kurva pengeluaran agregat ke atas dan dengan demikian meningkatkan pendapatan nasional. Dari segi permintaan dan penawaran, kenaikan ekspor tersebut akan
meningkatkan permintaan agregat, sehingga akan mengakibatkan peningkatan output yang disertai kenaikan tingkat harga. Dengan adanya kenaikan tingkat harga tersebut,
pendapatan dari faktor-faktor produksi dan sektor-sektor produksi akan meningkat.
5.5.1 Perubahan Pendapatan Faktor Produksi
Besarnya pengaruh dari peningkatan nilai ekspor sektor perikanan sebesar Rp 671. 394 milyar terhadap neraca faktor produksi memberikan dampak yang positif
bagi perekonomian Indonesia. Peningkatan nilai ekspor sektor perikanan mampu meningkatkan pendapatan semua faktor produksi Tabel 5.8. Nominal peningkatan
pendapatan yang terbesar diterima oleh faktor produksi bukan tenaga kerja. Faktor produksi bukan tenaga kerja ini terdiri dari modal swasta dalam negeri dan modal
pemerintah dan asing. Modal di sini meliputi modal lahan, bangunan, dan kapital lain-lain.
Peningkatan pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ini yaitu sebesar Rp 644.32 milyar. Dengan nilai peningkatan tersebut, berarti pendapatan faktor
produksi bukan tenaga kerja meningkat sebesar 0.075 persen dari kondisi awal, di mana pendapatan awal faktor produksi bukan tenaga kerja adalah sebesar Rp 857
257.5 milyar. Kenaikan ini adalah 42.84 persen bagian dari total kenaikan pendapatan faktor produksi. Hasil ini mengindikasikan bahwa sektor perikanan berperan dalam
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan kapital di Indonesia.
Sementara itu, faktor produksi tenaga kerja yang memperoleh peningkatan terbesar akibat peningkatan ekspor sektor perikanan sebesar Rp 671.394 milyar
adalah tenaga kerja pertanian bukan penerima upah dan gaji di desa. Nilai kenaikan pendapatan faktor produksi ini adalah sebesar Rp 170.6 milyar. Nilai kenaikan
tersebut merupakan 11.34 persen dari nilai total kenaikan pendapatan sektor produksi. Dibandingkan dengan kondisi awal pendapatan tenaga kerja pertanian bukan
penerima upah dan gaji di desa, maka persentase peningkatan pendapatan yang dialami adalah sebesar 0.11 persen dari kondisi awal. Faktor tenaga kerja pertanian
penerima upah dan gaji yang diharapkan memperoleh peningkatan pendapatan yang besar ternyata hanya memperoleh 6.37 persen bagian dari total kenaikan pendapatan
faktor produksi atau sebesar Rp 95.87 milyar Tabel 5.8. Tabel 5.8 Pengaruh Peningkatan Ekspor Sektor Perikanan terhadap Faktor Produksi
di Indonesia Rp. Milyar
Kenaikan Faktor
Produksi Klasifikasi Tenaga Kerja
Kondisi Awal
Nilai dari
Total Kenaikan
Desa 65688.0 95.87 0.15
6.37 Penerima Upah
dan Gaji Kota 15896.9 39.72
0.25 2.64 Desa 153206.3 170.60 0.11
11.34 Pertanian
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Kota 15341.6 28.56 0.19 1.90
Desa 83705.1 32.79 0.04
2.18 Penerima Upah
dan Gaji Kota 169860.3 74.54 0.04
4.96 Desa 48654.1 22.79
0.05 1.52
Produksi, Operator Alat
Angkutan, Manual dan
buruh kasar Bukan Penerima
Upah dan Gaji Kota
41204.5 21.18 0.05
1.41 Desa 38270.0 26.56
0.07 1.77
Penerima Upah dan Gaji
Kota 198957.3 130.78 0.07 8.70
Desa 57526.3 51.80 0.09
3.44 Tata Usaha,
Penjualan, dan Jasa-Jasa
Bukan Penerima Upah dan Gaji
Kota 101458.3 89.72 0.09 5.97
Desa 29909.3 17.57 0.06
1.17 Penerima Upah
dan Gaji Kota 89430.7 49.09
0.05 3.26 Desa 4158.6 2.65
0.06 0.18 Tenaga
Kerja
Kepemimpinan, Ketatalaksanaan
, Militer, Profesional dan
Teknisi Bukan Penerima
Upah dan Gaji Kota
9233.6 5.34 0.06 0.36
Bukan Tenaga Kerja 857257.5
644.32 0.08
42.84 Total 1979758.3
1503.92 1.50
100.00
Jika dilihat dari persentase kenaikannya, maka dari antara 17 faktor produksi, faktor produksi yang memiliki persentase kenaikan pendapatan paling besar adalah
tenaga kerja pertanian penerima upah dan gaji di kota. Peningkatan pendapatan untuk faktor produksi tersebut sebesar 0.25 persen dari kondisi awal, atau senilai Rp 39.72
milyar. Jumlah kumulatif persentase peningkatan pendapatan dari komponen- komponen dalam neraca faktor produksi adalah sebesar 1.50 persen.
Peningkatan pendapatan faktor produksi yang paling kecil dialami oleh faktor tenaga kerja kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi bukan
penerima upah dan gaji, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Tenaga kerja pedesaan yang termasuk golongan tersebut hanya memperoleh peningkatan
pendapatan sebesar Rp 2.65 milyar jika ekspor sektor perikanan meningkat sebesar Rp 671.394 milyar. Nilai peningkatan pendapatan tersebut hanya 0.18 persen dari
total peningkatan pendapatan yang diterima oleh faktor produksi. Jumlah ini adalah yang paling kecil dibandingkan dengan peningkatan pendapatan faktor produksi yang
lain. Adapun tenaga kerja perkotaan yang termasuk golongan kepemimpinan, ketatatlaksanaan, militer, profesional, dan teknisi hanya akan menerima peningkatan
pendapatan sebesar Rp 5.34 milyar saat terjadi peningkatan ekspor sektor perikanan sebesar lima persen.
5.5.2 Perubahan Pendapatan Institusi
Pengaruh peningkatan ekspor di sektor perikanan terhadap pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari neraca institusi. Blok neraca institusi selain mencakup rumah
tangga, juga meliputi institusi perusahaan dan pemerintah. Rumah tangga dalam blok
institusi pada tabel SNSE Indonesia tahun 2003 dibagi menjadi delapan golongan rumah tangga.
Berdasarkan hasil simulasi kenaikan ekspor sektor perikanan sebesar lima persen, naiknya ekspor sektor perikanan tersebut membawa peningkatan pendapatan
bagi seluruh komponen neraca institusi. Berdasarkan informasi pada Tabel 5.9, peningkatan pendapatan yang terbesar diterima oleh institusi perusahaan, yaitu
sebesar Rp 345.05 milyar. Angka sebesar tersebut merupakan 19.77 persen dari total peningkatan pendapatan institusi akibat kenaikan ekspor sektor perikanan sebesar Rp
671.394. Dengan peningkatan sebesar tersebut, menunjukkan bahwa peningkatan ekspor sektor perikanan sebesar lima persen mampu meningkatkan pendapatan
institusi perusahaan sebesar 0.07 persen dari kondisi pendapatan awalnya. Tabel 5.9 Pengaruh Peningkatan Ekspor Sektor Perikanan terhadap Pendapatan
Institusi di Indonesia Rp. Milyar
Kenaikan Institusi Klasifikasi
Kondisi Awal
Nilai dari
Total Kenaikan
Buruh 94524.77 82.96
0.09 4.75
Pertanian Pengusaha
354160.57 313.94 0.09 17.99
Pengusaha bebas golongan rendah
179967.87 124.95
0.07 7.16
Bukan angkatan kerja
71035.77 53.66 0.08
3.07 Pedesaan
Pengusaha bebas golongan atas
141480.40 111.03
0.08 6.36
Pengusaha bebas golongan rendah
302015.66 188.04
0.06 10.77
Bukan angkatan kerja
107791.78 75.89 0.07
4.35 Rumah
tangga Bukan
Pertanian Perkotaan
Pengusaha bebas golongan atas
387118.60 276.29
0.07 15.83
Perusahaan 467566.60 345.05 0.07
19.77 Pemerintahan
378963.15 173.48 0.05 9.94
Total 2484625.17 1745.29
0.72 100.00
Pada Tabel 5.9 terlihat bahwa institusi rumah tangga yang menerima peningkatan pendapatan yang paling besar adalah golongan rumah tangga pengusaha
pertanian, yaitu menerima 17.99 persen peningkatan pendapatan dari total peningkatan pendapatan institusi, atau sebesar Rp 313.94 milyar. Selanjutnya, rumah
tangga yang juga mengalami peningkatan pendapatan yang cukup besar dari simulasi kenaikan ekspor sektor perikanan ini adalah rumah tangga bukan pertanian perkotaan
yang termasuk dalam pengusaha bebas golongan atas. Golongan rumah tangga ini akan menerima peningkatan pendapatan sebesar Rp 276.29 milyar jika ekspor sektor
perikanan meningkat sebesar Rp 671.394 milyar. Pengaruh kenaikan ekspor di sektor perikanan terhadap peningkatkan
pendapatan rumah tangga buruh pertanian hanyalah sebesar 4.75 persen dari total peningkatan pendapatan pada neraca institusi, atau sebesar Rp 82.96 milyar.
Meskipun demikian, jika dilihat dari persentase peningkatan pendapatan terhadap kondisi pendapatan awal, maka persentase peningkatan pendapatan rumah tangga
buruh pertanian termasuk yang paling besar, yaitu 0.09 persen dari kondisi awal. Rumah tangga pengusaha pertanian juga memiliki angka persentase kenaikan sebesar
0.09 persen dari kondisi awal. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan ekspor di sektor perikanan belum
memberikan efek distribusi pendapatan yang lebih merata, di mana sebagian besar peningkatan pendapatan justru lebih dinikmati oleh golongan rumah tanga pengusaha.
Seharusnya, peningkatan dalam pendapatan diikuti dengan pemerataan pendapatan. Namun, hal ini belum terjadi karena rantai distribusi komoditi perikanan yang masih
didominasi oleh para pengusaha atau pemilik modal. Rumah tangga nelayan miskin
memiliki posisi tawar yang lemah, baik dalam memperoleh input ataupun menjual output. Rumah tangga nelayan miskin tersebut memiliki ketergantungan kepada
pemilik modal untuk memperoleh pendapatan, sehingga pada saat terjadi peningkatan pendapatan, bagian yang mereka peroleh relatif kecil daripada yang diterima oleh
pengusaha. Selain itu, secara umum rumah tangga bukan pertanian pedesaan menerima
peningkatan pendapatan yang lebih rendah dari pada rumah tangga bukan pertanian perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang selama ini
hanya berpusat di daerah perkotaan telah menimbulkan dampak kesenjangan spasial dalam distribusi pendapatan antara pedesaan dan perkotaan.
5.5.3 Perubahan Pendapatan Sektor Produksi