fimbriae ETEC Cox Houvenaghel 1993. dikenal pada ternak neonatal yaitu K88F4, K99F5, P987F6, dan F41. Isolat-isolat ETEC umumnya dapat
menghasilkan sejumlah adhesin fimbriae, namun kombinasi adhesin yang kerap
dihasilkan adalah F5F6; F5F41; F4F6. Fimbriae F5 dan F41 hanya terekspresikan dengan baik jika dikultur pada media yang rendah kandungan
glukosa atau alanin, seperti medium minca Guinee et al. 1977.
E.coli K99 terutama melekat pada vili usus pada setengah bagian belakang usus halus, sedangkan K99F41 melekat pada jejunum dan ileum Cox
Houvenaghel 1993. Bakteri ETEC K99 menghasilkan enterotoksin yang tahan panas. Protein nonimunogen yang memiliki berat molekul 2000 dalton tersebut
berikatan dengan guanyl cyclase yang merupakan reseptornya pada usus.
Pengaktifan guanilat siklase tersebut akan merangsang dihasilkannya GMP- siklik. Kadar GMP-siklik yang tinggi akan menghambat sistem kotranspor
natrium chloride sehingga mengurangi penyerapan elektrolit dan air dari usus Fairbrother 1999.
Bakteri E.coli, begitu juga Brucella ovis, Mycobacterium paratuberculosis,
Mycoplasma sp, Streptococci sp. dilaporkan dapat mencemari permukaan zona pelusida embrio dan perlekatan sangat kuat sehingga sulit untuk disingkirkan
Wrathall 1995. Di samping bakteri tersebut, Bielanski et al. 2003 melaporkan
sejumlah bakteri lainnya yang ditemukan mencemari embrio dan semen yang disimpan dalam waktu lama.
Khusus terhadap E.coli K99, Otoi et al. 1993 telah meneliti pencemaran
bakteri tersebut terhadap embrio sapi. Antara E.coli K99 dengan permukaan
zona pelusida diduga ada perikatan yang sifatnya spesifik, karena perlekatan tersebut tidak terlepas walaupun telah dicuci dengan tripsin. Pengendalian
terhadap cemaran pada embrio tidak begitu banyak dipahami dan betapa rumitnya kalau kita telusuri agen-agen infeksius yang dapat menyebabkan
kematian pada embrio. Upaya pengendalian cemaran salah satunya dapat dilakukan dengan penambahan antibiotik pada medium kultur, akan tetapi cara
tersebut tidak selalu efektif.
2.3 Zona pelusida pelindung sel-sel embrio
Zona pelusida merupakan glikoprotein selubung ekstraseluler yang berlapis-lapis menyelubungi oosit dan embrio praimplantasi. Matriks zona
pelusida tersebut terdiri dari tiga glikoprotein yakni ZP1, ZP2, dan ZP3. Qi et al.
2002. Pada pengamatan secara scanning electron microscopy, permukaan
dalam dan permukaan luar zona pelusida mencit memperlihatkan pola yang berbeda. Permukaan luarnya dicirikan dengan adanya banyak bekas
perlubangan atau fenestrasi fenestration, sehingga tampilannya tampak seperti
spon atau seperti batu apung, sedangkan permukaan dalamnya relatif lebih lembut dan kompak Phillips Shalgi 2001. Dipandang dari permukaan luarnya,
ada dua bentuk permukaan zona pelusida, yakni: 1 berbentuk seperti anyaman kawat
mesh like dan 2 berbentuk kompak terutama ditemukan pada oosit muda atau yang atretik Familiari
et al.1989. Greeve Wassarman 1985 dan Vanroose 1999 mengemukakan bahwa pada zona pelusida yang memiliki
jalinan permukaan luar yang kasar dan longgar menyerupai spon tersebut, ditemukan adanya pori dengan garis tengah lebih besar, sedangkan pada
struktur permukaan dalam yang tidak kasar dan kompak garis tengah porinya lebih kecil. Banyaknya pori yang ditemukan pada zona pelusida embrio sapi,
berbeda-beda pada berbagai tingkat perkembangan. Pada oosit ditemukan sekitar 1151 pori-pori, sedangkan pada sigot, embrio 8 sel, dan morula, secara
berturut-turut ditemukan 1187, 1658, dan 3259 pori-pori. Begitu pula halnya dengan garis tengah pori-pori pada oosit, sigot, embrio 8 sel, dan morula secara
berturut-turut adalah 182nm, 223nm, 203nm, dan 155nm Vanroose 1999. Permukaan zona pelusida yang kasar pada oosit matang mungkin
disebabkan adanya sisa perlekatan sel-sel kumulus dan korona radiata Suzuki et al. 1994. Penjuluran-penjuluran sitoplasma sel-sel korona radiata menembus
zona pelusida dan berujung pada gap junction pada membran vitelin oosit
Alworth Albertini 1993. Setelah oosit matang, sebagian besar penonjolan sitoplasma sel korona radiata akan ditarik atau putus, dan matriks zona pelusida
akan menutup kanal-kanal yang ditinggalkan sitoplasma tersebut. Pori-pori yang terlacak keberadaannya pada seluruh permukaan zona pelusida oosit,
kemungkinan merupakan tempat masuknya penjuluran-penjuluran sel tersebut. Berdasarkan pengamatan tiga dimensi yang dikemukakan oleh Familiari
et al. 2006, zona pelusida yang mirip anyaman kawat tersebut sangat memungkinkan
untuk ditauti dan dilekati spermatozoa. Tekstur anyaman zona pelusida yang longgar, lebih memperjelas fungsinya sebagai pengikat spermatozoa, dan
mempermudah enzim akrosom spermatozoa mencerna zona pelusida. Sebaliknya tekstur zona pelusida yang rapat akan mempersulit perikatan
spermatozoa, begitu pula pencernaannya oleh enzim akrosom.
Glikoprotein zona pelusida pada mencit, monyet, dan manusia disintesis, disekresikan, dan dirakit oleh oosit selama proses oogenesis yang berlangsung
sekitar 2-3 minggu dan bukan diproduksi oleh sel-sel granulosa Eberspaecher et
al. 2001; Qi et al. 2002. Selubung ekstraseluler tersebut terdiri dari filamen- filamen dimer panjang terdiri dari ZP2 dan ZP3, dan dipertautkan oleh ZP1.
Matriks zona pelusida tersusun dari sambungan-sambungan filamen dengan panjang sekitar 2-3
μm. Filamen-filamen tersebut memperlihatkan struktur yang berulang setiap 15 nanometer, menandai letak dimer ZP2 dan ZP3 sepanjang
filamen. ZP1 adalah struktur yang menghubungkan filamen ZP2 dan ZP3 yang letaknya saling bersebrangan. Ketiga glikoprotein tersebut terikat bersama
menjadi zona pelusida oleh ikatan non-kovalen Greeve Wassarman 1985; Wassarman 2002, sehingga lapisan zona pelusida tersusun menurut waktu
terbentuknya dan lapisan yang paling dalam merupakan lapisan yang paling terakhir dibentuk Qi
et al. 2002. Ketebalan zona pelusida beragam baik antar spesies mamalia maupun
antar setiap mahluk hidup dalam spesies yang sama. Ketebalan zona pelusida berkaitan langsung dengan protein yang dikandung oleh zona pelusida. Semakin
tipis zona pelusida membuat oosit lebih mudah dibuahi. Pada manusia zona pelusida oosit yang mudah dibuahi tebalnya sekitar 16,5
μm sedang yang sulit dibuahi tebalnya 20,0
μm. Semakin tipis semakin mudah dibuahi, tetapi jika terlalu tipis 15,1
μm membuat banyak sperma yang dapat membuahi Bertrand et al. 1996. Zona pelusida embrio tahap cleavage lebih tipis dibandingkan
dengan oosit. Penipisan zona pelusida terjadi secara proporsional, terjadi penipisan baik pada lapisan 1 mau pun lapisan 2, tetapi yang paling menipis
adalah lapisan ke tiga atau lapisan terluar. Penipisan terjadi sebagai akibat zona pelusida meregang karena embrio membesar. Di samping itu, penipisan zona
pelusida dapat pula terjadi karena lapisan terluar zona pelusida dicerna oleh protease. Secara umum ketebalan zona pelusida dapat dipakai sebagai
panduan dalam memilih embrio Grabielsen et al. 2000. Sesungguhnya zona
pelusida memiliki ketebalan yang beragam, begitu pula susunan molekuler, dan ketebalan jaringan yang berada di bawah zona pelusida. Zona pelusida yang
tebal akan memperlambat perkembangan embrio Pelletier et al. 2004.
Zona pelusida mencit terdiri dari tiga glikoprotein yakni mZP1 mice ZP1, mZP2, dan mZP3, dengan berat molekul secara berturut-turut 200 kDa, 120 kDa,
dan 83 kDa Wassarman 2002, sedangkan pada manusia ukurannya 110 kDa,
76 kDa, dan 73 kDa Shabanowitz O’Rand 1988. Tebal zona pelusida sekitar 5-10
μm, rasio antara ZP2 dengan ZP3 adalah 1:1, sedangkan ZP1 sekitar 9 dari keseluruhan jumlah ZP2 ditambah ZP3 Green 1997. Ke tiga glikoprotein
tersebut membentuk jalinan tiga dimensi. Antara heterodimer ZP2 dan ZP3 dipertautkan oleh ZP1, sebaran glikokonjuget tersebut berubah-ubah selama
terjadinya proses pematangan oosit Rankin et al. 2001. ZP3 berperan sebagai
reseptor utama dan induktor reaksi akrosom spermatozoa mencit, hamster, dan manusia Moller
et al. 1990; Van Duin et al. 1994 di samping itu ZP3 berperan sebagai glikoprotein struktural merakit zona pelusida bersama ZP2 dan ZP1Bleil
Wassarman 1986; Wassarman 2002. ZP2 pada sapi berperan sebagai reseptor sekunder terhadap spermatozoa yang telah mengalami reaksi akrosom
Vanroose et al. 2000. Belakangan ini baru diketahui, bahwa agar supaya terjadi
fertilisasi pada mencit spermatozoa harus berikatan dengan ZP3 dan ZP2 Candace
et al. 2002. Pada babi glikoprotein yang berperan mengikat spermatozoa adalah ZP3 dan ZP1 Yurewicz Sacco 1996, hal yang mirip
terjadi pada kelinci Yamasaki et al. 1995
Zona pelusida dapat diibaratkan sebagai palang pintu gatekeeper
terhadap masuknya spermatozoa, karena gamet jantan tersebut harus berikatan dan menerobos zona pelusida supaya dapat bersatu dengan membran plasma
oosit selama pembuahan berlangsung Wassarman 2002. Supaya dapat berikatan, gamet jantan tersebut harus dikenali oleh reseptornya yang ada pada
permukaan zona pelusida yang sifatnya komplementer Miller Ax 1990; Wassarman 1994. Reseptor untuk spermatozoa tersebut, akan membatasi
perlekatannya dengan spermatozoa dari spesies heterolog dengan oosit yang
belum dibuahi, atau mencegah perlekatan spermatozoa dari spesies yang homolog dengan oosit yang telah dibuahi Epifano Dean 1994.
ZP3 tersusun dari kerangka polipeptida, tempat asparagine-N- dan serinethreonine-O- yang mengikat oligosakarida bertaut Wassarman 2002.
Juluran-juluran rantai oligosakarida tersebut persebaran dan jenisnya berbeda antar spesies mamalia Parillo
et al. 2001. Susunan sakarida zona pelusida tersebut berkaitan dengan tahapan perkembangan folikel Parillo
et al. 1999. Galaktosa, N-asetilglukosamin, dan fukosa merupakan gula-gula yang sangat
penting dalam pengikat spermatozoa mencit Wassarman 2002, sedangkan pada kelinci dan
hare gula-gula pengikatnya adalah D-galaktosamin dan N-asetil
glukosamin Parillo Verini-Suplizi 2001. Perlekatan yang spesifik pada setiap spesies mamalia diperantarai oleh karbohidrat Wassarman 2002.
Perlekatan antara spermatozoa dengan reseptornya pada zona pelusida mengakibatkan spermatozoa mengalami reaksi akrosom, semacam eksositosis
seluler Epifano Dean 1994. Reaksi akrosom mendorong terjadinya perlekatan enzim proteolitik yang diperlukan spermatozoa agar bisa menembus
matriks zona pelusida, dan mereka ulang remodelling permukaan spermatozoa
agar tetap terjadi perlekatan dengan zona pelusida untuk selanjutnya dapat menyatu dengan membran oosit Wassarman 2002. Dalam reaksi akrosom
tersebut ada beberapa komponen penghantaran sinyal yang terlibat seperti: protein-G, inositol 3,4,5 triposfat, reseptor IP3, posfolipase-C, Ca
++
, dan kanal Ca
++
. Enzim-enzim kortikal yang ada pada kepala spermatozoa akan membuat ZP2 dan ZP3 menjadi ZP2f dan ZP3f, sehingga terjadi perubahan yang dramatik
pada permukaan zona pelusida Vanroose et al. 2000. Perubahan struktur zona
pelusida tersebut membuat zona pelusida menjadi lebih kaku dan mengalami pengerasan
hardening. Tingkat kekakuan dan pengerasan yang terjadi sebanding dengan bertambah banyaknya jumlah ikatan menyilang ZP1 yang
menautkan ZP2 dengan ZP3 Familiari et al. 2006. Proses pembuahan yang
mengakibatkan ZP berubah sedemikian rupa, membuat spermatozoa yang datang belakangan tidak dapat mengenali dan tidak menempel pada glikoprotein
zona pelusida yang telah terbuahi Wassarman 2002. Matriks zona pelusida tersebut tetap melindungi embrio yang membelah selama perlintasannya menuju
uterus di dalam tuba fallopi, sebelum embrio tahap blastosis tersebut hatched
dari zona pelusida menjelang implantasi. Vanroose et al. 2000.
Di Indonesia pelaporan terhadap cemaran agen infeksius dan upaya memahami peranan zona pelusida embrio sebagai penahan infeksi, dan
kemungkinan penularan agen infeksius melalui embrio belum banyak dilaporkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pencemaran embrio dengan model
menggunakan agen infeksius yang umum dan secara ekonomis penting bagi Indonesia, seperti
E.coli K99.
2.4 Peranan zona pelusida sebagai barier embrio terhadap bakteri patogen