155 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
terbebas dari kekotoran batin. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa seorang ArahatBuddha masih mengalami dukkha karena kondisi, tetapi
sudah terbebas dari dukkha karena kekotoran batin. Adapun manusia biasa masih mengalami kedua-duanya. Tetapi, setelah ArahatBuddha
meninggal dunia, Beliau tidak mengalami lagi dukkha karena kondisi. Mengapa? Karena seorang ArahatBuddha setelah meninggal tidak akan
bertumimbal lahir lagi. Dengan demikian, sudah tidak berkondisi.
4. Tanpa Diri yang Kekal
Gambar 8.4 Ilustrasi Anatta
Sumber: http:www.obsidianeagle.com
Anatta menggambarkan fenomena dari sudut pandang ruang. Segala sesuatu di alam semesta tersusun dari berbagai bagian, yang juga terdiri
atas bagian-bagian yang lebih kecil. Setiap bagian selalu berubah, kadang perubahan besar, tetapi kebanyakan halus bagi indra kita. Tak satu pun
komponen yang tidak berubah, segalanya selalu berubah. Sesuatu itu ada hanya jika bagian-bagian penyusunnya bergabung. Jadi, tidak ada
inti atau diri yang tetap dalam segala sesuatu, inilah yang disebut tanpa-
156 Kelas XI SMASMK
pribadi. Ini juga berarti bahwa segala sesuatu saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri
sendiri sebagai diri yang terpisah. Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, kita harus dapat
mengidentiikasinya. Bagaimanapun juga, tubuh kita berubah tak henti- hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran
bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi, kita tidak dapat mengatakan bahwa badan, batin, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri
yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin bergantung pada banyak faktor untuk eksis. Karena apa
yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor isik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata
atau konkret di dalam kita.
Gambar 8.5 Ilustrasi Anatta
Sumber: http:what-buddha-said.net
157 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
Jika tubuh adalah diri, tubuh seharusnya mampu menghendaki atau mengendalikan dirinya menjadi kuat dan sehat. Namun demikian, tubuh
dapat menjadi lelah, lapar, dan jatuh sakit. Begitu pula, jika pikiran adalah diri, seharusnya pikiran dapat melakukan apa pun yang dikehendakinya,
tetapi pikiran sering berlarian dari yang benar menjadi salah. Pikiran menjadi terganggu, kacau, dan bertentangan dengan kehendaknya. Oleh
karena itu, baik batin maupun badan bukanlah diri. Penolakan Buddhis terhadap ‘aku’ bukanlah penolakan terhadap
‘penunjuk yang mempermudah’, nama, atau istilah ‘aku’, melainkan penolakan terhadap ide bahwa nama atau istilah ‘aku’ digunakan untuk
suatu realitas yang substansial, permanen, dan tidak berubah. Begitu pula penolakan Buddhis terhadap ‘diri’ adalah penolakan atas kepercayaan
adanya entitas yang nyata, bebas, permanen, yang dikenal dengan nama atau istilah ‘aku’. Bila ada entitas permanen seperti itu, haruslah bebas dan
berkuasa sebagaimana raja menjadi tuan dari segala sesuatu di sekitarnya. Entitas itu seharusnya bersifat permanen, kekal abadi, dan tahan terhadap
perubahan. Namun, entitas seperti itu ‘diri’ tidaklah bisa ditemukan di mana-mana.
Mengapa Perlu Menyadari Anicca?
Ketika kita menyadari bahwa orang kepribadian, minat, dan sikap mereka dan situasi hidup tidaklah tetap dan terus berubah. Kita akan
menyikapi setiap momen hubungan dengan pikiran terbuka, mampu bereaksi terhadap setiap situasi baru tanpa melekat pada konsepsi yang
telah lalu. Dengan demikian, hubungan dapat dikembangkan dengan baik.