risk. J Nutr. 125:757–770.

Akiyama T et al. 1987. Genistein: a specific inhibitor of tyrosine-specific protein kinase. J Biol Chem 262:5592–5595.

Anderson JJB, Anthony M, Messina M, Garner SC. 1999. Effects of phyto-estrogens on tissues. Nutr Res Rev 12:75-116.

Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Jakarta: Penebar Swadaya.

Axelson M, Setchell KDR. 1981. The excretion of lignans in rats- Evidence for an intestinal bacterial source for this new group of compounds. FEBS Lett 123:337–342.

Bames S, Kirk M, Coward L. 1994. Isoflavones and their conjugates in soy foods: extraction conditions an analysis by hplc-mass spectrometry. J Agric Food Chem 42:2466-74.

Baskin LS. 2000. Hypospadias and Genital Development Volume 545. San Fransisco: University of California.

Bingham SA, Atkinson C, Liggins J, Bluck L, Coward A. 1998. Phyto-oestrogens: where are we now?. J Nutr 79:393-406.

Boga Y. 2005. Tahu & Tempe Plus Susu Kedelai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Brown NM, Setchell KDR. 2001. Animal models impated by phytoestrogens in commercial chow: implications for pathways influenced by hormons. Lab Invest 81: 735-747.

Campbell, Jane B, Reece. 2004. Biology Ed 3. Jakarta: Erlangga.

Casanova M et al. 1999. Rats and Interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors α and β in vitro. J Toxicol Sci 51: 236-244.

Clearly MP. 1986. Consequences of restricted feeding/refeeding cycles in lean and obese female zucker rats. J Nutr 116: 290-303.

[FSA] Food Standards Agency. 2011. Effects of phytoestrogens on fertility and development. [terhubung berkala]. http://www.food.gov.uk. [10 Nov 2011].


(3)

37

 

  Hornick JL, Eanaeme CV, Gerard O, Dufrasne I, Istasse L. 2000. Mechanisms of

reduced and compensatory growth. Dom Anim Endoc 19(2):121-132.

Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An Introduction. Iowa State University Press: State Avenue.

Humfrey CDN. 1998. Phytoestrogens and human health effects: weighing up the current evidence. Nat Toxins 6:1-59.

Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Gestation, prenatal, physiology, and parturition. Di dalam: Reproduction in Farm Animals 7th Ed. Hafez B, Hafez ESE ed. Philadelphia: Lippncott Williams & Wilkins.

Jobling M, Johansen SJS. 1999. The liostat, hyperphagia, and catch-up growth. Aquat Res 30(7):473-478.

Kim H, Peterson TG, Barnes S. 1998. Mechanisms of action of the soy isoflavone genistein: emerging role for its effects via transforming growth factor b signaling pathways. J Clin Nutr 68:1418–1425.

Koswara S. 2006. Isoflavon, Senyawa Multi Manfaat dalam Kedelai. [terhubung berkala]. Bogor: ebookpangan.com [11 November 2011].

Levy JR, Faber KA, Ayyash L, Hughes CLJ. 1995. The effect of prenatal exposure to phytoestrogen geinstein on sexual differentiation in rats. Proc Soc Exp Biol Med 208: 60-66.

Lewis RW et al. 2003. The effect of phytoestrogen genistein on the postnatal development of the rat. Toxicol Sci 71:74-83.

Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: EGC.

McCormick CM, Furey BF, Child Meredith, Sawyer MJ, Donohue SM. 1998. Neonatal sex hormons have organizational effects on the hypothalamic– pituitary–adrenal axis of male rats. Brain Res Dev Brain Res 105:295–307.

Mercola J, Droege R. 2004. Soy: is it healthy or is it harmful?. [terhubung berkala]. http://articles.mercola.com/sites/articles/archive/2004/01/21/soy-part-eight.aspx?aid=CD12 [10 Feb 2012].

Milligan SR et al. 1999. Identification of a potent phytoestrogen in hops (Humulus lupulus L.) and beer. J Clin Endocrinol Metab 84:2249-2252.

Murkies AL, Wilcox G, Davis SR. 1998. Phytoestrogens. J Clin Endocrinol Metab 2:297-303.


(4)

  Nadesul H. 2008. Cara Sehat Menjadi Perempuan. Jakarta: Kompas Media

Nusantara.

[NCCAM] National Center for Complementary and Alternative Medicine. 2010.

Soy. [terhubung berkala]. http://nccam.nih.gov/health/soy/ataglance.htm#cautions. [19 Mar 2012].

North K, Golding J. 2000. A maternal vegetarian diet in pregnancy is associated with hypospadias. J Urol Int 85:107-113.

Pryor JL, Hughes C, Foster W, Hales BF, Robaire B. 2000. Critical windows of exposure for children's health: the reproductive system in animals and humans. Environ 108:491-503.

Ramesh A, Inyang F, Knuckles ME. 2004. Modulation of adult rat benzo(a)pyrene (BaP) metabolism and DNA adduct formation by neonatal diethylstilbestrol (DES) exposure. Experiment Toxicol Pathol 56:129-138.

Reference M. 2008. The Illustrated Encyclopedia Of North American Mammals: A Comprehensive Guide To Mammals Of North America. [terhubung berkala].

http://books.google.co.id/books?id=VxK4KWrGn2cC&printsec=frontcover &vq=Sprague-Dawley&hl=id#v=onepage&q=Sprague-Dawley&f=false. [19 Mar 2012].

Rishi RK. 2002. Phytoestrogens in health and illness. J Pharmacol 34:311-320.

Ruhlen RL et al. 2008. Low Phytoestrogen Levels in Feed Increase Fetal Serum Estradiol Resulting in the “Fetal Estrogenization Syndrome” and Obesity in CD-1 Mice. J Environ Health Perspect 116(3):322-328.

Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai (Teori dan Praktek). Malang: Universitas Widyagama.

Santoso BH. 2008. Peluang Usaha Bisnis Tempe. Yogyakarta: Kanisius.

Santoso H, Ismail A. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia: Uraian Medis dan Pedagogis-Pastoral. Jakarta: Gunung Mulia.

Sarwono B. 2010. Usaha Membuat Tempe dan Oncom. Depok: Penebar Swadaya.

Setchell KDR, Borrieio SF, Hulme P, Kirk DN, Axelson M. 1984. Non-steroidal estrogens of dietary origin: possible roles in hormon dependent disease. J Clin Nutr 40:569 –578.

Setchell KDR. 1998. Phytoestrogens: The Biochemistry, Physiology, and Implications for Human Health of Soy Isoflavones. J Clin Nutr 68:1333-1346.


(5)

39

 

  Schettler T, Stein J, Reich F, Valenti M. 2000. In harm’s way: toxic threats to

child development. A report by greater Boston physicians for social responsibility. Cambridge: MA.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Brahm, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human Physiology: from cells to systems.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Tempe kedelai. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Staack A, Donjacour AA, Brody J, Cunha GR, Carrol P. 2003. Mouse urogenital development: a practical approach. J Differ 71:402-413.

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia.

Strand FL. 1999. Neuropeptides: Regulators of Physiological Processes. USA: Massachusetts Institute of Technology.

Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. California: Elseiver Inc.

Sugiarto, Herlambang T, Brastoro, Sudjana R, Kelana S. 2002. Ekonomi Mikro. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Todaka et al. 2005. Fetal exposure to phytoestrogen-the difference in phytoestrogen status between mother and fetus. Environ Res 99(2):195-203.

Tuju EA, Manalu W. 1996. Hubungan antara peningkatan konsentrasi estradiol dan progesterone dalam serum induk dengan perkembangan fetus dan kelenjar susu selam akebuntingan pada tikus putih (Rattus sp.). J Biosfera 5:26-36.

[USDA] United States Department of Agriculture. 1999. Iowa state university database on the isoflavone content of foods. [terhubung berkala]. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/Data/isoflav/isoflav.html [10 Feb 2012].

Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profil lipid, superoksida dismutase, LDL teroksidasi dan malonidialdehyde pada wanita menopause. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Whitten PL, Patisaul HB. 2001. Cross-species and interassay comparison of phytoestrogen action. J Environ Health Perspect 109:5-20.

Williams K et al. 2001. Neonatal exposure to potent and environmental oestrogens and abnormalities of the male reproductive system in the rat:


(6)

  evidence for importance of the androgen-oestrogen balance and assessment of the relevance to man. Human Reprod Update 7:236-247.

Zhou Y et al. 2007. Effect maternal nuclear genom in the timing of puberty in mice offspring. J Endocrinol 193:405-412.