mencit hasil vitrifikasi dengan metode kriolup yang berhasil implantasi 78 dan sekitar 55 berkembang menjadi fetus. Angka tersebut tidak berbeda jika yang
ditransfer embrio segar. Lane et al. 1998, 1999 seperti telah dikemukakan di
atas memakai medium yang lebih efisien untuk mengatasi perubahan pH intraseluler, sehingga perkembangan embrio tidak terganggu. Kriolup bervolume
sangat kecil, membuat laju pembekuannya menjadi sangat cepat dan kristal es yang mematikan tidak terbentuk.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa, blastosis vitrifikasi yang dapat kembali berkembang
reexpand sebanyak 85,7 dan dari blastosis tersebut yang berkembang ke tahap lebih lanjut secara
in vitro, persentasenya berbeda-beda pada pengamatan yang dilakukan setiap 6 jam. Blastosis
vitrifikasi yang mati pasca warming sekitar 14,3 hingga jam ke 24, dan
kematian menjadi tiga kali lipat pada saat jam ke 48 Lampiran 8. Blastosis mulai
hatching setelah 12 jam dikultur dan setelah 48 jam, sebanyak 19 blastosis tersebut
hatching. Secara in vivo, blastosis vitrifikasi tersebut berhasil berkembang menjadi fetus dan lahir tanpa menunjukkan tanda-tanda cacat.
7.4 SIMPULAN
Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Vitrifikasi dengan metode kriolup dapat dipakai untuk kriopreservasi embrio mencit tanpa membuat
embrio tersebut kehilangan viabilitasnya; Embrio mencit setelah vitrifikasi, viabilitasnya sedikit menurun; Transfer embrio mencit yang telah divitrifikasi ke
resipien, berhasil berkembang menjadi fetus dan lahir menjadi mencit normal.
7.5 SARAN
Perlu dilakukan penelitian untuk meningkatkan calving rate blastosis
setelah vitrifikasi, dan dicobakan pula pada hewan lainnya.
8. PEMBAHASAN UMUM
Studi ini membahas cemaran mikroba infeksius pada embrio mencit. Cemaran terhadap embrio oleh agen infeksius telah banyak dilaporkan.
Beberapa jenis virus dan bakteri mampu mencemari dan melekat pada permukaan ZP antara lain: virus
blue tongue, penyakit mulut dan kuku, bovine herpervirus-1, dan bovine viral diarrhoea Stringfellow Givens 2000, bakteri
Leptospira spp. Shisong Wrathall 1989; Bielanski Surujballi 1996, Escherichia coli K99, Streptococcus agalactie, Actinomyces pyogenes Otoi et al.
1992, mikoplasma Mycoplasma bovis, M bovigenitalium, parasit
Tritrichomonas foetus Bielanski et al. 2000; Bielanski et al. 2004. Pencemaran dengan agen patogenik ini dapat terjadi saat fertilisasi
in vitro dan transfer embrio. Di samping itu cakupan infeksi dapat meluas, karena embrio beku kini
telah menjadi komoditi perdagangan antar bangsa Otoi et al. 1992; Otoi et al.
1993. Cemaran terhadap embrio yang akan ditransfer kemungkinan berasal dari
semen tercemar yang digunakan untuk membuahi oosit, oosit yang dipanen transvagina, dan peralatan transfer embrio yang tercemar. Mikroba yang tercatat
sebagai pencemar pada embrio manusia adalah E.coli, bakteri dipteroid,
Mycoplasma hominis, dan Ureaplasma urealyticum Cottell et al. 1996. Pada ternak infeksi
bovine viral diarrhea virus BVDV merupakan penyebab utama gangguan reproduksi dan kerugian ekonomi. Dari sudut pandang epidemiologi,
ternak yang secara persisten terinfeksi BVDV memegang peran kunci sebagai penyebar penyakit. Strategi pengendalian yang dijalankan selama ini adalah
dengan mengidentifikasi dan menyingkirkan ternak yang terindentifikasi. Ternak penderita yang secara persisten terinfeksi BVD dapat menghasilkan anakan yang
menderita penyakit BVD persisten juga Bak et al. 1992. Namun, embrio ternak
berkualitas bagus penderita BVD persisten dapat lahir tanpa terinfeksi dengan jalan melakukan embrio transfer ke induk sehat, hanya saja pada ternak
penderita BVD persisten, sulit dilakukan superovulasi untuk mendapatkan embrio normal seperti yang diharapkan. Zona pelusida embrio tersebut tidak mampu
ditembus oleh BVDV Singh et al. 1982, dan BVDV dapat disingkirkan dari
permukaan zona pelusida dengan melakukan pembasuhan menggunakan metode standar Vanroose 1999. Embrio ternak tidak mampu berkembang pada