Pengaruh Kosentrasi Garam dalam Proses Perebusan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Setengah Kering dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang tersedia hampir di seluruh perairan Indonesia dan merupakan salah satu komoditas ekspor andalan dari sub sektor perikanan. Setiap tahunnya, terjadi peningkatan pangsa pasar ekspor ke negara-negara tujuan ekspor misalnya Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (KKP 2009).

Pengolahan ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan kegiatan pasca panen yang bertujuan mengatasi sifat perishable pada ikan melalui peningkatan daya awet. Disamping itu pengolahan juga dapat memberikan nilai tambah (added value) suatu produk. Dari berbagai cara pengolahan hasil perikanan, pengeringan merupakan salah satu metode yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Prosesnya sederhana dan biayanya relatif murah. Dewasa ini beberapa produk olahan hasil pengeringan diminati oleh pasar internasional. Salah satunya adalah teri nasi setengah kering yang banyak diekspor ke Jepang, Singapura dan Hongkong. Pasar internasional menuntut persyaratan khusus terhadap barang yang diperdagangkan di dalamnya. Persyaratan tersebut berupa kontinuitas mutu pada taraf tertentu dan jaminan keamanan/keselamatan bagi konsumen (Pratiwi 2002).

Usaha pengolahan ikan teri nasi baik kering maupun setengah kering, dapat dijumpai di berbagai pelosok daerah. Dalam pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian mutu produk tersebut perlu melibatkan kelembagaan UKM sebagai motor penggerak dalam peningkatan mutu produk yang dihasilkan. Akan tetapi terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh UKM, sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku tahun 2003 dan APEC tahun 2020 berimplikasi luas terhadap UKM untuk bersaing di perdagangan bebas. UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global (Disperindag 2009). Dengan demikian perlu dilakukan upaya peningkatan mutu produk teri nasi setengah kering sebagai salah satu produk unggulan UKM perikanan.


(2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa titik kritis pada rantai pengolahan ikan teri nasi berada pada tahap perebusan, penjemuran, pembloweran dan sortir mutu. Perebusan dan penjemuran merupakan titik kritis terhadap bahaya biologi (Pratiwi 2002) sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kosentrasi garam yang digunakan dalam proses perebusan.

Umur simpan produk pangan (Shelf life) merupakan salah satu informasi yang sangat penting bagi konsumen. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan dan untuk memberikan jaminan mutu pada saat produk sampai ke tangan konsumen. Kewajiban pencantuman masa kadaluarsa pada label pangan diatur dalam Undang-undang Pangan no. 7/1996 serta Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (expired date) pada setiap kemasan produk pangan (Kusnandar 2010).

Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT). ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan produk pada kondisi penyimpanan yang sebenarnya. Cara ini menghasilkan hasil yang paling tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Sedangkan metode pendugaan umur simpan Accelerated Shelf-life Testing (ASLT), yaitu dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan yang menyebabkannya cepat rusak, baik pada kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Data perubahan mutu selama penyimpanan diubah dalam bentuk model matematika, kemudian umur simpan ditentukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada kondisi penyimpanan normal. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dengan akurasi yang baik (Kusnandar 2010)

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1) Mengetahui kosentrasi penambahan garam terbaik pada proses perebusan ikan teri nasi setengah kering


(3)

2) Mengetahui umur simpan ikan teri nasi setengah kering berdasarkan metode Akselerasi

3) Mengetahui keadaan umum UKM Perikanan di Pulau Pasaran, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.

1.3Manfaat

1) Memperoleh data penambahan garam pada proses perebusan ikan teri nasi setengah kering yang dilakukan diatas kapal.

2) Memberikan informasi mengenai umur simpan produk ikan teri nasi setengah kering

3) Sebagai salah satu bahan masukan Rancangan Standardisasi Nasional Indonesia (RSNI) untuk produk Ikan teri nasi setengah kering

4) Merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap konsumen ikan teri nasi setengah kering.

1.4Batasan Masalah

Kajian mengenai umur simpan ikan teri nasi setengah kering (Stolephorus sp.) dilakukan pada produk ikan teri segar. Meliputi tahap penerimaan bahan baku sampai pengemasan, dengan fokus kajian adalah kosentrasi garam yang ditambahkan pada titik kritis (perebusan) dan umur simpan produk pada tiga titik suhu penyimpanan yang berbeda.


(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) 2.1.1 Deskripsi dan Klasifikasi

Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun ada pula yang mempunyai ukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5 cm. Ikan teri mempunyai ciri ciri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempeng putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Gigi giginya terdapat pada rahang, langit langit dari pelatin dan mempunyai lidah (Hoetomo et al. 1987 dalam Wahyuni 1999)

Penyebaran ikan pelagis di Indonesia merata seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti ikan teri di Samudera Hindia. Ikan teri juga ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan Perairan Lainnya. Teri nasi merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ciri morfologisnya adalah sebagai berikut: umumnya tidak berwarna atau agak kemerahan, bentuk tubuh bulat menanjang, sepanjang tubuhnya terdapat garis putih keperakan, memanjang dari kepala hingga ekor, sisik kecil dan tipis serta mudah lepas, mulut agak tersayat kedalam, mencapai higga belakang mata, rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Adapun sistematika dan klasifikasi ikan teri nasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Genus : Stolephorus Spesies : Stolephorus sp.


(5)

Sebagaimana ikan teri, ikan teri nasi pun termasuk jenis ikan musiman. Musim tangkapnya antara bulan Februari sampai Agustus. Jumlah tangkapan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Berikut ini adalah gambar ikan teri nasi segar.

Gambar 1 Ikan teri nasi segar

2.1.2 Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Ikan Teri Nasi

Ikan teri nasi mengandung protein, mineral, vitamin, dan zat gizi lainnya yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan. Protein teri nasi mengandung beberapa macam asam amino esensial. Adanya variasi dalam komposisi kimia maupun komposisi penyusunnya disebabkan karena faktor biologis dan alami. Faktor biologis antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin. Faktor alami yaitu faktor luar yang tidak berasal dari ikan, yang dapat mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Komposisi kimia dari ikan teri nasi secara lengkap disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Komposisi kimia ikan teri nasi

Komposisi Satuan Nilai

Protein % 16,00

Lemak % 1,00

Abu % 1

Air % 30-60


(6)

Bahan baku ikan teri harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. ikan teri yang akan diolah harus dari mutu yang baik dan cocok bagi konsumen, sekurang kurangnya sebagai berikut (SNI 01-3466-1994)

Rupa dan warna : Utuh putih, kebiruan dan cemerlang

Bau : Segar dan agak harum

Daging : Kenyal, berserat halus Rasa : Netral agak manis

untuk mempertahankan mutu ikan teri nasi, bahan baku harus cepat diolah. Apabila terpaksa menunggu maka ikan teri nasi harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 oC), saniter dan higienis. Syarat mutu yang harus dipenuhi dapat dilihat pada Tabel 2 (SNI 01-3461-1994).

Tabel 2 Syarat mutu ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu a. Organoleptik -Organoleptik, Min -Kapang 7 Tidak Nampak b. Mikrobiologi -ALT, maks -Escherichia coli -Salmonella* -Staphylococcus aureus koagulasi positif, maks -Vibrio cholerae*

Koloni/gram APM/gram per 25 gram Koloni/gram

per 25 gram

2 x 105 <3 Negatif 100 Negatif c. Kimia -Air

-Abu tak larut dalam asam, maks

-Garam, maks -Timah, maks -Timbal, maks -Arsen, maks -Raksa, maks -Seng, maks -Tembaga, maks % bobot/bobot % bobot/bobot % bobot/bobot mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg 30-60 1 15 40 0,5 1,0 0,5 100,0 20,0 d. Fisika

Bobot bersih Sesuai label


(7)

2.1.3 Proses Penangan dan Pengolahan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Setengah Kering (SNI 01-3471-1994)

Penanganan dan pengolahan ikan teri nasi setengah kering adalah semua kegiatan yang menghasilkan produk akhir yang berupa ikan teri nasi setengah kering. Tahap produksi ini meliputi proses sortasi awal, pencucian, perendaman, perebusan, pengeringan, sortasi akhir, pengemasan dan pelabelan.

a. Sortasi awal

Ikan teri nasi dari nelayan dimasukkan kedalam wadah berinsulasi atau tong plastik, secepat mungkin dilakukan sortasi jenis dan mutunya. Kemudian ditimbang dan dicuci dengan air dingin atau air laut untuk mengilangkan kotoran.

b. Pencucian

Pencucian ulang atau pembilasan dilakukan dengan menggunakan air dingin dan bersih untuk menghilangkan air laut atau menurunkan kadar garam.

c. Perendaman

Sebelum dilakukan perebusan ikan teri nasi setengah kering direndam dalam air es selama kurang lebih 10 menit.

d. Perebusan

Tahapan selanjutnya adalah tahap perebusan. Dalam proses perebusan air yang digunakan untuk perebusan ditambah garam sebanyak 3-4% dari volume air yang direbus. Setelah air perebusan mendidih, dimasukkan ikan teri ke dalam perebusan selama 3-5 menit sambil dilakukan pengadukan untuk meratakan panas dan menghilangkan busa pada keranjang perebusan. Setelah diangkat, ikan teri nasi ditiriskan (diangin-anginkan ) sampai tiris. e. Pengeringan

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran diatas para para, sejenis alat yang terbuat dari bambu atau dengan cara lain yang sesuai sampai setengah kering dan dilanjutkan dengan pengangin-anginan.


(8)

f. Sortasi akhir

Tahap sortasi ini dilakukan dengan tujuan menghilangan kotoran yang masih menempel, kemudian sortasi jenis mutu dan ukuran teri yang diinginkan.

g. Pengemasan

Bahan pengemas untuk ikan teri nasi setengah kering harus cukup kuat, tahan perlakuan fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap air uap air, gas bau, tidak mudah ditembus minyak dan lemak, tidak boleh melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Pembungkus harus terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk, metode pengolahan dan pemasarannya. Teknis pengemasan produk harus dikemas dengan cepat, cermat, secara saniter dan higienis. Pengemasan harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya penularan dan kontaminasi dari luar terhadap produk akhir.

h. Pelabelan

Setiap produk perikanan yang diolah untuk diperdagangkan harus diberi label dengan benar dan mudah dibaca, yang memberi keterangan untuk:

 Jenis produk olahan

 Berat bersih produk

 Bila ada beberapa bahan tambahan lain harus diberi keterangan bahan tersebut

 Nama dan alamat unit pengolahan, serta negara dimana produk tersebut dibuat

 Tanggal, bulan, tahun saat produk tersebut dihasilkan (kode produksi)

 Khusus untuk produk yang dikonsumsi didalam negeri harus mencantumkan nomor pendaftaran pada Departemen Kesehatan RI. 2.1.4 Bahan Tambahan Makanan dan Peralatan (SNI 01-3471-1994)

Bahan tambahan makanan yang digunakan adalah garam. Garam yang digunakan harus garam yang bermutu baik yang ditandai dengan warna garam putih dan bersih (tidak tercampur dengan kotoran-kotoran/benda asing). Peralatan yang digunakan dalam pengolahan ikan teri nasi setengah kering secara umum terdiri atas peralatan perebusan dan


(9)

pengeringan. Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan harus dibuat sedemikian rupa sehingga permukaannya halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber jasad renik, bebas dari retak-retak dan mudah dibersihkan.

Proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering (SNI 01-3471-1994)

Sortasi awal

Pencucian

Perendaman dalam air es (10 menit)

Perebusan (penambahan 3-4% garam) Penirisan

Sortasi akhir

Pengemasan Penyimpanan Ikan Teri Nasi

Ikan Teri Nasi Setengah Kering


(10)

2.2 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis enzimatis atau kimiawi (Muchtadi 2008). Aktivitas air adalah jumlah air bahan yang dapat dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.

Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009).

Menurut Toledo (1980), proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap. Pada tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di atas permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan. Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi di sekitar permukaan bahan. Pada tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan

2.3 Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi

Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) pada tahun 1985 tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No.69 tahun 1999.


(11)

Menurut Rahayu et al. (2003), terdapat tujuh jenis produk pangan yang tidak wajib mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, yaitu:

a. Buah dan sayuran segar termasuk kentang yang belum dikupas

b. Minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10% (volume/volume)

c. Makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau tidak lebih dari 24 jam setelah diproduksi

d. Cuka e. Garam meja f. Gula pasir

g. Permen dan sejenisnya yang bahan bakunya hanya berupa gula ditambah flavor atau gula yang diberi pewarna.

Berdasarkan peraturan, semua produk pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa, kecuali tujuh jenis produk pangan tersebut. Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Rahayu et al. 2003)

2.4 Penurunan Mutu

Kerusakan produk pangan dapat disebabkan karena adanya serangan mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan ini sangat dipengaruhi oleh kandungan aktivitas air (aw) dalam produk tersebut. Kerusakan lain yang dapat terjadi pada produk pangan adalah reaksi oksidasi. Laju reaksi oksidasi sangat dipengaruhi oleh aktivitas air (aw). Enzim lipoksidase mulai mengkatalis reaksi oksidasi pada lemak tak jenuh saat nilai aw bahan pangan sebesar 0,3, dan laju reaksi oksidasi meningkat secara cepat seiring dengan peningkatan nilai aw pada bahan pangan (Steel 2004). Pada produk pangan kering dengan nilai aw


(12)

kurang dari 0,1 oksidasi dapat terjadi dengan cepat, saat nilai aw meningkat sekitar 0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai aw mengalami kenaikan menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali (Nawar 1977).

Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977). Reaksi oksidasi akan meningkat secara langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan (Nawar 1977).

2.5 Kriteria Kadaluarsa

Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan


(13)

informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak menyukai aw yang tinggi (Christian 1980). Mikroorganisme menghendaki aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, kamir 0,80−0,90, dan kapang 0,60−0,70 (Winarno 1992). Prabhakar dan Amia (1978) menyatakan pada aw yang tinggi, oksidasi lemak berlangsung lebih cepat dibanding pada aw rendah. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan kimia juga ikut menentukan kandungan mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis free fatty acid (FFA) dan tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida yang berasal dari degradasi lemak (Deng 1978). Malonaldehida yang terkandung pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA. Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan


(14)

kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001). 2.6 Prinsip Pendugaan Umur Simpan

Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka (literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004). Nilai pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Untuk mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di laboratorium. Penentuan umur simpan produk pangan berhubungan erat dengan tahapan proses produksi seperti disajikan pada Gambar 3.


(15)

Gambar 3 Hubungan antara penentuan umur simpan dengan tahapan produksi (Hariyadi 2004)

Penentuan suhu pengujian umur simpan produk berbeda-beda tergantung jenis produksinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Penentuan suhu pengujian umur simpan produk

Jenis Produk Suhu Pengujian (oC) Suhu Kontrol (oC)

Makanan dalam kaleng 25, 30, 35, 40 4

Pangan Kering 25, 30, 35, 40, 45 -18

Pangan Dingin 5, 10. 15, 20 0

Pangan Beku -5, -10, -15 <-40

Sumber: Labuza dan Schmidl (1985)

Menurut Arpah (2001) model Arrhenius dapat dilihat pada rumus berikut:

k = k0 e-Ea/RT...(1) Ln k = ln k0-(Ea/RT)...(2) Ln k = ln k0-{(Ea/R).(1/T)}...(3)

Produk

Degradasi Jenis Pengolahan

Pengaruh struktur Perhitungan awal

Umur simpan yang diinginkan

Bahan

Protitipe

Uji ASS Uji distribusi

Optimum

Biaya Pasar Kesesuaian


(16)

Keterangan:

k : Konstanta (laju Reaksi) Ea : Energi aktivasi

T : Suhu mutlak (K)

R : Konstanta gas (1,986 kal/mol K) 1) Reaksi Ordo Nol

Tipe Kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak, pencoklatan enzimatis, dan non-enzimatis (Labuza 1982)

Persamaan ordo nol yaitu (Arpah 2001)

...(4)

Keterangan:

dA : Perubahan parameter mutu dt : Waktu penyimpanan k : Konstanta (Laju Reaksi)

Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:

At = A0-kt...(5) Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:

...(6)

2) Reaksi Ordo Satu

Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu antara lain ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging


(17)

dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza 1982). Persamaan ordo satu yaitu (Arpah 2001):

...(7)

Keterangan

[A] : Kosentrasi A

Jika persamaan diatas di integrasikan maka:

At = A0e-kt...(8) Atau

Ln (At) = Ln (Ao)-k.t...(9) Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan

...(10) 3) Reaksi Ordo lain

Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al. 2004). Contoh persamaan ordo lain yaitu (Arpah 2001):

...(11)

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

...(12)

Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan :

...(13) Keterangan:

t : Umur simpan

Ao : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula At : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula k : Konstanta (laju reaksi)


(18)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei dan Desember 2011. Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah pengolahan UKM Pulau Pasaran, Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan dan Laboratorium Organolpetik Hasil Perairan. Penelitian utama dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Nutrisi dan Biologi Radiasi, Pusat Antar Universitas (PAU) dan Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan di bagi menjadi dua, yaitu alat proses dan alat analisis. Alat proses terdiri atas plastik, timbangan digital, penggaris, kompor, panci, dan gelas ukur. Sedangkan alat untuk analisis antara lain timbangan analitik, oven, desikator, inkubator, cawan porselen, mortar, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, tabung soxhlet, buret, alat destilasi kjeldahl, tabung kjeldahl, gelas ukur, pipet, kompor listrik, cawan conway, tanur, homogenizer, pinset dan aw meter.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu bahan untuk membuat ikan teri nasi setengah kering dan bahan untuk analisis. Bahan baku untuk pembuatan ikan teri nasi adalah ikan teri yang diperoleh dari hasil tangkapan dan bahan pembantunya yaitu air laut dan garam. Adapun bahan untuk analisis sampel adalah akuades, H2SO4, NaOH, H3BO3, perlarut heksana, HCl 4 M, NaCl aw 0.75, dan plastik polypropylene 0,8 mm sebagai pengemas. 3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini di bagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap utama.


(19)

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mempelajari keadaan umum Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan proses produksi ikan teri nasi setengah kering. Selanjutnya, sampel ikan teri nasi diambil dari beberapa unit pengolah di Pulau Pasaran. Penelitian tahap pertama ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kosentrasi garam pada tahap perebusan terhadap mutu dan organoleptik ikan teri nasi setengah kering. Perlakuannya adalah dengan membandingkan produk komersial (produk UKM) dengan kosentrasi garam 2%, 3%, 4%, 5% dan 6%. Pengamatan yang dilakukan adalah kadar air awal, uji mikrobiologi terhadap jumlah bakteri dan aw. Uji organoleptik terhadap kenampakan, bau, rasa, konsistensi. Prosedur pelaksanaan penelitian pendahuluan ini dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 4.

3.3.2 Penelitian Utama

Perlakuan terbaik yang diperoleh dari penelitian pendahuluan kemudian dilanjutkan dengan pendugaan umur simpan produk. Penelitian utama ini dilakukan untuk mengetahui umur simpan (shelf life) produk. Perlakuan yang diberikan adalah produk disimpan pada tiga suhu yang berbeda yaitu suhu 10 oC, 20 oC dan 30 oC. Pengujian umur simpan dilakukan dengan metode Arrhenius dengan menggunakan parameter uji TPC. Diukur secara periodik sampai produk tidak layak dikonsumsi. Diagram alur penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 5.


(20)

Gambar 4 Diagram alir penelitian pendahuluan

Sortasi awal

Pencucian

Perebusan 5-8 menit (penambahan 2%, 3%,4% ,

5% dan 6% garam)

Penirisan

Penjemuran 4-5 jam

Analisis proksimat, uji mikrobiologi, aw dan organoleptik

Perebusan (penambahan garam

25%-50%)

Penirisan

Ikan teri nasi setengah kering

komersil

Ikan teri nasi setengah kering

non komersil

Analisis proksimat, uji mikrobiologi, aw dan organoleptik

Ikan Teri Nasi segar


(21)

Gambar 5 Diagram alir penelitian utama 3.4 Prosedur Analisis Data Penelitian

Sampel ikan teri nasi setengah kering dari masing-masing perlakuan dianalisis dengan dua metode yaitu metode subyektif dan metode obyektif. Metode subjektif dilakukan dengan pengujian organoleptik sedangkan pengujian secara obyektif dilakukan dengan pengujian TPC, proksimat, aw dan perhitungan rendemen ikan.

3.4.1 Uji organoleptik (SNI-01-2346-2006)

Pengujian organleptik merupakan pengujian yang bersifat subyektif, karena berdasarkan pada respon subyektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto 1989). Menggunakan panca indra manusia yang ditujukan pada warna, penampakan, tekstur, dan aroma ikan teri nasi. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Dari data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis kesukaan ikan dengan kriteria:

Suka : Nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak suka : Nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak suka : Nilai organoleptik berkisar antara 1-4

Ikan teri Nasi setengah kering

Pengemasan

Penyimpanan pada 3 kondisi suhu : 10 oC, 20 oC dan 30 oC

Pengamatan:


(22)

3.4.2 Uji TPC (SNI 01-2332.3-2006)

Prinsip kerja dari pengujian TPC ini adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang ada dalam sampel dengan pengenceran sesuai dengan keperluan. Jenis-jenis bakteri yang sering terdapat pada produk olahan kering adalah E.coli, Salmonella, dan Vibrio.

Sampel teri ditimbang 10 g lalu dimasukkan ke dalam 90 ml larutan garam fisiologis (pengenceran 10-1) secara aseptis. Selanjutnya, untuk pengenceran 10-2 , suspense sampel dari pengenceran sebelumnya di pipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml garam fisiologis. Pengenceran dilakukan dengan cara yang sama hingga pengenceran 10-5. Proses selanjutnya adalah pengambilan sampel dari masing masing pengenceran sebanyak 1 ml dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian di dalam cawan petri di tuangkan agar steril (PCA) yang telah didinginkan kira-kira sebanyak 15 ml. Setelah agak memadat, cawan petri di inkubasikan di dalam inkubator selam 1 x 24 jam, pada suhu 27-30 0C dengan posisi terbalik. Setelah masa inkubasi selesai, koloni yang terbentuk di hitung dengan menggunakan standard plate count.

Apabila digunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran, maka data yang di ambil adalah dari kedua cawan petri tersebut. Untuk menghitung jumlah koloni digunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah koloni per ml = jumlah koloni per cawan x 1/faktor pengenceran 3.4.3 Analisis Proksimat

Uji proksimat yang dilakukan pada sampel meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan protein.

3.4.3.1 Analisis kadar air (SNI 01-2354.2-2006)

Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dioven pada suhu 100-105 oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan.


(23)

Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air (%) =

x 100%

Keterangan:

A : Berat cawan kosong (g)

B : Berat cawan dengan sampel (g)

C : Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g) 3.4.3.2 Analisis kadar abu (SNI 2354.1:2010)

Cawan yang akan digunkan di oven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B), kemudian dibakar diatas nyala pembakar sampai tidak berasap dan dilanjutkan dengan pengabuan didalam tanur dengan suhu 550-600 oC sampai pengabuan sempurna (sesekali pintu tanur dibuka sedikit agar oksigen masuk). Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C), tahap pembakaran dalam tanur diulangi sampai didapat bobot yang konstan.

Kadar abu dihitung dengan rumus : Kadar abu (%) =

x 100%

Keterangan:

A : Berat cawan abu porselen kosong (g)

B : Berat cawan abu porselen dengan sampel (g)

C : Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g) 3.4.3.3 Analisis kadar protein (SNI 01-2354.4-2006)

Analisis kadar protein yang digunakan adalah metode semi mikro Kjeldahl. Cara penentuan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap destruksi dilakukan untuk mengubah protein dalam bahan menjadi garam amonium sulfat. Pada tahap destilasi, garam ini direaksikan dengan basa dan amonia diuapkan untuk diserap dalam larutan asam borat. Jumlah nitrogen yang terkandung dapat ditentukan dengan tahap titrasi dengan HCl.

Mula-mula 2 g bahan ditimbang dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1,9±0,1 g K2O4, 40±10 mg HgO, 2,0±H2SO4 . Selanjutnya dengan


(24)

penambahan batu didih, larutan didihkan 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutkan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH- Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2:1). Destilat yang diperoleh kemudian diditrasi dengan larutan HCl 0,1 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu abu. Hasil yang diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6,25. Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan:

Kadar N (%) =( ) Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6, 25)

3.4.3.4 Analisis kadar lemak (SNI 01-2354.3-2006)

Sampel seberat 3 g (W1) dimasukan kedalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan kedalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2), dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan kedalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40oC dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak di destilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut akan tertampung diruang ekstraktor saat destilasi, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3 ). Perhitungan kadar lemak pada sampel adalah:

Kadar lemak (%) =

x 100%

Keterangan : W1 : Berat sampel (g)

W2 : Berat labu lemak tanpa lemak (g)


(25)

3.4.4 Nilai aw (AOAC 2007)

Pengukuran nilai aw produk menggunakan aw meter merek Shibaura tipe Wa-360 dengan cara kerja sebagai berikut: tombol power ditekan untuk menghidupkan alat, tekan tombol start, tunggu sampai tampak tulisan start dan masukan produk tunggu sampai nilai aw. Pengukuran dilakukan duplo untuk masing-masing ulangan.

3.4.5 Rendemen ikan teri nasi setengah kering

Rendemen dapat diartikan sebagai prosentase hasil bagi antara berat produk yang dihasilkan dibandingkan dengan berat produk awal. Penghitungan rendemen dilakukan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar produk akhir yang dihasilkan dari sejumlah bahan mentah yang digunakan. Ikan teri nasi yang sudah kering ditimbang, kemudian hasil rendemennya dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Rendemen (%) =

x 100%

3.4.6 Pendugaan umur simpan teri nasi setengah kering dengan metode Arrhenius (Syarief dan Halid 1999; Arpah 2001)

Pendugaan umur simpan dilakukan terhadap produk teri nasi setengah kering terpilih yang diperoleh dari uji organoleptik. Tahap-tahap pendugaan umur simpan yaitu penetapan mutu produk, proses penyimpanan produk, penentuan batas kadaluwarsa, dan perhitungan umur simpan.

(a) Penetapan mutu produk

Kriteria kadaluarsa dipilih dari salah satu perubahan mutu yang dianggap paling sesuai dari empat kategori perubahan yang mungkin terjadi pada produk, yaitu perubahan mikrobiologi, kimia, fisik dan organoleptik. Perubahan tersebut dapat dianalisa dan dikuantifikasi sehingga dapat diketahui kuantitas awal, kuantitas pada setiap tahap analisa berdasarkan interval pengambilan contoh dan kuantitas pada saat kadaluarsa (batas kadaluarsa). Perubahan mutu yang diamati meliputi perubahan secara subyektif dan pengukuran dengan alat/instrumen.


(26)

(b) Proses penyimpanan produk dan penentuan batas kadaluwarsa

Penyimpanan dilakukan untuk mengetahui perubahan mutu dari produk. Sampel disimpan dalam kemasan plastik polypropylene dengan ketebalan 0,8 mm pada suhu 10 oC, 20 oC dan 30 oC. Pengamatan subjektif (uji organoleptik) dilakukan pada hari ke-0. Pengamatan secara objektif dilakukan dengan interval waktu pengambilan sampel yang berbeda-beda. Semakin tinggi suhu penyimpanan produk, maka interval pengambilan sampel semakin pendek. Pengamatan secara objektif ini dilakukan sampai produk tidak dapat dikonsumsi.

(c) Penentuan ordo reaksi

Penetuan ordo reaksi dilakukan setelah data perubahan nilai mutu diperoleh baik secara subyktif maupun objektif. Data-data hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan nilai mutu di plot pada masing-masing suhu penyimpanan (10 oC, 20 oC dan 30 oC) menggunakan plot ordo nol dan satu. Kemudian regresi linier dari masing masing data tersebut ditentukan sehingga diperoleh ordo reaksi yang paling sesuai.

(d) Perhitungan umur simpan

Umur simpan pada temperatur tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k dan nilai temperatur yang sudah diketahui. Nilai k dihubungkan dengan nilai temperatur menggunakan persamaan Arrhenius.

k=k0 e-Ea/RT...(1) atau dalam bentuk logaritma

Ln k = ln k0-{(Ea/R).(1/T...(3) atau bentuk persamaan linear

y = b + ax...(14) dimana: y = ln k; x=1/T

Umur simpan ordo nol:


(27)

Umur simpan ordo satu:

...(10) Keterangan:

t : Umur simpan (hari)

Ao : Nilai mutu awal/ kosentrasi mula-mula

At : Nilai mutu akhir/kosentrasi pada titik batas kadaluarsa (titik kritis)

k : Konstanta (Laju reaksi) Ea : Energi Aktivasi

T : Suhu Mutlak (K)

R : Konstanta gas (1, 986 kal/mol K)

3.5. Rancangan Percobaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kosentrasi penambahan garam terbaik pada proses perebusan teri nasi setengah kering. Adapun hipotesis yang digunakan pada penelitian ini, Ho yang berarti perlakuan perbedaan penambahan kosentrasi garam tidak mempengaruhi nilai organoleptik produk sedangkan H1 dapat diartikan bahwa perlakuan penambahan kosentrasi garam mempengaruhi nilai orgnoleptik produk.

Analisis data non parametrik yang dilakukan dalam pengujian organoleptik dengan skala mutu menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor. Faktornya adalah penambahan garam dalam berbagai kosentrasi. Perlakuan yang diberikan meliputi ikan teri nasi setengah kering produksi UKM (komersial), ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam sebanyak 2%, 3%, 4%, 5% dan 6%.


(28)

3.6 Metode Analisis Data 3.6.1 Analisis deskriptif

Proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan keadaan di lapangan. Setiap tahapan proses dijelaskan secara rinci kegiatan yang terjadi.

3.6.2 Metode sampling

Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Random Sampling, Convenience Sampling.

3.6.3 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan uji lanjut Duncan untuk menentukan beda nyata tiap perlakuan yang diberikan. Faktor yang diamati adalah pengaruh penambahan garam pada proses perebusan. Diasumsikan bahwa dengan penambahan kosentrasi garam yang berbeda akan memberikan pengaruh terhadap mutu (rasa, aroma, penampakan, warna dan tekstur) produk ikan teri nasi setengah kering yang dihasilkan. Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut:

Yijk= µ + Ai + ℇijk

Yijk : Nilai pengamatan faktor pengeringan taraf ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum

Ai : Pengaruh faktor penambahan kosentrasi garam pada taraf ke-i

ℇijk : Galat sisa

Hipotesis yang digunakan:

H0 : Faktor penambahan kosentrasi garam tidak signifikan H1 : Faktor penambahan kosentrasi garam signifikan


(29)

4 KEADAAN UMUM UKM

4.1 Lokasi dan Keadaan Umum Pengolah

Unit Pengolahan ikan teri nasi setengah kering berlokasi di Pulau Pasaran, Lingkungan 2, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Secara geografis terletak di Selat Sunda. Peta lokasi daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Peta Pulau Pasaran, Bandar Lampung

Pulau pasaran merupakan lokasi yang sangat strategis untuk dijadikan sentra usaha kecil dan menengah pengolahan ikan teri nasi setengah kering. Hal ini dikarenakan pulau tersebut dekat dengan daratan dan jalur transportasi utama kota Bandar Lampung. Memiliki luas lahan ± 12 Ha dengan jumlah pengolah 30 orang yang termasuk dalam binaan PT Sucofindo. Kegiatan usaha di Pulau Pasaran telah menyerap banyak tenaga kerja baik penduduk asli Pulau Pasaran maupun yang datang dari luar daerah/pulau. Produk yang dihasilkan yaitu teri nasi (teri medan), teri nilon dan teri jengki.

Proses produksi hampir setiap hari. Masa produktif pengolah yaitu 20 hari dalam 1 bulan dengan rata-rata produksi 5 ton/orang. Kelompok pengolah rata-rata sudah mempunyai kapal masing-masing yang dilengkapi dengan alat perebusan. Proses perebusan dilakukan di atas kapal pada saat bahan baku masih dalam kondisi segar. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisiensikan waktu pengolahan dan mencegah terjadinya kerusakan bahan baku seperti retak-retak dan putus kepala. Perebusan ikan teri tersebut menggunakan air laut bersih dan

SKALA 1: 2.400.000

U


(30)

penambahan garam dengan perbandingan 25-50 kg garam dalam 100 L air laut. Tahap pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran selama 3-4 jam (setengah hari) jika cuaca panas. Ketika musim hujan, atau mendung proses penjemuran dilakukan lebih dari 12 jam.

Daerah pemasaran ikan teri nasi meliputi kota Metro, kota Bandar Lampung dan Jakarta. Konsumen atau pengusaha datang langsung ke lokasi tersebut. Produk dikirim ke Jakarta dengan periode pengiriman setiap hari mencapai 10 – 20 ton. Setiap 1 kg ikan teri yang dipasarkan, sebesar Rp 50,- disumbangkan untuk kas daerah. Produk yang di kirim ke Jakarta dikemas menggunakan kardus. Untuk produk ikan teri yang menggunakan kemasan plastik hanya pada saat pameran dan untuk didistribusi ke swalayan atau toko. Musim ikan terjadi pada bulan November-Maret. Pada saat tidak musim ikan, produksi rata-rata 1 kelompok pengolah sebesar 1 ton/hari, sedangkan pada saat musim ikan mampu berproduksi hingga 50 ton/bulan.

4.2 Fasilitas Pengolahan di Unit Pengolahan Ikan Teri Nasi Setengah Kering Pengolahan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran memiliki fasilitas produksi sebagai bahan pembantu produk ataupun peralatan pengolahan ikan teri nasi setengah kering. Bahan pembantu ini harus selalu tersedia mengingat peranannya yang penting untuk menjamin berlangsungnya proses produksi. Bahan pembantu yang dipergunakan antara lain:

a) Air

Air merupakan bahan yang sangat penting dan dibutuhkan dalam jumlah yang banyak. Air yang digunakan adalah air yang berasal dari perairan laut yang cukup dalam. Air ini berfungsi untuk pencucian ikan, pencucian peralatan, pencucian kaki dan tangan, dan air untuk perebusan. Air yang digunakan untuk pencucian ikan teri diatas kapal adalah air laut yang belum terjamin kebersihannya. Air yang baik untuk pencucian ikan teri adalah air bersih yang sesuai dengan persyaratan air minum (Winarno dan Rahayu 1994).

b) Garam

Garam terdiri dari 34,39% Na dan 60,69% Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Pemberian garam pada proses perebusan ikan teri tersebut menggunakan air laut bersih dan


(31)

penambahan garam dengan perbandingan 25-50 kg garam dalam 100 L air laut atau sebanyak 25%-50% dari total volume air laut yang digunakan.

Peralatan pengolahan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran meliputi: a) Alat perebusan

Peralatan perebusan terdiri dari kompor perebusan dan wadah perebusan. Di atas kapal, kompor perebusan berbentuk kompor mawar yang berbahan bakar minyak tanah atau gas LPG sedangkan wadah (panci) yang digunakan memiliki kapasitas 30 kg bahan baku. Alat perebusan di atas kapal dapat dilihat pada Gambar 7. Alat perebusan yang di darat berbentuk seperti tungku dengan kayu kering sebagai bahan bakarnya. Alat perebusan di darat, masih sangat tradisional dan belum higienis. Tungku perebusan ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Alat perebusan ikan teri nasi di kapal


(32)

b) Bak Pencucian

Wadah ini digunakan untuk membersihkan ikan teri yang baru di tangkap dari kotoran yang ada. Berbahan dasar fibre glass dengan ukuran 50x50 cm, mudah dicuci dan dikeringkan. Bak pencucian ini berkapasitas sekitar 5-8 kg ikan teri basah. Bak pencucian ikan teri nasi dapat pada Gambar 9.

Gambar 9 Bak pencucian ikan teri nasi c) Rombong

Rombong adalah tempat penampungan sementara ikan teri nasi ketika ikan baru ditangkap. Berbentuk seperti keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Tiap satu rombong memiliki kapasitas kira kira 4 kg teri basah atau sekitar 1 kg teri kering. Nelayan di Pulau Pasaran memiliki sekurang kurangnya 200 rombong dalam tiap kapalnya. Rombong ikan teri nasi dapat dilihat pada Gambar 10.


(33)

d) Para para

Para para adalah alat penjemuran yang terbuat dari bambu berukuran 1 m x 15 m. Ikan teri nasi dijemur di bawah sinar matahari selama kurang lebih 12 jam. Para para dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Para para e) Alat Peniris

Alat peniris ini berfungsi untuk meniriskan air setelah ikan teri nasi direbus. Alat ini berbahan dasar plastik, berbentuk seperti keranjang yang berlubang lubang sehingga memudahkan air dan kotoran yang terlarut di dalamnya memisahkan diri dari ikan teri yang akan dijemur. Alat peniris ini memiliki diameter kira kira 45 cm. Alat peniris yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 12.


(34)

4.3 Proses Produksi Ikan Teri Nasi Setengah Kering

Proses produksi ikan teri nasi setengah kering yang diterapkan di Pulau Pasaran meliputi penerimaan bahan baku, pencucian, perebusan, penirisan, sortasi awal, penjemuran, sortasi akhir dan pengemasan. Diagram alir proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Diagram alir proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran

4.3.1 Sortasi awal

Jenis ikan yang digunakan untuk pembuatan ikan teri nasi setengah kering di Pulau Pasaran adalah ikan teri nasi yang berukuran kecil, berbentuk putih

Ikan teri nasi

Sortasi awal

Pencucian

Penambahan garam 25%-50% dari total

volume air laut yang digunakan

Perebusan selama 5-8 menit (sampai mengapung) pada

suhu 90 0C-95 0C.

Penirisan Penjemuran selama 5-4 jam

Pengemasan Penyimpanan Ikan teri nasi

setengah kering Sortasi ahir


(35)

(seperti nasi). Ikan teri nasi tersebut langsung diproses di atas kapal. Hal ini bertujuan untuk menghemat waktu dan mempertahankan kesegaran produk. Ikan teri nasi kemudian disortir berdasarkan ukuran dan mutunya.

4.3.2 Pencucian

Ikan teri nasi yang telah disortir ukurannya kemudian dicuci menggunakan air laut yang bersih. Pencucian ini dilakukan dengan menyiramkan bahan baku dengan air. Pencucian bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada pada bahan baku.

4.3.3 Perebusan

Perebusan merupakan salah satu titik kritis pada rantai pengolahan ikan teri nasi. Sehingga waktu dan kosentrasi garam yang digunakan harus tepat. Pada proses pembuatan ikan teri nasi dapat dilakukan di atas kapal atau di darat. Pengolah lebih memilih merebusnya di atas kapal, karena produk menjadi lebih baik mutunya seperti putih bersih, tidak mudah patah dan kesegarannya dapat bertahan lebih lama. Di atas kapal, proses perebusan dilakukan diatas kompor, suhu yang digunakan sekitar 90 0C-95 0C. Kosentrasi garam yang ditambahkan bervariasi tergantung pada jumlah tangkapan. Apabila jumlah tangkapan melimpah, maka pengolah akan mengurangi jumlah kosentrasi garam yang ditambahkan (sekitar 25-30%). Sebaliknya, jika jumlah tangkapan sedikit pengolah akan menambahkan jumlah garam yang ditambahkan (sekitar 40-50%). Hal ini akan berdampak pada bobot produk akhir. Proses perebusan Ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada Gambar14 .


(36)

4.3.4 Penirisan

Penirisan dilakukan dengan meletakkan ikan teri nasi yang telah direbus ke dalam keranjang. Penirisan dilakukan sekitar 15-20 menit atau sampai tidak ada air menetes. Proses penirisan Ikan teri nasi di Pulau Pasaran dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Proses penirisan ikan teri nasi di Pulau Pasaran

4.3.5 Penjemuran

Ikan teri nasi yang sudah ditiriskan kemudian di jemur di atas para para. Proses penjemuran dilakukan dengan manual selama 4-5 jam. Jika cuaca mendung, dilakukan lebih dari 10 jam. Proses penjemuran dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Penjemuran ikan teri nasi 4.3.6 Sortasi Akhir

Sortasi akhir dilakukan secara manual. Proses ini bertujuan untuk memisahkan kotoran yang mungkin menempel pada tahap penjemuran. Sortasi akhir ini juga dilakukan untuk memilih ikan teri nasi yang berbentuk utuh, dengan


(37)

warna putih bersih dan tidak bau. Proses sortasi akhir ini dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Sortasi akhir ikan teri nasi setengah kering 4.3.7 Pengemasan

Pengemasan adalah salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan maupun produk non pangan. Pengemasan yang dilakukan untuk Ikan teri nasi setengah kering adalah menggunakan kardus ukuran 80 cm x 70 cm yang berkapasitas 25 kg. Ikan teri nasi setengah kering ini kemudian disimpan dalam gudang yang bersuhu ruang atau langsung dikirim ke daerah pemesanan. Kemasan yang digunakan pada ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada Gambar 18.


(38)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahulan bertujuan mempelajari karakter fisik dan kimia bahan baku, dan mencari formula yang menghasilkan ikan teri nasi setengah kering terbaik dengan menggunakan uji hedonik. Hasil yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan analisis pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes. 5.1.1 Rendemen Ikan Teri Nasi Setengah Kering

Perhitungan rendemen atau hasil akhir produk bertujuan untuk memperkirakan bobot akhir produk (kering) dari jumlah bobot awal. Rendemen juga dapat digunakan sebagai data penyusutan berat produk. Penyusutan bobot ikan teri nasi dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Grafik rendemen ikan teri nasi setengah kering

Hasil perhitungan penyusutan secara umum menunjukkan bahwa semakin tinggi kosentrasi garam yang ditambahkan maka bobot produk juga akan semakin bertambah. Hal ini diduga karena adanya penambahan partikel garam. Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan kosentrasi (Adawyah 2008). Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam pun masuk ke dalam tubuh ikan (Adawyah 2008).

Penambahan garam 2% menunjukkan hasil yang berbeda. Rendemen produk naik menjadi 45,23 %. Pada kosentrasi garam rendah, jaringan daging membengkak akibat absorpsi air. Terdapat kosentrasi garam kritis, yaitu pada

45,23

35,21 34,58 35,44

36,94

30 35 40 45 50

0 1 2 3 4 5 6 7

R

en

d

em

en

(

%)


(39)

kosentrasi di bawahnya terjadi absorpsi dan pembengkakan, serta pada kosentrasi diatasnya terjadi pelepasan atau kehilangan air serta denaturasi protein mulai terjadi (Irianto 2009). Sehingga pada saat tertentu garam yang bersifat higroskopis akan menarik air dari lingkungan pada saat penjenuhan air. Irianto (2009) menyebutkan bahwa penggaraman terdiri dari penjenuhan air dalam ikan dengan garam. Semua bagian utama dari ikan termasuk tulang, mengandung air yang berperan sebagai medium dari protein untuk pembengkakan atau pelarutan.

Pada tahap tertentu berat produk bisa bertambah. Diduga hal ini disebabkan oleh adanya gradien kosentrasi yang berbeda pada otot ikan selama proses perendaman (Nguyen et al. 2011). Kosentrasi garam pada bagian dalam (inner part pada fish muscle) masih rendah pada tahapan salting out. Akan tetapi, otot ikan akan mengembang kembali (swell) sehingga bobot bertambah. Perendaman dalam air juga memberikan beberapa pengaruh yang lebih baik daripada penggaraman kering yaitu waktu yang lebih cepat dan bobot produk menjadi lebih tinggi dan mempercepat proses pengeluaran air dari daging ikan (Nguyen et al. 2011).

5.1.2 Uji Hedonik

Ikan teri nasi setengah kering selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Dalam penelitian pendahuluan terdapat lima parameter yang diukur yaitu penampakan, bau, rasa, warna dan tekstur. Histogram pada Gambar 20 menunjukkan rataan hasil uji hedonik dari ikan teri nasi setengah kering dengan skala hedonik 1-9. Daya penerimaan panelis terhadap parameter penampakan yang tertinggi adalah pada perlakuan penambahan kosentrasi garam 3% sebesar 6,3. Daya penerimaan panelis terhadap warna dengan rataan skor tertinggi pada perlakuan garam 3% dan komersial sebesar 6,2 dan 6,1. Daya penerimaan panelis terhadap parameter rasa tertinggi adalah pada perlakuan penambahan garam 3% dan 4% sebesar 6,8 dan 6,4. Nilai tekstur tertinggi pada perlakuan penambahan garam 3% sebesar 6,13. Foto-foto produk pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 2.


(40)

Gambar 20 Histogram nilai organoleptik ikan teri nasi setengah kering 5.1.2.1 Penampakan

Penerimaan konsumen terhadap suatu makanan diantaranya dipengaruhi oleh status sosial dan mutu makanan menurut keyakinannya. Penampakan pangan merupakan faktor terpenting yang berpengaruh, karena faktor inilah yang pertama kali dilihat. Faktor-faktor selanjutnya adalah warna, kemudian aroma, rasa dan tekstur makanan tersebut (Muchtadi 2008). Berdasarkan hasil uji kesukaan yang dilakukan panelis terhadap ikan teri nasi setengah kering diketahui bahwa nilai kesukaan terhadap nilai penampakan mempunyai kisaran nilai 4,5 sampai 6,2 (Gambar 21). Penampakan ikan teri nasi setengah kering yang paling disukai panelis yaitu ikan teri nasi dengan penambahan garam 3%, dimana ikan tersebut mempunyai penampakan yang menarik dengan bentuk utuh, bersih, dan seragam.

Hasil uji Chi-square (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penggunaan garam sebagai bahan tambahan memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan ikan teri nasi setengah kering. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara ikan dengan penambahan garam 2% dibandingkan dengan penambahan garam 3%. Penampakan pada ikan teri nasi setengah kering dipengaruhi oleh kosentrasi garam yang ditambahkan, air laut, dan proses perebusan yang dilakukan. Kosentrasi garam yang tepat akan mempengaruhi penampakan produk. Sinar matahari selama proses penjemuran juga akan mempengaruhi penampakan. Penampakan yang disukai panelis adalah ikan teri nasi setengah kering dengan

0 1 2 3 4 5 6 7 8

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai R ata -r ata sk o r u ji h ed o n ik kosentrasi garam

penampakan warna rasa tesktur bau komersial


(41)

penampakan utuh, bersih, seragam dan berwarna putih cemerlang. Pada penambahan kosentrasi garam 2% menghasilkan penampakan yang kurang disukai panelis yaitu kotor, tidak seragam dan kusam.

Proses penggaraman berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi proses proses lain termasuk pembusukan juga berjalan lebih cepat. Daya awet ikan yang digarami beragam tergantung jumlah garam yang dipakai. Semakin banyak garam yang dipakai semakin panjang daya awet ikan, akan tetapi pada umumnya orang kurang suka ikan yang sangat asin (Adawyah 2008). Garam yang digunakan berperan sebagi pengawet sekaligus memperbaiki cita rasa ikan, sedangkan pemanasan mematikan sebagian besar bakteri pada ikan, terutama bakteri pembusuk dan patogen. Selain itu, pemanasan dengan kadar garam tinggi menyebabkan tekstur ikan berubah menjadi lebih kompak. Ikan teri nasi setengah kering menjadi lebih lezat dan lebih awet (Adawyah 2008).

Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Apabila kelembaban udara tinggi, maka perbedaan tekanan uap air di dalam dan di luar bahan menjadi kecil sehingga menghambat pemindahan uap air dari dalam bahan keluar. Kemampuan bahan untuk melepasakan air dari permukaan akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan. Peningkatan suhu juga menyebabkan kecilnya jumlah panas yang dibutuhkan untuk menguapkan air bahan (Adawyah 2008).

Proses pengeringan dapat meningkatkan daya awet ikan karena dapat disimpan cukup lama dan dalam keadaan layak sebagai makanan manusia. Penggaraman yang dilakukan pada sebelum atau saat perebusan dimaksudkan untuk menarik air dari permukaan ikan. Selama pengeringan juga terjadi perubahan antara lain warna, tekstur dan aroma. Meskipun perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Pada umumnya ikan yang dikeringkan akan berubah warna menjadi coklat. Perubahan warna tersebut dikarenakan reaksi browning. Reaksi browning nonenzimatis pada ikan yang paling sering terjadi adalah reaksi antara asam organik dengan gula pereduksi, serta antara asam asam amino dengan gula pereduksi yang disebut reaksi mailard.


(42)

Reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi protein yang terkandung di dalamnya (Adawyah 2008).

Gambar 21 Histogram nilai penampakan ikan teri nasi setengah kering 5.1.2.2 Bau (Aroma)

Aroma suatu produk sangat berpengaruh terhadap selera konsumen, yang berkaitan dengan indra penciuman yang menimbulkan keinginan atau hasrat untuk mengkonsumsinya. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Berdasarkan hasil uji kesukaan (hedonik) diketahui bahwa nilai aroma ikan teri nasi setengah kering dengan kosentrasi 2-6% berkisar antara 5,3 sampai 6, 3 (Gambar 22). Nilai aroma ikan teri nasi setengah kering tertinggi yaitu pada perlakuan penambahan garam dengan kosentrasi 4% dan nilai terendah pada penambahan kosentrasi 2%. Hasil uji Chi-square (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penambahan garam memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aroma produk. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4d) menunjukkan bahwa ikan teri nasi setengah kering dengan kosentrasi garam 2% menunjukkan aroma yang berbeda dengan garam 4%. Akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan penambahan garam 3%, 5%, 6% dan komersial. Aroma yang tidak disukai panelis adalah ikan teri nasi dengan bau apek dan tengik. Aroma tengik pada ikan teri nasi setengah kering dapat disebabkan karena kandungan lemak dalam daging ikan. Dalam proses penjemuran, lemak dapat teroksidasi oleh udara sehingga rusak dan berbau (Winarno 1997). Semakin tinggi garam yang ditambahkan, maka semakin baik aromanya. Hal ini diduga karena kecepatan timbulnya

a

c bc

b bc

bc 0 1 2 3 4 5 6 7

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai rata rata p en am p ak an Kosentrasi garam komersial


(43)

ketengikan, dapat dicegah dengan penggunaan gula atau garam yang tinggi pada bahan makanan (Winarno 1997).

Gambar 22 Histogram nilai aroma ikan teri nasi setengah kering 5.1.2.3 Rasa

Berdasarkan hasil uji kesukaan (hedonik) diketahui bahwa nilai rasa ikan teri nasi setengah kering dengan kosentrasi 2-6% berkisar antara 5,4 sampai 6,8 (Gambar 23). Nilai rasa ikan teri nasi setengah kering yang paling disukai panelis yaitu dengan penggunaan garam 3%, dan nilai terendah pada komersial (produk UKM) sebesar 5,4. Ikan teri nasi setengah kering dengan penggunaan garam 3% menghasilkan ikan dengan rasa yang enak, gurih dan tidak asin. Penggunaan garam lebih dari 3% menimbulkan rasa asin yang berlebihan, amis dan kurang disukai.

Hasil uji Chi-square (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa ikan dengan penggunaan garam 3% berbeda nyata dengan perlakuan garam 5% dan komersial. Semakin tinggi kosentrasi garam yang digunkan, maka produk akan terasa lebih asin. Menurut Charles dan Mankoo (2005), garam berfungsi sangat penting dalam mengekstraksi protein miofibril yang berbentuk struktur 3 dimensi ketika proses pemasakan dengan panas. Garam digunakan sebagai penyedap rasa. Namun dalam kosentrasi yang tinggi akan memperburuk rasa produk. Garam juga dapat mempengaruhi tekanan uap dari berbagai komponen rasa, dengan memaksa komponen rasa tersebut keluar dari larutan dan akan mempengaruhi profil rasa produk.

a

bc c

abc ab

ab 1 2 3 4 5 6 7

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai rata -r ata ar o m a

kosentrasi penambahan garam


(44)

Gambar 23 Histogram nilai rasa ikan teri nasi setengah kering 5.1.2.4 Warna

Warna dalam makanan sangat penting karena berpengaruh terhadap penampakan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih kepada konsumen tentang karakteristik makanan (Counsell 1991). Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan panelis, ikan teri nasi setengah kering yang diujikan mempunyai kisaran nilai warna terendah (4,8) pada perlakuaan penambahan garam 2% dan tertinggi (6,2) pada perlakuan penambahan garam 3% (Gambar 24). Semakin tinggi kosentrasi garam yang ditambahkan maka semakin menurun tingkat kesukaan warnanya.

Hasil uji Chi-square (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa ikan dengan penggunaan garam 2% berbeda dengan kosentrasi lainnya (3%, 4%, 5%, 6% dan komersial) akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini disebabkan garam tidak menjadi faktor penting pembentukan warna pada ikan teri nasi setengah kering. Penanganan yang bersih, cepat dan menggunakan rantai dingin dalam proses pengolahannya merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas produk. Ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% mempunyai warna yang putih dan cukup cemerlang. Ikan teri nasi dengan penambahan garam lebih dari 3% mempunyai warna tidak seragam dan kusam. Pada produk komersial (UKM) warna ikan teri nasi setengah kering menjadi lebih putih. Penambahan garam yang tinggi sebagai bahan tambahan makanan dapat mencegah laju raksi oksidasi (Winanro 2008). Pada kosentrasi garam yang tinggi (25-50%) warna ikan teri nasi setengah kering menjadi lebih

ab

c

bc b bc

a 0 1 2 3 4 5 6 7 8

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai

rata

-

rata

rasa

kosentrasi penambahan garam


(45)

putih dari kosentrasi garam yang rendah (2-6%). Reaksi oksidasi pada ikan teri nasi setengah kering ditandai dengin berubahnya warna ikan menjadi kekuningan.

Gambar 24 Histogram nilai warna ikan teri nasi setengah kering 5.1.2.5 Tekstur

Teksur adalah suatu sifat karakteristik kelenturan dari produk yang berbentuk padat. Berdasarkan hasil uji kesukaan (hedonik) diketahui bahwa nilai tekstur ikan teri nasi setengah kering dengan kosentrasi 2-6% berkisar antara 5,5 sampai 6,1. Nilai tekstur tertinggi pada perlakuan penambahan garam 3% dan nilai terendah pada penambahan garam 2%. Hasil uji tekstur dapat dilihat pada Gambar 25.

Hasil uji Chi-square (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penggunaan garam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada tekstur ikan teri nasi setengah kering. Hal ini diduga jumlah garam yang digunakan untuk masing masing perlakuan tidak berbeda jauh. Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan (Adawyah 2008). Partikel tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi tekstur ikan. Ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% mempunyai tekstur yang padat, cukup liat dan kompak. Semakin tinggi kosentrasi garam yang digunakan maka nilai kesukaan panelis cenderung menurun. Ikan teri nasi dengan penambahan garam lebih dari 3% mempunyai tekstur yang agak rapuh dan kurang kompak.

a

b b

b b

b 0 1 2 3 4 5 6 7

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai rata -r ata w ar n a

Kosentrasi penambahan garam


(46)

Gambar 25 Histogram nilai tekstur ikan teri nasi setengah kering

5.1.3 Penentuan Formula Terbaik dengan Metode Bayes Berdasarkan Hasil Uji Hedonik

Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif, dengan tujuan menghasilkan kesimpulan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2005). Sebelum dilakukan analisis menggunakan metode Bayes, terlebih dulu dilakukan perangkingan terhadap beberapa parameter yang diamati berdasarkan indeks kepentingannya menurut panelis dan pendapat ahli.

Parameter yang paling dianggap penting pada ikan teri nasi setengah kering secara berturut turut yaitu rasa, penampakan, warna, bau dan tekstur. Hasil analisis dengan metode Bayes dapat dilihat pada Tabel 4 dan data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Bayes, diketahui bahwa ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% adalah yang terbaik (peringkat pertama) dengan nilai 5,88. Ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% baik berdasarkan hasil uji hedonik yang mempunyai korelasi positif. Hasil uji hedonik terhadap ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% menunjukkan bahwa rasa dan penampakan mempunyai nilai organoleptik tertinggi. Hasil analisis dengan metode Bayes bahwa nilai tertinggi (5,88) adalah ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan garam 3% menghasilkan

a

a a

a a a

1 2 3 4 5 6 7

2% 3% 4% 5% 6% kontrol

Nilai

rata

-r

ata

tek

stu

r

Kosentrasi penambahan garam


(47)

respon terbaik. Ikan teri nasi setengah kering terbaik berdasarkan hasil uji Bayes digunakan sebagai acuan dalam penelitian utama.

Tabel 4 Hasil analisis dengan metode Bayes

Parameter Kosentrasi garam Nilai

bobot

2% 3% 4% 5% 6% Komersial

Rasa 2 6 5 3 4 1 0,3

Penampakan 1 6 5 2 3 4 0,24

Warna 1 6 4 2 3 5 0,18

Bau 1 5 6 4 3 2 0,18

Tekstur 1 6 3 2 4 5 0,11

Total Nilai 1,31 5,88 4,83 2,68 3,44 3,07

Rangking 6 1 2 5 3 4

5.2 Penelitian Utama

5.2.1 Analisis proksimat Ikan teri nasi setengah kering

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari jenis ikan teri nasi dengan perlakuan terbaik dan sebagai pembanding yaitu produk komersial (UKM). Analisis yang lain meliputi TPC yang digunakan untuk mengetahui data mikroba yang tumbuh pada Ho dan aw digunakan sebagai data karakteristik bahan baku. Karakteristik kimia ikan teri nasi setengah kering terdiri dari kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan protein. Karakteristik kimia ikan teri nasi setengah kering dengan penambahan kosentrasi garam yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik kimia dan mikrobiologi ikan teri nasi setengah kering Karakteristik Garam 3% Produk komersial Syarat mutu

Kadar abu (%) 11,20 16,85 1*

Kadar protein (%) 31,86 30,56 30-40**

Kadar lemak (%) 2,43 2,49 1,00*

Kadar air (%) 50,06 48,67 30-60%*

TPC aw

1,0x102 0,868

1,5x102 0,826

2x105*

*SNI-1994 **Astawan 2008


(48)

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan menguapkan energi panas (Winarno dan Fardiaz 1973). Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan kosentrasi. Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel pun masuk ke dalam tubuh ikan. Garam dalam proses penggaraman memiliki dua fungsi yaitu menyerap cairan tubuh ikan dan menyerap cairan tubuh bakteri. Pada fungsi kedua akan mengakibatkan proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati (Adawyah 2008). Dengan perbedaan kosentrasi garam yang ditambahkan maka akan berbeda pula karakteristik kimia ikan teri nasi setengah kering yang dihasilkan.

Hasil analisis kadar abu menunjukkan ikan teri nasi setengah kering komersial (produk UKM) memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 16,85% dari ikan teri nasi setengah kering hasil perlakuan terbaik yaitu 11,20%. Kadar abu ikan teri nasi setengah kering dipengaruhi oleh komponen pada bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatannya. Semakin banyak komponen yang ditambahakan, semakin tinggi pula kandungan abu yang ada pada ikan teri nasi setengah kering yang dihasilkan. Tingginya hasil analisis kadar abu yang disebabkan karena jumlah garam yang ditambahkan dalam proses perebusan ikan teri nasi. Bahan makanan sebagian besar yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008).

Pada umumnya protein didalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri (Winarno 2008). Kadar protein ikan teri nasi setengah kering perlakuan terbaik mempunyai protein yang lebih tinggi dari produk UKM. Ikan teri nasi setengah kering perlakuan terbaik mempunyai kadar protein yang lebih tinggi yaitu sebesar 31, 86 % sedangkan kadar protein ikan teri nasi setengah kering produk UKM sebesar 30,56%. Kadar protein yang berbeda ini diduga


(49)

disebabkan telah terjadi perubahan mutu protein pada hasil produk. Degradasi protein kasar terjadi secara berangsur-angsur menghasilkan asam amino, dengan produk lanjutan berupa komponen volatil seperti total volatile bases (TVB), H2S dan amonia. Perubahan komponen protein dan lemak selama proses penyimpanan adanya pelepasan fraksi protein terlarut dan terjadi hidrolisis beberapa fraksi lemak (Daramola et al. 2007)

Hasil analisis proksimat lemak menunjukkan bahwa kadar lemak ikan teri nasi setengah kering komersial relatif sama dengan ikan teri nasi setengah kering dengan perlakuan terbaik dengan nilai sebesar 2,49% dan 2,43%. Akan tetapi kadar lemak produk ini lebih tinggi dari standar yang ditetapkan yaitu 1,00%. Tingginya kadar lemak pada produk diduga karena poses pengeringan yang dilakukan hanya 4-5 jam.

Lemak adalah bagian yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Selain itu, lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat maupun protein. Lemak pada bahan makanan pada umumnya dipisahkan dari komponen yang terdapat dalam bahan tersebut dengan cara ekstraksi menggunakan suatu pelarut misalkan petroleum ether, chloroform atau benzena dan dinamakan sebagai ether soluble fraction atau crude fat. Lemak makanan merupakan bagian terpenting dalam nutrisi yaitu menambah kalori dan asam lemak penting, bertindak sebagai pembawa vitamin dan meningkatkan flavor makanan (Fennema 1985 & Winarno 2008).

Hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa ikan teri nasi setengah kering perlakuan terbaik lebih tinggi daripada produk komersial yaitu sebesar 50,06% dan 48,67%. Nilai tersebut sesuai dengan standar SNI yang menetapkan kadar air ikan teri nasi setengah kering sebesar 30-60% (SNI 1994). Rendahnya nilai kadar air ikan teri nasi setengah kering perlakuan terbaik disebabkan perbedaan jumlah garam yang ditambahkan. Semakin besar jumlah garam yang ditambahkan, maka kadar air pada produk akan semakin kecil. Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan kosentrasi. Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel pun


(50)

masuk ke dalam tubuh ikan (Adawyah 2008). Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan produk pangan, terutama produk olahan karena dapat menentukan daya awet bahan pangan. Hal ini berkaitan dengan sifat air yang dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan secara kimia, mikrobiologi dan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tekstur, penampakan, aroma dan cita rasa makanan (Buckle et al. 1987)

Kandungan total plate count (TPC) dalam produk ikan teri nasi setengah kering merupakan salah satu parameter mikrobiologis untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu produk dan kelayakannya untuk dikonsumsi. Hasil uji TPC menunjukkan bahwa ikan teri nasi setengah kering perlakuan terbaik mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk komersial. Pada hari ke-0 produk dengan perlakuan terbaik memiliki nilai TPC 1,0x102 sedangkan produk komersial 1,5x102. Perbedaan nilai TPC ini dikarenakan garam yang digunakan pada produk komersial jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk dengan perlakuan terbaik. Bakteri yang terdapat pada makanan dapat berasal dari bahan baku yang digunakan, proses produksi, peralatan, maupun dari udara atau lingkungan sekitar.

Adawyah (2008) menyebutkan bahwa garam dalam proses penggaraman memiliki dua fungsi yaitu menyerap cairan tubuh ikan dan menyerap cairan tubuh bakteri. Pada fungsi kedua akan mengakibatkan proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati. Nilai TPC ini digunakan sebagai parameter kemunduran mutu produk. Nilai TPC maksimum ikan teri nasi setengah kering sebesar 2x105 (SNI 1994). Penyimpanan produk pada suhu dingin dapat memperlambat kecepatan reaksi-rekasi metabolisme, yaitu pada umumnya setiap penurunan suhu 8oC kecepatan reaksi akan berkurang kira-kira setengahnya. Oleh sebab itu penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan dapat dihambat. Pendinginan tidak dapat membunuh mikroba tetapi hanya menghambat pertumbuhannnya (Winarno 2008).


(1)

Duncana

30 5.27

30 5.50 5.50

30 5.83 5.83 5.83

30 5.87 5.87 5.87

30 6.20 6.20

30 6.30

.096 .051 .199

Perlakuan 2% kontrol 6% 5% 3% 4% Sig.

N 1 2 3

Subset for alpha = .05

Means f or groups in homogeneous s ubsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.

a.

Dunc ana

30 4.87 30 5.60 30 5.70 30 6.00 30 6.13 30 6.23 1.000 .119 Perlakuan 2% 5% 6% 4% kontrol 3% Sig.

N 1 2

Subs et for alpha = .05

Means f or groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 30.000.

a.

Duncana

30 5.43

30 5.70 5.70

30 6.17 6.17

30 6.30 6.30

30 6.40 6.40

30 6.83

.429 .058 .071

Perlakuan kontrol 2% 5% 6% 4% 3% Sig.

N 1 2 3

Subset for alpha = .05

Means f or groups in homogeneous s ubsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.

a.

e. Uji Lanjut Duncan parameter warna


(2)

Lampiran 5 Uji bayes

Parameter Analis Nilai Kepentingan

Rasa 5

Penampakan 4

warna 3

Bau 2

Teksur 2

Pembagian kolom x/y

x/y Rasa Penampakan warna Bau tekstur

Rasa 1,00 0,80 0,60 0,40 0,40

Penampakan 1,25 1,00 0,75 0,50 0,50

warna 1,67 1,33 1,00 0,67 0,67

Bau 2,50 2,00 1,50 1,00 1,00

Teksur 2,50 2,00 1,50 1,00 1,00

Perkalian Matriks yang sama (matrik A x matrik A)

1 0,8 0,6 0,4 0,4

1,25 1 0,75 0,5 0,5

1,67 1,33 1 0,67 0,67

2,5 2 1,5 1 1

2,5 2 1,5 1 1

Hasil perkalian matriks A

5,00 4,00 3,00 2,00 2,002

6,25 5,00 3,75 2,50 2,5025

8,3525 6,676 5,01 3,34 3,343

3 3,75 5,00 5,00 7,5

12,51 10,00 10,00 5,01 5,005

1 0,8 0,6 0,4 0,4

1,25 1 0,75 0,5 0,5

1,67 1,33 1 0,67 0,67

2,5 2 1,5 1 1

2,5 2 1,5 1 1


(3)

Perkalian Matriks yang sama (matrik B x matrik B)

Hasil perkalian matriks B

106,1025 87,548 75,05 50,05002 55,06901

132,6282 109,435 93,8125 62,56253 68,83626

177,1745 146,1918 125,3226 83,57683 91,95854

75 78,8550 118,8875 125,1125 187,5675

223,6050 235,6375 200,23 133,5451 146,1250

Hasil penjumlahan Matriks C dan nilai bobot

Hasil penjumlahan

Nilai bobot

106,10252 87,548 75,05 50,05002 55,06901 373,8196 0,13

132,62815 109,435 93,8125 62,562525 68,83626 467,2744 0,16 177,174455 146,1918 125,3226 83,57683 91,95854 624,2242 0,21 75 78,8550 118,8875 125,1125 187,5675 585,4225 0,20 223,6050 235,6375 200,23 133,54505 146,1250 939,1426 0,31

Total 2989,883

Hasil perangkingan berdasarkan uji Bayes Parameter

2% 3% 4% 5% 6% komersial Nilai bobot

Rasa 2 6 5 3 4 1 0,3

Penampakan 1 6 5 2 3 4 0,24

warna 1 6 4 2 3 5 0,18

Bau 1 5 6 4 3 2 0,18

Teksur 1 6 3 2 4 5 0,11

Total nilai 1,31 5,88 4,83 2,68 3,44 3,07

Rangking 6 1 2 5 3 4

5 4 3 2 2,002

6,25 5 3,75 2,5 2,5025

8,3525 6,676 5,01 3,34 3,343

3 3,75 5 5 7,5

12,51 10 10 5,01 5,005

5 4 3 2 2,002

6,25 5 3,75 2,5 2,5025

8,3525 6,676 5,01 3,34 3,343

3 3,75 5 5 7,5

12,51 10 10 5,01 5,005


(4)

Lampiran 6 Jenis-jenis ikan teri di Pulau Pasaran

Teri Nasi Setengah Kering Teri Nilon

Teri Lilin Teri Hitam

Teri Putih Teri Katak


(5)

Lampiran 7 Dokumentasi penelitian

Pulau Pasaran Bagang(alat tangkap teri nasi)

Alat perebusan di darat Alat perebusan di kapal


(6)

RINGKASAN

SEPTINA MUGI RAHAYU C34062972. Pengaruh Kosentrasi Garam dalam

Proses Perebusan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Setengah Kering dan

Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan SIMSON MASENGI.

Pulau pasaran yang terletak di Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Barat, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan sentra usaha kecil dan menengah pengolahan ikan teri nasi setengah kering. Proses pengolahannya masih sederhana, sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan pada beberapa titik kritis. Perebusan merupakan salah satu titik kritis yang berpengaruh dalam bahaya biologis. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut terhadap kosentrasi garam yang digunakan dalam proses perebusan. Penambahan kosentrasi garam yang tepat diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan bakteri dan memperpanjang umur simpan, tanpa mengubah penerimaannya secara signifikan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kosentrasi garam terbaik, mengetahui umur simpan ikan teri nasi setengah kering dengan metode akselerasi serta mengetahui keadaan umum UKM Perikanan di Pulau Pasaran. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap ikan teri nasi setengah kering. Rancangan percobaan pada penelitian pendahulan digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi garam yang berbeda ( 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan komersial) terhadap parameter subjektif dan objektif. Hasil uji hedonik produk kemudian dilakukan pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes. Hasil terbaik pada penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan uji proksimat dan uji TPC. Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi garam terhadap karakteristik fisik, mikrobiologi, kimia dan umur simpan ikan teri nasi setengah kering.

Analisis proksimat ikan teri nasi produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Pulau Pasaran memiliki kadar abu 16,85%, protein 30,56%, lemak 2,49%, air 48,67%, TPC 1,5x102 (koloni/g) dan aw 0,826. Kosentrasi garam 3% (w/w)

menghasilkan nilai sensori terbaik pada penelitian pendahuluan. Analisis proksimat Ikan dengan perlakuan terbaik memiliki kadar abu 11,20%, protein 31,86%, lemak 2,43%, air 50,06%, TPC 1,0x102 (koloni/g)dan aw 0,868 dengan

karakteristik fisik utuh, bersih, seragam, putih kurang cemerlang dengan tekstur padat, cukup liat dan kompak. Pendugaan umur simpan ikan teri nasi setengah kering dilakukan dengan pengujian TPC sebagai salah satu parameter yang paling berpengaruh dalam kemunduran mutu produk. Hasil uji TPC selama masa penyimpanan dengan suhu yang berbeda (10 0C, 20 0C dan 30 0C) menunjukkan peningkatan. Nilai persamaan dari model Arrhenius yang diperoleh adalah ln k = 14,59 – 4.702,59 (1/T). Dari persamaan tersebut diketahui bahwa ikan teri nasi setengah kering dengan perlakuan terbaik dapat disimpan selama 58 hari pada suhu 10 0C, 33 hari pada suhu 20 0C dan 20 hari pada suhu 30 0C. Semakin tinggi suhu penyimpanan ikan teri nasi setengah kering maka umur simpannya akan semakin pendek.