Peranan zona pelusida sebagai barier embrio terhadap bakteri patogen

glukosamin Parillo Verini-Suplizi 2001. Perlekatan yang spesifik pada setiap spesies mamalia diperantarai oleh karbohidrat Wassarman 2002. Perlekatan antara spermatozoa dengan reseptornya pada zona pelusida mengakibatkan spermatozoa mengalami reaksi akrosom, semacam eksositosis seluler Epifano Dean 1994. Reaksi akrosom mendorong terjadinya perlekatan enzim proteolitik yang diperlukan spermatozoa agar bisa menembus matriks zona pelusida, dan mereka ulang remodelling permukaan spermatozoa agar tetap terjadi perlekatan dengan zona pelusida untuk selanjutnya dapat menyatu dengan membran oosit Wassarman 2002. Dalam reaksi akrosom tersebut ada beberapa komponen penghantaran sinyal yang terlibat seperti: protein-G, inositol 3,4,5 triposfat, reseptor IP3, posfolipase-C, Ca ++ , dan kanal Ca ++ . Enzim-enzim kortikal yang ada pada kepala spermatozoa akan membuat ZP2 dan ZP3 menjadi ZP2f dan ZP3f, sehingga terjadi perubahan yang dramatik pada permukaan zona pelusida Vanroose et al. 2000. Perubahan struktur zona pelusida tersebut membuat zona pelusida menjadi lebih kaku dan mengalami pengerasan hardening. Tingkat kekakuan dan pengerasan yang terjadi sebanding dengan bertambah banyaknya jumlah ikatan menyilang ZP1 yang menautkan ZP2 dengan ZP3 Familiari et al. 2006. Proses pembuahan yang mengakibatkan ZP berubah sedemikian rupa, membuat spermatozoa yang datang belakangan tidak dapat mengenali dan tidak menempel pada glikoprotein zona pelusida yang telah terbuahi Wassarman 2002. Matriks zona pelusida tersebut tetap melindungi embrio yang membelah selama perlintasannya menuju uterus di dalam tuba fallopi, sebelum embrio tahap blastosis tersebut hatched dari zona pelusida menjelang implantasi. Vanroose et al. 2000. Di Indonesia pelaporan terhadap cemaran agen infeksius dan upaya memahami peranan zona pelusida embrio sebagai penahan infeksi, dan kemungkinan penularan agen infeksius melalui embrio belum banyak dilaporkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pencemaran embrio dengan model menggunakan agen infeksius yang umum dan secara ekonomis penting bagi Indonesia, seperti E.coli K99.

2.4 Peranan zona pelusida sebagai barier embrio terhadap bakteri patogen

Embrio secara alami memiliki pelindung yang dikenal sebagai zona pelusida. Zona pelusida mamalia merupakan pembungkus ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein aseluler dan terbentuk selama perkembangan oosit. Pada kebanyakan spesies hewan, zona pelusida membungkus oosit dan embrio dari beberapa saat setelah oosit terbentuk, hingga embrio mencapai tahap implantasi dini, dan melindungi dari kerusakan mekanik selama ovulasi dan perjalanannya sepanjang saluran reproduksi betina Wassarman et al. 1999. Zona pelusida mempunyai peran yang spesifik pada tahap awal fertilisasi, seperti pengikatan sperma, penyusupan dan menghambat terjadinya pembuahan polispermia Jones et al. 1990; Wassarman et al. 1999. Di samping itu, zona pelusida berperan penting sebagai cangkang pelindung sel-sel embrio, namun demikian secara tidak sengaja dapat membawa agen-agen infeksi dalam penyebaran penyakit ternak melalui embrio transfer Stringfellow Seidel 1990. Dalam sejumlah studi dilaporkan bahwa embrio yang terbebas dari zona pelusida dapat berkembang secara in vitro Boediono et al. 1993, namun perkembangan selanjutnya tergantung pada tahap zona pelusida itu disingkirkan, misalnya pada tahap 2, 4, atau 8 sel Konwinski et al. 1978; Lai et al. 1994. Pada babi dilaporkan bahwa oosit babi yang tidak memiliki zona pelusida dan dilakukan fertilisasi in vitro terhadapnya, dapat berkembang menjadi embrio dan lahir menjadi anak babi yang normal Wu et al. 2004. Transfer embrio intact masih memiliki ZP yang sebelumnya telah dipaparkan ke agen penyakit, ternyata dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada resipien dan janin. Pasca pemaparan zona pelusida secara morfologi dan kimiawi agak mirip, akan tetapi bentuk permukaannya agak beragam. Hal ini terbukti dengan adanya perbedaan tenacity tempat bertautnya agen ke embrio. Pada embrio babi, baik virus beramplop maupun yang tidak, dapat melekat erat ke zona pelusida dan tidak bisa disingkirkan dengan pembasuhan tripsin. Sedangkan embrio domba daya lekatnya lebih lemah dari embrio babi, namun lebih kuat dibandingkan dengan embrio sapi Wrathall 1995.

2.5 Kriopreservasi embrio