8. PEMBAHASAN UMUM
Studi ini membahas cemaran mikroba infeksius pada embrio mencit. Cemaran terhadap embrio oleh agen infeksius telah banyak dilaporkan.
Beberapa jenis virus dan bakteri mampu mencemari dan melekat pada permukaan ZP antara lain: virus
blue tongue, penyakit mulut dan kuku, bovine herpervirus-1, dan bovine viral diarrhoea Stringfellow Givens 2000, bakteri
Leptospira spp. Shisong Wrathall 1989; Bielanski Surujballi 1996, Escherichia coli K99, Streptococcus agalactie, Actinomyces pyogenes Otoi et al.
1992, mikoplasma Mycoplasma bovis, M bovigenitalium, parasit
Tritrichomonas foetus Bielanski et al. 2000; Bielanski et al. 2004. Pencemaran dengan agen patogenik ini dapat terjadi saat fertilisasi
in vitro dan transfer embrio. Di samping itu cakupan infeksi dapat meluas, karena embrio beku kini
telah menjadi komoditi perdagangan antar bangsa Otoi et al. 1992; Otoi et al.
1993. Cemaran terhadap embrio yang akan ditransfer kemungkinan berasal dari
semen tercemar yang digunakan untuk membuahi oosit, oosit yang dipanen transvagina, dan peralatan transfer embrio yang tercemar. Mikroba yang tercatat
sebagai pencemar pada embrio manusia adalah E.coli, bakteri dipteroid,
Mycoplasma hominis, dan Ureaplasma urealyticum Cottell et al. 1996. Pada ternak infeksi
bovine viral diarrhea virus BVDV merupakan penyebab utama gangguan reproduksi dan kerugian ekonomi. Dari sudut pandang epidemiologi,
ternak yang secara persisten terinfeksi BVDV memegang peran kunci sebagai penyebar penyakit. Strategi pengendalian yang dijalankan selama ini adalah
dengan mengidentifikasi dan menyingkirkan ternak yang terindentifikasi. Ternak penderita yang secara persisten terinfeksi BVD dapat menghasilkan anakan yang
menderita penyakit BVD persisten juga Bak et al. 1992. Namun, embrio ternak
berkualitas bagus penderita BVD persisten dapat lahir tanpa terinfeksi dengan jalan melakukan embrio transfer ke induk sehat, hanya saja pada ternak
penderita BVD persisten, sulit dilakukan superovulasi untuk mendapatkan embrio normal seperti yang diharapkan. Zona pelusida embrio tersebut tidak mampu
ditembus oleh BVDV Singh et al. 1982, dan BVDV dapat disingkirkan dari
permukaan zona pelusida dengan melakukan pembasuhan menggunakan metode standar Vanroose 1999. Embrio ternak tidak mampu berkembang pada
uterus yang sengaja diinfeksi dengan BVDV. Embrio tersebut mati setelah tiga hari terinfeksi. Namun beberapa sel somatik, seperti sel-sel oviduk, sel-sel
kumulus, dan sel-sel granulosa dapat berperan sebagai penawar efek racun detoxifying agen-agen penyakit terhadap perkembangan embrio Bavister
1995. Penetralan efek racun ini dapat terjadi jika jumlah agen yang mencemari embrio jumlahnya tidak begitu banyak.
Kematian embrio transfer pada ternak, terbanyak terjadi antara 30-90 hari kebuntingan.
Calving rate dari telaah 20 studi yang dilakukan antara 1989-1998, sekitar 30, sedangkan rataan
conception rate inseminasi buatan sekitar 64 Peterson Lee 2003. Di Indonesia
calving rate pada suatu balai embrio transfer, setelah mentransfer 416 embrio ternak, 67 ekor 16,1 bunting, yang
berhasil lahir 5 ekor atau calving ratenya 1,20 Balai Embrio Transfer 1997.
Namun, laporan tersebut tidak menyertakan faktor-faktor kendala yang mengakibatkan rendahnya
calving rate yang diperoleh. Kebuntingan atau konseptus yang tidak normal, tidak akan bertahan pada
trimester kebuntingan, hal ini terutama karena faktor fetus yang tidak normal, dan merupakan faktor utama penyebab kematian fetus. Kematian fetus di bawah dua
bulan, terutama karena adanya cacat dalam pembentukan alantois. Cacat pembentukan alantois dapat mencapai 25, perkembangan yang optimal
mencapai 10, dan alantois yang tidak berkembang mencapai 50. Perkembangan alantois yang cacat membuat
plasentome yang terbentuk menjadi sedikit, dan hal ini merupakan penyebab utama kematian embrio
Peterson Lee 2003. Pada awalnya penelitian manipulasi embrio mencit ini didisain untuk
pendekatan masalah-masalah yang berhubungan dengan agen infeksius, khususnya bakteri
E.coli K99. Bakteri ini sering ditemukan pada ternak sapi neonatal penderita diare. Bakteri ini memiliki antigen perlekatan K99 pili K99,
berfungsi sebagai antigen perlekatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel mamalia, seperti pada zona pelusida embrio.
Pada penelitian peranan zona pelusida sebagai barier terhadap cemaran Escherichia coli K99, bakteri E.coli K99 teramati tidak menembus zona pelusida
pada embrio mencit yang diproduksi secara in vivo pada tahap perkembangan
yang berbeda. Untuk mendapatkan penjelasan sementara terhadap fungsi zona pelusida sebagai barier pertahanan terhadap
E.coli K99 maka diakukan studi ELISA dan SEM. Pada pemeriksaan ELISA, unsur yang dipakai melapisi
sumuran well plate pada lempeng ELISA adalah zona pelusida. Selanjutnya
direaksikan dengan E.coli K99 dan bakteri atau unsur-unsur bakteri E.coli asal
hewan lainnya. Pada pembacaan hasil uji ELISA teramati bahwa pada sumuran tempat zona pelusida dan
E.coli K99 direaksikan, terbaca kepadatan optik yang tinggi jika dibandingkan dengan bakteri
E.coli lainnya. Hal ini menandakan bahwa terjadi perlekatan antara
E.coli K99 dengan zona pelusida mencit. Hasil ini memperkuat penelitian yang dilakukan Otoi
et al. 1992;1993 yang mereaksikan
E.coli K99 dengan zona pelusida sapi. Penelti tersebut menduga adanya ikatan yang spesifik, karena bakteri yang melekat tidak semuanya tercuci
dengan perlakuan tripsin. Bakteri
E.coli K99 mampu melekat karena memiliki struktur perlekatan yang dikenal sebagai pili. Pili tersebut akan melekatkan dirinya ke suatu gugus
gula tertentu. Reseptor bakteri E.coli K99 adalah asam muramat muramic acid,
galaktosa, dan glukosa Dean Isaacson 1985. Zona pelusida terdiri dari tiga unsur glikoprotein yakni ZP1, ZP2, dan
ZP3. Rantai polipeptida dan oligosakarida dari glikoprotein tersebut berbeda satu dengan yang lain Wassarman 1999. Gugus gula yang umum ditemukan
pada zona pelusida adalah: D-manosa, D-glukosa, galaktosa, N-asetil glukosamin Skutelsky
et al. 1994. Pada mencit gugus gula yang umum ditemukan adalah galaktosil, L-fukosa, D-manosa, dan metil manosida
Wassarman 1988. Adanya gugus gugus gula monosakharida tersebut membuat pili mempunyai tempat melekat pada zona pelusida.
Pada pemeriksaan SEM, teramati permukaan zona pelusida embrio dilekati oleh
E.coli K99. Struktur permukaan zona pelusida secara mendasar ada dua pola yang berbeda: 1 zona pelusida berbentuk suatu jalinan seperti
spon yang memiliki banyak pori, dan 2 zona pelusida memiliki struktur yang lebih kompak dengan sedikit pori Familiari
et al. 1989; Vanroose 1999. Pada penelitian ini teramati bakteri
E.coli K99 terikat ke zona pelusida yang memiliki struktur kompak dan sedikit berpori. Bentuk seperti ini merupakan bentuk khas
zona pelusida yang telah terbuahi spermatozoa Suzuki et al. 1994. Perubahan pola permukaan zona pelusida yang dicirikan dengan struktur benda padat yang
seakan meleleh dan disertai dengan sedikit pori tersebut, dikenal sebagai ‘ zona
pellucida hardening’, struktur tersebut berperan mencegah terjadinya polispermia Legge 1995.
E.coli K99 mampu melekat pada zona pelusida, tetapi E.coli yang berukuran 2,9 µm x 0,64
μm Boyer 2002 tidak mampu menembus zona
pelusida untuk mencapai sel-sel embrio menembus ribuan pori-pori pada permukaan zona pelusida. Pori-pori tersebut pada zona pelusida embrio sapi
tahap morula, seperti yang dilaporkan Vanroose 1999 berdiameter 155 nm. Pori-pori pada zona pelusida berbentuk seperti corong, lebar di luar dan
menyempit ke dalam, sehingga agen penyakit kemungkinan hanya mampu melekat pada bagian luar pori saja dan tidak mampu menembus zona pelusida.
Virus bovine viral diarrhoea sebagai misal yang berukuran 40-50 nm
hanya mampu menembus setengah tebal zona pelusida, sedangkan bovine
herpesvirus-1 yang berukuran 180-200 nm menembus seperempat ketebalan zona pelusida. Hal ini berkaitan dengan struktur pori-pori yang menyempit ke
bagian dalam seperti tersebut di atas Vanroose 1999. Adanya cemaran agen penyakit terutama bakteri seperti
E.coli mesti selalu diwaspadai. Penambahan antibiotik, seperti penisilin dan streptomisin
kedalam medium efektif untuk menyingkirkan mikroba pencemar Cottell et al.
1996. Namun pemberian antibiotik, ke dalam medium kultur kemungkinan dapat menimbulkan cacat pada embrio vertebrata Holdines 1987. Pemberian
antibiotik pentostatin terhadap embrio mencit dapat mengakibatkan perkembangan alantois cacat yang ditandai dengan agenesis atau hipogenesis
dan tidak normalnya vaskularisasi ke keseluruhan struktur embrio. Alantois yang sedang berkembang merupakan target toksisitas antibiotik Airhart
et al. 1996. Pada embrio transfer, hingga kini belum pernah dilakukan penelitian secara
sistemik mengenai tipe, jumlah antibiotik yang dapat diandalkan untuk digunakan dalam medium, tanpa mengganggu proses embrio transfer tersebut Peterson
Lee 2003. Walau pun dapat dinyatakan bahwa zona pelusida utuh berperan sebagai
barier infeksi penyakit bakterial Bab 4, masih tetap diperlukan tindakan sanitasi dan perlakuan-perlakuan yang efektif untuk memastikan permukaan zona
pelusida bebas dari bakteri, atau setidaknya agen bakteri yang melekat dapat diinaktivasi dalam upaya melindungi embrio dari infeksi bakteri. Ada dua alasan
kenapa tindakan tersebut perlu dilakukan: 1 embrio telah terlindungi dengan baik oleh zona pelusida, tetapi embrio dapat terinfeksi pada saat
hatching keluar dari zona pelusida dalam medium yang tercemar bakteri
E.coli K99. Dengan kata lain embrio yang berkualitas layak transfer morfologi utuh, dengan bakteri
melekat pada permukaannya, mungkin saja ditransfer ke induk resipien yang sehat. Bakteri
E.coli dapat menginfeksi endometrium dan selanjutnya
mengakibatkan endometritis Zerbe et al. 2002 dan akhirnya membuat kematian
pada embrio, dan 2 agen penyakit melekat pada permukaan zona pelusida, akan mendorong terjadinya kompetisi perebutan zat-zat nutrisi. Bakteri
E.coli K99 yang tumbuh cepat akan membuat kebutuhan zat nutrisi untuk embrio tak
tercukupi selama embrio tersebut berada dalam biakan. Tindakan sanitasi terhadap embrio telah diulas oleh Bielanski dan Jordan
1996. Tindakan rutin untuk mendesinfeksi embrio adalah membasuhi dengan larutan bufer dan perlakuan dengan tripsin. Namun, pembasuhan dan
perlakukan tripsin tidak efektif untuk menghilangkan agen yang melekat pada zona pelusida. Menurut Guerin
et al. 1997, sebenarnya resiko terinfeksi agen penyakit lebih besar terjadi pada embrio yang diproduksi secara
in vitro dibandingkan
in vivo, karena struktur zona pelusida embrio produksi in vitro tidak sebaik
in vivo. Struktur zona pelusida dari embrio in vivo memperoleh tambahan unsur-unsur yang diperoleh sepanjang perjalanan dalam oviduk.
Pada penelitian pemaparan E.coli K99 ke embrio yang memiliki zona
pelusida utuh, selama kultur secara in vitro dilakukan, menimbulkan akibat buruk
terhadap perkembangannya. E.coli K99 yang berada dan berkembang pada
sistem kultur in vitro, teramati laju perkembangan embrio delapan sel ke tahap
selanjutnya tidak sebaik embrio yang berkembang dalam medium yang tidak dicemari.
Adanya agen bakteri secara berkesinambungan dalam medium kultur embrio, secara normal tidak akan terjadi pada laboratorium-laboratorium yang
mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan the International Embryo Transfer
Society. Tetapi, hendaknya selalu diwaspadai bahwa agen penyakit mungkin menyusup melalui salah satu langkah pemrosesan embrio, seperti: maturasi
in vitro, fertilisasi in vitro, dan kultur in vitro, khususnya jika asal oosit, embrio, dan
bahan-bahan lainnya tidak jelas. Di samping itu pemanfaatan serum dan bahan- bahan biologi lainnya, kini merupakan faktor penting dalam proses produksi
embrio, sehingga secara tidak langsung membuka peluang masuknya agen ke sistem produksi embrio Wrathall 1995. Seperti pada pemakaian
bovine serum albumin BSA, ketika penyakit sapi gila merebak di Inggris dan Eropa,
pemerintah Selandia Baru melarang impor segala kebutuhan BSA untuk kepentingan embrio transfer Peterson Lee 2003.
Cemaran E.coli terhadap spermatozoa pada in vitro fertilisasi dilaporkan
mengakibatkan motilitas spermatozoa sangat menurun, bahkan mengakibatkan
terjadinya aglutinasi, sebagai akibat E.coli melekatkan ekor spermatozoa satu
dengan yang lainnya. Keadaan tersebut membuat spermatozoa tidak mampu melakukan fertilisasi terhadap oosit Wolff
et al. 1993 Pada penelitian yang dilakukan, pencemaran medium kultur KSOM
secara in vitro dengan bakteri E.coli K99 mengakibatkan pengaruh buruk
terhadap perkembangan embrio. Embrio tahap morula yang ditumbuhkan pada medium tercemar, persentase embrio yang mampu berkembang ternytata lebih
rendah dibandingkan dengan morula yang dikembangkan pada medium yang tidak tercemar. Jika dikaitkan dengan cemaran medium oleh virus, ternyata
pencemaran medium maturasi in vitro dengan BHV-1 bovine herpesvirus type-1
dan BVDV bovine viral diarrhea virus yang dilaporkan oleh Vanroose 1999
mengakibatkan pengaruh buruk pula terhadap perkembangan embrio. Begitu pula tingkat pembelahan oosit-berkumulus yang dicemari dengan BVDV Booth
et al. 1999. Hal senada dilaporkan oleh Guerin et al. 1990 bahwa fertilisasi oosit yang tercemar BHV-1 menjadi sangat rendah. Oosit asal hewan penderita
infeksi BHV-1 akut, yang dikultur secara in vitro, tingkat perkembangannya tidak
sebaik oosit yang berasal dari hewan sehat Bielanski Dubuc 1995. Mekanisme bakteri
E.coli K99 dapat mempengaruhi perkembangan embrio, belum sepenuhnya dipahami. Dalam penelitian ini, bakteri
E.coli K99 berkembang dengan baik dalam medium kultur KSOM. Padatnya jumlah bakteri
pada suatu medium biakan, akan mendorong terjadinya kompetisi antara embrio dengan bakteri untuk mendapatkan zat-zat nutrisi yang dikandung dalam KSOM.
Semakin padat jumlah bakteri berarti nutrisi untuk pertumbuhan embrio yang tersedia dalam medium kultur akan semakin terbatas, di samping dihasilkannya
produk-produk metabolik seperti hidrogen peroksida dan amonium. Keadaan toksik tersebut mengakibatkan laju perkembangan embrio lambat atau terhenti
Bielanski et al. 2000.
Adanya kemungkinan terjadinya cemaran oleh E.coli K99 pada embrio
sapi telah dilaporkan oleh Otoi et al. 1992 dan telah diteliti kembali pada
penelitian ini. Cemaran pada embrio telah dilaporkan adanya dan disebabkan oleh beberapa agen infeksius. Untuk itu lembaga internasional masyarakat
embrio transfer IETS, mengeluarkan rekomendasi agar embrio dicuci dan diberi perlakuan tripsin sebelum ditransfer ke ternak resipien. Tetapi rekomendasi ini
setelah dijalankan ternyata belum mampu untuk menyingkirkan agen infeksius Otoi
et al. 1993; Bielanski Jordan 1996; Trachte et al. 1998. Pada penelitian
ini selain dicuci atau diberi perlakuan tripsin, zona pelusida embrio yang dicemari E.coli K99 juga diberi perlakuan pronase, suatu enzim yang kerap dipakai untuk
melisiskan zona pelusida. Hasil yang didapat, zona pelusida embrio tercemari E.coli K99 dan dicuci dengan pronase berkembang lebih baik dibandingkan
dengan yang dicuci dengan tripsin, begitu pula embrio tercemar yang diberi perlakuan tripsin berkembang lebih baik dibandingkan dengan yang dicuci
dengan mPBS. Zona pelusida seperti telah dikemukakan sebelumnya terdiri dari ZP1,
ZP2, dan ZP3 Wassarman 1988. Enzim pronase dilaporkan lebih efektif dalam mengeliminasi mikroba pada zona pelusida dibandingkan dengan tripsin.
Pronase mencerna zona pelusida dengan cara menghidrolisis ZP1 dan ZP2 Kolbe Holtz 2005. Proses pencernaan oleh enzim pronase yang lebih efektif
membuat E.coli K99 yang melekat ke zona pelusida lebih banyak pula yang
disingkirkan dengan pronase. Dengan kemampuan pronase menyingkirkan
E.coli K99 lebih efektif dibandingkan tripsin yang telah lama disarankan oleh IETS, enzim pronase dapat
dipilih sebagai alternatif untuk menyingkirkan agen infeksius dari embrio yang kemungkinan tercemar.
Bakteri dan virus patogen dapat bertahan hidup jika berada dalam nitrogen cair -196
C Rall 2003. Agen infeksius seperti E.coli dan
Staphylococcus aureus dapat menulari spermatozoa yang dikriopreservasi, untuk keperluan inseminasi buatan Bielanski
et al. 2003. Pada penelitian ini, embrio yang dicemari
E.coli K99 divitrifikasi dengan metode kriolup Bab 6. Setelah di
warming dan dikultur in vitro dalam KSOM, perkembangan embrio vitrifikasi yang sebelumnya dicemari
E.coli K99, tidak berbeda dengan embrio yang tidak dicemari p0.05. Hal ini menunjukkan bahwa embrio tercemar tidak
menimbulkan akibat negatif setelah divitrifikasi. Dalam hal ini, bakteri E.coli K99
pasca vitrifikasi tidak berkembang dan tidak teramati perkembangannya dalam medium kultur. Kegagalan
E.coli K99 berkembang nampaknya karena pengaruh salah satu bahan krioprotektan yang dipakai dalam penelitian ini, yakni
dimetilsulfoksida DMSO 15. Menurut Hubalek 2003, DMSO dapat menembus dinding sel dan membran sitoplasma, dan pada kadar yang rendah
DMSO dapat dipakai untuk mengawetkan E.coli, tetapi DMSO 10 bersifat
toksik terhadap E.coli. Adanya bahan krioprotektan tesebut mengakibatkan
kemungkinan embrio tercemar E.coli K99 membawa agen patogen dan
menularkannya melalui embrio transfer ke induk resipien lainnya tidak mungkin terjadi, karena agen tersebut telah diinaktivasi oleh krioprotektan tersebut.
Di samping diuji secara in vitro, embrio yang divitrifikasi tersebut juga diuji
secara in vivo, dengan cara mentransfer embrio tersebut ke induk-induk resipien
yang dibuat bunting semu. Blastosis vitrifikasi yang ditransfer adalah yang tidak dicemari
E.coli K99. Blastosis vitrifikasi yang dicemari, bakteri E.coli K99-nya mengalami inaktivasi selama proses vitrifikasi. Sebagian kecil embrio berhasil
lahir tanpa cacat dan sehat. Persentase kelahiran yang tidak terlalu tinggi tersebut kemungkinan disebabkan oleh sejumlah faktor penghambat. Salah satu
faktor penyebabnya adalah kemungkinan sel-sel embrio tersebut sebagian besar mati dan tidak mampu memulihkan dirinya seperti yang dilaporkan oleh
Oberstein et al. 2001. Dalam laporannya ditemukan hampir 52 sel-sel yang
terdapat dalam embrio mati dan 30 zona pelusida embrio yang divitrifikasi mengalami keretakan. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena keracunan
akibat kontak yang relatif lama dengan kriprotektan dan laju kecepatan pendinginan yang masih di bawah kecepatan optimum agar proses vitrifikasi
dapat berlangsung. Untuk menyempurnakan hasil vitrifikasi, salah satu langkah yang perlu diperhatikan adalah memperkecil volume larutan krioprotektan yang
ditempatkan pada kriolup. Volume larutan krioprotektan yang semakin kecil akan mempercepat laju pendinginan dan mempersingkat waktu kontak embrio dengan
krioprotektan Lane et al. 1999; Takahashi et al. 2005
Sari-sari penelitian
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya kemungkinan penularan bakteri
E.coli K99 melalui embrio. Dari pengamatan yang dilakukan, penelitian ini mendukung peneliti-peneliti yang mengemukakan kemungkinan
potensi penularan bakteri melalui embrio yang tercemar. Resiko penularan tersebut karena bakteri
E.coli K99 dengan uji ELISA yang telah dilakukan secara spesifik melekat ke zona pelusida.
Penelitian ini juga menemukan bukti melalui pemeriksaan SEM, bahwa E.coli K99 secara visual tampak melekat ke permukaan zona pelusida. E.coli
K99 yang melekat tersebut mampu berkembang dengan baik dalam medium biakan untuk embrio, yakni KSOM tanpa antibiotik, dan perkembangan bakteri
yang pesat menekan perkembangan embrio.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa zona pelusida utuh pada embrio yang diproduksi secara
in vivo, merupakan penahan barrier yang efisien untuk melindungi sel-sel embrio yang peka terhadap infeksi bakteri
E.coli K99. Hal tersebut dibuktikan dengan percobaan menginfeksi embrio tanpa zona
pelusida. Kewaspadaan harus menjadi suatu pertimbangan dalam pemanfaatan teknologi reproduksi seperti kloning embrio, transfer inti, pelubangan zona
pelusida zona drilling, perobekan zona, pembelahan spliting embrio,
intracytoplasmic sperm injection, semuanya melalui suatu langkah membuat lubang buatan pada zona pelusida, dengan demikian bakteri atau agen lainnya
memiliki jalur untuk mencapai sel-sel embrio yang peka. Sepanjang tindakan- tindakan di atas memungkinkan terjadinya infeksi, maka perdagangan embrio
yang mendapat perlakuan tersebut, memerlukan perlakuan khusus untuk mencegah pencemaran agen-agen infeksius. Namun, tindakan yang sangat hati-
hati, terbukti berhasil membuat berkembangnya hewan hasil chimera sapi
Boedino et al. 1993 dan intracytoplasmic sperm injection ICSI pada manusia
Kuramoto et al. 1997.
Dalam rangka mencegah perlekatan bakteri E.coli K99 ke permukaan
zona pelusida, dilakukan pencucian dan perlakuan dengan enzim tripsin dan pronase. Enzim pronase ternyata lebih efisien menyingkirkan bakteri yang
melekat ke permukaan zona pelusida dibandingkan ke dua pencuci tersebut. Dengan vitrifikasi menggunakan metode kriolup, embrio yang tercemar
E.coli K99 mampu berkembang seperti embrio yang tidak dicemari. Perlakuan vitrifikasi secara tidak langsung dapat menginaktivasi bakteri
E.coli K99, karena larutan krioprotektan yang dipakai. Embrio yang divitrifikasi dapat berkembang
secara in vivo dan lahir sehat tanpa cacat. Hal ini menunjukkan bahwa vitrifikasi
kriolup cukup efektif dan dapat dipakai untuk mencegah penularan agen penyakit ke hewan lainnya.
9. SIMPULAN