Analisis Permasalahan Konservasi TNGC
pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26 per bulan, sedangkan untuk
kesehatan sekitar 1,96. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah
setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke
SLTP terdekat karena harus menggunakan ojek, responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga
jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah
mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan.
Rata-rata pendapatan responden masyarakat di tiga Desa contoh yang bekerja di agroforestri per kapita per bulan, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini
lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten UMK sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau
sebesar 56,29 dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71 diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri,
berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Dari hasil perhitungan, diperoleh rata- rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal
pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola makan keluarga, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
lebih tinggi dari SLTP serta pengobatan yang sederhana jika menderita sakit. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional,
dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja
manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka
anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen.
Hasil penelitian terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden
masyarakat masih rendah dibawah UMK Rp 700.000 per bulan. Sehingga
dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap kawasan TNGC. Apalagi jika melihat sikap masyarakat yang sebagian besar
64 responden setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah
menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Dari hasil analisis sikap masyarakat terbukti bahwa sebagian besar 53,18 masyarakat
kurang memahami mengenai fungsi dan manfaat taman nasional sehingga hal ini menyebabkan kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap
konservasi TNGC. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas pertanian dalam
kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat
pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya terutama yang tidak
memiliki lahan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar 80 sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada
orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar 50 sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang
yang mencuri kayusatwa di kawasan TN. Oleh karena itu peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sikap terhadap konservasi TNGC mutlak
dilakukan pada daerah penyangga TNGC. Pengembangan ekowisata dan agroforestri telah menjadi pilihan kegiatan
yang dapat dikembangkan pada daerah penyangga. Kedua kegiatan ini secara teori dan berbagai hasil penelitian telah diyakini mampu memberikan porsi yang
seimbang antara pelestarian lingkungan dan peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangannya
khususnya pada daerah penyangga TNGC, yaitu sebagai berikut: 4.3.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Ekowisata
Akses terhadap informasi merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat daerah penyangga. Pelaporan dan pemberitaan mengenai jenis
usaha informal skala kecil di sektor ekowisata, seperti penyewaan tenda, pemandu wisata, usaha outbond dan pekerjaan informal lainnya jarang
diberitakan dan kurang mendapat perhatian. Bidang-bidang pekerjaan yang seringkali muncul adalah bidang pekerjaan dalam skala besar, yang dimiliki
pemodal besar seperti perhotelan, restoran besar, agen-agen wisata, pengusaha
pakaianfactory outlet, dan lainnya yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Kuningan, sehingga pekerjaan-pekerjaan skala kecil tersebut menjadi kurang ter-
expose. Oleh karena itu sangat penting bagi stakeholder untuk meningkatkan akses bagi masyarakat daerah penyangga TNGC dan memfasilitasi mereka
untuk lebih dikenali keberadaannya oleh masyarakat luas, terutama wisatawan sebagai pengguna produk wisata, termasuk akses informasi, modal finansial,
pendidikanpelatihan dan infrastruktur yang mudah diperoleh di wilayah desa. Berdasarkan data profil desa dan hasil observasi, sebagian besar
penggunaan lahan masyarakat adalah untuk tegalanladangkebun masyarakat desa Pajambon seluas 20,14 ha, desa Cisantana seluas 436,812 ha, desa
Karangsari seluas 201,43 ha dan desa Seda seluas 78,216 ha. Sebagian besar tegalanladang ini didominasi oleh tanaman kayu-kayuan, tanaman buah-buahan,
kebun kopi, serta tanaman bamboo dan pemandangan alam di lingkungan desa. Jenis-jenis tanaman ini belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi
pembuatan fasilitassarana untuk pengembangan usaha misalnya bahan baku pembuatan souvenircenderamata. Oleh karena itu peran stakeholder dalam
pembinaan lebih difokuskan pada pembangunan pengembangan pelayanan ekowisata serta peningkatan pembinaan kepada masyarakat untuk mencari
peluang usaha baru di sektor ekowisata. Berdasarkan informasi keberadaan potensi obyek wisata, pada Gambar 4
terlihat bahwa lokasi obyek wisata menyebar secara merata disekeliling kawasan TNGC. Apabila pengembangan pariwisata hanya difokuskan pada zona
pengembangan utara, maka lokasi obyek wisata di zona ini akan berkembang dengan baik dan menjadi tempat favorit kunjungan wisatawan, sementara lokasi
lain akan mengalami kekurangan wisatawan, yang dapat menyebabkan usaha masyarakat daerah penyangga di sektor wisata tidak dapat berkembang. Oleh
karena itu pengembangan zona tata ruang wilayah sebaiknya juga mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang
terdapat pada desa-desa penyangga. 4.3.3.2 Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri
Beberapa faktor yang terkait dengan kelemahan masyarakat dalam mengembangkan agroforestri yaitu pengetahuan dan ketrampilan 60, modal
usaha 30 dan pemasaran 10. Sempitnya kepemilikan lahan pertanian masyarakat yaitu rata-rata 0,250 ha, menjadi kendala utama sulitnya masyarakat
dalam mengatur jenis tanaman. Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sebanyak mungkin berbenturan dengan kebutuhan menanam
tanaman pertanian yang dapat segera menghasilkan. Kendala lain adalah terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terhadap penanganan
penyakit pada tanaman pertanian dan kehutanan dan pemilihan jenis tanaman yang ekonomis. Pada umumnya produktivitas per orang yang bekerja di sektor ini
sangatlah rendah karena faktor-faktor modal yang rendah, penggunaan alat-alat produksi masih bersifat tradisional, tidak cukup menggunakan pupuk, teknik
produksi yang tidak efisien dan pemilikan tanah sempit. Pada tiga Desa contoh pemilihan jenis tanaman di masing-masing desa
relatif seragam, baik masyarakat dengan kemampuan modal lebih maupun yang memiliki modal terbatas. Pada proses pengolahan tanah, pembelian bibit dan
penanaman masih dapat ditangani dengan modal yang ada. Namun pada proses pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan pemberantasan penyakit menjadi
tidak optimal karena mahalnya harga pupuk dan obat, sehingga produksi yang dihasilkan juga tidak optimal. Sebagai contoh di desa Karangsari, pada saat
penelitian dilakukan, tanaman petsay memiliki harga yang tinggi. Banyak masyarakat yang tertarik untuk menanam meski paham bahwa modal yang
diperlukan cukup tinggi, karena mahalnya harga bibit dan tingginya biaya pemupukan dan pengobatan. Pada akhirnya, meskipun harga tinggi, pada luasan
yang sama, bagi masyarakat dengan kemampuan modal terbatas keuntungan yang diperoleh tidak sebesar masyarakat yang memiliki cukup modal, karena
kualitas petsay yang dihasilkan relatif lebih rendah seperti warna daun yang lebih pucat dan produksi yang lebih rendah.
Penjualan hasil pertanian masyarakat dilakukan kepada pengepul, sehingga harga lokal ditentukan oleh pengepul. Meskipun demikian, sebagian
besar petani tetap menjual hasilnya pada pengepul, karena biasanya pengepul merupakan petani desa setempat, sehingga sifat kekeluargaan dan saling
membantu lebih dominan daripada perhitungan untung rugi, meskipun harga yang ditawarkan relatif lebih rendah sekitar 20. Namun pada petani dengan
kemampuan modal terbatas, kehadiran pengepul terkadang menjadi penyelamat, karena kebutuhan untuk pembelian sarana produksi pertanian dapat meminjam
sampai saat panen tiba, juga bagi petani yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk menjual langsung ke pasar upah angkut, biaya transport dan
jarigan pembeli. Ketiga kendala ini saling berkaitan, sehingga pemberian modal
saja tidak dapat menyelesaikan masalah dalam meningkatkan produksi hasil tanaman agroforestri. Ketiga faktor tersebut harus secara simultan dibangun
melalui kegiatan yang dapat memperbaiki teknik budidaya yang baik, sejak pemilihan bibit tanaman pertanian dan kehutanan, teknik penanaman,
pemeliharan tanaman, penggunaan pupuk dan obat-obatan, perlakuan terhadap tanah, hingga proses pemanenan dan pemasaran. Penggunaan teknologi
pengelolaan usaha tani agroforestri yang lebih baik ini diharapkan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman agroforestri. Keseluruhan proses ini dapat
ditempuh melalui peningkatan program penyuluhan, pendampingan masyarakat serta program-program dari stakeholder yang mendukung pengembangan
agroforestri. Peningkatan frekuensi penyuluhan secara langsung dapat meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Berbekal ilmu dan ketrampilan yang lebih meningkat, masyarakat dapat lebih efisien dalam mengelola lahan,
sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman agroforestri. Penyuluhan yang berdampak signifikan terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat memiliki
kriteria dan prasyarat tertentu sesuai dengan kaidah penyuluhan yang meliputi materi dan teknik penyuluhan.
Penyuluhan yang telah diprogramkan oleh Balai P4K sudah sangat baik dalam hal perencanaan, dimana satu orang Penyuluh Pertanian Lapangan PPL
mempunyai wilayah kerja satu hingga dua desa, dan satu orang Penyuluh Kehutanan Lapangan PKL memiliki wilayah kerja satu hingga dua kecamatan
karena keterbatasan sumberdaya manusia. Kendala dalam agroforestri adalah permasalahan kewenangan dalam memberikan pembinaan terhadap petani
agroforestri. Pembinaan petani dalam pengelolaan tanaman pertanian semestinya dilakukan oleh Dinas Pertanian, dan pembinaan terhadap tanaman
kehutanan oleh Dinas Kehutanan. Namun dalam kenyataan, petani agroforestri tidak banyak tersentuh oleh Dinas Pertanian. Pembinaan terhadap petani
agroforestri lebih banyak dilakukan oleh BP4K melalui PPL, namun itupun sangat terbatas karena faktor pengetahuan dan sumberdaya PPL hasil
wawancara dengan penyuluh 2011. Berdasarkan hasil wawancara, petani sesungguhnya masih sangat memerlukan penyuluh sebagai tempat bertanya
dalam mengatasi permasalahan di lapangan, meskipun ada juga petani yang merasa kehadiran penyuluh tidak banyak membantu karena mereka merasa
lebih mengetahui seluk beluk tanaman dibanding penyuluh. Sangat disadari
bahwa terdapat keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan PPL dalam menguasai berbagai jenis tanaman pertanian. Kondisi di lapangan, pada satu
bidang lahan agroforestri rata-rata terdapat lebih dari tiga jenis tanaman pertanian. Sebagai contoh di desa Karangsari, responden dengan lahan
agroforestri seluas satu bata sekitar 0,1428 ha menanam cabe rawit dan jagung sebagai tanaman utama, ketela pohon sebagai tanaman pagar, beberapa pohon
pisang dan kopi, serta sengon dan kayu afrika. Ada juga yang bertanam padi huma sebagai tanaman utama diselingi tanaman lada, tanaman buah-buahan
serta pinus dan waru. Seandainya dalam satu desa terdapat 50 orang petani agroforestri, dan setiap petani menanam satu jenis saja tanaman pertanian yang
berbeda, maka seorang PPL harus menguasai 50 jenis tanaman palawija cabe rawit, jagung, padi huma, ketela pohon, tomat, dan lain-lain, buah-buahan
pisang, nangka, petai, sukun, dll dan atau perkebunan lada, cengkeh, kopi, melinjo.
Berbeda dengan jenis tanaman kehutanan yang relatif homogen dan tidak banyak jenisnya. Sebagai contoh jenis yang ditanam masyarakat desa
Karangsari hanya berkisar pada jenis-jenis sengon, suren, mahoni, kayu afrika, pinus, waru, manglid dan jati. Bibit tanaman kehutanan biasanya cukup
mengambil dari sekitar desa tidak membeli, sehingga masyarakat cenderung untuk menanam jenis tersebut. Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan
terhadap jenis tanaman kehutanan tersebut lebih mudah dilakukan oleh PKL. Kendala yang dihadapi justru pada terbatasnya jumlah PKL, yaitu satu orang
PKL memiliki wilayah binaan satu hingga dua kecamatan, sehingga frekuensi pertemuan dengan petani juga terbatas. Sesungguhnya, kegiatan penyuluhan
tidak saja dilakukan oleh pemerintah melalui BP4K, namun dapat juga dilakukan oleh penyuluh swadaya, dunia usaha PDAU dan LSM Akar dan Kanopi
sehingga frekuensi penyuluhan dapat ditingkatkan hingga tiga kalinya dan jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan juga akan dapat ditingkatkan.
Penguasaan PPL dan PKL terhadap teknik penyuluhan sesungguhnya tidak diragukan. Karena sebagian besar berpendidikan Sarjana dan telah
mendapat bekal ilmu penyuluhan Buku Laporan BP4K 2010. Namun karena permasalahan di lapangan begitu kompleks dan lebih cepat berkembang, maka
diperlukan kesungguhan para penyuluh untuk selalu meng up date pengetahuan dan meng up grade kemampuan, sehingga PPL dan PKL memiliki kemampuan
untuk mengajak masyarakat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan terkini
tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Penerapan hasil-hasil penelitian yang melibatkan petani secara aktif dapat difokuskan pada masalah yang
berhubungan dengan jenis tanaman, tempat tumbuh, metode penanaman, memelihara dan pengaturan pohon. Kehadiran seorang penyuluh terkadang
diperlukan sebagai motivator dan fasilitator bagi petani dalam menghadapi permasalahan dan dalam pengembangan usaha.
Kebijakan pada agroforestri sesungguhnya tidak bersifat pengaturan pada land tenure, dan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan keinginan masyarakat,
karena agroforestri diusahakan pada lahan milik masyarakat. Namun demikian, karena letaknya di daerah penyangga taman nasional, ada beberapa pengaturan
penggunaan lahan yang disesuaikan dengan tujuan konservasi taman nasional. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pola penggunaan lahan, terutama pada
lahan dengan kemiringan yang rawan terhadap erosi, maka masyarakat didorong untuk menanam pohon berkayu. Pada masyarakat di tiga Desa contoh, kebijakan
hanya bersifat memberikan alternatif penyelesaian permasalahan pada usaha agroforestri masyarakat, seperti pemilihan jenis tanaman, pengelolaan tanaman,
pengaturan hasil, dan pemasaran. Luasan lahan kritis di Kabupaten Kuningan sampai awal tahun 2009 adalah
3.975,97 ha. Kondisi tersebut sudah seharusnya disikapi dan ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan secara terencana dan berkelanjutan, sehingga
fungsi lahan baik dari segi ekologis maupun ekonomis dapat berjalan dengan optimal. Selain itu secara geografis wilayah Kabupaten Kuningan memliki
topografi bergelombang hingga berbukit sehingga pola pemanfaatan lahannya harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu
penataan lahan kering dan hutan milik harus dilakukan tanpa menapikan fungsi ekonomi lahan dimaksud.
Dari segi luasan hutankebun rakyat di Kabupaten Kuningan masih relatif kecil dengan pemilikan lahan rata–rata 0,30 haKK, walaupun demikian, prospek
hutan rakyat dan agroforestri masih cukup potensial untuk dikembangkan. Adanya budaya menanam pada masyarakat Kuningan sebagai investasi
tabungan merupakan modal positif untuk mengembangkan hutankebun rakyat. Upaya penanganan masalah tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh
Pemerintah saja namun harus melibatkan partisipasi aktif sinergitas stakeholder.