Peluang teknik transfer embrio dalam penyebaran penyakit infeksius

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 1.1.1 Pengembangan dan aplikasi teknologi transfer embrio Sebelum tahun 1970, pertukaran materi genetik ternak hanya terbatas antar ternak hidup dan semen beku. Kemudian pada pertengahan tahun 1970- an, pengembangan dan aplikasi teknologi transfer embrio sapi dengan metode tanpa bedah non-surgical dipandang sangat sesuai untuk menyebarkan genetik sapi ke seluruh dunia Drost et al. 1976. Satu dekade kemudian dengan kemajuan bioteknologi dapat dihasilkan anak sapi pertama yang dilahirkan dari oosit yang dimatangkan dan difertilisasi secara in vitro Haneda et al. 1986. Kini transfer embrio sapi baik yang dihasilkan secara in vivo maupun yang diproduksi secara in vitro, menjadi bisnis yang menarik pada industri peternakan di berbagai tempat di dunia Wrathall 1995. Keberhasilan aplikasi transfer embrio di Indonesia sangat rendah yakni sekitar 16,1 berhasil bunting dan yang berhasil dilahirkan 1,2 Balai Embrio Transfer 1997, sedangkan secara umum tingkat kelahiran transfer embrio adalah 30 Peterson Lee 2003. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan transfer embrio, salah satunya adalah cemaran agen infeksius yang mengakibatkan embrio tidak mampu berkembang ke tahap selanjutnya Bak et al. 1992. Dengan vitrifikasi, suatu teknik kriopreservasi embrio yang pelaksanaannya relatif lebih mudah, cepat, dan ekonomis Rall Fahy 1985, vitrifikasi embrio sapi telah berhasil dilakukan dengan hasil terbaik pada embrio umur tujuh hari Saha et al. 1996.

1.1.2 Peluang teknik transfer embrio dalam penyebaran penyakit infeksius

Embrio transfer sangat berperan dalam menyebarkan genetik ternak, akan tetapi juga berpeluang menyebarkan penyakit. Riset dalam bidang penularan penyakit melalui transfer embrio, yang diproduksi secara in vivo, dimulai pada akhir tahun 1970-an. Penyebaran ini pada mulanya teramati pada hewan laboratorium. Pada mencit dan kelinci telah dilaporkan adanya penularan retrovirus, yang menjadi bagian genom gamet. Pada zigot dan embrio baboon telah berhasil dilacak adanya partikel-partikel virus. Adanya infeksi pada oosit dan spermatozoa sangat berpeluang menjadi sumber penularan secara vertikal. Walaupun begitu, penyakit leukemia sapi yang disebabkan oleh retrovirus ternyata tidak menular secara vertikal, karena diketahui materi virus ini sama sekali tidak tersisipkan insert ke dalam genom gamet Stringfellow et al. 1991. Agen virus seperti bovine viral diarrhea dan bovine herpes virus tipe-1, tidak menembus embrio tapi hanya melekat pada permukaan luar embrio Vanroose 1999. Cemaran agen penyebab penyakit pada sel sperma, oosit, dan embrio merupakan jalur penularan horisontal yang penting pada ternak. Pencemaran terhadap embrio berasal dari lingkungan embrio uterus, oviduk, medium kultur dan dari tindakan manipulasi sebelum dan pada saat transfer ke resipien. Medium flushing kemungkinan dapat dicemari oleh patogen-patogen usus dan vagina pada saat dilakukan pemanenan embrio Guerin et al. 1997. Embrio yang diproduksi secara in vivo, tidak menularkan penyakit viral, jika mengikuti langkah-langkah baku yang disarankan dan dipersyaratkan oleh The International Embryo Transfer Society IETS. Langkah-langkah itu seperti mencuci dengan PBS, memberi perlakuan tripsin, dan melakukan kontrol terhadap produk-produk biologik serum dan albumin yang digunakan dalam embrio transfer, dan evaluasi terhadap embrio. Pemrosesan embrio yang umum dilakukan, bertujuan untuk mencegah pencemaran embrio oleh agen-agen penyakit. Namun, tindakan yang disarankan IETS ternyata tidak efektif guna menyingkirkan agen penyakit seperti virus blue tongue, virus penyakit mulut dan kuku, bovine herpes virus-1 dan bovine viral diarrhea Vanroose 1999; Stringfellow Givens 2000; Kafi et al. 2002, begitu pula terhadap bakteri Leptospira borgpetersenii Bielanski Surujballi 1996, dan Escherichia coli K99 Otoi et al. 1993 yang sengaja dipaparkan ke embrio-embrio tersebut. Di samping itu cemaran juga disebabkan oleh Mycoplasma bovigenitalium Bielanski et al. 2000, dan parasit Trichomonas foetus Bielanski et al. 2004.

1.1.3. Fungsi dan peranan zona pelusida