Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia

(1)

DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

DISERTASI

SRI HERY SUSILOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA”,

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2007

Sri Hery Susilowati Nrp. A 161 020 081


(3)

ABSTRACT

SRI HERY SUSILOWATI. The Impact of Economic Policy in the Agroindustry Sector on the Income Distribution and Poverty in Indonesia (BONAR M. SINAGA as Chairman, W.H. LIMBONG and ERWIDODO as Member of the Advisory Committee).

Indonesia poverty incidences are mostly found in the rural areas and in the agricultural sector. At present, the incidence is becoming more increasing and has drawn a national attention. Poverty and income distribution are closely related to the economic development. Agroindustry development policy is one of the government policies aim to have positive impacts on the income equality and poverty in Indonesia.

The objective of this study is to analyze the role of agroindustry in the Indonesian economy and to analyze the impact of the government expenditure, export, investment and tax policy in agroindustry sector on the income distribution and poverty.

Within the Social Accounting Matrix (SAM) framework, the agroindustry sector is disaggregated into food and non food industries. Result of the policy simulation in the agroindustry sector is used to further analyze the income distribution and poverty using the SAM and the SUSENAS data sets. The results show that based on the multiplier index, the agroindustry sector has an important role to increase the output, the value added as well as the labor absorption. But based on the household income multiplier, the ADLI strategy has not been implemented well in Indonesia. Export, investment, and tax incentive policies in the agroindustry have positive impact on the household income distribution and poverty whereas the government expenditure policy gives less impact. Policies in the food agroindustry have greater impact on the improvement of income distribution while policies in the non food agroindustry have greater impact on the poverty reduction. Investment and export policy in the priority industries of the agroindustry (fisheries, food and estate crop food agroindustry, rubber industry, pulp, bamboo and rattan industry) become the most effective policy to reduce the household poverty as well as to improve the income distribution.

Based on the study findings, ways to solve the income inequality and poverty incidences are that the economic policy should focused on the priority agroindustries through investment and export policies.


(4)

SRI HERY SUSILOWATI. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, W.H. LIMBONG dan ERWIDODO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kemiskinan di Indonesia sebagian besar berada di sektor pertanian dan perdesaan dan menjadi permasalahan nasional yang serius. Masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan terkait erat dengan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan. Kebijakan pengembangan agroindustri merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang diharapkan berdampak mengurangi kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri dan redistribusi pendapatan. Analisis menggunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didisagregasi ke dalam agroindustri makanan dan non makanan. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk menganalisis distribusi pendapatan dan kemiskinan menggunakan data SNSE dan SUSENAS.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor agroindustri mempunyai peran lebih besar dalam meningkatkan output, PDB dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi dalam hal pendapatan rumah tangga, strategi industrialisasi ADLI di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Kebijakan peningkatan ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak positif. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri makanan berdampak lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Sedangkan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri non makanan berdampak lebih besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri prioritas (agroindustri makanan sektor tanaman pangan, perikanan, perkebunan, industri karet remah dan karet asap dan industri kayu lapis, bambu dan rotan) merupakan kebijakan yang paling efektif memperbaiki distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan.

Sejalan dengan hasil penelitian, untuk mengatasi masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan maka kebijakan ekonomi perlu lebih difokuskan pada agroindustri prioritas melalui kebijakan peningkatan investasi dan ekspor.


(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(6)

DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

SRI HERY SUSILOWATI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Sri Hery Susilowati

Nomor Pokok : A 161 020 081

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Ketua

Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS Dr. Ir. Erwidodo, MS

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tahun 1959 di Solo, Jawa Tengah dari pasangan Martodiwiryo (almarhum) dan Marsiti (Almarhumah). Penulis menikah pada tahun 1985 dengan Ismi Kushartanto dan dikaruniai tiga orang putri, yaitu Niken Tantri Larasati (21 tahun), Ayulina Wulandari (16 tahun) dan Anisa Ayuningtyas (9 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (1971), Sekolah Menengah Pertama (1974) dan Sekolah Menengah Atas (1977) di Solo. Tahun 1978 melalui jalur PMDK penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi. Lulus pendidikan sarjana S1, penulis bekerja di Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian yang sekarang bernama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian sampai sekarang.

Melalui sponsor proyek ARMP penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Ekonomi Pertanian (EPN) Institut Pertanian Bogor dan gelar Magister Sains (MS) diperoleh pada tahun 1990. Tahun 2002 dengan sponsor yang sama penulis menempuh pendidikan Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.


(9)

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya penulisan disertasi dengan judul: “Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia” dapat diselesaikan. Penulisan disertasi ini bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian nasional dan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan

Terselesainya disertasi ini bukan hanya karena kerja keras penulis, namun juga berkat bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Komisi Pembimbing:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi; 2. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS selaku Anggota Komisi; 3. Bapak Dr. Ir. Erwidodo, MS selaku Anggota Komisi;

atas segala bimbingan, masukan serta semangat yang senantiasa diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Atas segala kebaikan tersebut penulis sangat menghargai dan mengucapkan terimakasih.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS selaku Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tertinggi.


(10)

2. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah program Doktor di IPB.

3. Proyek PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah bertindak sebagai sponsor tugas belajar.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, Dr. Slamet Sutomo, SE, MS dan Dr. Hermanto Siregar, M.Ec. yang telah berkenan bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka. Juga kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan disertasi ini pada saat ujian tertutup. Penulis memberikan penghargaan yang tulus atas jasa-jasa tersebut.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Sdr Achmad Avin Zora, SE selaku Kepala Seksi Analisis Statistik Ekonomi Badan Pusat Statistik dan Sdri Nina Suri Sulistini, MT selaku Kepala Seksi Neraca Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik yang telah membantu penulis dengan data dan informasi yang diperlukan untuk penelitian ini. Juga kepada Dr Yundhy Hafizrianda dan Dr Djaimi yang telah ikhlas membagi ilmu kepada penulis terkait dengan pengolahan data SNSE

Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana IPB angkatan 2002, terutama Evi Lisna, Bu Anna, Bu Femi, Pak Ilham, Pak Ardi Novra, Pak Rasidin, Pak Tidar, serta teman-teman lain yang belum disebut namanya yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik.

Penulis juga sangat berterimakasih dan menghargai bantuan dan dorongan semangat yang selalu diberikan oleh rekan-rekan Pusat Analisis Sosial Ekonomi


(11)

dan Kebijakan Pertanian, terutama kepada mbak Prie, juga kepada Nina yang membantu pengolahan data serta Pak Agus Suwito yang membantu dalam merapikan pengetikan. Kepada mereka semua penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Ucapan terimakasih secara khusus juga penulis sampaikan kepada suami, Ir Ismi Kushartanto, MBA dan anak-anak: Niken Tantri Larasati, Ayulina Wulandari dan Anisa Ayuningtyas atas pengertian, dorongan dan doa yang selalu diberikan kepada penulis.

Segala kekurangan pada disertasi ini sepenuhnya adalah karena keterbatasan penulis. Untuk itu masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007 Sri Hery Susilowati


(12)

I.

DAFTAR TABEL……….………...

DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN………... PENDAHULUAN xiv xvii xviii 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. Latar Belakang………... Perumusan Masalah………... Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian………...

1 4 10 10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Agroindustri sebagai Strategi Pembangunan Pertanian 12 2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Sektor

Agroindustri... 16 2.2.1.

2.2.2.

Strategi Pengembangan Agroindustri... Kebijakan Pemerintah di Sektor Agroindustri...

16 18 2.3. Kemiskinan Rumah Tangga……… 19

2.3.1. 2.3.2.

Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan………... Kriteria Kemiskinan………... 19 21 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8

Keterkaitan Antara Pembangunan Pertanian dan Kemiskinan…... Studi Terdahulu tentang Pembangunan Ekonomi Sektoral……... Studi Terdahulu tentang Pembangunan Sektoral Dengan Landasan Strategi ADLI………... Studi Terdahulu tentang Distribusi Pendapatan……… Studi Terdahulu tentang Kemiskinan………...

23 28

34 37 41 III. KERANGKA TEORI

3.1. 3.2.

Model Pembangunan Dua Sektor………... Teori Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan vs Ketidakmerataan

48 52 3.2.1. 3.2.2 Aliran Klasik………. Aliran Strukturalis………. 54 56 3.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Melalui Industrialisasi………... 60


(13)

3.3.3. StrategiAgricultural-Demand-Led Industrialization…... 68 3.4. Kerangka Pemikiran ... 74 3.5. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi... 77

3.5.1. 3.5.2. 3.5.3.

Kerangka Dasar... Analisis Pengganda... Analisis Jalur Struktural...

80 86 90 3.6. 3.7. 3.8. 3.9.

PendekatanCross-Entropy………... Konsep Distribusi Pendapatan ... Konsep Kemiskinan ……... Hipotesis………

96 98 103 107 IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. 4.2. 4.3. 4.4.

Jenis dan Sumber Data………... Tahapan Analisis………... Klasifikasi dan Disagregasi Neraca………... Metode Analisis……….. 108 108 111 112 4.4.1. 4.4.2. 4.4.3.

Analisis Pengganda Neraca dan Penentuan Industri Prioritas…. Analisis Jalur Struktural... Analisis Simulasi Kebijakan ...

113 115 116 4.4.4.

4.4.5.

Analisis Distribusi Pendapatan ………... Analisis Kemiskinan………...

122 125 V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN

INDONESIA 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5.

Peran Sektor Agroindustri dalam Meningkatkan Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal... Keterkaitan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lainnya... Peran Sektor Agroindustri dalam Pendapatan Rumah Tangga... Industri Prioritas pada Sektor Agroindustri... Tahapan Transmisi Pengaruh dari Sektor Agroindustri...

131 138 140 144 154 5.5.1. 5.5.2. Agroindustri Makanan... Agroindustri Non Makanan ...

154 165 5.6. Penelusuran Jalur Transmisi Pengaruh Sektor Agroindustri ke Rumah


(14)

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

6.1. 6.2. 6.3.

Output Sektoral... Pendapatan Tenaga Kerja ... Pendapatan Rumah Tangga ...

206 209 211 VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR

AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN 7.1.

7.2. 7.3.

7.4. 7.5.

Distribusi Output Sektoral... ... Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja... Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga ... Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Desa dan Kota... Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian... 215 217 219 224 227 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI

TERHADAP KEMISKINAN

8.1. Persentase Rumah Tangga Miskin ... 231 8.2.

8.3

Kesenjangan Pendapatan Rumah Tangga Miskin... Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Miskin...

236 238 IX. KESIMPULAN

9.1. Ringkasan Hasil... 240 9.2. Kesimpulan ... 243 9.3.

9.4.

Saran Kebijakan... Saran Penelitian Lanjutan...

245 246 DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN...

247 256


(15)

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan Produksi Industri Menurut Sektor, Tahun 1996-1999 ... 6

2. Klasifikasi Proses Transformasi Produk Agroindustri... 14

3. Struktur Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi... 81

4. Hubungan Antar Neraca Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 84

5. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan ... 129

6. Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003... 132

7. Ranking Pengganda Output, Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor, Tahun 1998 dan 2003 ... 136

8. Nilai dan Ranking Pengganda Keterkaitan Antar Sektor Tahun 1998 dan 2003 139 9. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 ... 141

10. Nilai dan Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja dan Keterkaitan Sektor Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003 ... 147

11. Nilai dan Ranking Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003... 148

12. Ranking Pengganda Output, Tenaga Kerja, Keterkaitan Sektor dan Pendapatan Rumah Tangga Golongan Rendah Agroindustri Makanan dan Non Makanan, Tahun 2003 ... 149

13. Penentuan Agroindustri Prioritas pada Sektor Agroindustri, Tahun 2003 ... 154

14. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Peternakan dan Tanaman Pangan, Tahun 2003 ... 156

15. Dekomposisi Pengganda Industri Makanan Sektor Perikanan dan Perkebunan, Tahun 2003 ... 161

16. Dekomposisi Pengganda Industri Minuman dan Rokok, Tahun 2003 ... 163

17. Dekomposisi Pengganda Industri Kapuk dan Industri Kulit Samakan dan Olahan, Tahun 2003 ... 167

18. Dekomposisi Pengganda Industri Kayu Lapis, Barang dari Kayu, Bambu dan Rotan dan Industri Bubur Kertas, Tahun 2003 ... 170


(16)

21. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah, Tangga Tahun 2003 ... 182 22. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 185 23. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 187 24. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Minuman ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 189 25. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global dari Agroindustri

Rokok ke Rumah Tangga, Tahun 2003... 192 26. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Kapuk ke Rumah Tangga, Tahun 2003... 196 27. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kulit

Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 198 28. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Kayu

Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu ke Rumah, Tangga Tahun 2003... 200 29. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri

Bubur Kertas ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 202 30. Pengaruh Langsung, Pengaruh Total dan Pengaruh Global Agroindustri Karet

ke Rumah Tangga, Tahun 2003 ... 204 31. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral,

Menurut Skenario Kebijakan, Tahun 2003 ... 207 32. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadap Pendapatan Tenaga Kerja,

Tahun 2003... 210 33. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Pendapatan

Rumah Tangga, Tahun 2002 ... 212 34. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi Output

Sektoral, Tahun 2003 ... 216 35. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi

Pendapatan Tenaga Kerja, Tahun 2003... .. 218 36. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi

Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002.... 220 37. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Golongan Berdasarkan Indeks


(17)

39. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Distribusi

Pendapatan Rumah Tangga Pertanian dan Non Pertanian, Tahun 2002 ... 228 40. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Kemiskinan

(Headcount Index) Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 ... 231 41. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap

Poverty Gap IndexMenurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2002 ... 237 42. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap


(18)

Nomor Halaman 1. Keterkaitan Pembangunan Pertanian dan Agroindustri dengan Distribusi

Pendapatan dan Kemiskinan ……… 27

2. Pertumbuhan Pendapatan vs Ketidakmerataan ... 53

3. Argumen Industri Muda (The Infant-Industry Argument) ... 63

4. Keuntungan Perdagangan melalui Konsep Keunggulan Komparatif ... 67

5. Alur Pikir Pengembangan Sektor Agroindustri ... 75

6. Diagram Modular Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 79

7. Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit ... 92

8. Jaringan Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit yang Menghubungkan Kutub i dan j ... 95

9. Ukuran Kemiskinan Individu ... 106

10. Pentahapan Analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan ... 109

11. Jalur Dasar Agroindustri Makanan, Minuman dan Rokok ke Rumah Tangga .. 177

12. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Peternakan ke Rumah Tangga... 179

13. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Tanaman Pangan ke Rumah Tangga... 183

14. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perikanan ke Rumah Tangga ... 186

15. Jalur Dasar Agroindustri Makanan Sektor Perkebunan ke Rumah Tangga... 188

16. Jalur Dasar Agroindustri Minuman ke Rumah Tangga ... 190

17. Jalur Dasar Agroindustri Rokok ke Rumah Tangga ... 192

18. Jalur Dasar Agroindustri Non Makanan ke Rumah Tangga ... 194

19. Jalur Dasar Agroindustri Kapuk ke Rumah Tangga ... 196

20. Jalur Dasar Agroindustri Kulit Samakan dan Olahan ke Rumah Tangga... 198

21. Jalur Dasar Agroindustri Kayu Lapis, Barang dari Kayu dan Bambu ke Rumah Tangga ... 201

22. Jalur Dasar Agroindustri Bubur Kertas ke Rumah Tangga ... 203


(19)

Nomor Halaman

1. Klasifikasi dan Disagregasi Neraca ... 258 2. Definisi Rumah Tangga menurut Golongan dalam Neraca SNSE ... 259 3. Kriteria Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan SUSENAS 2003 ... 259 4. Klasifikasi Agroindustri Makanan dan Non Makanan Berdasarkan

Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) atauInternational

Standard Industrial Classification(ISIC) ... 260 5. Pengganda Output Nilai Tambah, Tenaga Kerja dan Modal Menurut Sektor,

Tahun 1998 dan 2003... 262 6. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sektor dan Golongan

Rumah Tangga, Tahun 1998 dan 2003 ... 264 7. Nilai dan Pangsa Output, Tenaga Kerja dan PDB Agroindustri Makanan

dan Non Makanan terhadap Total Sektor Agroindustri, Tahun 2003... 266 8. Perkembangan Output Sektor Agroindustri, Tahun 1998 dan Tahun 2003... 266 9. Matriks Keofisien Pengeluaran Rata-rata Neraca SNSE Agroindustri

Tahun 2003 (45 x 45 sektor) ... 267 10. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral 274 11. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan

(Headcount) Menurut Golongan Rumah Tangga dengan Metoda Skala

Ekivalensi, Tahun 2002... 276 12. Dampak Kebijakan Agroindustri terhadapPoverty GapMenurut

Golongan Rumah Tangga dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun 2002... 277 13. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadapPoverty

SeverityMenurut Golongan Rumah Tangga dengan Metode Skala Ekivalensi,


(20)

1.1. Latar Belakang

Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor pertanian sebagai penyedia utama lapangan kerja dan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat. Tidak terbantahkan pula bahwa sektor pertanian menjadi penyangga ekonomi nasional pada saat krisis ekonomi. Johnston dan Mellor (1961) mengidentifikasi paling tidak ada 5 (lima) peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja terbesar sehingga transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Sektor pertanian menyediakan pasar bagi produk-produk sektor industri karena jumlah penduduk perdesaan yang sangat banyak dan terus meningkat. Sektor pertanian sebagai penghasil devisa dan tidak kalah penting sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian karena selama ini kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

Peran sektor pertanian yang demikian besar dalam perekonomian Indonesia memiliki implikasi penting dalam pembangunan ekonomi. Selama era Orde Baru, pembangunan perekonomian Indonesia mulai Pelita I sampai dengan Pelita III meletakkan prioritas pada sektor pertanian sedangkan mulai Pelita IV prioritas pembangunan beralih pada sektor non pertanian terutama sektor industri dan jasa. Pembangunan sektor non pertanian dan jasa pada Pelita IV dan tahap berikutnya tersebut dirancang dengan memanfaatkan landasan yang telah dibangun selama Pelita sebelumnya, yaitu pembangunan sektor industri dan jasa yang mendukung sektor pertanian, khususnya pembanguan industri hulu dan industri hilir yang terkait dengan sektor pertanian.


(21)

Proses industrialisasi tersebut telah mengakibatkan perubahan peran sektor pertanian yang dramatis dalam perekonomian Indonesia, yang ditunjukkan melalui penurunan proporsi output sektor pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun drastis dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi hanya 15.4 persen pada tahun 2004. Sebaliknya pangsa sektor non pertanian meningkat dari sekitar 52.4 persen menjadi 84.6 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pun mengalami serupa. Selama periode 1982 - 2004 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian secara konsisten terus mengalami penurunan, yaitu dari 54.7 persen menjadi 19.8 persen (BPS, 2004).

Menurunnya peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional juga dapat dilihat dari menurunnya pangsa sektor pertanian dalam struktur ekspor Indonesia. Pangsa ekspor sektor pertanian dan minyak pada tahun 1970 masing-masing sebesar 66 persen dan 33 persen, pada tahun 1980 pangsa ekspor sektor pertanian turun menjadi hanya 13.6 persen sementara ekspor minyak naik menjadi 82 persen. Namun dengan menurunnya harga minyak, peranan ekspor minyak pada tahun 1990 turun menjadi hanya sekitar 40 persen dan digantikan oleh sektor industri yang naik dari sekitar 4 persen pada tahun 1980 menjadi sekitar 42 persen pada tahun 1990. Pangsa ekspor sektor industri semakin meningkat mencapai rata-rata 69.4 persen pada tahun 2004, sementara pangsa ekspor sektor pertanian hanya 3.4 persen (BPS, 2004)

Proses industrialisasi tersebut dalam pelaksanaannya melalui pembangunan industri substitusi impor dan promosi ekspor yang pada umumnya industri padat modal yang bersifat foot lose industry, tidak berdasarkan pada sumberdaya dalam negeri melainkan tergantung pada sumberdaya impor sehingga potensi sumberdaya pertanian tidak dimanfaatkan secara optimal.

Strategi pembangunan nasional dengan menitikberatkan pada strategi industri substitusi impor dan promosi ekspor tersebut dari sisi pertumbuhan ekonomi dinilai cukup


(22)

berhasil sehingga sampai sebelum masa krisis, pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun. Namun pembangunan industri yang demikian menghasilkan perekonomian yang rapuh, tidak efisien dan rentan terhadap gejolak ekonomi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku. Dampak paling nyata adalah bertambahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Pada saat puncak krisis ekonomi terjadi penduduk miskin meningkat cukup tajam dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 (BPS, 2002a). Defisit anggaran meningkat secara tajam pada tahun 1999 mencapai hampir Rp 50 trilliun atau hampir 4 persen dari PDB dan hutang pemerintah sebesar US $150 096 juta atau sekitar 113 persen terhadap PDB (OECD, 2000).

Paradigma baru pembangunan ekonomi menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; DeJanvri, 1984). Oleh karena sebagian besar sumberdaya berada di sektor pertanian dan sebagian besar penduduk Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian, maka strategi ADLI akan menciptakan pertumbuhan pendapatan di kalangan rumah tangga pertanian yang sebagian besar memiliki keterkaitan kegiatan konsumsi sehingga menciptakan pasar bagi produk-produk domestik termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri, dan hal ini akan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan perekonomian nasional yang cepat dan merata. Studi-studi secara empiris yang telah dilakukan terdahulu mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri (Bautistaet al.,

1999; Uphoff, 1999; Daryanto dan Morison, 1992).

Berdasarkan argumentasi di atas, industrialisasi pertanian, melalui pengembangan sektor agroindustri, dapat dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam


(23)

menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Bersama-sama dengan sektor pertanian sektor agroindustri akan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kemiskinan. Dengan demikian peran sektor pertanian dalam PDB tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan perannya dalam menarik dan mendorong pembangunan khususnya di perdesaan.

Pengembangan sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran, yaitu: (1) sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dengan menciptakan pasar permintaan input untuk produk olahannya, (2) menciptakan lapangan kerja, (3) meningkatkan nilai tambah, (4) meningkatkan penerimaan devisa, dan (5) meningkatkan pemerataan pembagian pendapatan.

1.2. Perumusan Masalah

Tidak dipungkiri pembangunan ekonomi dengan meletakkan basis pada pembangunan sektor industri telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita. Namun tujuan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan bukanlah pencapaian pertumbuhan atau peningkatan pendapatan semata, melainkan pembangunan yang berdasarkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga landasan tersebut merupakan strategi yang dapat menjamin kontinuitas pembangunan di masa datang. Namun ketika strategi pembangunan lebih menekankan pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi, terjadi ketimpangan dalam pencapaian pembangunan sehingga aspek pemerataan menjadi agak terabaikan. Sebagai ilustrasi, pendapatan per kapita masyarakat meningkat dari Rp. 30 900 pada tahun 1970 menjadi Rp. 9 455 400 pada tahun 2004. Namun dibalik keberhasilan tersebut, kesenjangan pendapatan masyarakat ternyata semakin melebar. Apabila pada tahun 1985 perbandingan pendapatan per kapita buruh tani dibandingkan rumah tangga


(24)

bukan pertanian golongan atas di kota sebesar 1: 3.66 maka pada saat krisis ekonomi tahun 1998 menjadi 1: 9.53 (BPS, 1998). Penduduk miskin meningkat dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 meskipun setelah krisis berakhir kemiskinan cenderung menurun namun penurunannya belum seperti yang diharapkan. Penduduk miskin pada tahun 2004 masih sebesar 16.7 persen (BPS, 2004). Millenium Development Goalmentargetkan pengurangan kemiskinan mencapai 50% pada tahun 2015 sehingga aspek kemiskinan masih menjadi permasalahan serius bagi pemerintah.

Secara historis kondisi di atas tidak terlepas dari strategi pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Pembangunan ekonomi melalui strategi industrialisasi substitusi impor yang telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970 selama lebih dari satu dasawarsa secara empiris ternyata telah gagal memperkuat perekonomian dalam negeri secara merata. Fasilitas subsidi dan proteksi banyak diberikan kepada industri (Gillis et al., 1987) dan kesemuanya hanya dinikmati oleh pemilik modal sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di perdesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di perdesaan. Keadaan ini diperkuat oleh lemahnya keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian karena industri subsitusi impor tersebut sebagian besar menggunakan komponen input impor. Impor bahan baku untuk industri selama periode 1989 sampai dengan tahun 2004 mencapai lebih dari 55 persen dari total nilai impor bahan baku penolong (BPS, 2004). Strategi substitusi impor tersebut pada hakikatnya juga merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus. Dapat dikatakan pembangunan ekonomi melalui strategi substitusi impor pada dasarnya lebih berorientasi kepada pertumbuhan dibanding pemerataan (Arief, 1990; Basalimet al., 2000).

Sementara strategi industri yang berorientasi ekspor (export-led industrialization)


(25)

modal asing sebagai penggerak pertumbuhan, ternyata semakin memperlebar kesenjangan antara sektor pertanian dan non pertanian serta rentan terhadap perubahan nilai tukar. Insentif yang diciptakan bagi perusahaan ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan bagi pemodal seperti halnya pada industri substitusi impor (Gilliset al.,1987; Arief, 1990).

Ketidakmampuan strategi industrialisasi dalam mengangkat perekonomian secara berkesinambungan terlihat pada saat terjadi krisis ekonomi. Pertumbuhan produksi hampir seluruh sektor industri mengalami goncangan sehingga mencapai angka minus (Tabel 1).

Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Industri Menurut Sektor Tahun 1996 – 1999 Pertumbuhan (%)

SEKTOR

1996 1997 1998 1999

1. Makanan, minuman dan tembakau 17.2 14.9 -2.1 2.6 2. Tekstil, kain dan kulit 8.7 -4.4 -13.0 0.4 3. Kayu dan produk kayu 3.2 -2.1 -18.5 -9.4 4. Kertas dan produk kertas 6.9 9.0 -11.0 2.8

5. Kimia 9.1 3.4 -23.2 4.7

6. Barang tambang mineral non logam 11.0 4.5 -29.4 2.4

7. Logam dasar 8.0 -1.4 -28.7 -3.9

8. Peralatan mesin 4.6 -0.4 -52.0 -9.9

9. Industri lainnya 9.7 6.0 -23.6 6.6

Total 11.7 7.4 -14.5 1.7

Sumber: UNIDO (2000)

Dampak krisis ekonomi tersebut sangat terasa terutama pada industri-industri yang banyak menggunakan input impor yaitu industri ringan (light manufacture), seperti industri tekstil, kulit, kayu lapis dan kertas dan industri berat (heavy manufacture) seperti industri logam dasar, barang tambang, kimia dan peralatan mesin. Namun industri-industri yang berbasis pertanian, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, mengalami goncangan yang relatif kecil.

Menurunnya kinerja sektor industri tersebut disebabkan oleh beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu produktivitas yang rendah, kandungan input impor yang


(26)

tinggi sehingga rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, kesenjangan teknologi baru, kurangnya pasar ekspor serta rasio konsentrasi pasar yang berlebihan. Sebagai ilustrasi nilai tambah per tenaga kerja pada tahun 1995 hanya sebesar US $ 6 300, dua setengah kali lebih rendah dibanding Malaysia dan Phillipines (UNIDO, 2000). Pangsa nilai input impor sektor industri secara keseluruhan meningkat dari 23 persen pada tahun 1993 menjadi 33 persen pada tahun 1998, bahkan untuk industri tekstil, kimia, logam dan alat-alat mesin, pangsa input impor berkisar 30 sampai 64 persen (UNSFIR, 2004). Pola pemilikan industri sangat terkonsentrasi. Sebelum masa krisis sebanyak 10 persen keluarga menguasai sebanyak 60 persen kapitalisasi pasar (World Bank, 1999) sehingga menyebabkan semakin melebarnya kesenjangan antara industri besar dan industri kecil.

Namun demikian, ‘kehancuran’ sektor industri pada masa krisis dapat dipandang sebagai blessing in disguise bagi sektor industri di Indonesia (Soesastro, 1999) karena pengalaman tersebut akan membawa pembaruan dan mengubah prioritas strategi pembangunan industri masa depan ke arah industri yang lebih tahan terhadap goncangan karena dibangun berdasarkan sumberdaya dalam negeri. Strategi tersebut adalah strategi

Agricultural Demand-Led Industrializationatau strategi ADLI, yaitu strategi pembangunan yang menitikberatkan sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor lainnya, (Adelman,1984; Ranis, 1984). Berdasarkan konsep strategi ADLI tersebut industri yang dikembangkan adalah industri yang berbasis pertanian (agricultural based) yaitu sektor agroindustri.

Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan. Ketangguhan industri pertanian dalam menghadapi goncangan ekonomi dikarenakan industri yang berbasis pertanian, terutama industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau menggunakan bahan baku penolong impor yang relatif kecil, hanya sekitar 7 persen dari total impor bahan baku penolong tahun 1998 dibandingkan


(27)

dengan industri manufaktur lain secara keseluruhan sebesar 60.9 persen (BPS, 1999). Meskipun pada tahun 2004 impor bahan penolong cenderung menurun, namun secara keseluruhan jumlahnya masih tetap tinggi, dimana industri manufaktur sebesar 49 persen sedangkan industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 5.6 persen (BPS, 2004). Dengan komponen input impor yang rendah, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar pada saat krisis ekonomi akan mendatangkan keuntungan ekspor yang relatif lebih besar bagi produsen agroindustri.

Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi namun juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain. Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja (Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal ini berimplikasi bahwa dengan meningkatkan investasi di sektor agroindustri akan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan produktivitas. Kesemua itu akan berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian.

Pentingnya peran sektor agroindustri juga terlihat dari nilai tambah yang diciptakan sebesar 23.3 persen dari total nilai tambah sektor industri tahun 2004. Peran tersebut akan semakin penting di masa datang dengan meningkatnya penduduk dan pendapatan per kapita serta urbanisasi yang kesemuanya akan mendorong peningkatan permintaan pangan olahan yang berkualitas. Dikaitkan dengan upaya pengurangan kemiskinan, perspektif ke depan pengembangan sektor agroindustri akan sangat penting mengingat kantong kemiskinan saat ini sebagian besar berada di perdesaan.

Namun selama ini sektor agroindustri belum menunjukkan perkembangan secara optimal. Selama sepuluh tahun terakhir perkembangan jumlah industri skala menengah


(28)

dan besar hanya bertambah 34 perusahaan atau sekitar 0.74 persen dari total jumlah industri (BPS, 2006).

Ditinjau dari perspektif distribusi pendapatan, konsep redistribution with growth

(pemerataan dengan pertumbuhan) selain akan menghasilkan pertumbuhan juga diharapkan akan menghasilkan distribusi pendapatan masyarakat yang lebih baik. Pemerataan tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan melalui unsur kebijakan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang dicapai bisa sejalan dengan pemerataan dengan adanya kebijakan dan intervensi pemerintah.

Dalam kondisi anggaran pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas kebijakan pengembangan agroindustri secara targetted akan sangat relevan dilakukan. Melalui strategi ‘triple track’, yaitu pro growth, pro employment and pro poor, kebijakan pengembangan agroindustri diprioritaskan pada industri-industri yang selain mampu menciptakan nilai tambah tinggi, juga bersifat padat tenaga kerja(labor intensive)

sehingga memiliki penyerapan tenaga kerja yang tinggi, mampu mempercepat pertumbuhan sektor-sektor lain serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan bawah secara lebih baik. Oleh karena itu menjadi penting melakukan identifikasi agroindustri apa saja yang memiliki kriteria di atas sehingga layak dijadikan prioritas dalam pengembangan sektor agroindustri di Indonesia.

Dari uraian di atas, pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Benarkah sektor agroindustri memiliki peran yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga?

2. Agroindustri apa yang layak mendapat prioritas untuk dikembangkan dalam upaya memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan?

3. Seberapa besar pengembangan agroindustri dapat memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan?


(29)

4. Kebijakan apa yang dinilai mampu menumbuhkan sektor agroindustri secara berkualitas, yaitu secara spesifik mampu meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta mengurangi kesenjangan dan kemiskinan rumah tangga?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian secara umum adalah mengetahui peran dan dampak pengembangan sektor agroindustri terhadap perekonomian Indonesia, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Secara lebih spesifik tujuan penelitian adalah:

1. Menganalisis peran sektor agroindustri dalam peningkatan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja nasional dan pendapatan rumah tangga.

2. Menganalisis peran agroindustri makanan dan non makanan dalam peningkatan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta menentukan agroindustri prioritas.

3. Menganalisis dampak berbagai kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan.

Manfaat hasil penelitian ini adalah pemahaman yang lebih mendalam bagi masyarakat mengenai peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Bagi pemerintah, manfaat hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan prioritas kebijakan pengembangan sektor agroindustri yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Analisis dampak pengembangan agroindustri dalam penelitian ini difokuskan pada analisis aspek makroekonomi dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi


(30)

(SNSE). Model ini digunakan untuk menganalisis peranan sektor agroindustri dalam pembentukan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam meningkatkan pendapatan sektor-sektor lain di dalam perekonomian nasional. Sektor agroindustri dikelompokkan ke dalam agroindustri makanan dan agroindustri non makanan yang didisagregasi ke beberapa jenis industri.

Selain itu dengan mengkombinasikan model SNSE dengan data SUSENAS penelitian ini juga menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud secara umum meliputi kebijakan: (1) peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer dan agroindustri, (2) peningkatan investasi agroindustri, (3) peningkatan ekspor agroindustri, (4) insentif pajak di sektor agroindustri, dan (5) redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui jalur atau arah stimulus pada sektor agroindustri ditransmisikan ke rumah tangga.

Keterbatasan utama dari studi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan data untuk pendisagregasian sektor agroindustri ke berbagai jenis industri makanan dan non makanan dan keterbatasan dalam menyususn skenario kebijakan terkait dengan keterbatasan model SNSE yang digunakan.


(31)

2.1. Pengembangan Agroindustri Sebagai Strategi Pembangunan Pertanian

Orientasi pembangunan pertanian di Indonesia dewasa ini telah mengalami pergeseran, bukan hanya pembangunan yang berorientasi pada peningkatan produksi semata, seperti yang telah dilakukan selama hampir tiga dasa warsa terakhir, namun mengarah pada pembanguan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, yaitu pembangunan yang berdasarkan pertumbuhan yang cukup tinggi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga landasan tersebut merupakan strategi yang dapat menjamin kontinuitas pembangunan dimasa datang.

Upaya peningkatan produksi yang telah dilakukan sejak awal orde baru (1969-1998) memang telah berhasil meningkatkan produksi nasional. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1985. Namun keberhasilan produksi tersebut membawa konsekuensi terhadap harga produk pertanian yang terus mengalami tekanan sehingga pada akhirnya peningkatan produksi yang diperoleh tidak dapat secara efektif meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu pembangunan pertanian harus dilaksanakan secara proporsional dan terintegrasi antara aspek produksi/budidaya, aspek pengolahan dan pemasaran serta aspek jasa dan penunjang pertanian. Dalam hal ini pembangunan sektor industri pengolahan diarahkan untuk pengembangan agroindustri yang menunjang pengembangan komoditas pertanian sehingga mampu memenuhi standar mutu permintaan pasar dan mampu memberikan nilai tambah bagi produk pertanian.

Agroindustri sebagai salah satu subsistem penting dalam agrobisnis, memiliki potensi mendorong pertumbuhan yang tinggi karena nilai tambah yang dapat mempercepat transformasi struktur ekonomi dari pertanian ke industri. Perbedaan teknologi dan manajemen antara sektor pertanian dengan agroindustri tidak sebesar perbedaan antara


(32)

sektor pertanian dengan sektor industri secara umum sehingga memperkecil masalah kesenjangan teknologi. Agroindustri juga dapat digunakan sebagai sarana mengatasi kemiskinan karena memiliki spektrum kegiatan dan pasar yang sangat luas. Agroindustri juga dipandang sebagai sektor yang padat karya dan tidak banyak memerlukan modal untuk menghasilkan nilai tambah bahan mentah dan umumnya berada dekat dengan lokasi produksi bahan mentah. Dengan karakteristik tersebut pengembangan sektor agroindustri sangat sesuai bagi pengembangan industri-industri kecil di perdesaan.

Menurut Saragih (1992) agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait dengan kegiatan pertanian, meliputi: (1) industri pengolah hasil produksi pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir seperti industri minyak sawit, industri pengolah karet, industri pengalengan ikan, industri kayu lapis dan sebagainya, (2) industri penanganan hasil pertanian segar seperti industri pembekuan ikan, industri penanganan buah segar dan sebagainya, (3) industri pengadaan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit, dan (4) industri pengadaan alat-alat pertanian seperti industri traktor pertanian, industri mesin perontok, industri mesin pengolah minyak sawit, industri mesin pengolah karet dan sebagainya.

Dilihat dari karakteristik fisik, agroindustri diartikan sebagai industri berbasis pertanian dalam arti luas, yang mencakup tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, perkebunan dan kehutanan (Pambudy, 2005). Oleh karena itu pengembangan agroindustri akan menghasilkan: (1) bahan baku pangan (food) untuk manusia dan pakan (feed) untuk ternak dan hewan, (2) bahan baku serat (fiber), bahan untuk papan, perumahan, kertas hingga kain berikut turunnya, (3) bahan dan bahan baku energi (renewable bio energy) yang berupa biodiesel (minyak kelapa dan kelapa sawit) atau ethanol (alcohol) yang bersumber dari umbi-umbian, jagung atau tebu, dan (4) bahan baku dan bahan baku obat-obatan (biofarmaka) yang bersumber dari plasma nutfah tanaman obat tropis, rempah-rempah serta tanaman dan ternak asli tropika lainnya. Dengan beragamnya produk


(33)

agroindustri tersebut, maka akan terbuka lebar pasar produk agroindustri, bukan hanya pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar negeri.

Sedangkan Austin (1981) mengidentifikasi agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang, yang meliputi proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Pengolahan dapat berupa pengolahan sederhana, namun dapat pula melalui proses yang canggih, misalnya pengolahan pemanis berfruktosa tinggi dengan menggunakan tepung jagung. Proses transformasi tersebut oleh Austin dikelompokkan menjadi empat tingkat (Tabel 2). Semakin tinggi tingkat transformasi, menunjukkan proses transformasi yang lebih lanjut.

Paradigma baru pembangunan ekonomi menempatkan agroindustri sebagai suatu sektor yang memimpin didasarkan pada beberapa pemikiran. Pertama, agroindustri memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun hilir, yaitu keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau dengan industri lainnya.

Tabel 2. Klasifikasi Proses Transformasi Produk Agroindustri

Tingkat Transformasi

Kegiatan Pengolahan Bentuk Produk

I pembersihan, sortir buah segar, sayuran segar, telur II penggilingan, pemotongan,

pencampuran, pemisahan

sereal, daging, pakan ternak, kapas, serat, kayu, karet

III

pemasakan, pengalengan, pengeringan, pembekuan, pasteurisasi, pemintalan, ekstraksi.

hasil ternak, buah dan sayur, daging, saus, tekstil dan garmen, minyak, gula, minuman

IV proses kimia, penteksturan makanan instan, produk sayur olahan, ban

Sumber: Austin (1981)

Kedua, produk-produk agroindustri terutama agroindustri pengolahan umumnya memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang elastis jika dibandingkan


(34)

dengan produk pertanian dalam bentuk mentah sehingga dengan makin besarnya pendapatan masyarakat, makin terbuka pasar bagi produk-produk agroindustri. Ketiga, kegiatan agroindustri umumnya bersifat resource based industry, sehingga dengan dukungan potensi sumberdaya alam Indonesia, besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam pasar dunia dan memiliki pasar domestik yang terjamin. Keempat, kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input renewable

sehingga keberlangsungan kegiatan ini dapat terjamin. Kelima, agroindustri merupakan sektor yang akan terus memberikan sumbangan yang besar bagi ekspor nonmigas. Keenam, agroindustri memiliki basis di perdesaan sehingga akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja yang berlebihan dari desa ke kota (Saragih, 1992).

Agroindustri memiliki beberapa kelebihan. Pertama, meningkatkan nilai tambah karena mengolah bahan mentah domestik sehingga mendorong dan menstabilkan bahan mentah serta memberi nilai tambah ekonomi berupa upah, bunga, sewa dan keuntungan. Kedua, memperluas kesempatan kerja karena produk pertanian lokasinya tersebar maka investasi agroindustri juga tersebar sehingga memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat secara luas dan mendorong terjadinya pembangunan yang lebih tersebar secara geografis. Ketiga, lebih mudah dikembangkan karena relatif tidak tergantung kepada kegiatan industri lainnya.

Dengan karakteristik tersebut pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk pengembangan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan-kegiatan dalam sistem agribisnis secara keseluruhan. Hal ini akan memberikan pengaruh besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan sebagainya. Strategi pengembangan agroindustri dengan demikian difokuskan pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan modernisasi kegiatan industri kecil dan menengah, menyangkut modernisasi teknologi, modernisasi sistem, organisasi


(35)

dan manajemen serta modernisasi dalam pola hubungan dan orientasi pasar. Selain itu kebijakan pengembangan agroindustri dilaksanakan secara terpadu dalam konteks sistem agribisnis secara keseluruhan.

2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Sektor Agroindustri. 2.2.1. Strategi Pengembangan Agroindustri

S e k t o r a groindustri memiliki peranan strategis dalam struktur industri dan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peran agroindustri dalam PDB, ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Peran lainnya adalah dalam mendukung ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, mendukung pengembangan ekonomi dan pemerataan pendapatan dan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia.

Sektor agroindustri telah menunjukkan perkembangan namun belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan pokok: (1) ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen, (2) keterkaitan antara sektor industri dan sektor ekonomi lainnya relatif masih lemah, (3) struktur industri hanya didominasi oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses industrinya pendek, (4) ekspor produk industri dikuasai oleh hanya beberapa cabang industri, (5) lebih dari 60% sektor industri terletak di Pulau Jawa., dan (6) masih lemahnya kemampuan kelompok industri kecil dan menengah.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan upaya pengembangan melalui berbagai kebijakan di sektor agroindustri untuk mencapai tujuan pembangunan sektor agroindustri sebagai berikut: (1) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (2) meningkatkan ekspor dan pemberdayaan pasar dalam negeri, (3) memberikan sumbangan yang berarti bagi pertumbuhan perekonomian, (4) mendukung perkembangan sektor infrastruktur, (5)


(36)

meningkatkan kemampuan teknologi, (6) meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk, dan (7) meningkatkan penyebaran industri.

Sasaran pembangunan dalam jangka menengah adalah: (1) industri yang mampu menciptakan lapangan kerja yang luas, (2) pasar dalam negeri yang mampu mengoptimalkan pembangunan industri komponen lokal dan industri pengolahan sumber daya alam lainnya, (3) daya saing industri berorientasi ekspor yang semakin meningkat, dan (4) Industri potensial yang menjadi penggerak pertumbuhan industri di masa depan. Dengan sasaran tersebut industri makanan, minuman dan tembakau yang menjadi

core business sektor agroindustri diproyeksikan akan tumbuh sebesar 4.9 persen per tahun pada periode 2005 – 2009 dan penyerapan tenaga kerja akan tumbuh sekitar 515 ribu orang

Menurut Departemen Perindustrian (2005), fokus pengembangan agroindustri dilakukan melalui beberapa strategi. Pertama, mendorong pertumbuhan Klaster Industri Prioritas, yaitu: (1) industri makanan dan minuman, (2) Industri pengolahan hasil laut, (3) industri kelapa sawit, (4) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (5) industri karet dan barang karet, dan (6) industri pulp dan kertas. Pengembangan klaster industri inti tersebut secara komprehensif dan integratif ditunjang industri terkait (related industries) dan industri pendukung (supporting industries). Penentuan industri prioritas dilakukan melalui analisis daya saing internasional serta pertimbangan besarnya potensi Indonesia yang dapat digunakan dalam rangka menumbuhkan industri secara umum. Rencana pemerintah untuk menumbuhkan klaster atau Kawasan Industri akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri. Rencana pemerintah ini dimaksudkan untuk menata industri dalam satu kawasan sehingga pola pasokan energi, penanganan limbah dan arus distribusi barang dan bahan baku akan lebih baik.

Kedua, menetapkan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-derah mendekati sumber bahan baku agar efisien yang kegiatan industrinya belum banyak


(37)

berkembang, yaitu di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan (prioritas eco-regional). Ketiga, mengembangkan kemampuan inovasi khususnya di bidang Teknologi Industri dan manajemen antara lain melalui kegiatan enelitian dan engembangan baik di bidang teknologi proses maupun teknologi produk, serta teknologi yang terkait erat dengan kegiatan industri. Dan keempat, mengembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif.

2.2.2. Kebijakan Pemerintah di Sektor Agroindustri

Strategi pengembangan sektor agroindustri diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang aktual terkait dengan pengembangan sektor industri secara umum dan sektor agroindustri khususnya adalah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu dan Daerah Tertentu. Aturan tersebut dikeluarkan pemerintah dengan tujuan mendorong investasi pada sektor-sektor yang dapat menciptakan kesempatan kerja baru dalam jumlah besar dan katagori industri pionir.

Sektor usaha yang memperoleh insentif usaha sebanyak 15 sektor. Di sektor agroindustri insentif usaha tersebut diberikan ke tiga sektor, yaitu: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri bubur kertas, kertas dan karton, dan (3) industri karet dan barang dari karet.

Insentif Pajak Penghasilan (PPh) tersebut mulai diberlakukan 1 Januari 2007. Ada empat insentif yang diberikan. Pertama, pengurangan penghasilan neto 30 persen dari jumlah penanaman modal yang dilakukan (tax allowance). Kedua, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, menjadi maksimum 10 tahun. Ketiga, kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih 10 tahun. Keempat, pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subyek pajak luar negeri sebesar 10 persen.

Selain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, kebijakan di sektor agroindustri juga dituangkan dalam Surat Keputusan, beberapa diantaranya adalah:


(38)

1. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP. 103/Pf.51/2002.

2. Tata Niaga Impor Gula Kasar (Raw Sugar)

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 456/MPP/KEP/ 6/ 2002. 3. Pembentukan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Tepung Terigu

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 546/MPP/KEP/7/2002.

4. Perpanjangan Jangka Waktu Impor Mesin, Barang Dan Bahan Yang Mendapat Fasilitas Keputusan Menteri Keuangan No. 135/KMK.01/2002.

5. Keringanan Bea Masuk atas Impor Mesin, Barang dan Bahan Dalam Rangka Pembangunan / Pengembangan Industri

Keputusan Menteri Keuangan No. 456 / KWK.04 /2002.

2.3. Kemiskinan Rumah Tangga

2.3.1. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskian

Kemiskinan rumah tangga di Indonesia merupakan persoalan klasik yang hingga kini belum terselesaikan. Upaya pengentasan kemiskinan melalui berbagai program telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang, akan tetapi jumlah masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara signifikan, bahkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan secara nyata pada saat krisis ekonomi terjadi. Berbagai program terkait dengan aspek kemiskinan telah dilakukan pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), yaitu merupakan salah satu program dengan tujuan untuk menanggulangi kemiskian sebagai dampak dari krisis. Program JPS meliputi penyediaan kebutuhan pokok (food security), perlindungan sosial (social protection), penciptaan lapangan kerja (employment creation) dan menggerakkan ekonomi rakyat (economic empowerment). Selain program JPS yang dilakukan pemerintah, berbagai program pengentasan kemiskinan juga banyak dilakukan oleh berbagai lembaga pada saat krisis ekonomi hingga sekarang.

Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor dari dalam masyarakat sendiri (faktor-faktor internal), seperti rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang menyebabkan rendahnya tingkat upah dan gaji, kelemahan fisik dan sikap atau perilaku. Kemiskinan dapat pula merupakan akibat dari faktor-faktor dari luar masyarakat


(39)

(faktor-faktor eksternal), seperti buruknya prasarana dan sarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi, rendahnya aksesibilitas terhadap modal dan kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi yang terbatas, atau sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat. Kedua faktor tersebut secara bersama-sama akan menyebabkan masyarakat menjadi merasa tidak berdaya.

Kemiskinan dapat juga ditimbulkan oleh adanya kegagalan kelembagaan. Seringkali masalah kemiskinan bukan karena kekurangan ketersediaan bahan makanan tetapi merupakan masalah kegagalan kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses dimana seseorang menjual barang yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang diinginkan. Karena proses tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup mereka. Fenomena seperti ini sering ditemukan, dimana petani tetap berada dalam kondisi kemiskinan kendati padi berlimpah di sekitar mereka pada saat panen, karena mereka tidak dapat menjual hasil panen dengan harga yang baik (karena adanya tengkulak, masalahijon, dsb.)

Kemiskinan di Indonesia secara umum dapat juga dikatakan merupakan bentuk fenomena pertanian. Hal ini disebabkan sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan dan sangat berhubungan dengan pola kepemilikan dan produktivitas lahan, struktur kesempatan kerja dan pasar tenaga kerja. Thorbecke et al. (1993) menyatakan terdapat korelasi antara standar hidup dengan luas dan kualitas lahan yang dimiliki serta tingkat keahlian dan pendidikan anggota rumah tangga. Oleh karena itu rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan keahlian dan pendidikan yang terbatas, akan cenderung berada dalam kemiskinan sampai mereka memperoleh bantuan dan transfer dari pihak lain.

Secara sosiologis, kemiskinan juga dapat muncul sebagai akibat proses eksploitasi terhadap penduduk miskin yang pada gilirannya menyebabkan ketergantungan dan


(40)

kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misalnya pembayaran yang tidak adil atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar (Arif, 1990). Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka kesenjangan(gap) kesejahteraan antara si kaya dan si miskin akan semakin melebar. Tidak dipungkiri, proses tersebut memberikan andil bagi terciptanya keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia. Sehingga masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi telah merupakan suatu fenomenasosio culturalyang lebih komplek.

Dalam konteks pembangunan wilayah, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya (resources endowment)di suatu wilayah, yaitu lahan yang subur, tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan modal serta kemampuan mengelola sumberdaya tersebut. Dengan demikian perbedaan intensitas pembangunan antar wilayah akan memunculkan permasalahan kesenjangan pendapatan (income disparity) atau permasalahan kemiskinan antar wilayah.

Menurut Sapuan dan Silitonga (1994), sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: (1) para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, (2) buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan (4) perambah hutan dan pengangguran. Sedangkan untuk daerah perkotaan yaitu: (1) buruh kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau swasta golongan rendah, (3) pegawai harian lepas, (4) pembantu rumah tangga, (5) pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) pengangguran.

2.3.2. Kriteria Kemiskinan

Rumah tangga miskin dapat dibedakan menjadi beberapa kelas. Sumodiningrat (1988) menggolongkan kemiskinan menjadi lima kelas, yaitu kemiskinan absolut,


(41)

kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Seseorang disebut miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum (basic need) seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap atau perilaku seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, yaitu tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar untuk membantunya. Kemiskian kronis adalah kemiskinan yang disebabkan secara simultan oleh berbagai faktor, baik faktor-faktor internal maupun eksternal, yaitu diantaranya: (1) kondisi sosial dan budaya yang mendorong kebiasaan masyarakat tidak produktif, (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, (3) rendahnya tingkat pendidikan, dan (4) terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidakmampuan masyarakat mengikuti ekonomi pasar. Sedangkan kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman seperti contohnya kemiskinan para nelayan dan petani tanaman pangan pada musim paceklik, karena bencana alam atau dampak suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Deklarasi Milenium pada tahun 2000 yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia memunculkan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goal/MDG) yang salah satunya adalah menurunkan angka kemiskinan. Dalam hal ini Indonesia telah ikut menyepakati MDG dengan adanya komitmen menurunkan jumlah penduduk miskin dunia yang jumlahnya mencapai 1.3 milliar dapat dikurangi menjadi setengahnya pada tahun 2015. Definisi kemiskinan yang disepakati dunia melalui MDG


(42)

adalah yang tidak memenuhi 10 hak dasar, antara lain pangan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan perumahan, disamping standar pendapatan sebesar US$ 1 per hari.1

Sedangkan BPS (1992) menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilo kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sebagai batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan setiap tahun menurut perubahan harga-harga barang atau tingkat inflasi. Seseorang yang memiliki pengeluaran berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumah tangga miskin. Untuk tahun 2003, BPS menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 143 455 per orang untuk rumah tangga di kota dan Rp. 108 725 per orang untuk rumah tangga di desa.

Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-masing daerah perdesaan dan daerah kota (Arief, 1990). Standar ukuran kemiskinan seperti disebutkan diatas terkait pengukuran kemiskinan dalam pengertian absolut.

2.4. Keterkaitan Antara Pembangunan Pertanian dan Kemiskinan

Peran sektor pertanian dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan pertanian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan produktivitas faktor total. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan. Sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor non pertanian. Pembangunan sektor pertanian pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mengurangi kemiskinan. Komponen yang mempengaruhi produktivitas faktor adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, R & D, kepadatan populasi perdesaan serta perubahan teknologi (Binswanger et al.,1987; Mundlaket al.,1997).

1


(43)

Tetapi apakah penambahan pendapatan yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas pertanian tersebut akan mampu mengurangi kemiskinan, tergantung dari pola konsumsi dan investasi masyarakat. Jika penambahan pendapatan terjadi pada masyarakat golongan miskin dan dibelanjakan untuk barang-barang domestik, pertumbuhan sektor pertanian akan menjadikan sektor non pertanian di perdesaan tumbuh. Melalui pengganda tenaga kerja hal ini akan berdampak pada pengurangan kemiskinan. Namun apabila hasil pembangunan pertanian tersebut menghasilkan peningkatan pendapatan bagi masyarakat golongan kaya, faktor penting yang akan mempengaruhi kemiskinan adalah pola pembelanjaan dari penambahan pendapatan tersebut. Jika berupa investasi domestik yang padat tenaga kerja, maka pertumbuhan akan terjadi dan masyarakat miskin akan memperoleh manfaat dari lapangan kerja yang diciptakan. Tetapi jika dibelanjakan untuk barang-barang impor atau diinvestasikan ke luar negeri, maka stimulus terhadap pertumbuhan akan kecil dan tidak akan berdampak positip terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu pola distribusi peningkatan pendapatan stimulus awal merupakan faktor penting bagi pertumbuhan selanjutnya dan pengurangan kemiskinan.

Kontribusi pembangunan sektor pertanian terhadap pengurangan kemiskinan tergantung dari arah distribusi pendapatan masyarakat, apakah manfaat pembangunan lebih banyak mengarah ke masyarakat golongan kaya, atau sebaliknya ke masyarakat golongan miskin. Selain itu juga tergantung dari distribusi alokasi peningkatan pendapatan. Pembangunan pertanian akan memiliki kontribusi baik bagi pertumbuhan maupun bagi pengurangan kemiskinan, jika buah dari stimulus produktivitas awal dibelanjakan lagi melalui investasi dan konsumsi domestik pada produk-produk yang bersifat padat tenaga kerja dan rendah ketergantungannya pada impor. Selain kedua faktor tersebut, kontribusi pertumbuhan sektor pertanian juga sangat dipengaruhi oleh ketidakmerataan penguasaan lahan (Adam dan He, 1995). Jika distribusi lahan pertanian sangat condong dan pertumbuhan produktivitas pertanian lebih banyak dihasilkan oleh petani luas, maka pertumbuhan sektor pertanian tersebut tidak banyak berarti bagi pengurangan kemiskinan.


(44)

Beberapa kajian mendukung keterkaitan antara peningkatan produktivitas pertanian dengan pengurangan kemiskinan, dimana peningkatan produktivitas sektor pertanian tradisional merupakan cara yang paling efektif menurunkan kemiskinan (Ravallion dan Datt, 1996; Bourguignon dan Morrison, 1998).

Kajian yang dilakukan oleh O’Ryan dan Sebastian (2003) menyajikan bukti keterkaitan antara peningkatan produktivitas faktor di sektor pertanian, agroindustri dan sektor industri dengan penurunan kemiskinan dan distribusi pendapatan. Dilihat dari perspektif makroekonomi, peningkatan produktivitas kapital dan tenaga kerja di sektor industri memberikan dampak positif secara keseluruhan yang lebih besar dibandingkan dengan dampak yang berasal dari peningkatan produktivitas faktor di sektor pertanian dan agroindustri. Secara umum dampak peningkatan produktivitas tenaga kerja lebih rendah dibanding produktivitas kapital. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa tenaga kerja diasumsikan lebih bersifat mobil antarsektor dibandingkan dengan kapital. Selain itu suplai tenaga kerja secara umum mengalami peningkatan sedangkan suplai kapital relatif tetap.

Namun dampak terhadap distribusi pendapatan sangat berlawanan dengan hasil di atas. Peningkatan produktivitas kapital di sektor industri memberikan dampak ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan sektor agroindustri dan sektor pertanian, namun akan meningkatkan ketimpangan karena peningkatan pendapatan golongan kaya jauh lebih besar dari peningkatan pendapatan yang diperoleh golongan miskin. Sebaliknya peningkatan produktivitas kapital di sektor pertanian dan agroindustri akan memperbaiki distribusi pendapatan. Pendapatan dari kelompok yang paling miskin memperoleh peningkatan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kelompok yang lebih kaya. Peningkatan produktivitas kapital di sektor agroindustri memberikan peningkatan pendapatan bagi golongan dua kelompok di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan peningkatan produktivitas di sektor industri. Fenomena yang sama untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja, namun peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor


(45)

pertanian memiliki dampak terhadap peningkatan pendapatan yang lebih besar untuk dua kelompok pendapatan termiskin dibandingkan dengan sektor industri.

Hasil kajian Ravallion dan Datt (1996) menunjukkan pertumbuhan pendapatan wilayah perkotaan berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di kota, tetapi tidak berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di desa maupun kemiskinan secara agregat. Sedangkan pertumbuhan pendapatan di wilayah perdesaan berkontribusi baik terhadap pengurangan kemiskinan di perdesaan, perkotaan maupun kemiskinan secara agregat Hasil kajian tersebut menguatkan bukti bahwa pengembangan sektor pertanian lebih berpihak kepada kemiskinan dibandingkan dengan pengembangan sektor non pertanian di perkotaan.

Secara ringkas keterkaitan antara pembangunan pertanian dan pembangunan agroindustri dengan kemiskinan ditampilkan pada Gambar 1. Pembangunan sektor pertanian dan industri pertanian melalui strategi ADLI akan meningkatkan pertumbuhan pertanian. Peningkatan pertumbuhan pertanian tersebut diperoleh melalui peningkatan produktivitas total faktor baik produktivitas tenaga kerja maupun kapital.

Peningkatan pertumbuhan pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan hal ini secara langsung akan mengurangi kemiskinan. Dampak pembangunan pertanian terhadap pengurangan kemiskinan juga dapat terjadi secara tidak langsung. Pembangunan pertanian akan meningkatkan pertumbuhan pertanian. Melalui efek keterkaitan, pertumbuhan pertanian akan menstimulir pertumbuhan sektor non pertanian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara agregat yang selanjutnya akan mengurangi kemiskinan.

Untuk menjadikan sektor pertanian tumbuh sekaligus mengurangi kemiskinan, harus dipenuhi beberapa kondisi (Sarris, 2001), yaitu: (1) sektor pertanian harus memiliki pangsa tenaga kerja yang tinggi, (2) distribusi harus merata dan hak kepemilikan lahan harus jelas, (3) perbaikan teknologi tidak menyebabkan peningkatan risiko dan dalam


(46)

penerapannya tidak memerlukan kapital besar, (4) pangsa pengeluaran marginal yang berasal dari manfaat pertumbuhan sektor pertanian secara langsung harus sebagian besar dimanfaatkan untuk produk lokal yang padat tenaga kerja, (5) ketersediaan tenaga kerja dalam kondisi berlebih, (6) ada perbaikan sumberdaya tenaga kerja (pendidikan dan kesehatan) dan perbaikan infrastruktur, dan (7) elastisitas harga maupun pendapatan terhadap peningkatan permintaan produk lokal maupun produk ekspor harus bersifat elastis.

Gambar 1. Keterkaitan Pembangunan Pertanian dan Agroindustri dengan Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Jika sektor pertanian tidak memiliki pangsa tenaga kerja yang besar, maka tidak mudah menjadi sektor andalan bagi pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, karena mengacu pada teori Lewis (1954), pertumbuhan produktivitas total faktor pertanian sebagai mesin pertumbuhan merupakan fungsi dari kepadatan populasi di perdesaan. Jika

Produktivitas Faktor

Pembangunan Pertanian

Pembangunan Agroindustri Strategi ADLI

Pertumbuhan sektor pertanian

Pertumbuhan sektor non pertanian Keterkaitan ke depan, ke belakang

Pendapatan

Distribusi pendapatan

Pertumbuhan Agregat


(47)

populasi di perdesaan rendah, biaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian akan lebih besar dibanding manfaatnya bagi rumah tangga.

2.5. Studi Terdahulu Tentang Pembangunan Ekonomi Sektoral

Bautista (2001) menggunakan analisis multiplier SAM untuk mengkaji pengaruh pertumbuhan produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan dampaknya terhadap pemerataan pendapatan rumah tangga di Vietnam Tengah. Penggunaan analisis multiplier SAM dilatarbelakangi oleh fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Vietnam mengalami penurunan sehingga pertumbuhan GDP menurun, indeks kualitas hidup menurun yang dibarengi dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan penduduk perdesaan dan perkotaan. Melalui strategi pembangunanAgriculture-Based Development (ABD), pertumbuhan ekonomi akan dapat ditingkatkan dan sekaligus mengurangi perbedaan pendapatan antar populasi. Dalam kajian tersebut Bautista mengelompokkan unsur perekonomian ke dalam 25 aktivitas atau sektor produksi, 5 kelompok faktor produksi tenaga kerja serta mengelompokkan institusi ke dalam 4 golongan rumah tangga desa-kota berdasarkan kelompok pendapatan, 2 kelompok perusahaan (BUMN dan non BUMN), pemerintah dan neraca kapital serta Rest of the World (ROW). Klasifikasi aktivitas produksi tersebut akan menunjukkan bagaimana keterkaitan antar sektor sedangkan aspek pemerataan pendapatan akan dicerminkan melalui penggolongan rumah tangga berdasarkan perbedaan pendapatan dan wilayah desa-kota.

Data yang dianalisis adalah data SAM regional Vietnam Tengah yang dibangun berdasarkan data SAM Vietnam dan data-data dari sumber lain. Dari hasil analisis multiplier tersebut menunjukkan bahwa multiplier GDP sektor pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertambangan dan industri serta jasa. Komoditas ubikayu, ubi jalar dan ternak, yang sebagian besar ditujukan untuk pasar lokal justru memiliki multiplier terbesar, sebaliknya beras dan komoditas lain yang berorientasi ekspor memiliki multiplier


(1)

Lampiran 9. Lanjutan

COL24 COL25 COL26 COL27 COL28 COL29 COL30 COL31 COL32 COL33 COL34 COL35

SEKTOR

24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

24 ROW24 0.004 0.0078 0 0.0029 0.0003 0.0006 0 0.0002 0.0002 0 0 0

25 ROW25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

26 ROW26 0.0014 0.0077 0 0.0032 0.0002 0.0005 0 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0001

27 ROW27 0 0.0062 0 0.0037 0.0014 0.0018 0.0009 0.0012 0.0012 0.0002 0.0006 0.0015

28 ROW28 0.0029 0.0077 0.0345 0.0313 0.0332 0.0365 0.019 0.0316 0.0318 0.0038 0.0095 0.0389

29 ROW29 0.002 0.0074 0.0297 0.0157 0.0148 0.0164 0.0086 0.014 0.0141 0.0017 0.0043 0.0172

30 ROW30 0.0029 0.0105 0.0412 0.0247 0.0243 0.0269 0.014 0.023 0.0232 0.0028 0.0071 0.0283

31 ROW31 0.0093 0.0098 0.0668 0.1415 0.1629 0.1784 0.0929 0.1556 0.1566 0.0182 0.0458 0.1913

32 ROW32 0.0104 0.0104 0.0742 0.1646 0.1899 0.208 0.1083 0.1815 0.1827 0.0213 0.0534 0.2232

33 ROW33 0.0046 0.0084 0.0439 0.0604 0.0672 0.0738 0.0384 0.0642 0.0646 0.0908 0.4439 0.0337

34 ROW34 0.0034 0.0085 0.0322 0.0178 0.0171 0.019 0.0099 0.0162 0.0163 0.0004 0.1563 0.0006

35 ROW35 0.0023 0.0119 0.0407 0.0066 0.0025 0.0031 0.0016 0.0022 0.0022 0.0134 0.0094 0.0008

36 ROW36 0.0085 0.0327 0.0999 0.0228 0.014 0.0162 0.0084 0.0129 0.013 0.0007 0.0009 0

37 ROW37 0.0025 0.008 0 0.0064 0.0039 0.0045 0.0024 0.0035 0.0036 0.0023 0.0007 0.0059

38 ROW38 0.0079 0.0126 0.0426 0.0275 0.0275 0.0304 0.0158 0.0261 0.0262 0.0247 0.005 0.0093

39 ROW39 0.0101 0.0157 0.0514 0.0335 0.0336 0.0372 0.0194 0.0319 0.0321 0.0044 0.0082 0.033

40 ROW40 0.0023 0.0087 0.0317 0.0099 0.0076 0.0086 0.0045 0.0071 0.0071 0.0199 0.0154 0.0308

41 ROW41 0 0.0068 0 0.0028 0.0002 0.0004 0 0.0001 0.0001 0.0007 0.0008 0.0013

42 ROW42 0.0026 0.0086 0.0298 0.0062 0.0035 0.0041 0.0022 0.0032 0.0032 0.0068 0.0062 0.0093

43 ROW43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

44 ROW44 0.0159 0.0085 0 0.0241 0.0089 0.0372 0.0135 0.0282 0.0491 0.0253 -0.0689 0.0134

45 ROW45 0.0106 0.0127 0.0369 0.045 0.0014 0.0305 0.0006 0.0127 0.0451 0.0037 0.0068 0.0272

2

7


(2)

Lampiran 10. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Output Sektoral

DAMPAK KEBIJAKAN1(%)

SEKTOR

SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SKB SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15

Pertanian Primer 0.17 0.02 0.02 0.50 0.48 0.68 0.65 0.60 0.51 1.34 1.54 2.26 0.35 0.69 0.00 Pertanian tan pangan 0.11 0.03 0.02 0.69 0.45 0.81 0.57 0.81 0.47 1.64 1.77 2.73 0.48 0.65 0.01 Peternakan dan hasilnya 0.16 0.02 0.02 0.43 0.44 0.59 0.60 0.50 0.46 1.18 1.24 1.99 0.29 0.63 0.00 Perikanan 0.13 0.02 0.01 0.52 0.40 0.66 0.53 0.62 0.41 1.30 1.42 2.17 0.36 0.57 0.01 Kehutanan & perburuan 0.28 0.01 0.02 0.22 0.55 0.50 0.83 0.26 0.61 0.89 1.35 1.59 0.15 0.79 -0.01 Pertanian tan. Lainnya 0.18 0.03 0.02 0.66 0.56 0.84 0.74 0.78 0.60 1.68 1.90 2.82 0.46 0.80 -0.02 Agroindustri Makanan 0.06 0.07 0.39 0.66 0.87 0.72 0.93 0.84 1.63 2.50 2.57 3.94 0.38 1.25 -0.02 Ind mak sekt. tan pangan 0.06 0.09 0.02 0.55 0.46 0.61 0.52 0.58 0.48 1.23 1.29 2.07 0.54 0.65 -0.03 Ind mak sekt. perikanan 0.06 0.04 0.02 0.45 0.46 0.51 0.51 0.50 0.47 2.78 2.84 3.63 0.32 0.65 -0.03 Ind mak sekt. perkebunan 0.06 0.06 0.02 2.07 0.45 2.13 0.51 1.49 0.46 4.89 4.94 7.34 0.37 0.64 -0.03 Industri minuman 0.07 0.03 0.02 1.35 0.49 1.42 0.56 1.75 0.51 2.13 2.19 3.91 1.10 0.70 -0.03 Industri rokok 0.06 0.16 0.02 0.54 0.47 0.60 0.53 0.68 0.50 1.25 1.31 2.10 0.47 0.67 -0.03 Agroindustri Non Makanan 0.14 0.34 0.04 1.33 1.15 1.47 1.29 2.90 1.18 2.70 2.85 4.59 0.70 1.64 -0.08 Industri kapuk 0.03 0.01 0.84 0.20 1.22 0.24 1.26 0.27 2.87 1.48 1.52 2.58 0.14 1.75 0.00 Ind kulit samakan, olahan 0.06 0.05 3.68 0.40 0.56 0.47 0.63 0.58 0.87 1.18 1.24 2.00 0.27 0.80 0.07 Ind kayu lapis, bambu,

rotan 0.02 0.01 0.35 0.11 0.81 0.12 0.83 0.14 6.51 0.40 0.41 0.69 0.07 1.16 -0.01 Ind bubur kertas 0.03 0.01 0.03 0.16 2.29 0.19 2.31 0.19 0.85 2.02 2.04 4.42 0.11 3.27 -0.02 Ind karet remah & asap 0.03 0.01 0.07 0.16 1.09 0.19 1.12 0.19 4.93 0.61 0.64 1.08 0.11 1.56 -0.02 Industri ringan dan lainnya 0.03 0.01 0.05 0.18 1.37 0.21 1.40 0.22 1.17 3.21 3.24 4.71 0.13 1.96 -0.02 Industri berat 0.04 0.01 0.01 0.22 0.39 0.25 0.43 0.26 0.42 0.82 0.85 1.20 0.15 0.56 -0.02

2

7


(3)

Lampiran 10. Lanjutan

D AMPAK KEBIJAKAN1(%)

SEKTOR

SK1 SK2 SK3 SK4 SK5 SK6 SK7 SKB SK9 SK10 SK11 SK12 SK13 SK14 SK15 Sektor Lain 0.05 0.01 0.02 0.29 0.43 0.33 0.48 0.34 0.46 0.92 0.97 1.59 0.20 0.62 -0.04

Pertambangan 0.02 0.01 0.01 0.15 0.35 0.17 0.37 0.18 0.38 0.58 0.61 1.03 0.10 0.49 -0.01

Listrik, gas & Air minum 0.05 0.01 0.02 0.30 0.50 0.35 0.55 0.36 0.54 1.01 1.06 1.75 0.21 0.72 -0.02

Konstruksi & Real Estate 0.01 0.00 0.00 0.06 0.09 0.07 0.10 0.07 0.09 0.18 0.19 0.31 0.04 0.12 0.00

Perdagangan besar, eceran,

pergudangan, Js angkutan 0.04 0.01 0.02 0.29 0.44 0.33 0.48 0.34 0.47 0.92 0.97 1.58 0.20 0.62 -0.04

Restoran dan perhotelan 0.05 0.01 0.02 0.34 0.46 0.39 0.51 0.40 0.48 1.05 1.11 1.80 0.23 0.66 -0.06

Angkutan & komunikasi 0.05 0.01 0.02 0.31 0.46 0.36 0.51 0.37 0.48 1.00 1.05 1.71 0.22 0.65 -0.05

Bank dan asuransi 0.05 0.01 0.02 0.30 0.45 0.35 0.50 0.36 0.48 0.96 1.01 1.65 0.21 0.65 -0.06

Real estate & js perusahaan 0.05 0.01 0.02 0.31 0.43 0.36 0.48 0.37 0.45 0.97 1.02 1.65 0.21 0.62 -0.05

Pemerintahan, pertahan,

pend, kesehatan, js sosial 0.08 0.02 0.03 0.52 0.73 0.60 0.82 0.62 0.76 1.62 1.71 2.78 0.36 1.05 -0.03

Jasa lain 0.06 0.01 0.01 0.31 0.41 0.36 0.46 0.36 0.42 0.94 1.00 1.60 0.21 0.58 -0.04

1) NilaiPerubahanoutput antara Simulasi Dasar dengan output masing-masing skenario.

2

7


(4)

275

Lampiran 11. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan

(Headcount

) Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala

Ekivalensi, Tahun 2002

DAMPAK THD KEMISKINAN1 SIMULASI KEBIJAKAN Buruh

Tani Petani

NP Rendah

Desa

NP Atas Desa

NP Rendah

Kota

NPAtas

Kota Agregat

DASAR

2 3.762 3.430 2.375 0.602 2.180 0.425 3.9173

PENGELUARAN PEM

SK1

(Primer)

-0.048 -0.010 -0.010 0.000 -0.005 0.000 -0.019

SK2

(Mak)

0.000 -0.005 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.005

SK3

(Non mak)

0.000 -0.005 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.005

EKSPOR

SK4

(Mak)

-0.190 -0.066 -0.100 0.000 -0.032 0.000 -0.086

SK5

(Non mak)

-0.238 -0.066 -0.110 -0.055 -0.053 0.000 -0.109

SK6

(SK4+SK1)

-0.238 -0.071 -0.100 -0.055 -0.037 0.000 -0.101

SK7

(SK5+SK1)

-0.238 -0.071 -0.110 -0.055 -0.053 -0.020 -0.122

INVESTASI

SK8

(Mak)

-0.238 -0.071 -0.110 -0.109 -0.043 0.000 -0.106

SK9

(Non mak)

-0.238 -0.066 -0.110 -0.109 -0.053 0.000 -0.115

SK10

(Prioritas)

-0.383 -0.278 -0.164 -0.057 -0.149 -0.020 -0.278

SK11 (SK10+G prm-prior)

-0.383 -0.279 -0.164 -0.060 -0.154 -0.020 -0.321

SK12

(SK10+X prior)

-0.521 -0.432 -0.180 -0.112 -0.213 -0.022 -0.396

INSENTIF PAJAK

SK13

(Mak)

-0.143 -0.045 -0.060 0.000 -0.027 0.000 -0.062

SK14

(Non mak)

-0.238 -0.096 -0.130 -0.055 -0.069 -0.020 -0.153

REDISTR PENDAP

SK15

-0.143 -0.096 -0.010 0.055 -0.005 0.000 0.029

1Nilai

headcount indexmenurut Skenario adalah nilai perubahanantara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing – masing Skenario.


(5)

276

Lampiran 12. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap

Poverty Gap

Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala Ekivalensi, Tahun

2002

DAMPAK THD KEMISKINAN1 SIMULASI KEBIJAKAN Buruh

Tani Petani

NP Rendah

Desa

NP Atas Desa

NP Rendah

Kota

NPAtas

Kota Agregat

DASAR2 0.4077 0.4260 0.3037 0.0495 0.3009 0.0511 0.5186

PENGELUARAN PEM

SK1

(Primer)

-0.003 -0.003 -0.001 0.000 -0.001 0.000 -0.002

SK2

(Mak)

-0.001 -0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.001

SK3

(Non mak)

-0.001 -0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.001

EKSPOR

SK4

(Mak)

-0.015 -0.014 -0.008 -0.002 -0.006 -0.001 -0.013

SK5

(Non mak)

-0.017 -0.014 -0.009 -0.005 -0.008 -0.002 -0.016

SK6

(SK4+SK1)

-0.017 -0.016 -0.009 -0.007 -0.007 -0.001 -0.015

SK7

(SK5+SK1)

-0.019 -0.017 -0.011 -0.003 -0.009 -0.002 -0.018

INVESTASI

SK8

(Mak)

-0.018 -0.017 -0.009 -0.012 -0.007 -0.001 -0.016

SK9

(Non mak)

-0.017 -0.014 -0.009 -0.014 -0.008 -0.002 -0.016

SK10

(Prioritas)

-0.041 -0.038 -0.024 -0.006 -0.019 -0.004 -0.039

SK11 (SK10+G prm-prior)

-0.044 -0.043 -0.026 -0.008 -0.022 -0.007 -0.042

SK12

(SK10+X prior)

-0.071 -0.054 -0.039 -0.012 -0.029 -0.008 -0.062

INSENTIF PAJAK

SK13

(Mak)

-0.010 -0.010 -0.005 -0.002 -0.004 -0.001 -0.009

SK14

(Non mak)

-0.023 -0.020 -0.013 -0.004 -0.012 -0.002 -0.022

REDISTR PENDAP

SK15

-0.044 -0.039 -0.024 -0.018 -0.020 -0.004 0.005

1Nilaipoverty gap indexmenurut Skenario adalah nilaiperubahanantara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing– masing Skenario.

2Nilai


(6)

277

Lampiran 13.

Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap

Poverty

Severity

Menurut Golongan Rumah Tangga Dengan Metode Skala

Ekivalensi, Tahun 2002

GOLONGAN RUMAH TANGGA1 SIMULASI KEBIJAKAN Buruh

Tani Petani

NP Rendah

Desa

NP Atas Desa

NP Rendah

Kota

NP Atas Kota

Agregat

DASAR2 0.0933 0.0912 0.0660 0.0069 0.0692 0.0090 0.1153

PENGELUARAN PEM

SK1

(Primer)

-0.021 -0.001 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.001

SK2

(Mak)

-0.021 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

SK3

(Non mak)

-0.021 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000

EKSPOR

SK4

(Mak)

-0.024 -0.003 -0.002 0.000 -0.001 0.000 -0.003

SK5

(Non mak)

-0.024 -0.003 -0.002 -0.001 -0.002 0.000 -0.004

SK6

(SK4+SK1)

-0.024 -0.004 -0.002 -0.001 -0.002 0.000 -0.004

SK7

(SK5+SK1)

-0.025 -0.004 -0.002 0.000 -0.002 0.000 -0.004

INVESTASI

SK8

(Mak)

-0.024 -0.004 -0.002 -0.002 -0.002 0.000 -0.004

SK9

(Non mak)

-0.024 -0.003 -0.002 -0.002 -0.002 0.000 -0.004

SK10

(Prioritas)

-0.029 -0.008 -0.005 -0.001 -0.004 -0.001 -0.009

SK11 (SK10+G prm-prior)

-0.030 -0.009 -0.007 -0.002 -0.006 -0.002 -0.011

SK12

(SK10+X prior)

-0.039 -0.017 -0.011 -0.004 -0.08 -0.006 -0.015

INSENTIF PAJAK

SK13

(Mak)

-0.023 -0.002 -0.001 0.000 -0.001 0.000 -0.002

SK14

(Non mak)

-0.025 -0.004 -0.003 -0.001 -0.003 -0.001 -0.005

REDISTR PENDAP

SK15

-0.030 -0.009 -0.006 -0.003 -0.005 -0.001 0.001

1

Nilai poverty severity index menurut Skenario adalah nilai perubahan antara indeks simulasi Dasar dengan indeks masing –masing Skenario

2