menyebabkan pria lebih rentan terkena penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
Menurut Depkes RI 2009: 102 menyatakan bahwa dari laporan hasil riset kesehatan dasar Riskesda Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 tifoid terutama
ditemukan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Dari hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa sebagian besar
responden kasus berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 orang atau 69,2 dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang atau 30,8. Sedangkan responden
kontrol yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 3 orang atau 23,1 dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang atau 76,9. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko penyakit Demam Tifoid dikaitkan bahwa laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah
yang memungkinkan laki-laki beresiko lebih besar terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan dengan perempuan.
5.1.9 Hubungan antara Tingkat Sosial Ekonomi dengan Kejadian Demam
Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungmundu Kota Semarang. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p 0,016 α
0,05. Dengan nilai OR sebesar 8,800 dan 95CI=1,349 957,426, maka dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai
risiko untuk terkena Demam Tifoid 8,800 kali lebih besar dibandingkan dengan responden dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Karena nilai OR1 dan 95CI
tidak mencakup angka 1, maka dapat dikatakan bahwa tingkat sosial ekonomi merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit Demam Tifoid.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Kartika Nugrahini 2002, yang menyatakan bahwa demam tifoid lebih banyak menyerang
penduduk dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Hal ini menunjukkan tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status ekonomi. Uang dapat dipakai
untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan perbaikan lingkungan sehingga membantu mencegah penyakit.
Menurut Srikandi Fardiaz 2001: 155, bahwa sistem pangan dalam memproduksi, mengolah, mendistribusikan, menyiapkan, dan mengkonsumsi
makanan berkaitan erat dengan tingkat perkembangan, pendapatan dan karakteristik sosiokultur masyarakat. Sistem pangan pada penduduk kota
berpenghasilan rendah lebih mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu yang rendah dan tidak terjamin keamanannya. Pencemaran mikroba
patogen pada makanan dalam kelompok ini terutama disebabkan oleh penggunaan air yang tidak memenuhi syarat, pembuangan sampah tidak pada tempatnya,
higiene dan sanitasi yang tidak baik dalam penyiapan makanan di rumah atau penyakit menular, dan penjualan makanan di tempat-tempat yang kotor atau
dipinggir jalan. Penyakit melalui makanan yang sering menyerang penduduk berpenghasilan rendah pada umumnya adalah penyakit menular seperti tifus.
5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian