Analisis Permasalahan Konservasi TNGC

pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26 per bulan, sedangkan untuk kesehatan sekitar 1,96. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke SLTP terdekat karena harus menggunakan ojek, responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan. Rata-rata pendapatan responden masyarakat di tiga Desa contoh yang bekerja di agroforestri per kapita per bulan, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten UMK sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau sebesar 56,29 dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71 diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri, berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Dari hasil perhitungan, diperoleh rata- rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola makan keluarga, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih tinggi dari SLTP serta pengobatan yang sederhana jika menderita sakit. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen. Hasil penelitian terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden masyarakat masih rendah dibawah UMK Rp 700.000 per bulan. Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap kawasan TNGC. Apalagi jika melihat sikap masyarakat yang sebagian besar 64 responden setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Dari hasil analisis sikap masyarakat terbukti bahwa sebagian besar 53,18 masyarakat kurang memahami mengenai fungsi dan manfaat taman nasional sehingga hal ini menyebabkan kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap konservasi TNGC. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas pertanian dalam kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya terutama yang tidak memiliki lahan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar 80 sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar 50 sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang yang mencuri kayusatwa di kawasan TN. Oleh karena itu peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sikap terhadap konservasi TNGC mutlak dilakukan pada daerah penyangga TNGC. Pengembangan ekowisata dan agroforestri telah menjadi pilihan kegiatan yang dapat dikembangkan pada daerah penyangga. Kedua kegiatan ini secara teori dan berbagai hasil penelitian telah diyakini mampu memberikan porsi yang seimbang antara pelestarian lingkungan dan peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangannya khususnya pada daerah penyangga TNGC, yaitu sebagai berikut: 4.3.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Ekowisata Akses terhadap informasi merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat daerah penyangga. Pelaporan dan pemberitaan mengenai jenis usaha informal skala kecil di sektor ekowisata, seperti penyewaan tenda, pemandu wisata, usaha outbond dan pekerjaan informal lainnya jarang diberitakan dan kurang mendapat perhatian. Bidang-bidang pekerjaan yang seringkali muncul adalah bidang pekerjaan dalam skala besar, yang dimiliki pemodal besar seperti perhotelan, restoran besar, agen-agen wisata, pengusaha pakaianfactory outlet, dan lainnya yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Kuningan, sehingga pekerjaan-pekerjaan skala kecil tersebut menjadi kurang ter- expose. Oleh karena itu sangat penting bagi stakeholder untuk meningkatkan akses bagi masyarakat daerah penyangga TNGC dan memfasilitasi mereka untuk lebih dikenali keberadaannya oleh masyarakat luas, terutama wisatawan sebagai pengguna produk wisata, termasuk akses informasi, modal finansial, pendidikanpelatihan dan infrastruktur yang mudah diperoleh di wilayah desa. Berdasarkan data profil desa dan hasil observasi, sebagian besar penggunaan lahan masyarakat adalah untuk tegalanladangkebun masyarakat desa Pajambon seluas 20,14 ha, desa Cisantana seluas 436,812 ha, desa Karangsari seluas 201,43 ha dan desa Seda seluas 78,216 ha. Sebagian besar tegalanladang ini didominasi oleh tanaman kayu-kayuan, tanaman buah-buahan, kebun kopi, serta tanaman bamboo dan pemandangan alam di lingkungan desa. Jenis-jenis tanaman ini belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi pembuatan fasilitassarana untuk pengembangan usaha misalnya bahan baku pembuatan souvenircenderamata. Oleh karena itu peran stakeholder dalam pembinaan lebih difokuskan pada pembangunan pengembangan pelayanan ekowisata serta peningkatan pembinaan kepada masyarakat untuk mencari peluang usaha baru di sektor ekowisata. Berdasarkan informasi keberadaan potensi obyek wisata, pada Gambar 4 terlihat bahwa lokasi obyek wisata menyebar secara merata disekeliling kawasan TNGC. Apabila pengembangan pariwisata hanya difokuskan pada zona pengembangan utara, maka lokasi obyek wisata di zona ini akan berkembang dengan baik dan menjadi tempat favorit kunjungan wisatawan, sementara lokasi lain akan mengalami kekurangan wisatawan, yang dapat menyebabkan usaha masyarakat daerah penyangga di sektor wisata tidak dapat berkembang. Oleh karena itu pengembangan zona tata ruang wilayah sebaiknya juga mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat pada desa-desa penyangga. 4.3.3.2 Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri Beberapa faktor yang terkait dengan kelemahan masyarakat dalam mengembangkan agroforestri yaitu pengetahuan dan ketrampilan 60, modal usaha 30 dan pemasaran 10. Sempitnya kepemilikan lahan pertanian masyarakat yaitu rata-rata 0,250 ha, menjadi kendala utama sulitnya masyarakat dalam mengatur jenis tanaman. Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sebanyak mungkin berbenturan dengan kebutuhan menanam tanaman pertanian yang dapat segera menghasilkan. Kendala lain adalah terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terhadap penanganan penyakit pada tanaman pertanian dan kehutanan dan pemilihan jenis tanaman yang ekonomis. Pada umumnya produktivitas per orang yang bekerja di sektor ini sangatlah rendah karena faktor-faktor modal yang rendah, penggunaan alat-alat produksi masih bersifat tradisional, tidak cukup menggunakan pupuk, teknik produksi yang tidak efisien dan pemilikan tanah sempit. Pada tiga Desa contoh pemilihan jenis tanaman di masing-masing desa relatif seragam, baik masyarakat dengan kemampuan modal lebih maupun yang memiliki modal terbatas. Pada proses pengolahan tanah, pembelian bibit dan penanaman masih dapat ditangani dengan modal yang ada. Namun pada proses pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan pemberantasan penyakit menjadi tidak optimal karena mahalnya harga pupuk dan obat, sehingga produksi yang dihasilkan juga tidak optimal. Sebagai contoh di desa Karangsari, pada saat penelitian dilakukan, tanaman petsay memiliki harga yang tinggi. Banyak masyarakat yang tertarik untuk menanam meski paham bahwa modal yang diperlukan cukup tinggi, karena mahalnya harga bibit dan tingginya biaya pemupukan dan pengobatan. Pada akhirnya, meskipun harga tinggi, pada luasan yang sama, bagi masyarakat dengan kemampuan modal terbatas keuntungan yang diperoleh tidak sebesar masyarakat yang memiliki cukup modal, karena kualitas petsay yang dihasilkan relatif lebih rendah seperti warna daun yang lebih pucat dan produksi yang lebih rendah. Penjualan hasil pertanian masyarakat dilakukan kepada pengepul, sehingga harga lokal ditentukan oleh pengepul. Meskipun demikian, sebagian besar petani tetap menjual hasilnya pada pengepul, karena biasanya pengepul merupakan petani desa setempat, sehingga sifat kekeluargaan dan saling membantu lebih dominan daripada perhitungan untung rugi, meskipun harga yang ditawarkan relatif lebih rendah sekitar 20. Namun pada petani dengan kemampuan modal terbatas, kehadiran pengepul terkadang menjadi penyelamat, karena kebutuhan untuk pembelian sarana produksi pertanian dapat meminjam sampai saat panen tiba, juga bagi petani yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk menjual langsung ke pasar upah angkut, biaya transport dan jarigan pembeli. Ketiga kendala ini saling berkaitan, sehingga pemberian modal saja tidak dapat menyelesaikan masalah dalam meningkatkan produksi hasil tanaman agroforestri. Ketiga faktor tersebut harus secara simultan dibangun melalui kegiatan yang dapat memperbaiki teknik budidaya yang baik, sejak pemilihan bibit tanaman pertanian dan kehutanan, teknik penanaman, pemeliharan tanaman, penggunaan pupuk dan obat-obatan, perlakuan terhadap tanah, hingga proses pemanenan dan pemasaran. Penggunaan teknologi pengelolaan usaha tani agroforestri yang lebih baik ini diharapkan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman agroforestri. Keseluruhan proses ini dapat ditempuh melalui peningkatan program penyuluhan, pendampingan masyarakat serta program-program dari stakeholder yang mendukung pengembangan agroforestri. Peningkatan frekuensi penyuluhan secara langsung dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Berbekal ilmu dan ketrampilan yang lebih meningkat, masyarakat dapat lebih efisien dalam mengelola lahan, sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman agroforestri. Penyuluhan yang berdampak signifikan terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat memiliki kriteria dan prasyarat tertentu sesuai dengan kaidah penyuluhan yang meliputi materi dan teknik penyuluhan. Penyuluhan yang telah diprogramkan oleh Balai P4K sudah sangat baik dalam hal perencanaan, dimana satu orang Penyuluh Pertanian Lapangan PPL mempunyai wilayah kerja satu hingga dua desa, dan satu orang Penyuluh Kehutanan Lapangan PKL memiliki wilayah kerja satu hingga dua kecamatan karena keterbatasan sumberdaya manusia. Kendala dalam agroforestri adalah permasalahan kewenangan dalam memberikan pembinaan terhadap petani agroforestri. Pembinaan petani dalam pengelolaan tanaman pertanian semestinya dilakukan oleh Dinas Pertanian, dan pembinaan terhadap tanaman kehutanan oleh Dinas Kehutanan. Namun dalam kenyataan, petani agroforestri tidak banyak tersentuh oleh Dinas Pertanian. Pembinaan terhadap petani agroforestri lebih banyak dilakukan oleh BP4K melalui PPL, namun itupun sangat terbatas karena faktor pengetahuan dan sumberdaya PPL hasil wawancara dengan penyuluh 2011. Berdasarkan hasil wawancara, petani sesungguhnya masih sangat memerlukan penyuluh sebagai tempat bertanya dalam mengatasi permasalahan di lapangan, meskipun ada juga petani yang merasa kehadiran penyuluh tidak banyak membantu karena mereka merasa lebih mengetahui seluk beluk tanaman dibanding penyuluh. Sangat disadari bahwa terdapat keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan PPL dalam menguasai berbagai jenis tanaman pertanian. Kondisi di lapangan, pada satu bidang lahan agroforestri rata-rata terdapat lebih dari tiga jenis tanaman pertanian. Sebagai contoh di desa Karangsari, responden dengan lahan agroforestri seluas satu bata sekitar 0,1428 ha menanam cabe rawit dan jagung sebagai tanaman utama, ketela pohon sebagai tanaman pagar, beberapa pohon pisang dan kopi, serta sengon dan kayu afrika. Ada juga yang bertanam padi huma sebagai tanaman utama diselingi tanaman lada, tanaman buah-buahan serta pinus dan waru. Seandainya dalam satu desa terdapat 50 orang petani agroforestri, dan setiap petani menanam satu jenis saja tanaman pertanian yang berbeda, maka seorang PPL harus menguasai 50 jenis tanaman palawija cabe rawit, jagung, padi huma, ketela pohon, tomat, dan lain-lain, buah-buahan pisang, nangka, petai, sukun, dll dan atau perkebunan lada, cengkeh, kopi, melinjo. Berbeda dengan jenis tanaman kehutanan yang relatif homogen dan tidak banyak jenisnya. Sebagai contoh jenis yang ditanam masyarakat desa Karangsari hanya berkisar pada jenis-jenis sengon, suren, mahoni, kayu afrika, pinus, waru, manglid dan jati. Bibit tanaman kehutanan biasanya cukup mengambil dari sekitar desa tidak membeli, sehingga masyarakat cenderung untuk menanam jenis tersebut. Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan terhadap jenis tanaman kehutanan tersebut lebih mudah dilakukan oleh PKL. Kendala yang dihadapi justru pada terbatasnya jumlah PKL, yaitu satu orang PKL memiliki wilayah binaan satu hingga dua kecamatan, sehingga frekuensi pertemuan dengan petani juga terbatas. Sesungguhnya, kegiatan penyuluhan tidak saja dilakukan oleh pemerintah melalui BP4K, namun dapat juga dilakukan oleh penyuluh swadaya, dunia usaha PDAU dan LSM Akar dan Kanopi sehingga frekuensi penyuluhan dapat ditingkatkan hingga tiga kalinya dan jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan juga akan dapat ditingkatkan. Penguasaan PPL dan PKL terhadap teknik penyuluhan sesungguhnya tidak diragukan. Karena sebagian besar berpendidikan Sarjana dan telah mendapat bekal ilmu penyuluhan Buku Laporan BP4K 2010. Namun karena permasalahan di lapangan begitu kompleks dan lebih cepat berkembang, maka diperlukan kesungguhan para penyuluh untuk selalu meng up date pengetahuan dan meng up grade kemampuan, sehingga PPL dan PKL memiliki kemampuan untuk mengajak masyarakat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan terkini tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Penerapan hasil-hasil penelitian yang melibatkan petani secara aktif dapat difokuskan pada masalah yang berhubungan dengan jenis tanaman, tempat tumbuh, metode penanaman, memelihara dan pengaturan pohon. Kehadiran seorang penyuluh terkadang diperlukan sebagai motivator dan fasilitator bagi petani dalam menghadapi permasalahan dan dalam pengembangan usaha. Kebijakan pada agroforestri sesungguhnya tidak bersifat pengaturan pada land tenure, dan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan keinginan masyarakat, karena agroforestri diusahakan pada lahan milik masyarakat. Namun demikian, karena letaknya di daerah penyangga taman nasional, ada beberapa pengaturan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan tujuan konservasi taman nasional. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pola penggunaan lahan, terutama pada lahan dengan kemiringan yang rawan terhadap erosi, maka masyarakat didorong untuk menanam pohon berkayu. Pada masyarakat di tiga Desa contoh, kebijakan hanya bersifat memberikan alternatif penyelesaian permasalahan pada usaha agroforestri masyarakat, seperti pemilihan jenis tanaman, pengelolaan tanaman, pengaturan hasil, dan pemasaran. Luasan lahan kritis di Kabupaten Kuningan sampai awal tahun 2009 adalah 3.975,97 ha. Kondisi tersebut sudah seharusnya disikapi dan ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan secara terencana dan berkelanjutan, sehingga fungsi lahan baik dari segi ekologis maupun ekonomis dapat berjalan dengan optimal. Selain itu secara geografis wilayah Kabupaten Kuningan memliki topografi bergelombang hingga berbukit sehingga pola pemanfaatan lahannya harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu penataan lahan kering dan hutan milik harus dilakukan tanpa menapikan fungsi ekonomi lahan dimaksud. Dari segi luasan hutankebun rakyat di Kabupaten Kuningan masih relatif kecil dengan pemilikan lahan rata–rata 0,30 haKK, walaupun demikian, prospek hutan rakyat dan agroforestri masih cukup potensial untuk dikembangkan. Adanya budaya menanam pada masyarakat Kuningan sebagai investasi tabungan merupakan modal positif untuk mengembangkan hutankebun rakyat. Upaya penanganan masalah tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja namun harus melibatkan partisipasi aktif sinergitas stakeholder.

4.4 Potensi Pengembangan Daerah Penyangga TNGC

Berdasarkan hasil analisis permasalahan dan kebutuhan dalam konservasi TNGC, maka diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan kesempatan kerja bagi masyarakat, peningkatan pendapatan, serta sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC. Upaya tersebut ditempuh melalui pengembangan daerah penyangga TNGC yang sesuai dengan potensi TNGC, dengan mempertimbangkan kondisi kerusakan kawasan TNGC, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sikap masyarakat. Analisis ini diperlukan dalam menentukan potensi pengembangan pada program yang dipilih, yaitu ekowisata dan agroforestri. Potensi ekowisata dan agroforestri dilakukan dengan pendekatan supply penawaran dan demand permintaan ekowisata

4.4.1 Potensi Pengembangan melalui Penawaran dan Permintaan Ekowisata

Keberhasilan pengembangan pariwisata di suatu destinasi antara lain diukur dari banyaknya belanja wisatawan. Semakin besar belanja yang dikeluarkan oleh wisatawan, semakin besar pula penerimaan industri pariwisata Fandeli 2001. Sebagai gambaran, pengeluaran wisatawan pada obyek wisata di Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar US 81,79 per orang per hari BPS 2000 dan Hennings 2000 dalam Fandeli 2001, dengan urutan pertama untuk belanja makan dan minum, berbelanja dan akomodasi, transportasi lokal, dan belanja lainnya. Karena tujuan utama pengembangan ekowisata adalah peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat setempat, maka pengembangan terhadap ekowisata TNGC ditujukan bagi berkembangnya aspek-aspek yang dapat meningkatkan belanja wisatawan. 4.4.1.1 Kondisi Penawaran Ekowisata Peluang usaha di sektor ekowisata dapat diupayakan melalui pengembangan potensi ekowisata, dimana tujuan utamanya adalah menarik minat ekowisatawan untuk berkunjung dan berbelanja di lokasi ekowisata. Ekowisata merupakan sebuah sistim yang terdiri dari beberapa elemen, dimana dalam pengembangannya dapat dikaji dari komponen permintaan dan penawaransediaan Gunn 1988. Komponen permintaan terdiri atas elemen minat orang yang melakukan perjalanan wisatawan dan kemampuan melakukannya, sedangkan komponen penawaransediaan adalah daya tarik ekowisata, asessibilitasperangkutan, informasi dan promosi serta pelayanan. Potensi pengembangan ekowisata TNGC yang dikaji berdasarkan kondisi penawaran supply dan permintaan demand diuraikan sebagai berikut; 1 Obyek dan Daya Tarik Ekowisata Obyek dan daya tarik ekowisata adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab ekowisatawan mengunjungi suatu daerah tertentu. Daya tarik wisata dapat berupa obyek alamiah seperti air terjun, lembah ngarai, panorama alam, flora fauna, dan situs sejarah, maupun obyek daya tarik binaan, pendakian gunung, perkemahan, pemandian wisata air, dan kegiatan lainnya Warpani dan Warpani, 2007. a. Potensi sumber daya alam Ditinjau dari aspek ekowisata, saat ini di TNGC wilayah kabupaten Kuningan terdapat 15 obyek ekowisata yang telah dikelola sebagai obyek dan daya tarik wisata, yang meliputi tujuh obyek 47 berupa bumi perkemahan, dua obyek 13 berupa danau, tiga obyek 20 berupa pemandian alam, dua obyek 13 berupa jalur pendakian, dan satu 7 berupa air terjun dan sumber air panas BTNGC 2010, data diolah. Bumi Perkemahan Bumi perkemahan buper yang terdapat di TNGC terdiri dari tujuh lokasi yaitu bumi perkemahan Cikole, Singkup, Cibeureum, Hulu Ciawi, Cibunar, Balong Dalam dan bumi perkemahan Palutungan. Pada umumnya selain buper, obyek wisata alam lain yang menyertai adalah berupa air terjun di buper Palutungan dan pemandian di buper Singkup. Pada lokasi ini ekowisatawan dapat melakukan aktivitas berkemah, menikmati air terjun dan indahnya panorama alam gunung Ciremai. Wisatawan juga dapat melihat beranekaragam jenis burung dan primata yang terdapat di buper. Lokasi bumi perkemahan yang menjadi sampel penelitian adalah buper Palutungan dan buper Lembah Cilengkrang. Kedua lokasi ini merupakan tempat terbaik untuk berkemah dan kegiatan ekowisata. Buper Palutungan terletak di Desa Cisantana Kecamatan Cigugur + 9 km dari kota Kuningan, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat dengan kondisi jalan yang sudah beraspal dan cukup baik. Memiliki luas 36 hektar, namun baru 9 hektar yang efektif digunakan sebagai areal perkemahan. Kegiatan ekowisata yang banyak diminati adalah berkemah dan mandi di air terjun Curug Putri dan Curug Landung yang merupakan air terjun alami. Berdasarkan hasil wawancara, 60 responden menyatakan motivasi kedatangannya ke obyek ekowisata adalah karena kondisi hutan yang masih asli dan alami, 30 pemandangan alamnya yang indah, dan 10 karena lokasi obyek wisata alam cukup dekat dengan tempat tinggal. Air Terjun Obyek wisata alam air terjuncurug yang terdapat di TNGC yaitu Lembah Cilengkrang dan Curug Putri. Lembah Cilengkrang yang menjadi sampel penelitian terletak disebelah Barat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya atau ± 13,5 km dari pusat kota Kuningan, memiliki luas sekitar 30 ha dan merupakan tempat yang indah untuk mendaki hiking dan berkemah. Keistimewaandaya tarik utama dari Lembah Cilengkrang adalah keberadaan 4 buah curug, yaitu Curug Sabuk dengan ketinggian 30 m, Curug Sawer dengan ketinggian 50-60 m, Curug Kembar dengan ketinggian 40 m, dan Curug Citapa dengan ketinggian 30-40 m. Selain itu juga terdapat pemandian air panas alami dan jika beruntung akan dapat melihat satwa khas TNGC yaitu Burung Elang Jawa Spizaetus bartelsi. Untuk mencapai air terjun dari pintu masuk lokasi wisatawan harus melalui jalur trecking sepanjang sekitar 500 meter dengan waktu tempuh sekitar 0,5 jam melalui jalan yang cukup mendaki. Aktivitas ekowisata yang dapat dinikmati wisatawan pada lokasi ini adalah mandi di air terjun, berendam di air panas, berkemah, menikmati aliran air sungai yang jernih, serta menikmati indahnya panorama alam dan berbagai jenis flora dan fauna. Pemandian Alam Obyek ekowisata pemandian alam yang terdapat di TNGC yaitu Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh, Pemandian Alam Cigugur dan Sumur Cikajayaan serta Pemandian Alam Paniis. Kolam Pemandian Cibulan yang menjadi lokasi contoh terletak di Desa Manis Kidul, 7 km di sebelah utara Kota Kuningan. Keistimewaan kolam adalah adanya Ikan Kancra Bodas Lebeobarbus doumensis atau disebut Ikan Dewa, yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Pemandian Cibulan juga merupakan tempat ekowisata religi, dimana terdapat 7 buah mata air yang disebut sebagai ”Sumur Tujuh” yang dipercaya sebagai Petilasan Prabu Siliwangi. Akses menuju Cibulan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi roda dua atau empat, dan kendaraan umum angkutan kota atau ojek dengan kondisi jalan yang sangat baik. Danau Obyek wisata alam danau yang terdapat di TNGC yaitu Telaga Remis dan Situ Cicereum. Talaga Remis berjarak ± 37 km dari pusat kota Kuningan. Objek wisata alam Telaga Remis menyimpan keanekaragaman flora dan fauna, terdapat kurang lebih 160 jenis tumbuhan diantaranya sonokeling, malaka dan kosambi. Salah satu daya tarik tempat ini adalah adanya jenis tumbuhan langka yaitu Pisang Hyang, yang menjadi obyek wisata budaya yang cukup terkenal di dalam dan luar negeri. Fasilitas yang tersedia adalah perahu motor, sepeda air, saung dan jalan setapak. Jalur Pendakian Gunung Ciremai Jalur pendakian yang dapat ditempuh oleh ekowisatawan jika hendak menuju Gunung Ciremai dari arah Kabupaten Kuningan, yaitu dari arah timur melalui Linggarjati 580 mdpl, dari arah selatan melalui Palutungan 1.227 mdpl. Jalur Linggarjati dan Palutungan adalah jalur yang paling banyak dilalui dan merupakan jalur yang dianjurkan oleh pihak PERHUTANI pengelola kawasan hutan di sekitar Gunung Ciremai. Linggarjati adalah jalur yang relatif populer dikalangan pendaki. Linggarjati memiliki jarak tempuh menuju puncak yang paling singkat diantara jalur lainnya, 6-8 jam, dengan konsekuensi jalur yang lebih menanjak dan menantang. Palutungan adalah jalur yang lebih landai, namun lebih lama waktu tempuhnya, 8-11 jam. b Potensi Budaya Tradisional dan Souvenir Budaya tradisional yang dapat menjadi obyek daya tarik ekowisata di TNGC adalah Cingcowong upacara minta hujan, Sintren, Goong Renteng, Goong Renteng, Tari Buyung Seren Taun, Tayuban, Pesta Dadung, Gembyung Terbangan, Sandiwara Rakyat, Wayang Golek, Reog, Calung dan tradisi Kawin Cai. Meskipun kegiatan ini sebagian besar dilaksanakan di kota, namun setelah ekowisatawan menikmati obyek wisata alam TNGC, biasanya menyempatkan untuk menikmati tradisi budaya masyarakat ini. Setiap perhelatan Seren Taun, dapat mendatangkan ribuan pendatang wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja dilihat dari sisi ekonomis belum dapat memberikan efek ekonomi kepada masyarakat daerah penyangga, karena acara dilakukan di kota Kabupaten. Souvenir berupa barang-barang kerajinan dan beragam jenis makanan khas Kabupaten Kuningan juga menjadi salah satu daya tarik ekowisatawan. Cinderamata tersebut diantaranya adalah; batu onyx, batu granit, bonsai, calung, peti antik dan bermacam-macam kerajinan bambu. Sedangkan makanan khas yang sering menjadi oleh-oleh ekowisatawan adalah emping melinjo, peuyeum ketan yang dikemas dalam ember-ember plastik berwarna hitam, wajit, leupeut dan gemblong, serta buah alpuket. 2 PerangkutanAksessibilitas Ekowisata Fungsi utama perangkutan adalah memindahkan orang dari asal tempat tinggal ekowisatawan ke tempat tujuan ekowisata. Oleh karena itu keandalan layanan sistim perangkutan menjadi prasyarat dan faktor dominan, bukan saja bagi perjalanan ekowisatawan, tapi juga bagi pengangkutan barang ekowisata, seperti jasa boga, kerajinancinderamata, dll. Distribusi sarana jalan dan angkutan penumpang merupakan komponen vital dalam elemen perangkutan ini, agar perjalanan ekowisata menjadi mudah dan nyaman Gunn 1988. Aksessibilitas menuju kawasan TNGC dapat ditempuh dari Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka dengan kondisi jalan dan transportasi yang relatif baik dan lancar. Kondisi kemantapan jalan kabupaten pada tahun 2009 mencapai 87,74 dimana dari panjang jalan kabupaten sepanjang 416 Km dalam kondisi baik 323 Km, kondisi sedang 42 Km sedangkan dalam kondisi rusak ringan 39 Km dan rusak berat 12 Km. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pekerjaan umum di Kabupaten Kuningan pada tahun 2009 memperlihatkan peningkatan kinerja, antara lain ditunjukkan dengan kemantapan jalan mengalami peningkatan yang signifikan, dimana lima tahun sebelumnya kondisi kemantapan jalan kabupaten hanya sebesar 78,84. Jalan-jalan utama memiliki kualitas yang sangat baik hingga mencapai batas lokasi ekowisata. Hampir tidak ada kendala dalam mencapai lokasi ekowisata baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendaraan angkutan kota juga tersedia dengan trayek-trayek yang melewati tempat ekowisata. Untuk mencapai lokasi ekowisata yang cukup jauh dan tidak tersedia angkutan kota, dapat menggunakan jasa ojek yang cukup banyak tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat responden yang menyatakan bahwa kondisi jalan dan angkutan baik 85 dan cukup baik 15. Serta dalam hal kemudahan mendatangi lokasi ekowisata, 70 menyatakan mudah dan 30 menyatakan cukup mudah. Akses menuju obyek wisata alam Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Akses menuju obyek wisata Bumi Perkemahan Palutungan a dan Lembah Cilengkrang b 3 Informasi dan Promosi Kegiatan promosi dan publikasi oleh Balai TNGC dilakukan melalui media cetak dalam bentuk penerbitan booklet obyek wisata alam sebanyak 100 eksemplar eks dan kalender duduk sebanyak 100 eks, dan media elektronik berupa siaran radio sebanyak tiga kali pada tahun 2009. Pada tahun 2010 publikasi yang disebarkan dalam bentuk leaflet sebanyak 2.000 eks, kalender dinding TNGC sebanyak 100 buah, buku keanekaragaman hayati Situ Sangiang dan Lembah Cilengkrang sebanyak 200 eks, serta penerbitan artikel di koran lokal seminggu sekali. Sedangkan untuk tahun 2011 promosi yang dilakukan dalam bentuk buletin triwulan TNGC sebanyak 200 eks serta pembuatan leaflet dan spanduk pencegahan kebakaran. Pelayanan informasi dan promosi juga disampaikan melalui facebook, blog dan email. 4 Pelayanan terhadap Wisatawan Informasi dan pelayanan terhadap ekowisatawan yang berkunjung ke obyek wisata alam TNGC diserahkan kepada masing-masing pengelola obyek ekowisata, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendakian harus mengurus perijinan berupa Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi SIMAKSI di Kantor Balai TNGC. Pengelola obyek ekowisata di TNGC terdiri dari swasta CV Wisata Putri Mustika, masyarakat melalui Kelompok Penggerak Pariwisata Kompepar, Desa melalui pihak ketiga, serta perusahaan milik Pemda Kabupaten Kuningan Perusahaan Daerah Aneka UsahaPDAU. Perbedaan sistim pelayanan pada setiap obyek wisata alam dikarenakan adanya perbedaan pihak pengelola. Pelayanan tiket masuk wisatawan dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.223Menhut- a b II2004 yang mengatur tentang pembagian rayon Taman Nasional dalam rangka penerimaan negara bukan pajak PNBP. Berdasarkan ketentuan tersebut harga tiket masuk wisatawan ke kawasan TNGC termasuk Rayon II sebesar Rp 1.500 untuk wisatawan nusantara dan Rp15.000 untuk wisatawan mancanegara. Harga tiket masuk kendaraan roda dua sebesar Rp 2.000 dan roda empat sebesar Rp 4.000. Pengelola obyek wisata alam untuk Buper Palutungan dikelola oleh CV Wisata Putri Mustika, Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Penggerak Pariwisata Kompepar dan Pemandian Cibulan dikelola oleh pihak Desa Manis Kidul. Saat ini, ketiga pengelola masih dalam tahap pengurusan ijin IPPA Ijin pengusahaan Pariwisata Alam kepada Kementrian Kehutanan. Tarif masuk yang berlaku termasuk PNBP untuk Buper palutungan sebesar Rp 6.000, Lembah Cilengkrang sebesar RP 5.000, dan pemandian Cibulan sebesar Rp 7.500. Alokasi tarif masuk tersebut selain untuk PNBP, terdapat persentase untuk kegiatan konservasi kawasan TNGC, dana pembangunan desa dan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Terhadap besarnya tarif masuk tersebut, 61 responden yang mengunjungi Buper palutungan menyatakan mahal dan 39 menyatakan tidak mahal, untuk Lembah Cilengkrang, 86 responden menyatakan karcis tidak mahal, dan 14 menyatakan mahal, sedangkan di obyek wisata alam Cibulan, 45 responden menyatakan mahal dan 55 menyatakan tidak mahal. Dalam saran-sarannya, 75 responden menyatakan bahwa tarif masuk hendaknya disesuaikan dengan jenis dan jumlah obyek daya tarik wisata yang dapat dilihat dan dinikmati oleh wisatawan. Tanggapan ekowisatawan terhadap pelayanan petugaspengelola obyek ekowisata yaitu 43 responden menyatakan kurang baik, 53 responden menyatakan cukup baik, dan 4 responden yang menyatakan baik. Pelayanan pengelola dinyatakan kurang baik, menurut ekowisatawan karena tidak adanya petugas yang dapat menjelaskan lokasi obyek ekowisata dengan baik dan tidak adanya buku panduan booklet atau peta denah lokasi obyek ekowisata sebagai sarana untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan. 5 Fasilitas Ekowisata Elemen fasilitas dan pelayanan dari ekowisata menurut Gunn 1988 termasuk elemen penunjang yang membuat proses kegiatan ekowisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan. Dalam penelitian ini, fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas umum yang disediakan oleh pengelola ekowisata dan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat setempat. a Fasilitas Umum yang disediakan Pengelola Fasilitas umum yang disediakan pihak pengelola serta kondisinya di masing-masing obyek ekowisata dapat dilihat pada Tabel 34 dan Gambar 17. Tabel 34 Kondisi fasilitas pada tiga obyek ekowisata TNGC No Jenis Fasilitas Bumi Perkemahan Palutungan Lembah Cilengkrang Pemandian Cibulan Jumlah Kondisi Jumlah Kondisi Jumlah Kondisi 1. Toilet umumMCK 6 75 kurang baik 3 50 kurang baik 10 50 baik, 50 cukup baik 2 Mushola 1 cukup baik 2 50 kurang baik 2 cukup baik 3 Ruang informasi 1 cukup baik - - 2 baik 4 Ruang ganti pakaian - - 2 baik 32 baik 5 Pos jaga 1 cukup baik 1 cukup baik 1 cukup baik 6 Shelter 3 kurang baik 1 cukup baik 9 baik 7 Papan petunjuk 2 Kurang baik 20 cukup baik - 8 Tempat sampah 2 cukup baik 3 cukup baik 10 Cukup baik Gambar 15 menyajikan kondisi fasilitas di obyek ekowisata Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Gambar 15 Kondisi fasilitas di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Secara umum tanggapan responden terhadap kondisi fasilitas di ketiga obyek wisata alam TNGC yaitu 8 responden menyatakan baik, 40 responden menyatakan cukup baik, 48 menyatakan kurang baik, dan 4 responden menyatakan tidak baik. Kurangnya jumlah papan petunjuk, kurang jelasnya tulisan pada papan petunjuk, kondisi MCK yang kurang layak, shelter yang kurang berfungsi dengan baik, serta jalur trecking yang tidak jelas merupakan indikator penilaian dari responden. b Fasilitas Produk Ekowisata yang disediakan Masyarakat Menurut Gunn 1988 dan Warpani 2007 fasilitas yang disediakan oleh masyarakat setempat berupa produk ekowisata seperti akomodasi pondokan, wisma, homestay, penyewaan kamar di rumah penduduk dan perkemahan, rumah makan, souvenircenderamata, pemandu ekowisata dan jenis produk lainnya. Produk wisata adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar agar orang tertarik perhatiannya, ingin memiliki, memanfaatkan dan mengonsumsi untuk memenuhi keinginan dan mendapat kepuasan Kotler, Bowen dan Makens 1999 dalam Fandeli 2001. Pengembangan produk ekowisata ini dikaji berdasarkan potensi masyarakat yang merupakan bagian dari usahamata pencaharian. Oleh karena itu produk ekowisata yang disediakan masyarakat selanjutnya disebut sebagai usaha di sektor ekowisata. Salah satu prinsip ekowisata menurut The International Ecotourism Society 2005 adalah adanya penghasilan bagi masyarakat, yaitu dengan adanya keuntungan secara aktual bagi masyarakat setempat melalui perdagangan sektor informal. Gunn 1988 menyatakan bahwa perdagangan sektor informal adalah elemen yang tidak kalah penting karena merupakan mata rantai akhir yang bersentuhan langsung dengan para ekowisatawan. Jenis usaha yang ditawarkan pada setiap lokasi obyek ekowisata tidak seluruhnya sama, tergantung pada karakteristik obyek ekowisata. Penjelasan masing-masing usaha masyarakat pada Desa contoh disajikan pada Tabel 35