HASIL DAN PEMBAHASAN VITRIFIKASI BLASTOSIS MENCIT DiCEMARI ESCHERICHIA COLI K99 DENGAN METODE KRIOLUP

inkubasi, sel-sel bakteri pada permukaan agar dibilas dengan NaCl fisiologis. Sel-sel itu dicuci tiga kali dengan NaCl fisiologis steril untuk menghilangkan sisa- sisa medium. Sel-sel dipisahkan dengan sentrifugasi 4000 rpm selama 20 menit. Endapan sel dari pencucian terakhir kemudian dibuat suspensi dengan kekeruhan setara dengan tabung standar Mc Farland nomor 10 Supar 1986. Sekelompok embrio tahap blastosis yang memiliki zona pelusida utuh ditempatkan pada 80µl medium mPBS 3 dan diberi bakteri E.coli K99 dengan konsentrasi bakteri 10 5 CFUml. Setelah itu biakan embrio diinkubasi dalam inkubator selama satu jam pada suhu 37 C. Embrio yang terpapar bakteri kemudian divitrifikasi menurut metode yang dikembangkan oleh Lane et al. 1999.

6.2.8. Rancangan percobaan

Penelitian dilaksanakan berdasarkan rancangan acak lengkap pola split in time. Perlakuan yang diberikan kepada embrio tahap blastosis ada tiga yakni, 1 embrio yang dicemari E.coli K99, 10 5 CFUml kemudian divitrifikasi, 2 embrio yang tidak dicemari E.coli K99 dan divitrifikasi, dan 3 embrio yang tidak dicemari dan tidak divitrifikasi kontrol. Setelah warming, pengamatan dilakukan setiap enam jam selama 48 jam. Setiap perlakuan terdiri dari 20 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu embrio. Parameter yang diamati adalah viabiltas dan tingkat perkembangan embrio. Tingkat perkembangan embrio dihitung dari jumlah embrio yang berkembang ke tahap lebih lanjut per jumlah yang dikultur. Perkembangan embrio yang diamati adalah mulai dari tingkat blastosis ada rongga blastosul dalam embrio, blastosis ekspan rongga blastosul dalam embrio sangat luas, hatching embrio sedang keluar dari zona pelusida, dan hatched embrio telah berada di luar zona pelusida Gilbert 1988; Hogan et al. 1994. Data tingkat perkembangan embrio dianalisis dengan sidik ragam menggunakan program SPSS versi 10:0.

6.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil pengamatan embrio perlakuan dan kontrol menunjukkan bahwa embrio tahap blastosis yang dicemari dengan bakteri E.coli K99, blastosis yang tidak dicemari, kemudian divitrifikasi dengan metode kriolup, dapat berkembang kembali pasca vitrifikasi dan warming Gambar 6.2. Pada kelompok blastosis yang dicemari, kemudian dilakukan vitrifikasi, persentase perkembangan embrio tersebut, enam jam setelah dikultur secara in vitro, relatif tidak berbeda dengan blastosis yang divitrifikasi, tetapi tidak dicemari bakteri E.coli K99. Persentase perkembangan embrio yang tidak dicemari dan tidak divitrifikasi, lebih baik dibandingkan dengan perlakuan blastosis yang divitrifikasi, baik yang dicemari maupun yang tidak dicemari E.coli K99 Gambar 6.2; Lampiran 6. Blastosis yang dicemari bakteri E.coli dan divitrifikasi serta blastosis yang divitrifikasi, setelah di warming dan diinkubasi selama 12 jam dalam medium KSOM, menunjukkan peningkatan perkembangan, namun keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Demikian pula pada pengamatan selanjutnya sampai dengan 48 jam inkubasi, tingkat perkembangan kedua kelompok blastosis tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata Gambar 6.3; Lampiran 7. 40 50 60 70 80 90 100 110 6 12 18 24 30 36 42 48 Waktu Inkubasi jam V iab il it as E.coli vitrifikasi non E.coli vitrifikasi non E.coli non vitrifikasi Gambar 6.2. Viabilitas embrio tahap blastosis setelah dicemari E. coli K99 dan divitrifikasi Perkembangan blastosis yang dicemari mau pun tidak, yang vitrifikasi nyata lebih rendah pada saat warming atau jam ke-0 dan jam ke-6, dibandingkan blastosis kontrol. Namun, pada jam ke-12 dan 18, perkembangan blastosis yang mendapat perlakuan pencemaran E.coli K99 dan vitrifikasi lebih rendah dibandingkan kontrol, akan tetapi secara statistika tidak berbeda nyata. Memasuki jam ke-24 pasca warming hingga jam ke 48 di dalam kultur, tingkat perkembangan embrio yang mendapat perlakuan vitrifikasi mau pun kontrol secara statistika tidak berbeda nyata Lampiran 6. Perkembangan blastosis 24 jam pasca warming, viabilitas embrio yang divitrifikasi adalah 89,29 untuk yang dicemari E.coli dan 8,71 untuk yang tidak dicemari E.coli, secara statistika viabilitasnya tidak berbeda nyata dengan viabilitas 94,11 embrio yang tidak dicemari dan tidak divitrivikasi Gambar 6.2; Lampiran 7. Tingkat embrio hatched yang paling banyak teramati pada blastosis yang divitrifikasi dan dicemari E.coli K99, yakni 35,7, sedangkan blastosis yang divitrifikasi tanpa dicemari E.coli adalah 19, dan blastosis kontrol 29,4 Gambar 6.3. Blastosis yang divitrifikasi tingkat kematiannya setelah 48 jam pasca warming, lebih tinggi dibandingkan dengan blastosis kontrol. Setelah 48 jam dalam kultur KSOM, viabilitasnya 60,71 untuk yang mendapat perlakuan pencemaran E.coli dan vitrifikasi, 57,14 untuk yang tidak dicemari E.coli tetapi divitrifikasi, dan 82,35 untuk embrio yang tidak dicemari dan tidak divitrifikasi. Sedangkan kematian embrio teramati 42,9 pada blastosis yang divitrifikasi tetapi tidak dicemari E.coli, dan 39,3 pada blastosis yang dicemari E.coli K99 dan divitrifikasi Gambar 6.4. 20 40 60 80 100 120 Blastosis Blas. Ekspan Hatching Hatched Tahap perkem bangan P er kem b an g an E.coli vitrifikasi non E.coli vitrifikasi non E.coli non vitrifikasi Gambar 6.3 Tahap perkembangan embrio tercemar E.coli K99 setelah divitrifikasi dan diikultur in vitro selama 24 jam. Blastosis mencit yang divitrifikasi menggunakan kriolup nilon viabilitasnya 100, namun setelah dikultur selama 24 jam yang terus berkembang sebanyak 90,5 Reed et al. 2002. Jika embrio hasil vitrifikasi itu ditransfer, yang berhasil implantasi tidak jauh berbeda dengan embrio segar yakni sekitar 80, namun yang berkembang menjadi fetus sekitar 65 Lane et al. 1999. Pada penelitian ini, viabilitasnya pun 100, namun yang berkembang setelah dikultur 24 jam sebanyak 85,7 Gambar 6.3. Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan dalam hal kriolup, medium kultur, dan kandungan krioprotektan dalam larutan vitrifikasi Dalam penelitian ini kriolup yang digunakan bukan kriolup nilon komersial, melainkan kriolup yang diupayakan sendiri dari filamen kawat tembaga. Dari hasil percobaan yang dilaksanakan menunjukkan bahwa blastosis mencit berhasil divitrifikasi dengan larutan vitrifikasi yang dimuat pada kriolup filamen kawat tembaga, kemudian dibekukan dengan cara dicelupkan langsung ke dalam larutan nitrogen cair, didapat hasil yang cukup memuaskan, walau pun tidak sebaik hasil yang diperoleh Reed et al. 2002. Peneliti tersebut melaporkan, 10 blastosis yang divitrifikasi tidak berkembang lebih lanjut setelah dikultur selama 24 jam, sedangkan dalam penelitian ini yang tidak berkembang lebih besar, yakni 15 Gambar 6.3. Begitu pula hasil yang diperoleh Lane et al. 1999, 95,5 blastosis pasca vitrifikasi berhasil hatching, sedangkan pada penelitian ini yang berhasil hatched adalah 19 untuk blastosis yang divitrifikasi, dan 35,7 untuk blastosis yang dicemari bakteri kemudian divitrifikasi Gambar 6.3. Hasil yang berbeda ini, kalau dipandang dari kriolup yang digunakan, terdapat perbedaan dalam hal volume yang mengisi kriolup tersebut. Pada penelitian ini volume yang mengisi kriolup sekitar 0.113 mm 3 sedangkan pada Lane et al.1999, pada peneliti-peneliti lainnya kriolupnya bervolume dibawah 1µl Menezo et al. 1992. Vitrifikasi embrio menggunakan kriolup memiliki kelebihan dibandingkan cara vitrifikasi yang biasa dilakukan dalam straw. Pada sistem terbuka seperti kriolup tidak diperlukan pelapis termoinsulasi dan volume larutan vitrifikasi yang dibutuhkan sangat sedikit, dengan demikian memungkinkan terjadinya pertukaran panas yang cepat dan merata Menezo et al. 1992. Pembekuan dengan laju sangat cepat yang dicapai kriolup akan mencegah kerusakan akibat pembekuan pada sel-sel yang peka pembekuan Martino et al. 1996. Dalam vitrifikasi kecepatan laju pembekuan, konsentrasi krioprotektan dan volume krioprotektan sangat penting. Laju pembekuan yang cepat akan memperkecil volume krioprotektan yang diperlukan sehingga dapat mengurangi efek toksik mau pun osmotiknya. Guna mempercepat laju pembekuan, maka volume larutan vitrifikasi yang dipakai ditekan sekecil mungkin, untuk itu diciptakan wadah- wadah pembawa embrio bervolume sekecil mungkin, seperti kriolup Mukaida et al. 2003. Dari pandangan tersebut di atas jelaslah kriolup yang digunakan dalam penelitian ini memuat volume krioprotektan lebih banyak, sehingga relatif lebih toksik dan laju pembekuannya pun menjadi lebih lamban. Hal ini membuat efektivitasnya lebih rendah dibandingkan kriolup berbahan nilon seperti yang dipakai peneliti-peneliti tersebut. Tetapi jika dapat diupayakan kriolup dengan volume sebanding dengan volume kriolup nilon, niscaya hasil yang didapat akan membaik. Hal ini bukanlah tidak mungkin karena evaluasi morfologi pasca- warming terhadap blastosis yang divitrifikasi menunjukkan hasil yang memuaskan. Blastosis pasca- warming, secara morfologi tampak memiliki susunan sel embrio yang rapi, antar sel bersinggungan secara kohesif, permukaan sel embrio cerah, dan blastosul terbentuk kembali. Sangat sedikit ditemukan adanya tanda-tanda degenerasi seluler yang dicirikan dengan suramnya sitoplasma sel, atau adanya reruntuhan di seputar masa embrio. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Blastosis Blas. Ekspan Hatching Hatched Tahap perkem bangan P er kem b an g an E.coli vitrifikasi non E.coli vitrifikasi non E.coli non vitrifikasi Gambar 6.4 Tahap perkembangan embrio tercemar E.coli K99 setelah divitrifikasi dan diikultur in vitro selama 48 jam. Dalam berbagai metode vitrifikasi ada beberapa cara bagaimana embrio yang ada dalam larutan vitrifikasi dimuat kedalam suatu wadah pembawa embrio, seperti open pulled straw, electron microscopic copper grid, hemistraw, dan cryoloop Hredzak et al. 2005. Sebelum metode vitrifikasi berkembang seperti sekarang, pada pertengahan tahun 1980-an, blastosis dibekukan dengan teknik slow-freezing, dan krioprotektan yang digunakan adalah gliserol. Namun, teknik tersebut kini dipandang kurang memuaskan karena blastosis yang berhasil hidup setelah thawing sekitar 50 Menezo et al. 1992. Di samping itu kriopreservasi cepat seperti vitrifikasi, lebih disukai karena selama proses pembekuan, tidak terbentuk kristal es yang dapat mematikan embrio Takahashi et al. 2005. Blastosis bersifat kurang permeabel terhadap air dan krioprotektan disamping itu respon blastosis terhadap larutan hipertonik lebih lamban dibandingkan dengan embrio tahap cleavage tahap yang lebih dini, kemungkinan hal inilah yang mendorong terbentuknya kristal es secara intraseluler selama blastosis mengalami kriopreservasi Mukaida et al. 2003. Vitrifikasi dengan metode kriolup membuat viabilitas blastosis mencit sedikit menurun setelah warming 85-90. Hal senada telah dilaporkan oleh Lane et al. 1999. Tetapi kemampuan hatching pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan yang dilaporkan peneliti tersebut. Medium yang digunakan Lane et al 1999, dan Mukaida et al. 2003, adalah HEPES yang dimodifikasi. Modifikasi pada medium Lane et al. 1999 adalah dengan mengganti senyawa natrium bikarbonat NaHCO 3 dengan HEPES. Medium buffer HEPES dapat digunakan untuk mencegah adanya gangguan pH intrasel embrio selama vitrifikasi kriolup, karena sedikit saja gangguan tingkat keasaman terjadi, blastosis tersebut akan kehilangan kemampuannya untuk berkembang Lane et al. 1998a; 1998b, karena kriopreservasi menyebabkan penurunan sistem transport pH pada embrio Lane et al. 1999. Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat diduga bahwa HEPES kelihatannya berperan lebih baik dalam mengendalikan pH dalam sel embrio selama vitrifikasi dibandingkan dengan medium buffer mPBS 20, seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dipakai dua larutan, pertama adalah medium ekuilibrasi, yang dipakai adalah EG10. Peneliti sebelumnya yang memakai larutan serupa diantaranya Lane et al. 1999, Mukaida et al. 2003, dan Madihah et al. 2006. Tetapi oleh Lane et al. 1999 EG 10 dikombinasikan dengan DMSO 10 dengan waktu pemaparan yang lebih singkat, yakni dua menit, sedangkan pada penelitian ini diperlukan waktu 8-10 menit untuk mengeluarkan sedikit air dari sel-sel embrio. Gambaran embrio sebelum dan setelah vitrifikasi dapat dilihat pada Gambar 6.5. Mukaida et al. 2003, memakai medium ekuilibrasi namun peneliti tersebut mengistilahkan dengan larutan vitrifikasi I, sangat mirip dengan Lane et al. 1999, tetapi kadarnya 7,5. Larutan vitrifikasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengeluarkan lebih banyak air dari dalam sel embrio, adalah krioprotektan EG 15 dan DMSO 15. Larutan ini mirip dengan yang dipakai oleh Lane et al. 1999, Mukaida et al. 2003, dan Madihah et al. 2006, hanya saja pada Mukaida et al. 2003, dan Lane et al. 1999 ditambahkan 10mgml Ficoll-70, begitu pula sukrosanya lebih pekat yakni 0,65 M. Mukaida et al. 2003 beranggapan bahwa kadar etilen glikol 15 dan dimetil sulfoksida 15 pada larutan vitrifikasi, atau peneliti tersebut mengistilahkan dengan larutan vitrifikasi II mengandung kadar krioprotektan relatif rendah dan tidak efektif dalam mencegah terbentuknya kristal es di dalam sel embrio. Efektivitas larutan vitrifikasi tersebut dapat ditingkatkan tanpa perlu meningkatkan toksisitasnya dengan cara memperlakkukan blastosis dengan larutan tersebut tidak pada suhu ruang, seperti yang dilakukan pada penelitian ini, melainkan pada suhu 35 C. Disamping itu, laju pembekuan yang sangat cepat dengan menggunakan kriolup sebagai wadah pembawa embrio, akan mengurangi waktu pemaparan embrio terhadap krioprotektan, dengan demikian sitotoksisitasnya pun terkurangi Lane et al. 1999. Salah satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih krioprotektan adalah sifat toksisitasnya yang sangat berkaitan dengan permeabilitasnya. Permeabilitas yang besar dapat menyebabkan toksisitasnya secara kimiawi lebih tinggi terhadap embrio Dattena et al. 2004. Krioprotektan membuat membran sitoplasma menjadi lebih lentur, dan bahan tersebut secara intrasel mengikat air dan berikatan bersama-sama guna mencegah dehidrasi berlebihan, mengurangi toksisitas garam, dan mencegah pembentukan kristal es berukuran besar. Krioprotektan yang merembes masuk akan mendorong terbentuknya struktur kristal es yang halus quasiamorphus dan bahan ini membentuk gel seperti kaca di bawah titik cair eutectic, dengan demikian mencegah kerusakan sel karena hiperosmotik dan mencegah lesi permukaan karena NaCl. A B D E F C Gambar 6.5. Morfologi embrio tahap blastosis mencit selama proses vitrifikasi dan warming. A Blastosis sebelum vitrifikasi; B Ekuilibrasi dalam EG 10, terlihat blastosis sedikit mengkerut; C Vitrifikasi dalam EG 15 + DMSO 15, terlihat embrio mengalami dehidrasi; D Warming dalam sukrosa 0,5M, 0,25M, 0,1M, terlihat embrio rehidrasi; E Blastosis hatching setelah vitrifikasi, warming, dan diinkubasi; F Blastosis hatching setelah vitrifikasi, warming, dan diinkubasi. Kriopreservasi mengakibatkan terjadinya pengerasan pada zona pelusida, walau pun begitu vitrifikasi dengan kriolup tidak mengakibatkan adanya perbedaan kemampuan hatching secara in-vitro pada embrio mencit setelah vitrifikasi. Pada penelitian ini setelah dikultur selama 24 jam dalam KSOM yang berhasil hatching hanya 35,7 untuk embrio yang dicemari bakteri kemudian divitrifikasi dan 29,4 untuk embrio yang hanya divitrifikasi. Sedangkan yang dilakukan oleh Lane et al. 1999 dilaporkan bahwa setelah 24 jam pengkulturan, blastosis yang hatching 95,5. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh adanya lebih banyak sel embrio embrio yang mati selama vitrifikasi dan sel embrio tersebut tidak mampu memulihkan kembali jumlah sel embrio seperti sebelum vitrifikasi dilaksanakan. Kejadian ini jelas teramati pada blastosis yang divitrifikasi dan diwarnai dengan pewarnaan vital. Dalam gambar tersebut teramati ada sel-sel embrio yang mati selama menjalani proses vitrifikasi dalam penelitian ini Gambar 6.6, yang ditandai dengan sel embrio berwarna merah berpendar. Vitrifikasi dan warming dapat menyebabkan kerusakan pada zona pelusida, oolemma, dan ooplasma. Kejadian tersebut mendorong terjadinya degenerasi. Zona pelusida yang retak dan oolemma yang lisis merupakan kerusakan morfologi yang paling sering pada oosit yang dibekukan kemudian di- warming. Namun, kerusakan tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan sukrosa ke dalam larutan vitrifikasi Lane et al. 1999; Mukaida et al. 2003; Djuwita et al. 2005. B A Gambar 6.6. Embrio setelah vitrifikasi, diwarnai dengan pewarna vital Hoechts-propidium iodine. Warna hijau menandakan sel-sel embrio hidup, merah sel-sel embrio mati. A Embrio yang tidak divitrifikasi; B Embrio divitrifikasi dengan sedikit kematian sel embrio Teknologi pembekuan embrio sebagai pengawet plasma nutfah spesies mamalia penerapannya telah mendunia, namun informasi tentang kemungkinan penularan agen penyakit ke embrio setelah kriopreservasi dalam nitrogen cair yang terkontaminasi masih sangat sedikit Bielanski et al. 2000. Seperti halnya pada metode vitrifikasi yang berkembang sekarang, dalam pelaksanaannya mensyaratkan adanya kontak langsung antara larutan vitrifikasi dengan nitrogen cair Lieberman et al. 2002. Adanya kontak tersebut menurut Hredzak et al. 2005, merupakan kekurangan metode vitrifikasi, karena nitrogen cair kemungkinan dapat bertindak sebagai sumber penularan agen menular. Bielanski et al. 2000, melaporkan bahwa bovine viral diarrhea virus BVDV dan bovine herpes virus-1 BHV dapat ditularkan dalam nitrogen cair ke embrio. Sebelumnya telah diketahui pula ada sejumlah bakteri dan virus yang mampu melekat ke zona pelusida dan tahan terhadap krioprotektan, begitu pula pembekuan dengan nitrogen cair, seperti virus hepatitis-B, herpes simplex virus- 1 , papovavirus, adenovirus tipe-2. Dalam penelitian ini embrio tahap blastosis dicemari dengan bakteri E.coli K99 kemudian divitrifikasi, ternyata tingkat perkembangannya tidak berbeda nyata dengan embrio yang divitrifikasi tanpa dicemari E.coli K99. Kemungkinan bakteri tersebut secara tidak sengaja terinaktivasi oleh krioprotektan DMSO 15 yang terdapat dalam larutan vitrifikasi, di samping adanya kematian sel embrio, yang tidak dapat di atasi oleh sel-sel embrio yang selamat Gambar 6.5B. DMSO dapat menembus dinding sel dan membran sitoplasma, dan bahan tersebut pada kadar yang rendah sebenarnya dapat dipakai untuk mengawetkan bakteri E.coli, tetapi DMSO 10 bersifat toksik terhadap E.coli Hubalek 2003. Bakteri E.coli K99 pada blastosis kemudian divitrifikasi mau pun blastosis tanpa cemaran yang divitrifikasi, ternyata viabilitas blastosis tersebut setelah warming tidak terpengaruh, begitu pula kemampuannya untuk reekspan dan hatched dalam KSOM. Blastosis yang divitrifikasi tersebut mampu hatched dan tingkat perkembangannya pun tidak berbeda nyata dengan blastosis yang tidak dibekukan.

6.4. SIMPULAN