menimbulkan masalah jika cara mengkonsumsinya benar yaitu dengan dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi pestisida. Untuk itu
sebaiknya responden lebih meningkatkan kesadaran mencuci bahan makanan mentah yang akan dimakan langsung sehingga bakteri Salmonella thypi yang
mungkin terdapat pada buah-buahan dan sayuran mentah tersebut dapat dihilangkan melalui pencucian yang benar.
5.1.7 Hubungan antara Umur dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu
Kota Semarang. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p 0,420 α 0,05.
Sehingga Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian demam tifoid di Wilayah Kerja Puskesma Kedungmundu Kota
Semarang. Dan dapat dikatakan juga bahwa umur bukan merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit Demam Tifoid.
Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa sebagian besar responden mempunyai umur tidak beresiko 30 tahun sebanyak 16 orang atau
61, 5 dan responden yang mempunyai umur beresiko ≤30 tahun sebanyak 10
orang atau 38,5. Hal ini berbeda dengan kebanyakan kasus demam tifoid yang dilaporkan 75 didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun.
Menurut penelitian Maria Holly Herawati 2007:170, prevalensi tifoid terbanyak pada kelompok umur 1-14 tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor
umur ini dianggap dominan terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati
penyakit demam tifoid ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa muda dimana dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup
gerak yang tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan diluar rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya.
5.1.8 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara jenis kelamin penderita dengan kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungmundu Kota Semarang. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p 0,018 α
0,05. Dengan nilai OR sebesar 7,500 dan 95CI=1,307-43,028, maka dapat diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai risiko
untuk terkena Demam Tifoid 7,500 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin perempuan. Karena nilai OR1 dan 95CI tidak
mencakup angka 1, maka dapat dikatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit Demam Tifoid.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Okky Purnia Pramitasari 2013 yang menyatakan bahwa jenis kelamin berhubungan
dengan kejadian demam tifoid. Laki-laki lebih beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan
warung yang biasanya banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang belum terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak makanan sendiri
sehingga lebih memperhatikan kebersihan makanannya. Kebiasaan ini
menyebabkan pria lebih rentan terkena penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
Menurut Depkes RI 2009: 102 menyatakan bahwa dari laporan hasil riset kesehatan dasar Riskesda Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 tifoid terutama
ditemukan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Dari hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa sebagian besar
responden kasus berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 orang atau 69,2 dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 4 orang atau 30,8. Sedangkan responden
kontrol yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 3 orang atau 23,1 dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang atau 76,9. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko penyakit Demam Tifoid dikaitkan bahwa laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah
yang memungkinkan laki-laki beresiko lebih besar terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan dengan perempuan.
5.1.9 Hubungan antara Tingkat Sosial Ekonomi dengan Kejadian Demam