Biomassa Uji Unjuk Kerja Mesin Pengering Tipe Efek Rumah Kaca (Erk) Berenergi Surya Dan Biomassa Untuk Pengeringan Biji Pala (Myristica Sp.) Di UD. Sari Awi, Ciherang Pondok, Caringin, Bogor

Berdasarkan tabel di atas, nilai intensitas radiasi surya tertinggi yang tercatat selama penelitian adalah 637,14 Wm 2 P0-H3, 690,00 Wm 2 P1-H2, dan 611,43 Wm 2 P2-H3. Berikut di bawah ini adalah grafik yang menunjukkan fluktuasi intensitas radiasi surya yang diplotkan berdasarkan waktu, yaitu mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Gambar 33. Intensitas radiasi surya selama penelitian. 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 6: 00 6: 30 7: 00 7:30 8:00 8:30 9:00 9:30 10 :00 10 :30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14: 00 14 :3 15 :00 15 :30 16:00 16:30 17:00 Waktu, WIB Ir a d ia s

i, W m

2 P0-H1 P0-H2 P0-H3 P1-H1 P1-H2 P1-H3 P2-H1 P2-H2 P2-H3 Ketersediaan iradiasi surya sebagai salah satu sumber energi yang ada di sebuah lokasi selalu berfluktuatif sepanjang waktu. Untuk itu, sumber energi tambahan dibutuhkan untuk mengantisipasinya. Dalam kondisi cuaca tertentu, kebutuhan energi tambahan dapat meningkat atau bahkan konsumsinya dapat lebih besar dari energi surya.

2. Biomassa

Pada mesin pengering tipe efek rumah kaca ERK ini ditambahkan tungku untuk menghasilkan energi dari pembakaran biomassa. Biomassa yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu-kayu potongan sisa industri ukiranmebel-furniture maupun kayu gelondong sisa penebangan. Kayu gelondongan itu kemudian dipotong-potong lagi sesuai ukuran lubang pengumpanan tungku. Panas yang dihasilkan pembakaran kayu bakar itu digunakan untuk memanaskan fluida media pemindah panas, baik berupa air maupun udara. Selebihnya, panas tidak termanfaatkan oleh sistem pengeringan karena 67 terbuang secara konveksi bersama gas hasil pembakaran melalui cerobong, pembakaran tidak sempurna, atau keluar melalui dinding tungku dan ruang pengering secara konduksi, serta faktor absorpsi dan transmisi dari sistem pengering terhadap iradiasi surya. Oleh karena itu, desain tungku biomassa harus memiliki efisiensi tinggi. Selain itu, pengumpanan dan pembakaran kayu harus dikendalikan secara kontinu agar tidak terjadi fluktuasi suhu pada media pemanas udara, serta dijaga agar tidak mati. Berdasarkan 2 kali percobaan pengeringan, kebutuhan biomassa untuk mendukung sistem pengering hingga selesai pengeringan adalah 395 kg untuk P1 dan 404,1 kg untuk P2 dengan waktu pengeringan masing- masing adalah 52,75 jam dan 54 jam. Sehingga rata-rata laju pembakaran kayu selama proses pengeringan berlangsung adalah sama-sama 7,49 kgjam. Kayu sebanyak itu dengan nilai kalor 18799,10 kJkg menghasilkan energi cukup besar untuk menyuplai energi pengeringan terutama pada malam hari. Penggunaan biomassa yang cukup besar pada penelitian ini seharusnya bisa dikurangi dengan pola penghematan penggunaan siang hari. Pada siang hari cukup disuplai dengan energi surya. Penggunaan tungku siang hari sekedar untuk permulaan pengeringan, yakni membantu energi surya agar suhu di dalam pengering cepat naik. Atau dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila tiba-tiba cuaca mendung dan hujan. Namun, ada sesuatu hal yang awalnya di luar perkiraan penulis maupun pihak perusahaan, yakni penyebab suhu ruang pengering pada malam hari tidak bisa melampaui 40 o C. Setelah diperiksa pada akhir penelitian, ternyata ada kebocoran pada pipa HE udara panas. Jadi, udara yang didorong kipas pendorong masuk ke ruang pembakaran di dalam tungku. Sedangkan asap pembakaran, turut masuk ke ruang pengering. Namun, karena kualitas bahan yang dikeringkan tidak berpengaruh terhadap asap, maka tidak sampai merusak produk. Yang menjadi masalah adalah konsumsi bahan bakar yang lebih banyak. Sebagai informasi sekaligus tambahan atas pendekatan permasa- lahan yakni usia pemakaian mesin ketika dilakukan uji unjuk kerja ini 68 telah mencapai 6 bulan sejak pembuatan. Untuk hal ini, penulis menyarankan dalam desain HE udara kontruksi pipa-pipa HE dipilih dari bahan yang kuat dan tahan panas tinggi.

3. Listrik