Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Substitusi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi-Model Arrhenius

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP PRODUK MIE KERING JAGUNG SUBSTITUSI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE AKSELERASI-MODEL ARRHENIUS

Oleh

Indriati Wahyuningrum F24051936

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP PRODUK MIE KERING JAGUNG SUBSTITUSI DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA DENGAN METODE AKSELERASI-MODEL ARRHENIUS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Indriati Wahyuningrum F24051936

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(4)

Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Substitusi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan

Metode Akselerasi-Model Arrhenius

Consumer Preference Analyse and Shelf Life Prediction of Dried Substitute Corn Noodle with Accelerated Method-Arrhenius Model

Feri Kusnandar1), Dede R. Adawiyah1) dan Indriati Wahyuningrum2) 1) Lecturer of Food Science and Technology, IPB

2) Student of Food Science and Technology, IPB

Corn flour is potentially used as a raw material in the production of corn noodles. The use of corns as a main ingredient hopefully can reduce high consume of rice as a main staple of Indonesian people. This researh was objected to evaluate the consumer acceptibility, and to find the shelf life of this product by accelerated method, with Arrhenius model.

Consumer preference tests showed that the degree liking of this product was high enough. It’s about 43 % of respondents who answer “like” substitute corn noodle product which is present in meatball product. Most of them (90%) agree if substitute corn noodle was processed into meatball product. And 81% of them agree too if this product become an alternative commercial noodle.

Meanwhile, shelf life prediction in this research was conducted in the following steps (1) to develope a trained panelist, (2) to determine a critical attribute on dried corn noodle, (3) to calculate kinetic of decreasing a critical attribute and (4) to predict the shelf life-time of this product. Substitute corn noodle stored in three extreme condition temperature (37, 45 and 50 oC). Then, evaluated by panelist and also by an objective analyse (cooking loss, TBA analyse and colour-Hunter) every 7 days in 5 weeks. Constanta-decline value in lightness, off odor and taste attribute respectively are 0.0681 /day; 0.0358/day; and 0.0162/day. So, these research can predict the shelf life-time of products in temperature 28 oC respectively are 74.92 days (2.46 month); 137.00 days (4.57 month); and346.14 days (11.54 month). Shelf life-time prediction in this research use an off odor attribute as a critical attribute which is sensitive enough with change of temperature. Therefore, shelf life-time prediction of substitute corn noodle is about 4.57 month in temperature condition 28 oC.


(5)

Indriati Wahyuningrum. F24051936. Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Substitusi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi-Model Arrhenius. Dibawah bimbingan: Feri Kusnandar dan Dede R. Adawiyah.

RINGKASAN

Mie kering berbasis jagung merupakan salah satu program diversifikasi pangan yang telah dikembangkan sejak lama. Penggunaan bahan baku jagung dalam ingredien sebagai substitusi maupun seluruhnya diharapkan mampu memberi kontribusi pada masalah terlalu tingginya ketergantungan bangsa Indonesia pada beras dan tepung terigu. Berbagai penelitian mie jagung telah banyak dilakukan hingga menghasilkan karakteristik mutu terbaik. Informasi lain yang belum diketahui adalah mengenai data preferensi konsumen terhadap mie jagung serta data masa simpan produk sebelum sampai di tangan konsumen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mie kering jagung substitusi serta untuk menentukan umur simpan produk dengan menggunakan pendekatan model Arrhenius. Penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penelitian pendahuluan, tahap analisis preferensi konsumen dan tahap pendugaan umur simpan produk mie kering jagung substitusi dengan metode akselerasi-model Arrhenius.

Rangkaian penelitian pada tahap pendahuluan meliputi proses pembuatan tepung jagung dari jagung pipil varietas Pioneer 21, pembuatan mie kering jagung substitusi serta karakterisasinya. Karakterisasi dilakukan dengan menganalisis kualitas masak (cooking loss), tekstur dan warna mie. Ketiganya merupakan parameter mutu obyektif mie yang terpenting. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai KPAP mie jagung substitusi sebesar 4.41 %, nilai kekerasan, kelengketan dan elastititas mie menggunakan Texture Analyzer TA-XT2 berturut-turut sebesar 3135.18 gf, 188.55 gf dan 0.7343 serta nilai warna meliputi nilai L, a dan b masing-masing sebesar 48.04, 0.69 dan 20.56.

Tahap penelitian mengenai tingkat preferensi konsumen terhadap produk mie jagung substitusi dilakukan kepada 100 orang responden lingkar kampus IPB. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa 43 % responden menyatakan “suka” terhadap produk mie jagung substitusi yang disajikan dalam produk mie bakso. Sebagian besar responden (90 %) “setuju” jika mie jagung ini diolah menjadi produk mie bakso, dan sebanyak 81 % responden diantaranya menyatakan “setuju” pula apabila mie jagung substitusi dijadikan sebagai alternatif pengganti mie terigu. Adapun, alternatif produk pangan olahan lainnya dapat pula diterapkan dengan menggunakan mie jagung substitusi ini. Produk olahan yang dipilih oleh responden diantaranya mie goreng (43.55 %); soto mie (33.87 %); toge goreng (14.52 %); dan lainnya seperti spaghetti dan ifu mie (8.06 %).

Tahap penelitian berikutnya adalah pendugaan umur simpan produk mie kering jagung substitusi dengan metode akselerasi, model Arrhenius. Rangkaian penelitian pada tahapan ini meliputi pembentukan panelis terlatih, penetapan parameter kritis mie jagung substitusi, percobaan penyimpanan mie pada kondisi suhu ekstrim, penghitungan kinetika penurunan mutu parameter kritis dan penentuan umur simpan pada suhu yang diinginkan. Panelis terlatih sebanyak 9


(6)

orang pada penelitian ini berguna dalam pengevaluasian kualitas mie jagung substitusi selama penyimpanan secara subyektif. Panelis ini didapatkan melalui proses seleksi dan pelatihan panelis secara periodik.

Penetapan parameter kritis yang menyebabkan produk tidak dapat diterima secara organoleptik dilakukan bersama dengan panelis terlatih melalui diskusi fokus grup (FGD). Parameter-parameter kritis yang selanjutnya akan dianalisis selama penyimpanan ini diantaranya parameter sensori (warna, kecerahan, tekstur/kerapuhan, off odor, off flavor); parameter fisik (KPAP, warna-Hunter); dan parameter kimia (bilangan TBA).

Percobaan penyimpanan produk dilakukan pada 3 kondisi suhu ekstrim (37, 45 dan 50 oC), dengan waktu sampling setiap 7 hari selama 5 minggu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kinetika penurunan parameter mutu yang signifikan terhadap suhu adalah parameter sensori. Diantara parameter sensori tersebut, parameter mutu yang memiliki tren nilai konstanta penurunan mutu (k) meningkat terhadap kenaikan suhu adalah parameter kecerahan, off odor dan off flavor. Orde reaksi yang sesuai digunakan dalam penurunan mutu ini adalah orde reaksi nol.

Nilai konstanta/laju penurunan mutu pada parameter kecerahan, off odor dan off flavor berturut-turut adalah 0.0681 /hari; 0.0358/hari; dan 0.0162/hari. Dengan demikian, dapat ditentukan umur simpan produk pada suhu penyimpanan 28 oC masing-masing sebesar 74.92 hari (2.46 bulan); 137.00 hari (4.57 bulan); dan346.14 hari (11.54 bulan).

Penetapan umur simpan berdasarkan parameter tertentu selanjutnya dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat sensitivitas reaksi penurunan mutu terhadap perubahan suhu, yaitu salah satunya ditandai dengan nilai energi aktivasi yang cenderung kecil. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai energi aktivasi untuk parameter kecerahan, off odor dan off flavor berturut-turut adalah 2534.14 kJ/mol; 7818.88 kJ/mol; dan 14211.82 kJ/mol. Parameter kecerahan memberikan nilai energi aktivasi yang rendah. Akan tetapi, diperkirakan parameter ini tidak memberikan prediksi umur simpan yang baik karena umur simpan yang didapatkan hanya berkisar 2 bulan. Padahal, pengamatan empiris pada jangka waktu itu masih menunjukkan kualitas mie yang baik. Oleh karena itu, parameter penduga umur simpan mie jagung substitusi yang dipilih adalah parameter off odor, yaitu memberikan informasi masa simpan produk selam 4.57 bulan.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Indriati Wahyuningrum, dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1987 di Jakarta dan merupakan putri keempat dari pasangan Wahyu Djatmiko dan Sundari. Penulis menempuh pendidikan di TK Assakinah (1992-1993), pendidikan dasar di SDN 05 Menteng Dalam Jakarta (1993-1999), pendidikan menengah pertama di SLTPN 7 Bogor (1999-2002), dan pendidikan menengah atas di SMUN 3 Bogor (2002-2005).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif sebagai pengurus BEM Fateta (2006-2007), pengurus FBI Fateta (2006-2007), dan anggota HIMITEPA (2006-2009). Seminar dan Training HACCP V 2007 serta Indonesian Food Expo (IFOODEX) 2007 merupakan salah satu kegiatan yang pernah diikuti penulis dalam kegiatan kepanitiaan. Seminar dan training yang penah penulis ikuti antara lain Seminar “Menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh” oleh SEAFAST CENTER-IPB tahun 2008, Training Sistem Manajemen Halal tahun 2008, Training Auditor HACCP oleh Mbrio tahun 2008 serta training ISO 9001 dan ISO 22000 pada tahun 2008.

Selama masa kuliah, penulis mendapatkan beasiswa dari Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) pada tahun 2008 dan 2009 serta memperoleh Hibah DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2007 dan 2009. Penulis juga pernah menjadi asisten pelatih proses pembuatan mie jagung batch I, batch II dan untuk UKM serta pernah menjadi koordinator proses produksi rutin mie jagung pada tahun 2009.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan Judul “Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Produk Mie Kering Jagung Substitusi Dan Pendugaan Umur Simpannya Dengan Metode Akselerasi-Model Arrhenius” di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si.


(8)

i KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, tak henti penulis panjatkan hanya ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung Substitusi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Metode Akselerasi-Arrhenius”. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan pula kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu sabar dan tak pernah mengenal lelah dalam mendidik penulis. Terima kasih atas segala kasih sayang, motivasi dan curahan doa tanpa henti untuk penulis. Untuk saudara-saudara tersayang; Mas Andri, Mbak Wied dan Mas Indra terima kasih atas kasih sayang, dukungan, dan kehangatan keluarga yang indah ini.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc sebagai dosen pembimbing, atas kesabaran, nasihat, motivasi serta segala pelajaran hidup yang telah diberikan kepada penulis selama 3 tahun ini.

3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si selaku dosen pembimbing II yang selalu memberikan masukan-masukan berguna hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Sc selaku dosen penguji, atas kesediaan serta

saran dan kritik yang membangun demi perbaikan karya ini.

5. Seluruh Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan bekal ilmu bermanfaat yang mendukung kemajuan penulis, serta laboran-laboran ITP dan Seafast Center (Pak Wahid, Bu Rub, Pak Rojak dan Pak Jun) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

6. Irfan Rianto, atas kasih sayang, doa dan kobaran semangat tak kunjung padam kepada penulis di penghujung jalan skripsi ini. Terima kasih atas pelangi yang indah di malam hari.


(9)

ii 7. Teman-teman seperjuangan dan se-bimbingan, Isna, Juju dan Ka Gema, atas

kebersamaan, kekompakan, dukungan dan kerja sama yang indah.

8. Teman-teman terbaik, terutama Tuti, Neng Riska, Rika, Iwan, Midun, Arya, Galih, Fahmi, Ari, Dewi, Wiwiw, Fera, Reni, Kamlit dan seluruh keluarga besar ITP 42, atas kontribusi chapter yang indah dalam hidupku. Semoga kekeluargaan kita akan tetap terjaga meski tak selalu bersama.

9. Teman-teman sekaligus “keluarga” WBA, Hesti, Ema, Kochan, Gita, Wastu, Ida, Nisa dan adik-adik angkatan tersayang, yang selalu setia ada baik dalam suka maupun duka. Terima kasih atas keceriaan, keunikan dan kebersamaan yang manis selama 3 tahun ini.

10. Para Panelisku, Tsani, Safie, Victor, Sandra, Angga, Weje, Wahyu, Dilla, Fitri, Stella, dan Bintang atas bantuan dan kerjasama yang baik.

11. Teman-teman tim produksi mie jagung, atas kebersamaan dan kerjasama yang indah. Semoga organisasi dan produktivitas kita ke depan semakin baik lagi.

12. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.

Seperti kata pepatah Tiada Gading yang Tak Retak, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2010


(10)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Jagung ... 4

1. Jenis Jagung ... 4

2. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung ... 6

3. Komposisi Kimia Biji Jagung ... 7

4. Tepung Jagung ... 8

B. Mie Kering Jagung ... 10

C. Preferensi Konsumen ... 14

D. Kinetika Reaksi Kimia dan Prinsip Pendugaan Umur Simpan Metode Akselerasi (Model Arrhenius). ... 15

1. Kinetika Reaksi Kimia ... 15

a. Reaksi Kimia Ordo Nol ... 16

b. Reaksi Kimia Ordo Satu ... 16

2. Prinsip Pendugaan Umur Simpan ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 20

A. Bahan ... 20

B. Alat ... 20

C. Metode Penelitian ... 20

1. Penelitian Pendahuluan ... 20

a. Pembuatan Tepung Jagung ... 21


(11)

iv

c. Karakterisasi Mie Kering Jagung Substitusi ... 22

2. Analisis Preferensi Konsumen ... 22

a. Pengambilan Contoh (Simple Random Sample). ... 23

b. Jenis dan Cara Pengumpulan Data, Metode Survei ... 23

3. Pendugaan Umur Simpan Mie Kering Jagung Substitusi Model Arrhenius ... 24

a. Pembentukan Panelis Terlatih ... 24

b. Penetapan Parameter dan Batas Kritis Kerusakan Mie Kering 24 c. Percobaan Penyimpanan Mie pada Kondisi Suhu Ekstrim ... 24

d. Penghitungan Kinetika Penurunan Mutu Parameter Kritis ... 25

e. Penentuan Umur Simpan pada Suhu yang Diinginkan ... 26

D. Metode Analisis ... 27

1. Analisis Fisik ... 27

a. Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 27

b. Analisis Profil Tekstur ... 28

c. Analisis Warna-Hunter ... 28

2. Analisis Kimia ... 29

Analisis Bilangan TBA ... 29

3. Analisis Sensori ... 30

a. Seleksi Panelis ... 30

b. Pelatihan Panelis Terlatih ... 32

c. Diskusi Fokus Grup ... 33

d. Uji Skoring/Rating ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Penelitian Pendahuluan ... 34

1. Pembuatan Tepung Jagung ... 34

2. Pembuatan Mie Kering Jagung Substitusi ... 35

3. Karakterisasi Mie Jagung Substitusi ... 38

a. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 38

b. Profil Tekstur-TA ... 39


(12)

v B. Preferensi Konsumen terhadap Produk Mie Kering Jagung

Substitusi. ... 41

1. Profil Responden ... 42

2. Profil Responden dalam Mengkonsumsi Mie. ... 43

3. Preferensi Responden terhadap Mie Kering Jagung Substitusi.dalam Produk Mie Bakso ... 45

4. Analisis Kesesuaian Mie Kering Jagung Substitusi pada Produk Olahan Mie Bakso ... 47

C. Pendugaan Umur Simpan Produk Mie Kering Jagung Substitusi. ... 49

1. Panelis Terlatih ... 49

a. Seleksi Panelis ... 49

b. Pelatihan Panelis ... 49

c. Focuss Group Discussion (FGD) ... 51

2. Penetapan Parameter dan Batas Mutu Kritis Kerusakan Mie Kering ... 52

a. Penetapan Parameter Mutu Kritis ... 52

b. Penetapan Nilai/Batas Mutu Kritis ... 53

3. Percobaan Penyimpanan Mie pada Kondisi Suhu Ekstrim ... 54

4. Kinetika Penurunan Mutu Parameter Kritis ... 54

a. Atribut warna ... 54

b. Atribut Kecerahan ... 56

c. Atribut Kerapuhan ... 57

d. Atribut Aroma Tengik ... 58

e. Atribut Rasa ... 60

f. Bilangan TBA ... 61

g. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) ... 62

h. Warna-Hunter ... 63

5. Pendugaan Umur Simpan pada Suhu yang Diinginkan ... 64

a. Parameter Kecerahan ... 66

b. Parameter Aroma Tengik ... 66

c. Parameter Rasa ... 67


(13)

vi

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(14)

vii DAFTAR TABEL

Halaman

1. Bagian-Bagian Anatomi Biji Jagung ... 7

2. Komposisi Kimia Biji Jagung ... 8

3. Distribusi Protein di dalam Endosperma Jagung ... 8

4. Komposisi Kimia Tepung Jagung dari Varietas Pioneer 21 dan Tepung Jagung Kuning secara Umum ... 9

5. Syarat Mutu Mie Kering Menurut SNI 01-2974-1996 ... 11

6. Komposisi Tepung Terigu Cakra Kembar per 100 g ... 13

7. Konsentrasi Larutan Uji Deskripsi Rasa Dasar ... 30

8. Konsentrasi Larutan Uji Rangking Intensitas ... 31

9. Hasil FGD Mie Jagung Substitusi Sebelum Penyimpanan dan Mie Jagung Substitusi Simulasi Rusak ... 51

10. Nilai Awal dan Nilai Kritis Berdasarkan Beberapa Parameter ... 54

11. Plot Hubungan Nilai Slope dan Suhu Penyimpanan pada Parameter Organoleptik ... 65

12. Nilai k dan Ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan Parameter Kecerahan ... 66

13. Nilai k dan Ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan Parameter Aroma ... 67

14. Nilai k dan Ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan Parameter Rasa... 67

15. Umur Simpan Mie Kering Substitusi Jagung dengan Menggunakan Berbagai Parameter Mutu ... 68


(15)

viii DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Beberapa Tipe Jagung Berdasarkan Tipe Kernelnya (dari Kiri ke Kanan: dent,

flint, pop, flour, sweet dan pod) ... ..5

2. Struktur Biji Jagung ... ..6

3. Proses Pembuatan Tepung Jagung ... 21

4. Proses Pembuatan Mie Kering Metode Sheeting ... 22

5. Pendugaan Umur Simpan Produk Mie Kering Substitusi ... 27

6. Tepung Jagung P-21 Berukuran 100 Mesh ... 35

7. (a) Mie Jagung Substitusi dalam Produk Olahan Mie Bakso ... 41

(b) Evaluasi Mie Jagung Substitusi oleh Responden di Baso Kabayan ... 41

8. Profil Responden Konsumen Mie Jagung Substitusi dalam Produk Mie Bakso ... 42

9. Data Frekuensi Konsumsi Mie ... 43

10. Faktor Penentu Responden dalam Mengkonsumsi Mie ... 44

11. Atribut Mutu Mie yang Paling Penting bagi Responden ... 45

12. Pengetahuan Responden terhadap Mie Jagung ... 46

13. Tingkat Kesukaan Responden terhadap Mie Kering Jagung Substitusi pada Produk Mie Bakso ... 47

14. Diagram Tingkat Kesesuaian Mie Jagung Substitusi pada Produk Olahan Mie Bakso ... 47

15. Tingkat Kesesuaian Mie Jagung sebagai Alternatif Mie Terigu Komersial ... 48

16. Tingkat Kesesuaian Mie Jagung pada Produk Olahan Lain ... 48

17. Perubahan Mutu Atribut Warna Selama Penyimpanan ... 55

18. Perubahan Mutu Atribut Kecerahan Selama Penyimpanan ... 56

19. Perubahan Mutu Atribut Kerapuhan Selama Penyimpanan... 57

20. Perubahan Mutu Atribut Aroma Tengik Selama Penyimpanan... 59

21. Perubahan Mutu Atribut Rasa Selama Penyimpanan ... 60

22. Perubahan Mutu Bilangan TBA Selama Penyimpanan ... 62

23. Perubahan Mutu Atibut KPAP Selama Penyimpanan ... 63


(16)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Format Kuesioner Analisis Preferensi Konsumen ... 78

2. Format Kuesioner Seleksi Panelis ... 81

3. Format Kuesioner Uji Rating ... 83

4. Performa Calon Panelis Terlatih Pada Rangkaian Proses Seleksi ... 85

5. Rekapitulasi Konsep Pelatihan Panelis Mie Kering Jagung Substitusi ... 86

6. Tabulasi Data Uji Umur Simpan ... 87

7. Grafik Ordo Nol dan Satu Parameter Warna ... 95

8. Rekapitulasi dan Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Warna .. 96

9. Grafik Ordo Nol dan Satu Parameter Kecerahan ... 97

10. Rekapitulasi dan Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Kecerahan ... 98

11. Grafik Ordo Nol dan Satu Parameter Kerapuhan ... 99

12. Rekapitulasi dan Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Kerapuhan ... 100

13. Grafik Plot Ordo Nol dan Satu pada Parameter Aroma Tengik ... 101

14. Rekapitulasi dan Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Aroma Tengik ... 102

15. Grafik Ordo Nol dan Satu Parameter Rasa ... 103

16. Rekapitulasi dan Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Rasa ... 104

17. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Warna ... 105

18. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Kecerahan ... 106

19. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Kerapuhan ... 107

20. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Aroma Tengik ... 108

21. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Rasa ... 109

22. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter TBA ... 110

23. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter KPAP ... 111

24. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Warna-Hunter (Nilai L) . 112 25. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Warna-Hunter (Nilai a) .. 113


(17)

1 I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Pengembangan mie kering berbasis jagung merupakan salah satu “entry point” dalam program diversifikasi pangan. Penggunaan bahan baku jagung dalam ingredien substitusi maupun seluruhnya diharapkan mampu memberi kontribusi pada masalah terlalu tingginya ketergantungan bangsa Indonesia pada beras dan tepung terigu.

Survey yang dilakukan oleh Juniawati (2003) menunjukkan bahwa jagung adalah bahan pangan non-beras yang paling disukai oleh konsumen. Sementara mie adalah produk pangan olahan non-beras yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan produk pangan non-beras lainnya. Hal ini menunjukkan potensi mie berbasis jagung sangat potensial untuk dikembangkan di masyarakat.

Penelitian mengenai pengembangan mie jagung substitusi telah dilakukan. Informasi yang belum diketahui adalah data preferensi konsumen terhadap mie jagung, khususnya produk mie kering jagung substitusi. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan produk mie jagung oleh konsumen.

Informasi lain yang belum diketahui adalah berapa lama umur simpan mie jagung substitusi dan faktor kritis apa yang paling menentukan kerusakannya sehingga menjadi penentu umur simpannya. Umur simpan mie jagung perlu ditetapkan agar masyarakat/konsumen mengetahui ketahanan mie jagung selama penyimpanan. Informasi tentang umur simpan ini merupakan hak konsumen seperti yang diatur dalam PP No 69 tahun 1999 tentang label pangan pada Bab II pasal 2 dan 3, yaitu setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada kemasan, dimana keterangan dalam label ini wajib mencantumkan masa kadaluarsa produk. Oleh karena itu, masa kadaluarsa sebagai indikator keamanan produk menjadi persyaratan paling utama dalam industri atau usaha kecil menengah untuk ditetapkan.


(18)

2 Pendugaan umur simpan produk mie kering dapat dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutunya selama penyimpanan. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari adanya perubahan faktor/parameter mutu produk. Metode konvensional yang dilakukan dengan menyimpan produk hingga rusak memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, dikembangkan metode pendugaan umur simpan produk pangan yaitu metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Metode ASLT dapat memperpendek waktu penentuan umur simpan, yaitu dengan cara mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pada suatu kondisi penyimpanan yang ekstrim. Salah satu metode ASLT adalah model Arrhenius. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang kerusakannya banyak dipengaruhi oleh perubahan suhu, yaitu dengan memicu terjadinya reaksi-reaksi kimia yang berkontribusi pada kerusakan produk (Kusnandar, 2006).

Mie kering berbahan baku tepung jagung memiliki kemungkinan kerusakan akibat perubahan suhu ekstrim (oksidasi asam lemak) menjadi tengik. Adanya proses oksidasi lemak akibat tingginya kandungan lemak pada mie kering berbasis tepung jagung ini dapat dipicu oleh kenaikan suhu dan paparan sinar matahari selama penyimpanan atau suhu udara pada saat distribusi dan transportasi. Oleh karena itu, pendugaan umur simpan produk mie kering substitusi jagung yang berpotensi mengalami oksidasi asam lemak dilakukan dengan metode akselerasi dengan pendekatan model Arrhenius (Kusnandar, 2006).

Kusnandar (2006) menambahkan bahwa pada prinsipnya, pendugaan umur simpan model Arrhenius ini dilakukan dengan menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim. dimana kerusakan produk pangan lebih cepat terjadi. Kemudian, umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan.

B.TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mie kering substitusi jagung serta untuk


(19)

3 menentukan umur simpan produk dengan menggunakan pendekatan model Arrhenius.

C.MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini berupa tersedianya informasi mengenai tingkat penerimaan konsumen terhadap produk mie kering jagung substitusi serta ketahanan masa simpannya setelah diproduksi. Selain itu, diharapkan pula hasil penelitian ini dapat dilanjutkan hingga tahap pengadopsian secara industrialisasi dalam rangka diversifikasi pangan pokok dan pengurangan ketergantungan pada impor terigu.


(20)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG 1. Jenis Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji-bijian dari keluarga rumput–rumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Poales, famili Poaceae, dan genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima, 2009).

Propinsi utama penghasil jagung di Indonesia adalah Jawa Timur dengan pangsa produksi pada tahun 2005 sebesar 35%, diikuti oleh Jawa Tengah 17%, Lampung 11%, Sumatera Utara 6%, Sulawesi Selatan 6%, dan Nusa Tenggara Timur 5% (Deptan, 2005a). Apabila laju peningkatan produksi jagung dalam negeri dapat dipertahankan seperti pada tahun 2000 – 2004, yakni sebesar 4,24% per tahun dan laju peningkatan kebutuhan jagung mencapai 2,74% per tahun, maka sejak tahun 2007 Indonesia sudah mempunyai kelebihan produksi yang cukup besar (sekitar 339 ribu ton) untuk diekspor. Pada tahun 2010, Indonesia diperkirakan dapat mengekspor jagung hingga mencapai 1 juta ton (Deptan, 2005b). BPS (2009) memperkirakan bahwa produktivitas jagung meningkat sebesar 0.72 persen dari 53.85 kuintal per hektar pada tahun 2008 menjadi 54.23 kuintal per hektar pada tahun 2009.

Menurut Suprapto (1998), varietas jagung dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria antara lain tinggi tempat penanaman, umur varietas, perbenihannya, serta warna dan tipe biji. Namun secara umum, pengklasifikasian jagung dibedakan berdasarkan bentuk kernelnya.

Berdasarkan bentuk kernelnya ada 6 tipe utama jagung, yaitu: dent, flint, flour, sweet, pop dan pod corns. Perbedaan terutama didasarkan pada kualitas, kuantitas dan komposisi endosperma. Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya selaput corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, pada bagian tengah inti jagung lunak dan bertepung.


(21)

5 Endosperma yang lunak akan menjulur hingga mahkota membentuk tipe tertentu yang merupakan ciri khas jagung jenis dent (Johnson, 1991).

Gambar 1. Beberapa Tipe Jagung Berdasarkan Tipe Kernelnya (Dari Kiri ke Kanan: dent. flint. pop. flour. sweet dan pod) (Jugenheimer, 1976)

Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991).

Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara) dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn) dan jagung manis (sweet corn).


(22)

6 2. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung

Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ) dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), perikarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan perikarp bervariasi dari 62-160 μm tergantung genotipnya. Perikarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells dan tegmen (seed coat). Bagian terakhir ini terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang mengandung lemak (Johnson, 1991).

Bagian terbesar biji jagung adalah endosperma yang mengandung pati sebagai cadangan energi. Sel endosperma ditutupi oleh granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson, 1991).


(23)

7 Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1.1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30.8% protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.

Tabel 1. Bagian-Bagian Anatomi Biji Jagung Bagian anatomi Jumlah (%)

Pericarp (bran) 5.3 Endosperma 82.9

Lembaga (germ) 11.1

Tip cap 0.8

Sumber: Watson (2003)

3. Komposisi Kimia Biji Jagung

Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%.


(24)

8 Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Jagung

Komponen Pati (%)

Protein (%)

Lipid (%)

Gula (%)

Abu (%)

Serat (%) Biji utuh 73.4 9.1 4.4 1.9 1.4 9.5 Endosperma 87.6 8.0 0.8 0.62 0.3 1.5

Lembaga 8.3 18.4 33.2 10.8 10.5 14

Perikarp 7.3 3.7 1.0 0.34 0.8 90.7

Tip cap 6.3 9.1 3.8 1.6 1.6 95 Sumber: Watson (2003)

Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein) dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma.

Tabel 3. Distribusi Protein di dalam Endosperma Jagung Protein Kandungan pada jagung

Normal (%) Opaque-2 (%) Floury-2 (%)

Albumin 4.7 20.2 5.6

Globulin 3.5 - 3.4

Prolamin 45.8 14.6 32.3

Glutelin 38.0 53.2 44.3

Residu 9.0 12.0 14.5

Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

4. Tepung Jagung

Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga dan tip cap. Endosperm merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit yang memiliki kandungan serat tinggi harus dipisahkan karena dapat membuat tepung bertekstur kasar. Sementara itu, lembaga yang merupakan bagian biji jagung dengan kandungan lemak tertinggi juga harus dipisahkan agar tidak membuat tepung menjadi tengik. Bagian jagung lain, yaitu tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung


(25)

9 pada tongkol. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan sebelum penepungan untuk menghindari terdapatnya butir-butir hitam pada tepung olahan (Lestari, 2009).

Secara umum, metode pembuatan tepung jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan basah dan penggilingan kering. Perbedaan kedua cara penggilingan ini terletak pada penggunaan air untuk mempermudah proses penggilingan. Pada penggilingan basah, dilakukan penambahan air secara kontinu saat penggilingan. Proses penggilingan basah ini lebih aplikatif di masyarakat (Soraya, 2006). Akan tetapi menurut Suprapto (1998), proses penggilingan kering lebih sering digunakan dalam pembuatan tepung skala besar.

Komposisi kimia tepung jagung varietas Pioneer 21 berdasarkan hasil penelitian Etikawati (2007) dan jagung kuning secara umum (FAO, 2005) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Kimia Tepung Jagung dari Varietas Pioneer 21 dan Tepung Jagung Kuning secara Umum

Komposisi kimia Varietas Pioneer 21 Jagung kuning

Kadar air (%) 5.46 14

Kadar protein (%) 6.32 6.6

Kadar abu (%) 0.31 0.5

Kadar lemak (%) 1.73 2.8

Kadar karbohidrat (%) 86.18 76.1

Kadar Amilopektin (%) 43.52 -

Kadar Amilosa (%) 23.04 -

Kadar karoten (ppm) - 1.3

Retinol equivalen (ppm) - 0.21

Keterangan: (-) Tidak tercantum

Secara kuantitatif, warna tepung jagung dapat diukur dengan menggunakan kromameter metode Hunter. Hasil penelitian Etikawati (2007) menyatakan bahwa tepung jagung P-21 memiliki derajat Hue 82.65, yang berarti bahwa tepung ini memiliki warna yellow red. Warna kuning pada tepung jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil termasuk ke dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90% dari total pigmen karotenoid di dalam jagung.


(26)

10 Kandungan pigmen xantofil yang terdapat pada jagung rata-rata sebesar 23 mg/kg dengan kisaran 12-36 mg/kg. Sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2.8 mg/kg (Watson, 2003).

B.MIE KERING JAGUNG

Menurut SNI 01-2974-1996, mie kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan yang berbentuk khas mie. Syarat mutu mie kering menurut dapat dilihat pada Tabel 5.

Mie dalam bentuk kering mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Mie kering yang baik memiliki penampakan putih, tidak pecah dan hancur selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al., 1985). Mie kering dihasilkan dengan cara mengeringkan mie mentah di dalam oven pada suhu ± 60oC. Dengan demikian, mie kering memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan mie basah. Umur simpan ini akan dipengaruhi oleh kadar air dan cara penyimpanannya.

Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mie kering terkandung 337 kkal energi, protein 7.9 g, lemak 11.8 g, karbohidrat 50.0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2.8 mg, vitamin B1 0.01 mg dan air 28.9 g.


(27)

11 Tabel 5. Syarat Mutu Mie Kering Menurut SNI 01-2974-1996

No Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu I Persyaratan Mutu II 1 Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Warna 1.3 Rasa - Normal Normal Normal Normal Normal Normal

2 Air % b/b Maks 8 Maks 10

3 Protein (N x 6.25)

% b/b Min 11 Min 8

4 Bahan Tambahan Makanan: 4.1 Boraks 4.2 Pewarna Tambahan

Tidak boleh ada sesuai dengan SNI 01-0222-1995

5 Cemaran Logam:

5.1 Timbal (Pb) 5.2 Tembaga (Cu)

5.3 Seng (Zn) 5.4 Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.05 Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.05

6 Arsen (As) mg/kg Maks 0.5 Maks 0.5

7 Cemaran Mikroba: 7.1 Angka Lempeng Total 7.2 E. coli

7.3 Kapang

koloni/g APM/g koloni/g

Maks 1.0 x 106 Maks 10 Maks 1.0 x 104

Maks 1.0 x 106 Maks 10 Maks 1.0 x 104

Mie jagung adalah mie yang dibuat dari tepung atau pati jagung. Berbagai teknik pembuatan mie jagung telah dikembangkan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) pembuatan mie jagung dengan teknik calendering yang meliputi proses pembentukan lembaran atau modifikasi teknik mie terigu (Juniawati 2003; Budiyah 2005; Fadlillah 2005; Rianto 2006; Soraya 2006; Kurniawati 2006; Putra 2008) dan (2) pembuatan mie jagung dengan teknik ekstrusi (Fahmi 2007; Etikawati 2007; Hatorangan 2007; Ekafitri 2009; Zulkhair 2009; Putra 2009; Aminullah 2009).

Proses pengolahan mie jagung berbeda dengan mie yang terbuat dari terigu. Penggunaan teknik calendering pada produk mie yang berbahan baku non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Oleh karena itu, proses pembuatan mie


(28)

12 jagung 100% pada teknik ini memerlukan tambahan tahapan proses berupa pengukusan adonan sebelum dibentuk menjadi lembaran (Soraya, 2006).

Pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian besar pati yang berperan sebagai pengikat adonan. Menurut Soraya (2006) dan Putra (2008), pembentukan adonan pada pembuatan mie jagung berasal dari matriks yang terbentuk akibat gelatinisasi pati. Dengan demikian, lembaran adonan tepung jagung tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi untaian mie apabila tidak dilakukan pengukusan tepung terlebih dahulu. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein yang tidak dapat membentuk massa adonan elastis-kohesif bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006).

Berbeda halnya dengan proses pengolahan mie jagung 100%, tahapan proses pengukusan sebelum pembentukan lembaran adonan pada proses mie jagung substitusi tidak diperlukan. Mie yang disubstitusi dengan 35% tepung jagung memiliki sisa 65% tepung terigu yang masih mengandung protein gluten cukup memadai untuk dapat berperan dalam pembentukan lembaran adonan yang elastis. Penyempurnaan gelatinisasi pati dalam tepung jagung hanya perlu dilakukan setelah untaian mie dibentuk sebagaimana halnya dalam proses pengolahan mie kering berbasis terigu (Kusnandar, 2008).

Bahan yang digunakan untuk pembuatan mie pada penelitian ini diantaranya tepung terigu Cakra Kembar, tepung jagung, garam, guar gum, Na-karbonat, K-karbonat dan air. Tepung terigu sebagai bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung terigu merk Cakra Kembar yang diproduksi oleh PT Bogasari Flour Mill. Tepung terigu jenis ini tergolong ke dalam tepung terigu keras dengan kadar protein 10-13% (Fadlillah, 2005). Kandungan protein yang tinggi dalam Cakra Kembar akan menghasilkan sifat adonan mie yang baik. Karakteristik kimia Cakra Kembar dapat dilihat pada Tabel 6.


(29)

13 Tabel 6. Komposisi Tepung Terigu Cakra Kembar per 100 g

Komposisi Jumlah Energi (kkal) 340.0

Protein (g) 11.0

Lemak (g) 0.9

Air (g) Maks. 14.5

Serat kasar (g) 0.4 Karbohidrat (g) Min. 70 Kalsium (mg) 13.0

Sumber: PT Bogasari Flour Mills (Hadiningsih, 1999)

Tepung jagung sebagai bahan baku pembuatan mie pada penelitian ini menggunakan persentase sebesar 35 %. Menurut Kusnandar (2008), penggunaan tepung jagung dalam persentase 35 % mampu memberikan hasil karakteristik yang paling optimum, yaitu lembaran adonan yang dihasilkan sangat kompak, baik dan mudah dibentuk serta produk memiliki nilai KPAP yang rendah.

Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan mie kering jagung substitusi diantaranya garam, guar gum, Na2CO3 dan K2CO3. Garam dapur

berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, mengikat air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie serta mengurangi kelengketan adonan (Budiyah, 2005). Natrium karbonat dan kalium karbonat berperan dalam pembentukan gluten, meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas serta menghaluskan tekstur (Kusnandar, 2008). Sementara itu, hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan bahwa penambahan guar gum mampu memberikan pengaruh yang besar dalam mengurangi kelengketan dan KPAP mie jagung.

Air merupakan komponen penting dalam pembentukan gluten. Air berfungsi sebagai media dalam pencampuran garam dan pengikatan karbohidrat, sehingga membentuk adonan yang baik. Penambahan air akan menyebabkan pada saat proses gelatinisasi, granula pati akan mengembang karena molekul-molekul air akan berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul amilosa-amilopektin (Ekafitri, 2009). Air yang ditambahkan pada penelitian ini sebanyak 40% dari berat terigu. Penambahan air dalam jumlah yang kurang dapat menyebabkan adonan


(30)

14 menjadi rapuh dan sulit dicetak. Namun penambahan air yang berlebih juga dapat berakibat adonan menjadi sangat lengket.

Mie jagung memiliki keunggulan dibandingkan mie terigu, yaitu tidak menggunakan pewarna tambahan. Warna kuning pada mie jagung disebabkan oleh pigmen kuning alami pada tepung jagung, yaitu karotenenoid, lutein dan zeasanthin (Merdiyanti, 2008).

C.PREFERENSI KONSUMEN

Preferensi terhadap suatu makanan dapat didefinisikan sebagai tingkat atau derajat kesukaan atau ketidaksukaan individu terhadap suatu jenis makanan tertentu. Suatu produk makanan dapat dikatakan lebih disukai oleh konsumen jika konsumen menempatkan produk makanan tersebut sebagai pilihan pertama. Menurut Cardello (1994), makanan merupakan perangsang dari segi sensori, sedangkan karakteristik fisiko-kima yang ditentukan oleh ingredien, proses dan penyimpanan akan berinteraksi dengan indera manusia sehingga membentuk preferensi.

Tingkat kesukaan akan sesuatu dapat dilihat dari persentase jumlah responden yang memilih dan menyukai produk tersebut. Tingkat kesukaan ini sangat beragam bagi setiap individu, sehingga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan (Suhardjo, 1989).

Menurut Sanjur (1982), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi preferensi konsumen terhadap suatu jenis produk, diantaranya (1) karakteristik individu, meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan dan pengetahuan gizi; (2) karakteristik produk, meliputi rasa, warna, aroma, kemasan, tekstur dan harga; (3) karakteristik lingkungan, meliputi jumlah anggota keluarga, tingkat sosial, pekerjaan, musim dan mobilitas. Semua peubah tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Hal ini diperkuat oleh Sutisna (2001) yang menyatakan bahwa interaksi dengan keluarga, teman, kombinasi rasa, warna, aroma dan bentuk produk serta penyajian merupakan hal yang paling banyak mempengaruhi preferensi.

Sementara itu menurut Stepherd dan Spark (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesukaan terhadap makanan dapat dikelompokkan


(31)

15 sebagai berikut (1) faktor intrinsik, yaitu penampakan, aroma, tekstur, kualitas, kuantitas dan cara penyajian makanan; (2) faktor ekstrinsik, yaitu lingkungan sosial, iklan produk dan waktu penyajian; (3) faktor personal, yaitu tingkat pendugaan, pengaruh orang lain, mood, selera dan emosi; (4) faktor biologis, fisik dan psikologis, yaitu umur, jenis kelamin, keadaan psikis, aspek psikologi dan biologis; (5) faktor sosial ekonomi, yaitu pendapatan keluarga, harga makanan dan status sosial; (6) faktor pendidikan, yaitu status pengetahuan individu dan keluarga serta pengetahuan tentang gizi; dan (7) faktor kultur, agama dan daerah, yaitu asal kultur, agama, kepercayaan dan tradisi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen terhadap suatu produk adalah faktor individu yang mencakup kebutuhan, motivasi, gaya hidup dan tingkat pengetahuan serta faktor lingkungan, yakni budaya, sosial ekonomi dan jumlah keluarga.

D.KINETIKA REAKSI KIMIA DAN PRINSIP PENDUGAAN UMUR SIMPAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS)

1. Kinetika Reaksi Kimia

Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi ini disebabkan oleh persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu (Arpah, 2001). Sementara itu, Kusnandar (2006) menambahkan bahwa bahan dan produk pangan dapat pula mengalami reaksi-reaksi kimia selama penyimpanan yang dipicu oleh komponen-komponen kimia di dalamnya. Reaksi kimia yang dapat terjadi diantaranya oksidasi lemak, reaksi kecoklatan (Maillard) akibat interaksi gula pereduksi dan asam amino/protein, serta denatutasi protein.

Reaksi penurunan mutu dalam bahan/produk pangan umumnya mengikuti reaksi ordo nol dan ordo satu. Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo reaksi lain, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Hariyadi et al., 2006). Penjelasan dari kedua model ordo reaksi tersebut adalah sebagai berikut:


(32)

16 a. Reaksi Kimia Ordo Nol

Pada reaksi ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut (persamaan 1):

A

T

k

(1) dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan sebagai berikut:

A Ao

kt

Dimana: A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ao= nilai mutu awal

t = waktu penyimpanan (dalam hari. bulan atau tahun)

Menurut Labuza (1982) dan Hariyadi et al. (2006), tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah perubahan kadar air; degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku); reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering dan produk susu kering); dan reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku).

b. Reaksi Kimia Ordo Satu

Jika pada reaksi ordo nol, persentase penurunan mutu bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut (persamaan 2):

AT

kA

(2)

dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut:

ln

A ln A

kt

Dimana; A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ao = nilai mutu awal

k = konstanta laju reaksi ordo satu

t = waktu penyimpanan (dalam hari. bulan atau tahun)


(33)

17 Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu diantaranya (1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering); (2) pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas); (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982 dan Hariyadi et al., 2006).

Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun ordo satu dapat dipengaruhi oleh suhu. Secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi. Seberapa besar konstanta laju reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu dapat dilihat dengan menggunakan model persamaan Arrhenius (persamaan 3) sebagai berikut:

k = k

o

.exp

‐Ea/RT (3)

Dimana; k = konstanta laju penurunan mutu

ko = konstanta (faktor frekuensi yang tidak

tergantung suhu) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol.K)

2. Prinsip Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada level atau tingkatan degradasi mutu tertentu (Floros, 1993). Arpah (2001) menambahkan bahwa umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada didalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi.

Kerusakan pangan dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi kimia. Reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga setelah mencapai waktu tertentu


(34)

18 kerusakan mutu pangan tidak dapat lagi diterima oleh konsumen dan pangan dinyatakan telah mencapai masa kadaluarsa (Syarief dan Halid, 1993). Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutu produk selama penyimpanan hingga penurunan mutu mencapai tingkat yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas diantaranya (1) keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; (2) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume; (3) kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban, dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; dan (4) kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.

Metode penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan menyimpan produk hingga rusak pada kondisi penyimpanan/lingkungan yang normal. Cara ini menghasilkan informasi yang paling valid, namun memerlukan waktu yang lama dan tidak praktis untuk aplikasi di industri. Oleh karena itu dikembangkan metode pendugaan umur simpan dengan metode yang dipercepat (Accelerated Shelf-Life Testing atau ASLT method), dimana produk disimpan pada kondisi penyimpanan ekstrim yang dapat mempercepat kerusakannya.

Umur simpan selanjutnya diduga dengan menggunakan model matematika, dimana faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan produk dimasukkan ke dalam model matematika tersebut. Metode ASLT membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat dengan tingkat akurasi yang masih dapat diterima. Semakin valid model matematika yang digunakan, maka pendugaannya akan semakin valid pula.

Metode ASLT yang sering digunakan untuk pendugaan umur simpan adalah model kadar air kritis dan model Arrhenius. Model kadar air kritis diterapkan untuk pendugaan umur simpan produk pangan yang rusak oleh adanya penyerapan air oleh produk. Model ini terutama untuk produk


(35)

19 pangan yang kering. Kerusakan dievaluasi dari perubahan tekstur (misal kerenyahan yang hilang dan peningkatan kelengketan) atau terjadinya penggumpalan (Kusnandar, 2006).

Model Arrhenius diterapkan untuk produk-produk pangan yang mudah rusak akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard dan denaturasi protein. Secara umum, laju reaksi kimia akan semakin cepat meningkat pada suhu yang lebih tinggi, dimana penurunan mutu produk semakin cepat terjadi (Hariyadi et al., 2006). Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mie instan, daging beku dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan).

Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu. Oleh sebab itu model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (Kusnandar, 2006).

Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan pada minimal tiga suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan melalui persamaan Arrhenius (persamaan 3). Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian dihitung umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya (persamaan 1 dan 2).


(36)

20 III. METODOLOGI PENELITIAN

A.BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung tepung, terigu Cakra Kembar, Na2CO3, K2CO3, guar gum, garam, dan akuades

serta bahan-bahan analisis. Tepung jagung diproses dari jagung pipil varietas Pioneer 21 yang diperoleh dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

B.ALAT

Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung adalah multi mill, disc mill, hammer mill, dan ayakan bertingkat. Alat yang digunakan untuk produksi mie jagung adalah timbangan, oven pengering, vary mixer, noodle sheeter dan pengukus (steamer). Peralatan proses tersebut menggunakan fasilitas lini produksi mie di Pilot Plant SEAFAST Center-IPB.

Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik, Texture Analyzer (TA-XT2), spektrofotometer, alat destilasi, Chromameter CR-200 Minolta, inkubator, oven, gelas piala dan kompor penangas. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan adalah piring saji, sendok plastik dan wadah saji. Uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Sensori Pangan di SEAFAST Center.

C.METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penelitian pendahuluan, tahap analisis preferensi konsumen dan tahap pendugaan umur simpan produk mie kering jagung substitusi dengan metode akselerasi-model Arrhenius.

1. Penelitian Pendahuluan

Rangkaian penelitian awal pada tahap persiapan ini meliputi proses pembuatan tepung jagung dari jagung pipil varietas Pioneer 21, pembuatan mie kering jagung substitusi serta karakterisasi fisik.


(37)

21 a. Pembuatan Tepung Jagung

Tahap proses penepungan jagung terdiri dari dua jenis penggilingan. Penggilingan pertama menggunakan hammer mill, menghasilkan bagian endosperm, kulit ari dan lembaga. Kulit ari dan lembaga ini selanjutnya dipisahkan dari bagian endosperm melalui proses perendaman dan penirisan. Setelah itu, grits jagung yang telah dikeringkan akan melalui proses penggilingan kedua menggunakan disc mill menghasilkan tepung kasar. Tepung kasar ini diayak dengan vibrating screen berukuran 100 mesh, sehingga diperoleh tepung jagung berukuran 100 mesh yang siap digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie kering. Secara ringkas, proses pembuatan jagung pipil menjadi tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 3.

Jagung Kering Pipil

Penggilingan I (hammer mill)

Grits, lembaga, tip cap dan kulit

Pemisahan endosperm dari Lembaga, kulit, lembaga, kulit, dan tip cap dan tip cap

Grits Jagung

Penirisan dan Pengeringan

Penggilingan II (disc mill)

Tepung Kasar

Pengayakan 100 mesh (vibrating screen)

Tepung Jagung 100 mesh


(38)

22 b. Pembuatan Mie Kering Jagung Substitusi

Pembuatan mie kering substitusi tepung jagung pada penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada Kusnandar (2008). Dalam penelitian ini, tingkat substitusi tepung jagung yang digunakan adalah 35%. Tahap pembuatan mie jagung substitusi terdiri dari proses pencampuran bahan, pembulatan (pengistirahatan adonan), pencetakan (pressing, slitting, dan cutting), pengukusan dan pengeringan. Secara skematis, proses produksi mie jagung substiutusi dapat dilihat pada Gambar 4.

tepung jagung 35 % - tepung terigu 65 %, air 40% garam 1%, guar gum 0.5%, baking powder 0.1%, K2CO3 0.1%

Pencampuran dengan vary mixer selama 10 menit

Pengistirahatan adonan selama 10 menit

Pembentukan lembaran mie (sheeting)hingga ketebalan 1.6 mm

Pencetakan untaian mie (slitting)

Pemotonganmie (cutting)

Pengukusan(steaming) 100 0C, 10 menit

Pengeringan mie (drying) 70 0C, 80 menit

Pengemasan mie

Gambar 4. Proses Pembuatan Mie Kering Metode Sheeting c. Karakterisasi Mie Kering Jagung Substitusi

Karakterisasi mie jagung substitusi dilakukan secara fisik, meliputi analisis tekstur TA-XT2, analisis KPAP dan analisis warna (Hunter).

2. Analisis Preferensi Konsumen

Analisis preferensi konsumen dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan serta penerimaan konsumen terhadap produk mie jagung substitusi. Produk yang akan diuji ini disajikan dalam produk olahan mie


(39)

23 bakso. Hal ini dikarenakan sasaran produk olahan mie kering adalah mie bakso.

a. Jenis dan Cara Pengumpulan Data, Metode Survei (Simamora, 2002)

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner. Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner meliputi persepsi konsumsi responden terhadap pangan mie bakso serta preferensi responden terhadap produk olahan mie berbasis jagung (Lampiran 1). Pertanyaan dalam kuesioner ini bersifat tertutup. Setiap responden diminta untuk memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dengan cara memilih satu atau lebih dari jawaban yang tersedia.

Metode untuk penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data yang diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada responden kemudian ditampilkan dalam bentuk diagram frekuensi.

b. Cara Pengujian Sampel

Cara penyajian sampel uji ini bekerjasama dengan pedagang baso Kabayan dan Favorit di lingkar kampus IPB Darmaga. Responden merupakan 100 orang masyarakat berbagai latar belakang sosial ekonomi yang diambil secara acak di sekitar kampus. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah masyarakat umum yang pernah membeli atau mengkonsumsi mie serta yang sesuai dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.

Sampel mie kering jagung substitusi dalam produk mie bakso disajikan kepada responden berikut dengan form kuesioner. Responden


(40)

24 kemudian diminta untuk mengevaluasi sampel berdasarkan pengalamannya dalam mengkonsumsi mie.

3. Pendugaan Umur Simpan Mie Kering Jagung Substitusi Model Arrhenius

a. Pembentukan Panelis Terlatih

Tahap awal yang dilakukan dalam proses pendugaan umur simpan mie jagung substitusi adalah penyiapan panelis terlatih. Panelis terlatih ditujukan untuk pengevaluasian produk mie jagung substitusi secara sensori selama penyimpanan. Di samping itu, panelis terlatih pada penelitian ini juga berperan dalam penetapan parameter mutu kritis mie kering jagung substitusi. Proses pembentukan panelis terlatih meliputi seleksi panelis, pelatihan panelis dan diskusi fokus grup (FGD).

b. Penetapan Parameter dan Batas Kritis Kerusakan Mie Kering Untuk menetapkan parameter mutu kritis mie kering yang paling cepat mengalami kerusakan dan paling berpengaruh terhadap penerimaan konsumen, maka dilakukan simulasi kerusakan mie kering dengan menyimpannya pada suhu penyimpanan ekstrim (50oC). Tahapan ini dilakukan sebelum percobaan pendugaan umur simpan. Mie kering disimpan hingga dapat diamati saat produk tidak dapat diterima lagi secara organoleptik. Penetapan parameter mutu kritis ini dilakukan bersama dengan panelis terlatih melalui diskusi fokus grup (FGD).

Parameter-parameter mutu kritis ini selanjutnya ditetapkan batas kritisnya, yaitu batasan mutu saat produk sudah tidak diterima secara organoleptik. Penetapan batas kritis untuk parameter sensori dilakukan berdasarkan persepsi panelis dalam memberi skor terhadap produk. c. Percobaan Penyimpanan Mie pada Kondisi Suhu Ekstrim

Produk mie kering jagung substitusi (15 g) yang dikemas dengan kemasan plastik PP tertutup disimpan pada tiga kondisi suhu penyimpanan ekstrim, yaitu 37, 45 dan 50oC. Total sampel mie jagung substitusi yang disiapkan untuk ketiga suhu penyimpanan adalah 504 buah kemasan. Produk mie kering substitusi jagung ini kemudian diamati


(41)

25 dan dianalisis parameter mutu kritisnya setiap minggu selama satu bulan, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 35.

d. Penghitungan Kinetika Penurunan Mutu Parameter Kritis

Data parameter kritis yang telah dikumpulkan selama periode pengamatan, selanjutnya dianalisis kinetika penurunan mutunya dan ditentukan ordo reaksinya (ordo nol atau ordo satu) yang sesuai. Data pada masing-masing suhu penyimpanan ini kemudian diplotkan dalam bentuk grafik hubungan antara nilai mutu (Q) dan waktu penyimpanan (untuk ordo reaksi 0) atau hubungan antara nilai Ln (Q) dan waktu penyimpanan (untuk ordo reaksi 1). Berdasarkan plot data tersebut, dapat ditentukan model persamaan dari masing-masing ordo reaksi beserta nilai R2-nya. Persamaan ordo nol dan ordo satu adalah sebagai berikut:

Ordo nol: Qt = Qo – kTt

Ordo satu: ln Qt = ln Qo - kTt

Dimana: Qo = nilai mutu awal penyimpanan

Qt = nilai mutu pada waktu penyimpanan t

kT = konstanta laju reaksi/penurunan mutu pada

suhu T

t = waktu penyimpanan (hari)

Dengan membandingkan nilai R2-nya, dapat ditentukan orde reaksi yang paling sesuai, yaitu orde reaksi yang nilai R2-nya lebih tinggi. Kemudian melalui persamaan yang diperoleh, ditentukan nilai konstanta laju penurunan parameter mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan. Dengan demikian, akan diperoleh nilai k pada tiga suhu yang berbeda. Data konstanta laju reaksi (k) pada masing-masing suhu kemudian diplotkan ke dalam model persamaan Arrhenius sehingga dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:


(42)

26

ln k ln k

RT

Dimana: k = konstanta (laju reaksi) Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol K)

Nilai k pada suhu T penyimpanan dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius tersebut.

e. Penentuan Umur Simpan pada Suhu yang Diinginkan

Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu selanjutnya dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh ke dalam persamaan ordo reaksi nol atau ordo reaksi satu sebagai berikut:

Umur simpan ordo nol:

t

A ‐ k

Umur simpan ordo satu:

t

A kln

Dimana: t = umur simpan (hari)

A0 = nilai mutu awal/konsentrasi awa

At = nilai mutu akhir/konsentrasi pada titik batas

kadaluarsa (titik kritis) k = konstanta laju reaksi pada suhu

penyimpanan yang diinginkan

Secara keseluruhan, tahapan pendugaan umur simpan melalui penghitungan kinetika penurunan mutu pada penelitian utama ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(43)

27 Mie kering substitusi tepung jagung

Penyimpanan pada suhu 35oC, 45oC, dan 50oC

Pengamatan obyektif dan subyektif (organoleptik) pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28, 35

Pemplotan nilai (skor) mutu dan waktu pengamatan pada masing-masing suhu dan atribut/parameter

Penetapan nilai mutu awal dan batas kritis produk

Penetapan ordo reaksi (ordo nol atau ordo satu) melalui kurva dengan nilai R2 tertinggi

Pemrolehan nilai konstanta penurunan parameter mutu produk (k) pada masing-masing suhu penyimpanan

Pemplotan data konstanta laju reaksi (k) ke dalam model persamaan Arrhenius

Penghitungan umur simpan produk pada suhu tertentu dengan menghubungkan nilai k yang telah diperoleh

Gambar 5. Pendugaan Umur Simpan Produk Mie Kering Substitusi D.METODE ANALISIS

Mie kering dengan substitusi tepung jagung sebesar 35 % kemudian dikarakterisasi berdasarkan analisis sifat fisik, kimia dan sensori. Karakterisasi fisik mie dilakukan pada mie kering segar sebelum penyimpanan, sedangkan karakterisasi mie kering selama penyimpanan dilakukan berdasarkan analisis kimia, sensori dan fisik (KPAP dan warna-Hunter).

1. Analisis Fisik

a. Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/ cooking loss (Oh et al., 1985)

Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mie dalam air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan


(44)

28 dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kering kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100oC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

KPAP

berat sampel setelah dikeringkan

berat awal ‐KA contoh

b. Analisis Profil Tekstur-TA

Analisis profil tekstur dengan menggunakan Texture Analyzer dilakukan untuk mengkorelasikan tekstur keseluruhan produk yang dievaluasi oleh indera manusia dengan instrumen. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan probe berbentuk silinder, dengan diameter 35 mm. Pengaturan kondisi pengukuran Texture Analyzer dilakukan berdasarkan golongan contoh bahan yang diukur.

Seuntai sampel mie kering yang telah direhidrasi dengan panjang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan, lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya untuk mendeformasi dengan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak, dengan satuan gram force (gf). Elastisitas diperoleh berdasarkan ketebalan awal mie dibandingkan dengan ketebalan mie setelah diberi tekanan pertama.

c. Analisis Warna-Hunter (Hutching, 1999)

Penentuan warna secara objektif pada penelitian ini menggunakan instrumen Chromameter CR-200 Minolta dengan metode Hunter. Pengukuran dengan alat tersebut dapat ditampilkan dalam skala Yxy. L*a*b*, L*C*H*, Hunter Lab atau nilai stimulus XYZ. Metode Hunter yang digunakan dalam penelitian ini memberikan tiga nilai pengukuran L, a dan b dengan standar kalibrasi Y = 68.3; x = 0.420; y = 0.438. Untuk mendapatkan nilai L, a, b. nilai-nilai tersebut dikonversi melalui persamaan berikut:

Y Y

L

Y

/

X Y x/y

a

. . X Y /Y

/


(45)

29 Nilai L menyatakan parameter kecerahan (0=hitam: 100=putih). Warna kromatik campuran merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-80 untuk warna merah; a- = 0-(-0-80) untuk warna hijau). Sedangkan warna kromatik campuran biru-kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning; b- = 0-(-0-70) untuk warna biru).

2. Analisis Kimia

Analisis Bilangan TBA (Apriyantono, 1989)

Pada prinsipnya, asam 2-thiobarbituriat akan bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, yang intensitasnya dapat diukur dengan spektrofotometer. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lipid mengindikasikan adanya ketengikan pada produk. Analisis bilangan TBA ini dilakukan selama sampling dalam penyimpanan, sehingga dapat mendukung hasil analisis sensori subyektif oleh panelis.

Sebanyak 10 gram mie kering dihancurkan dengan hand blender dengan penambahan 50 ml akuades (selama 2 menit). Sampel kemudian dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Nilai pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M sebanyak 2.5 ml. Kemudian ditambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya dan labu destilasi dipasang pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan.

Destilat yang diperoleh diaduk secara merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Sebanyak 5 ml pereaksi TBA ditambahkan, kemudian tabung reaksi ditutup, dicampur merata dan dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dan diberi perlakuan seperti penetapan sampel. Tabung reaksi didinginkan dengan air pendingin, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol.


(46)

30 3. Analisis Sensori

a. Seleksi panelis

Untuk mengevaluasi mutu sensori mie kering jagung substitusi selama penyimpanan digunakan panelis terlatih. Pembentukan panelis terlatih ini diawali dengan seleksi panelis, kemudian dilakukan pelatihan panelis. Menurut Meilgaard (1999), tahapan seleksi panelis terlatih untuk uji pembedaan meliputi matching test (uji kesesuaian/uji identifikasi terhadap rasa dan aroma), uji rangking dan uji pembedaan (uji segitiga).

Uji identifikasi terhadap rasa dan aroma dilakukan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan baik stimulus rasa maupun aroma dasar. Calon panelis diminta untuk menentukan lima rasa dasar dalam 5 larutan uji serta mendeskripsikan aroma dari flavor-flavor yang disajikan. Bahan uji yang digunakan untuk uji identifikasi rasa dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan bahan uji untuk uji identifikasi aroma meliputi contoh aroma mint, orange, fruity, savoury dan nutty.

Cara pengujian untuk jenis uji ini dilakukan hanya satu kali dan tidak diperbolehkan untuk mengulang. Penetralan indera perasa untuk uji deskripsi rasa dasar dilakukan dengan menggunakan air mineral. sementara indera pembau untuk uji deskripsi aroma dengan menggunakan bubuk kopi, sesaat sebelum melakukan pengujian sampel berikutnya. Respon stimulus yang dirasakan oleh panelis. dideskripsikan dengan perbendaharaan kata masing-masing. Format kuesioner seleksi panelis yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 7. Konsentrasi Larutan Uji Deskripsi Rasa Dasar Rasa dasar Konsentrasi

Manis Sukrosa 1 % Asam Asam sitrat 0.04 %

Asin NaCl 0.2 %

Pahit Kafein 0.05 %

Umami MSG 0.015 % Sumber: Thomson (1986)


(47)

31 Tahapan pengujian berikutnya yang dilakukan pada proses seleksi panelis adalah uji rangking intensitas. Uji ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan calon panelis dalam mengenali perbedaan intensitas dan mengurutkan intensitasnya dari konsentrasi tertinggi hingga konsentrasi terendah.

Pada uji rangking intensitas, panelis diminta untuk mengurutkan empat jenis larutan berdasarkan intensitasnya. Deretan konsentrasi bahan uji yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Konsentrasi Larutan Uji Rangking Intensitas Rasa Bahan Konsentrasi Stimulus sensori (g/L)

Asin NaCl/air 1.0 2.0 5.0 10.0 (Meilgaard et al., 1999)

Selanjutnya, pada proses seleksi panelis tahap kedua dilakukan serangkaian uji pembedaan (uji segitiga) sehingga dapat diperoleh panelis yang memiliki kompetensi pembedaan sensori yang optimal. Pada uji segitiga, calon panelis diminta untuk membedakan satu sampel berbeda diantara ketiga jenis sampel, dengan dua sampel yang sama. Uji segitiga yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan pembedaan panelis ini dilakukan sebanyak sembilan set pengulangan. Pengulangan ini berguna untuk melihat kekonsistenan calon panelis dalam memberikan jawaban. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa jawaban panelis bukan hanya tebakan.

Uji segitiga ini meliputi dua jenis pengujian, yaitu pengujian terhadap atribut tekstur dan aroma. Atribut tekstur yang diuji adalah kekerasan dan kekenyalan. Bahan uji yang dipakai untuk masing-masing atribut adalah mie kering terigu komersial dan kwetiau, dengan tingkat perbedaannya berdasarkan lama pemasakan. Sedangkan satu set lainnya yaitu uji segitiga aroma tengik. Bahan uji aroma tengik diperoleh dari minyak goreng yang telah disimulasi rusak melalui pemaparannya dengan cahaya dan suhu tinggi. Uji segitiga jenis ini bertujuan untuk


(48)

32 mengetahui sensitivitas panelis dalam mendeteksi dan mengenali perbedaan aroma tengik.

b. Pelatihan Panelis Terlatih

Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel (Stone dan Sidel, 2004).

Sebelum mengikuti pelatihan, calon panelis yang telah lolos seleksi dikonfirmasi kembali mengenai kesediaan waktu luang serta riwayat kesehatannya yang mungkin mempengaruhi pengujian. Berdasarkan atas pertimbangan kesediaan waktu panelis, pelatihan dilakukan selama satu bulan, setiap hari Senin dan Jumat pukul 9.00-11.00 WIB. Disamping merupakan hasil kesepakatan bersama panelis, pemilihan waktu (jam pengujian) ini juga dipertimbangkan sebagai waktu yang paling baik untuk meminimalisasi terjadinya bias panelis. Hal ini dikarenakan pada jam-jam tersebut kondisi panelis masih segar sehingga dapat lebih berkonsentrasi (Dilana, 2008) serta panelis cenderung terhindar dari rasa lapar.

Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang-ulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut-atibut kritis yang telah diidentifikasi pada tahap FGD, seperti aroma tengik/menyimpang dan tekstur mie kering sebelum rehidrasi. Pada pelatihan atribut tengik, panelis diperkenalkan berbagai jenis tingkat ketengikan pada produk mie kering serupa.


(49)

33 c. Focuss Group Discussion (FGD)

Focuss Group Discussion (FGD) termasuk ke dalam salah satu rangkaian proses pelatihan panelis. Kegiatan ini merupakan cara analisis kualitatif untuk mendapatkan data deskripsi atribut sensori. Disamping itu, melalui diskusi ini juga dilakukan pembelajaran dan penyamaan persepsi diantara panelis mengenai skala/skor penilaian suatu atribut.

Diskusi fokus grup (FGD) dapat dilakukan oleh panel leader bersama dengan para panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk mie kering menjadi tidak diterima. Identifikasi produk yang sudah tidak dapat diterima pada tahap simulasi kerusakan, selanjutnya didiskusikan bersama panelis terlatih melalui tahap FGD ini.

Sebelum memasuki periode penyimpanan sampel, panelis dalam bentuk diskusi fokus grup (FGD) me-review dan menyamakan persepsi kembali terutama dalam hal penskalaan. Pada periode ini, panelis disajikan contoh mie rusak dan reference serta blind control. Blind control dalam hal ini memiliki peran untuk mengkonfirmasi jawaban panelis. Setelah masing-masing panelis mengevaluasi sampel secara terpisah dalam suatu booth, seluruh panelis dengan dipimpin oleh leader berdiskusi dan membentuk kesepakatan bersama mengenai nilai skor/skala yang paling sesuai dengan kondisi setiap sampel.

d. Uji Skoring/Rating

Pengujian atribut mutu produk yang dibandingkan dengan kontrol dilakukan terhadap (1) warna, (2) kecerahan, (3) kerapuhan, (4) aroma tengik (off odor) dan (5) rasa pahit, sesuai dengan hasil kesepakatan dalam FGD. Uji skoring terhadap seluruh atribut mutu kecuali atribut rasa dilakukan oleh panelis sebelum produk mie kering direhidrasi. Panelis yang telah mengevaluasi sensori atribut-atribut tersebut, kemudian diminta untuk menilai/memberi skor masing-masing sampel uji pada tiap atribut selama sampling penyimpanan. Uji skoring pada penelitian ini menggunakan skala sensori 0-10. Format uji skoring secara jelas dapat dilihat seperti pada Lampiran 3.


(50)

34 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A.PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Pembuatan Tepung Jagung

Jagung yang digunakan sebagai bahan untuk membuat tepung pada penelitian ini adalah jagung varietas P-21 (Pioneer-21). Varietas ini diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo. Umur panen varietas P-21 adalah 105 hari. Penelitian diawali dengan proses penepungan jagung yang mengacu pada hasil optimasi Putra (2008), yaitu dengan menggunakan metode penggilingan kering.

Jenis tepung yang digunakan sangat mempengaruhi karakteristik akhir dari produk mie jagung yang dihasilkannya. Penggunaan tepung jagung dari hasil penggilingan kering lebih direkomendasikan karena memberikan hasil sifat/karakteristik mie yang lebih bagus dibandingkan dengan mie dari tepung hasil penggilingan basah (Merdiyanti, 2008).

Tahapan pembuatan tepung pada metode penggilingan kering meliputi penggilingan awal, pencucian dan perendaman, penggilingan tahap akhir, serta pengayakan. Penggilingan tahap awal dilakukan untuk menggiling biji jagung menjadi grits menggunakan saringan 12 mesh. Penggilingan yang menggunakan hammer mill ini akan menghasilkan grits, kulit, lembaga dan tip cap. Pemisahan kulit, lembaga dan tip cap dilakukan dengan pencucian dan perendaman. Grits akan mengendap sedangkan bagian lain (kulit, tip cap dan lembaga) akan mengapung. Grits jagung dikeringkan dengan oven selama 1 jam hingga kadar air ± 35 % untuk mempermudah ke tahap penggilingan selanjutnya.

Menurut Etikawati (2007), kadar air yang lebih tinggi dari 35% dapat menyebabkan bahan menempel pada disc mill sehingga menimbulkan kemacetan pada alat. Sedangkan jika kadar air yang terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan serta pertikel tepung setelah penggilingan menjadi kasar.

Penggilingan tahap akhir merupakan penggilingan grits jagung dengan menggunakan disc mill untuk menghasilkan tepung jagung


(51)

35 berukuran 48 mesh. Tepung jagung yang diperoleh ini kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC selama 3 jam dan selanjutnya diayak dengan menggunakan ayakan bertingkat berukuran 100 mesh. Pengayakan ini bertujuan agar ukuran partikel tepung seragam. Menurut Faridi dan Faubion (1995), perbedaan ukuran partikel dapat menyebabkan terbentuknya specks (noda) berwarna putih karena ukuran partikel yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyerap air, sehingga bagian yang tidak menyerap air tersebut akan membentuk noda berwarna putih. Tepung jagung kering yang sudah diayak kemudian dikemas dalam plastik polipropilen dan disimpan di dalam freezer untuk menjaga kadar air tepung konstan.

Gambar 6. Tepung Jagung P-21 Berukuran 100 mesh

2. Pembuatan Mie Kering Jagung Substitusi

Proses pembuatan mie kering jagung substitusi terdiri atas pencampuran bahan, pembulatan (pengistirahatan adonan), pencetakan (pressing, slitting dan cutting), pengukusan dan pengovenan. Pembuatan mie jagung substitusi dalam penelitian ini ditujukan untuk sampel uji analisis preferensi konsumen serta untuk sampel percobaan penyimpanan.

Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mie. Disamping menghomogenkan campuran bahan, proses pencampuran bertujuan pula untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk gumpalan.

Bahan baku tepung berupa campuran tepung terigu dan tepung jagung diaduk dengan vary mixer hingga merata bersama bahan kering


(1)

109

Lampiran 21. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Sensori Rasa

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1344.423(a) 8 168.053 576.181 .000

hari 10.553 5 2.111 7.237 .004

sampel 2.590 2 1.295 4.440 .042

Error 2.917 10 .292

Total 1347.340 18

a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

skor Duncan

sampel N

Subset

1 2

sampel 50 6 8.08

sampel 45 6 8.73 8.73

sampel 37 6 8.98

Sig. .064 .441

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .292. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.


(2)

110

Lampiran 22. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter TBA

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model .000(a) 8 1.47E-005 64.943 .000

hari 7.53E-006 5 1.51E-006 6.677 .006

sampel 1.90E-007 2 9.50E-008 .421 .668

Error 2.26E-006 10 2.26E-007

Total .000 18

a R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .966)

skor Duncan

sampel N

Subset 1

sampel 45 6 .002333

sampel 37 6 .002483

sampel 50 6 .002583

Sig. .405

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 2.26E-007. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


(3)

111

Lampiran 23. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter KPAP

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 501.651(a) 8 62.706 100.623 .000

sampel 4.763 2 2.381 3.821 .059

hari 12.598 5 2.520 4.043 .029

Error 6.232 10 .623

Total 507.883 18

a R Squared = .988 (Adjusted R Squared = .978)

skor Duncan

sampel N

Subset

1 2

sampel 50 6 4.520333

sampel 45 6 5.268217 5.268217

sampel 37 6 5.772467

Sig. .132 .294

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .623. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.


(4)

112

Lampiran 24. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Warna-Hunter

(Nilai L)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 40543.889(a) 8 5067.986 881.979 .000

hari 47.981 5 9.596 1.670 .229

sampel 17.233 2 8.616 1.499 .269

Error 57.462 10 5.746

Total 40601.350 18

a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)

skor Duncan

sampel N

Subset 1

suhu 45 6 46.335100

suhu 50 6 47.222960

suhu 37 6 48.706966

Sig. .133

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 5.746. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.


(5)

113

Lampiran 25. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Warna-Hunter

(Nilai a)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 12.134(a) 8 1.517 155.322 .000

hari .533 5 .107 10.911 .001

sampel .087 2 .044 4.478 .041

Error .098 10 .010

Total 12.232 18

a R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .986)

skor Duncan

sampel N

Subset

1 2

suhu 45 6 .716083

suhu 37 6 .796533 .796533

suhu 50 6 .886733

Sig. .189 .145

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .010. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.


(6)

114

Lampiran 26. Hasil Uji Sidik Ragam (ANOVA) pada Parameter Warna-Hunter

(Nilai b)

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Model 6868.943(a) 8 858.618 567.974 .000

hari 8.331 5 1.666 1.102 .417

sampel 4.574 2 2.287 1.513 .267

Error 15.117 10 1.512

Total 6884.060 18

a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

skor Duncan

sampel N

Subset 1

suhu 45 6 19.100562

suhu 50 6 19.222876

suhu 37 6 20.225846

Sig. .161

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.512. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.