Potensi Pengembangan Daerah Penyangga TNGC

tulisan pada papan petunjuk, kondisi MCK yang kurang layak, shelter yang kurang berfungsi dengan baik, serta jalur trecking yang tidak jelas merupakan indikator penilaian dari responden. b Fasilitas Produk Ekowisata yang disediakan Masyarakat Menurut Gunn 1988 dan Warpani 2007 fasilitas yang disediakan oleh masyarakat setempat berupa produk ekowisata seperti akomodasi pondokan, wisma, homestay, penyewaan kamar di rumah penduduk dan perkemahan, rumah makan, souvenircenderamata, pemandu ekowisata dan jenis produk lainnya. Produk wisata adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar agar orang tertarik perhatiannya, ingin memiliki, memanfaatkan dan mengonsumsi untuk memenuhi keinginan dan mendapat kepuasan Kotler, Bowen dan Makens 1999 dalam Fandeli 2001. Pengembangan produk ekowisata ini dikaji berdasarkan potensi masyarakat yang merupakan bagian dari usahamata pencaharian. Oleh karena itu produk ekowisata yang disediakan masyarakat selanjutnya disebut sebagai usaha di sektor ekowisata. Salah satu prinsip ekowisata menurut The International Ecotourism Society 2005 adalah adanya penghasilan bagi masyarakat, yaitu dengan adanya keuntungan secara aktual bagi masyarakat setempat melalui perdagangan sektor informal. Gunn 1988 menyatakan bahwa perdagangan sektor informal adalah elemen yang tidak kalah penting karena merupakan mata rantai akhir yang bersentuhan langsung dengan para ekowisatawan. Jenis usaha yang ditawarkan pada setiap lokasi obyek ekowisata tidak seluruhnya sama, tergantung pada karakteristik obyek ekowisata. Penjelasan masing-masing usaha masyarakat pada Desa contoh disajikan pada Tabel 35 Tabel 35 Penawaran produk ekowisata oleh masyarakat Tabel 35 memperlihatkan ada delapan jenis usaha yang ditawarkan oleh masyarakat lokal yang bekerja di ekowisata. Seluruh jenis usaha ini dimiliki oleh masyarakat secara perorangan, kecuali penyewaan kamar bilas yang merupakan fasilitas yang dimiliki oleh pengelola obyek wisata Cibulan. Jenis usaha terbanyak adalah warung makanan dan souvenir yang melibatkan 72 KK. Pada hari libur, hampir seluruh jenis usaha ini memperoleh pendapatan melalui jumlah uang yang dibayarkan oleh ekowisatawan, kecuali pemanduan rata-rata hanya satu orang pada hari libur. Pendapatan terbanyak diperoleh dari penjualan makanan dan minuman. Meskipun jumlah unit usaha ini relatif banyak, namun karena minat masyarakat untuk berbelanja makanan cukup tinggi, sehingga tetap dapat memberikan pendapatan yang relatif lebih banyak kepada pengelolanya. Warung makanan dan minuman ini menyediakan jenis makanan seperti indomie, makanan ringan, kue-kue serta bermacam jenis minuman, seperti aqua, teh botol, dll. Makanan khas daerah setempat seperti leupeut, gemblong, kripik sukun dll, hanya ditemukan pada warung di Cibulan. Responden pemilik warung menyatakan bahwa jenis makanan yang dijual adalah yang dapat bertahan lama awet untuk menghindari resiko kerugian jika tidak terjual. Menurut Warpani 2007, keberadaan warung makan ini cukup penting karena pengeluaran untuk makanan dan minuman proporsinya dapat No Jenis Usaha Jumlah Unit Usaha Harga rata-rata per Unit Rp Jumlah pengguna jasa di hari kerja Jumlah pengguna jasa di hari libur Jumlah KK yang terlibat Pendapatan KK per bulan 1 Warung Makanan dan Minuman 41 10.000 - 20.000 5 - 7 50 - 100 41 1.329.309 2 Souvenir 31 5.000 - 20.000 20 75 31 548.500 3 Jasa Pemandu Ekowisata 5 25.00 - 50.000 Tidak ada 1 5 155.000 4 Penitipan Kendaraan 3 2.000 - 4.000 5 - 20 160 - 220 28 436.000 5 Atraksi Outbond 1 5.000 - 15.000 Tidak beroperasi 50 8 500.000 6 Penyewaan Kamar Bilas 32 5000 20-50 150-200 2 566.000 7 Penyewaan Peralatan Renang 8 5.000 - 10.000 5 20 8 500.000 8 Penyewaan Toilet Umum 2 1.000 10 50 1 600.000 mencapai 20 hingga 35 dari belanja ekowisatawan. Kondisi warung di lokasi ekowisata dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Jenis usaha warung makanan dan minuman di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Keberadaan souvenir cinderamata menjadi salah satu daya tarik obyek ekowisata, apalagi jika merupakan kerajinan khas daerah setempat. Menurut Warpani 2007 keberadaan penjaja souvenir selain dapat melayani beberapa kebutuhan ekowisatawan, tidak jarang mereka juga menjadi obyek ekowisata. Kenyataan ini hanya ditemukan di obyek ekowisata Cibulan, dimana penjual souvenir tertata cukup rapi berupa kios-kios yang menjual souvenir berwarna- warni yang dapat menjadi obyek wisata lanjutan setelah mengunjungi obyek ekowisata utama. Sebagian besar souvenir berupa kerajinan dari rotan, bambu dan kayu yang berupa alat-alat rumah tangga, hiasan rumah, tas dan pernak pernik gantungan kunci, kalung, dll, juga menjual makanan khas seperti tape ketan, leupeut, aneka keripik melinjo, pisang, singkong, sukun dan buah alpuket. Dengan harga dan jenis yang cukup beragam ini, ekowisatawan dapat membeli souvenir sesuai dengan kemampuannya. Sekitar 80 souvenir ini didatangkan dari luar daerah, kerajinan anyaman didatangkan dari Tasikmalaya dan kerajinan kayu berasal dari Jogyakarta, sehingga keuntungan yang diperoleh penjual hanya sekitar 20 saja. Perlu adanya pembinaan, agar masyarakat dapat membuat sendiri souvenir ini, sehingga dapat lebih meningkatkan nilai tambah dari produk kayu atau bambu, karena bahan baku untuk membuat souvenir cukup tersedia di sekitar desa. Jenis souvenir di lokasi ekowisata TNGC disajikan pada Gambar 17. Gambar 17 Jenis usaha souvenir di Buper Palutungan dan Cibulan Jumlah pemandu ekowisata di ketiga lokasi hanya lima orang, yaitu dua orang di Lembah Cilengkrang, satu orang di Buper Palutungan dan dua orang di Cibulan. Keberadaan pemandu cukup penting dirasakan oleh ekowisatawan. Sebagai contoh, adanya permintaan dari Pembina perkumpulan pasukan pengibar bendera yang terdiri dari murid-murid SLTP terhadap pemandu di Lembah Cilengkrang untuk memberikan materi tentang upaya konservasi di kawasan ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara, 43 ekowisatawan menyatakan membutuhkan pemandu dan 57 menyatakan kurang membutuhkan. Menurut pemandu, frekwensi pemanduan belum optimal, dalam satu bulan hanya dua hingga tiga kali saja. Hal ini kemungkinan besar karena ekowisatawan kurang mengetahui informasi dimana dan bagaimana cara mendapatkan jasa pemanduan, karena tidak adanya informasi atau promosi dalam bentuk apapun mengenai jasa ini. Usaha penitipan kendaraan menjadi bagian yang penting dari kegiatan ekowisata. Kendaraan milik ekowisatawan tidak dapat masuk ke lokasi obyek ekowisata sehingga menitipkan kendaraan merupakan solusi jika ekowisatawan ingin melakukan kegiatan ekowisata dengan aman dan nyaman. Jasa penitipan kendaraan pada tiga lokasi ekowisata selalu ramai karena sebagian besar ekowisatawan menggunakan kendaraan sendiri baik roda dua maupun roda empat. Lahan yang digunakan untuk penitipan kendaraan di Lembah Cilengkrang merupakan tanah milik desa tanah gege yang terkadang tidak cukup untuk menampung kendaran yang datang pada hari Minggu, sehingga harus menyewa lahan milik penduduk. Lahan parkir di Buper Palutungan dan Cibulan termasuk kedalam kawasan TNGC, sehingga tidak ada pengeluaran untuk sewa lahan. Pengelola di Lembah Cilengkrang adalah anggota Karang Taruna sebanyak 14 orang, di Buper Palutungan pengelola penitipan kendaraan adalah anggota Kelompok Tani sebanyak 8 orang dan di Cibulan sebanyak 6 orang. Usaha penitipan kendaraan di ketiga lokasi ekowisata dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Jenis usaha penitipan kendaraan di Buper Palutungan, Cibulan dan Lembah Cilengkrang Usaha atraksi outbond terdapat di Buper Palutungan dan di Cibulan masing-masing satu buah. Seluruh pengelola atraksi adalah masyarakat setempat. Pengelola atraksi outbond di Buper Palutungan diwadahi dalam satu perkumpulan yang bernama Palutungan Outbond Activity PAOBA dengan anggota berjumlah delapan orang yang merupakan perwakilan dari tiap kampung di Desa Cisantana. Jenis permainan yang tersedia di Buper Palutungan yaitu flying fox, jembatan goyang, air soft gun, fun games, raffling dan jaring laba-laba, sedangkan di Cibulan hanya flying fox, karena ada keterbatasan lahan. Sebanyak 20 responden menyatakan atraksi outbond merupakan salah satu daya tarik mengunjungi buper Palutungan dan Cibulan. Teknik pemasaran yang dilakukan PAOBA yaitu melalui penyebaran brosur dan leaflet. Selain kepada wisatawan buper, pemasaran juga dilakukan dalam bentuk paket-paket permainan sesuai pesanan konsumen dengan tarif Rp 25.000 per paket. Konsumen yang sering memanfaatkan diantaranya adalah mahasiswa Universitas Kuningan UNIKU dan Dinas Bina Marga. Pengembangan selanjutnya direncanakan kepada murid-murid TK dan SD wawancara dengan pengelola, Agustus 2011. Sedangkan atraksi outbond oleh pengelola di Cibulan hanya berdasarkan wisatawan yang berminat. Hasil pendapatan digunakan untuk kas dan perawatan alat, sisanya dibagikan kepada anggota. Sedangkan di Cibulan, keempat anggota pengelola langsung mendapatkan hasil kerjanya setelah selesai kegiatan. Jika usaha ini berkembang, PAOBA berniat untuk menarik sebanyak mungkin tenaga kerja dari masyarakat setempat. Pengelolaan usaha outbond ini melibatkan sekitar 12 KK. Promosi usaha atraksi outbond pada buper Palutungan dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Jenis usaha atraksi outbond di Buper Palutungan Penyewaan kamar bilas hanya terdapat di Cibulan. Aktifitas sebagian besar wisatawan adalah mandi dan berenang, oleh karena itu keberadaan penyewaan kamar bilas menjadi sangat penting. Penyewaan kamar bilas dibawah pengelolaan obyek ekowisata Cibulan sehingga pendapatan yang diperoleh masuk kedalam perhitungan pemasukan bagi pengelola. Petugas hanya bersifat menjaga dan tidak memperoleh pendapatan langsung dari hasil penyewaan ini. Penyewaan kamar bilas dapat juga dikembangkan di Lembah Cilengkrang dan Buper Palutungan karena memiliki obyek wisata alam pemandian air terjuncurug. Permintaan kamar bilasruang ganti pakaian tersebut sudah dinyatakan oleh responden yang mengunjungi Palutungan dan Lembah Cilengkrang. Kondisi kamar bilas di Pemandian Cibulan dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20 Jenis usaha penyewaan kamar bilas di Pemandian Cibulan Penyewaan peralatan renang hanya terdapat di Cibulan. Usaha penyewaan peralatan renang di lokasi pemandian Cibulan dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Jenis usaha penyewaan peralatan renang di Pemandain Cibulan Penyewaan toilet umum hanya terdapat di Cibulan, dimiliki oleh masyarakat sebanyak satu unit, dan satu unit lainnya termasuk dalam pengelolaan obyek ekowisata Cibulan. Wisatawan yang menggunakan jasa toilet umum ini cukup banyak karena terbatasnya toilet yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata. Pengelola di ketiga obyek wisata alam TNGC berasal dari masyarakat desa setempat. CV Wisata Putri Mustika, pengelola buper Palutungan, selain pemilik, mempunyai tenaga kerja sebanyak empat orang yang bertugas untuk mengelola loket masuk. Obyek wisata alam Cibulan dikelola oleh pihak Desa Manis Kidul, memiliki 12 orang tenaga kerja, enam orang bertugas untuk menjaga pintu masuk areal parkir dan parkir kendaraan, dua orang bertugas mengelola kamar bilasganti, satu orang bagian pemeriksaan tiket, dua orang bagian keamanan dan satu orang bagian loket karcis masuk. Obyek wisata alam Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata KOMPEPAR berjumlah 19 orang. Bertugas secara bergantian sistim shift, dengan pembagian tugas per hari sebanyak empat orang pada hari Senin hingga Sabtu. Pada hari Minggu dan saat musim liburan hampir semua anggota terlibat. Tugas dari pengelola meliputi penjagaan loket masuk, bagian informasi, menjaga keamanan wisatawan serta kebersihan obyek wisata alam. Pendapatan pengelola ekowisata bervariasi. Untuk anggota pengelola obyek ekowisata Cibulan, gaji tetap per bulan rata-rata sebesar Rp 550.000 dan mendapat biaya makan Rp 10.000 per hari. Pada hari minggu dan saat libur lebaran dan tahun baru, tambahan diberikan pada insentif biaya makan menjadi Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per hari. Obyek ekowisata alam Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata KOMPEPAR beranggotakan 19 orang. Pendapatan pengelola berasal dari pemasukan yang diterima setiap bulan dari karcis masuk. Setelah dipotong biaya kas kelompok dan biaya pemeliharaan obyek wisata, sisanya dibagi merata kepada setiap anggota. Setiap bulan rata- rata setiap anggota menerima Rp 150.000 sampai Rp 200.000. Setiap tahun ada peningkatan pendapatan sebesar 20 sampai 25. Pendapatan rata-rata pengelola di tiga obyek ekowisata setiap bulan adalah sekitar Rp 566.660 per orang dan menyerap tenaga kerja sebanyak 33 orang. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat dipetakan jumlah unit usaha ekowisata yang tersedia dan jumlah masyarakat yang terlibat dalam usaha tersebut seperti disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Jumlah unit usaha dan jumlah masyarakat yang bekerja di tiga lokasi ekowisata No Jenis Produk dan Jasa Ekowisata Lembah Cilengkrang Buper Palutungan Cibulan Jumlah Masya- rakat KK Jumlah unit usaha Jumlah masya- rakat Jumlah unit usaha Jumlah masya- rakat Jumlah unit usaha Jumlah masya- rakat 1. Warung makanan minuman 8 8 13 13 10 10 30 2. Souvenir Tidak ada Tidak ada 1 1 30 30 31 3. Pemandu ekowisata 2 2 1 1 2 2 5 4 Penitipan kendaraan 1 14 1 7 1 6 27 5. Atraksi outbond Tidak ada Tidak ada 1 8 1 4 12 6. Penyewaan peralatan renang Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 8 8 8 7. Toilet umum Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 2 1 1 8. Penyewaan kamar bilas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1 Tidak ada Tidak ada 9. Pengelola obyek ekowisata 1 17 1 5 1 6 28 Jumlah 12 41 18 34 56 67 142 Ada sembilan jenis usaha yang tersedia dan tujuh diantaranya dimiliki oleh masyarakat selain penyewaan kamar bilas dan pengelola obyek ekowisata dengan penyerapan jumlah tenaga kerja masyarakat sebanyak 142 KK. Dari 86 unit usaha yang terdapat di tiga lokasi ekowisata, terbanyak berada di obyek ekowisata Cibulan yaitu sebanyak 56 unit usaha, dan seluruh jenis usaha ekowisata ini terdapat di Pemandian Cibulan. Hal ini karena lokasinya relatif lebih dekat dari kota, mudah ditempuh dan kondisi areal usaha yang lebih strategis. Jenis dan jumlah unit usaha di obyek ekowisata Lembah Cilengkrang paling sedikit, yaitu hanya empat jenis dengan 12 unit usaha. Berdasarkan hasil analisis terhadap jenis usaha masyarakat di tiga lokasi ekowisata, ada hubungan yang berbanding terbalik antara jumlah jenis usaha, jumlah unit usaha dan jarak dari kota Kuningan. Semakin jauh jarak obyek ekowisata dari kota, semakin sedikit jenis usaha dan jumlah unit usaha masyarakat. Artinya bahwa, peluang kesempatan kerja lebih banyak pada lokasi ekowisata yang dekat dengan kota, dan semakin terbatas jika jauh dari kota. Namun demikian jumlah masyarakat yang terlibat dalam usaha ekowisata ternyata tidak mengikuti pola tersebut. Jumlah masyarakat yang bekerja di ekowisata ternyata tidak tergantung pada banyaknya jumlah jenis usaha, tetapi tergantung pada kebutuhan dari setiap unit usaha. Sebagai contoh, satu unit usaha atraksi outbond di Palutungan membutuhkan tenaga kerja sebanyak 8 orang, sedangkan di Cibulan cukup ditangani empat orang. Hal ini dikarenakan usaha atraksi outbond di Palutungan memiliki jenis permainan yang lebih beragam serta areal yang dipergunakan lebih luas. Grafik hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22 Gambar 22 Hubungan jarak dari pusat kota dengan jumlah unit usaha Implikasi hubungan ini adalah kepada strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder dalam pengembangan ekowisata khususnya yang menyangkut usaha masyarakat. Peluang usaha masyarakat agar lebih dikembangkan di lokasi ekowisata yang berjarak lebih jauh dari kota dengan melihat contoh usaha yang telah ada. Meskipun masing-masing lokasi ekowisata memiliki potensi, peluang pengembangan dan karakteristik masyarakat yang berbeda, namun secara umum jenis usaha masyarakat yang dapat dikembangkan hampir seragam, hanya teknik mengemasnya saja yang lebih disesuaikan dengan kondisi disetiap lokasi ekowisata. Aspek pengembangan usaha masyarakat tersebut tidak terlepas dari keberadaan wisatawan. Informasi mengenai preferensi wisatawan sebagai konsumen sangat diperlukan sebagai acuan jenis usaha yang layak dikembangkan. Menarik sebanyak mungkin belanja wisatawan baik dari segi kuantitas besarnya dan kualitas proporsi yang diterima masyarakat setempat harus menjadi tujuan utama pengembangan usaha masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan kajian mengenai demand wisatawan. 4.4.1.2 Kondisi Permintaan Ekowisata TNGC Sejak tahun 2007 hingga 2011 jumlah wisatawan TNGC mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007 rata-rata sebanyak 8.478 orang, tahun 2008 rata-rata 21.123 orang, tahun 2009 sebanyak 49.510 orang, tahun 2010 rata-rata 147.495 orang, dan pada tahun 2011 rata-rata 141.435 orang. Musim libur sekolah dan hari raya merupakan saat terjadinya lonjakan wisatawan. Rata-rata tingkat kunjungan wisatawan per bulan untuk Buper palutungan sebanyak 2.883 orang atau 12,23 dari total wisatawan, Lembah Cilengkrang sebanyak 5.452 orang atau 23,13 dan Cibulan sebanyak 365 orang atau 1,55 dengan rata-rata tingkat kunjungan di tiga obyek ekowisata tersebut sebanyak 2.900 orang per bulan atau sekitar 12,30 dari jumlah total wisatawan TNGC per bulan BTNGC 2011 data diolah. Jumlah wisatawan TNGC tahun 2007 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 Jumlah wisatawan TNGC Hasil identifikasi menggambarkan, responden wisatawan TNGC sebagian besar berasal dari daerah sekitar TNGC, yaitu kabupaten Kuningan dan Cirebon, berpendidikan SLTA, berusia antara 10 hingga 30 tahun, dan bekerja sebagai pegawai swasta dan pelajarmahasiswa. Meskipun sebagian besar 36 wisatawan anak-anak muda tersebut belum berpenghasilan, namun dari segi pengeluaran, ternyata 55 dari wisatawan membelanjakan uangnya antara 50 ribu hingga 100 ribu rupiah setiap kali berkunjung. Artinya bahwa wisatawan anak-anak muda ini cukup potensial sebagai penyumbang perekonomian masyarakat setempat. Hasil pengamatan lapangan membuktikan bahwa sebagian besar pembeli di warung-warung adalah anak-anak muda yang pada umumnya enggan untuk membawa bekal sendiri, berbeda dengan wisatawan dari kalangan dewasa yang telah menyiapkan perbekalankonsumsi dari tempat tinggalnya. Ekowisatawan tersebut sebagian besar sudah lebih dari tiga kali mengunjungi lokasi ekowisata yang sama. Strategi promosi TNGC sebaiknya lebih difokuskan pada pasarkonsumen luar daerah, sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan dari luar daerah, sehingga diharapkan terdapat komponen belanja wisatawan yang lebih besar terutama untuk akomodasi dan konsumsi yang merupakan porsi terbesar pengeluaran ekowisata. Karakteristik responden ekowisatawan TNGC disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Karakteristik responden ekowisatawan TNGC No Kondisi Sosial Ekonomi Responden Jumlah 1 Asal Pengunjung - Cirebon - Kuningan - Indramayu - Bekasi - Jakarta - Majalengka - Mojokerto 29 53 4 2 5 5 2 2 Umur - 10 – 20 tahun - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 –50 tahun - 51 – 60 tahun - 61 tahun 36 47 9 5 2 3 Pendidikan - SLTP - SLTA - Diploma - Sarjana 7 67 7 18 4 Jenis Kelamin - Perempuan - Laki-laki 47 53 5 Pekerjaan - Karyawan swasta - Pelajar - Mahasiswa - Dagang - PNS - Buruh - Sopir 31 27 18 13 5 4 2 6 Pendapatan per bulan - 0 - Rp 500.000 - Rp 500.000 – Rp 1.500.000 - Rp 1.500.000 – Rp 3.500.000 - Rp 3.500.000 – Rp 6.500.000 - Rp 6.500.000 - Rp 10.000.000 - Rp 10.000.000 36 11 31 11 2 4 5 Potensi perekonomian masyarakat sekitar dari belanja ekowisatawan cukup besar, dari hasil wawancara 55 ekowisatawan membelanjakan uangnya sebesar Rp 50.000 – Rp 100.000, 5 membelanjakan Rp 100.000 – Rp 150.000, 20 membelanjakan Rp 150.000 – Rp 200.000 dan 20 membelanjakan Rp 200.000 – Rp 250.000, dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 127.500 per hari, sementara rata-rata belanja wisatawan nusantara adalah Rp 110.000 per hari Warpani 2007. Jika 20-35 dari pengeluaran itu dialokasikan untuk makananminuman Warpani 2007, pengeluaran untuk akomodasi sebesar 25- 30 dari pengeluaran, dan untuk angkutan setempat hanya 5 dari pengeluaran Yoeti 1988, maka keseluruhan pengeluaran wisatawan untuk akomodasi, makanan dan angkutan setempat diperkirakan sebesar 50-70. Dengan asumsi pengeluaran ditempat tujuan ekowisata sebesar 50 nya, maka akan tersisa 25 hingga 35 dari belanja wisatawan yang belum diserap. Jika mampu untuk menarik sisa dari belanja ini, maka proporsi ini sangat berarti bagi pendapatan masyarakat. Masyarakat tinggal mengemas dari aspek apa saja wisatawan akan membelanjakan jumlah uang yang tersisa ditempat mereka berkunjung. Souvenir, atraksi wisata, jasa pemanduan, dan jenis produk wisata lainnya menjadi alternatif yang harus diperhitungkan. a Permintaan Ekowisatawan terhadap Komponen Ekowisata Komponen ekowisata meliputi obyek daya tarik wisata di TNGC, perangkutanassesibilitas, promosi dan informasi, pelayanan wisatawan, serta fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata. Permintaan responden terhadap komponen ekowisata tersebut dijelaskan sebagai berikut : Berdasarkan tujuan utama mengunjungi daerah ekowisata TNGC, 75 responden bermaksud untuk menikmati keindahan panoramapemandangan alam, 15 untuk menikmati obyek wisata alam yang ada, seperti pemandian atau bumi perkemahan, 10 untuk rekreasi dan 5 responden bertujuan untuk melihat dan mengamati tumbuhan dan satwa khasunik. Karena keindahan alam TNGC ini, 64 responden menyatakan bukan merupakan kunjungan yang pertama. Sebanyak 36 responden pernah berkunjung ke daerah ekowisata TNGC sebanyak dua kali, 36 pernah berkunjung sebanyak tiga hingga lima kali, 20 pernah berkunjung lebih dari sembilan kali, dan 8 responden pernah berkunjung sebanyak enam hingga sembilan kali. Sebagian besar 77 responden menghabiskan waktu kurang dari satu hari dan tidak menginap. Terhadap besarnya tarif masuk kawasan ekowisata TNGC, secara umum 57 responden menyatakan tidak mahal dan 43 lainnya menyatakan mahal. Terhadap tarif masuk ini ekowisatawan berharap bahwa besarnya tarif masuk hendaknya disesuaikan dengan obyek wisata yang ditawarkan. Promosi yang telah dilakukan oleh Balai TNGC dan pihak pengelola belum secara maksimal dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat responden yang sebagian besar menyatakan bahwa mendapatkan informasi obyek wisata alam dari temansaudara sebanyak 65 responden, 15 mendapatkan informasi dari media cetak leaflet, booklet, majalah, koran, 7 mendapatkan informasi dari media elektronik televisi, radio, internet dan 13 dari sumber lain. Sebanyak 55 responden berkunjung ke TNGC didorong keinginannya untuk membuktikan informasi yang telah diperoleh. Upaya promosi yang dilakukan oleh Balai TNGC dan pengelola ekowisata tersebut belum secara optimal dilakukan, terutama promosi di luar daerah Kuningan dan sekitarnya. Hal ini terbukti dari jumlah responden yang sebagian besar yaitu 82 berasal dari Kabupaten Kuningan dan Cirebon, dan hanya 18 yang berasal luar kedua daerah tersebut Indramayu, Majalengka, Jakarta, Bekasi dan Jawa Tengah. Promosi melalui media cetak dan elektronik terbukti belum efektif dalam menarik minat wisatawan, karena hanya 22 responden yang mendapatkan informasi dari media cetak dan elektronik. Promosi melalui pameran sebaiknya ditingkatkan setiap tahun, agar keberadaan TNGC lebih dikenal oleh ekowisatawan dari luar Jawa Barat. Tanggapan responden terhadap pelayanan petugaspengelola lokasi obyek wisata alam secara umum, 43 responden menyatakan kurang baik, 53 responden menyatakan cukup baik, dan hanya 2 yang menyatakan baik. Pelayanan pengelola dinyatakan kurang baik, menurut responden salah satunya karena tidak adanya petugas yang dapat menjelaskan lokasi obyek dan tidak adanya buku panduan booklet atau peta denah lokasi obyek ekowisata sebagai sarana untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan ekowisata. Pelayanan merupakan salah satu faktor yang menentukan minat ekowisatawan untuk berkunjung Fandeli 2000, baik pelayanan oleh pengelola maupun oleh masyarakat. Oleh karena itu pengetahuan mengenai teknik melayani wisatawan harus menjadi salah satu materi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi, Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Secara umum tanggapan responden terhadap kondisi fasilitas di tiga lokasi ekowisata TNGC yaitu 8 responden menyatakan baik, 40 responden menyatakan cukup baik, 48 menyatakan kurang baik, dan 4 responden menyatakan tidak baik. Tidak adanya peta denah lokasi obyek wisata, kurangnya jumlah papan petunjuk, kurang jelasnya tulisan pada papan petunjuk, kondisi pintu MCK yang tidak berfungsi, kondisi shelter yang kurang layak pakai, mushola yang kurang terawat, serta jalur tracking yang tidak jelas merupakan indikator penilaian dari ekowisatawan mengenai kurang baiknya fasilitas. Setelah melakukan kunjungan ke lokasi ekowisata TNGC, sebagian besar 79 responden tetap menyatakan berminat untuk kembali mengunjungi lokasi ekowisata TNGC karena mereka mendapat kesan yang menyenangkan yaitu dapat menikmati hutan yang masih alami, pemandanganpanorama alam yang indah dan menarik, serta udara yang sejuk. b. Permintaan Ekowisatawan terhadap Produk Ekowisata Pendapat responden dalam hal produk ekowisata yang disediakan oleh masyarakat disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Permintaan ekowisatawan terhadap produk ekowisata No Produk Ekowisata Jumlah 1 Makanan dan minuman - Menyediakan banyak ragam makanan dan minuman - Harga murah - Menyediakan makanan khas 45 32 23 2 Souvenir a. Tanggapan mengenai souvenir  Souvenir adalah benda ciri khas pin, sticker, topi, kaos dll  Pakaian dan mainan  Makanan khas b. Kisaran harga yang diminati responden  Rp 5.000–Rp 25.000  Rp 26.000–Rp 50.000  Rp 50.000 57 23 20 75 20 5 3 Pemandu wisata a. Kebutuhan penggunaan jasa pemandu  Membutuhkan pemandu wisata  Cukup membutuhkan  Tidak membutuhkan b. Kesanggupan membayar tarif bagi pemandu  Tarif Rp 25.000 per jam  Tarif Rp 25.000–Rp 50.000 per jam  Tarif Rp 50.000 per jam 20 45 35 37 52 11 4 Penitipan kendaraan - Membutuhkan untuk keamanan - Cukup membutuhkan - Tidak membutuhkan 65 35 - No Produk Ekowisata Jumlah 5 Tarif atraksi outbond - Rp 5.000–Rp 15.000 - Rp 15.000–Rp 25.000 - Rp 25.000 65 26 9 6 Penyewaan peralatan renang - Berminat - Cukup berminat - Tidak berminat 22 20 58 7 Toilet umum - Tarif Rp 2.000 per satu kali sewa - Tarif Rp 2.000–Rp 3.000 98 2 8 Penyewaan kamar bilas a. Kebutuhan kamar bilas  Membutuhkan kamar bilas  Cukup membutuhkan  Tidak membutuhkan b. Tarif kamar bilas  Rp 2.000  Rp 2.000–Rp 5.000  Rp 5.000 56 44 - 60 35 5 9 Penyewaan Tenda - Tarif Rp 25.000 per malam - Tarif Rp 25.000 – Rp 50.000 per malam - Tarif Rp 50.000 – Rp 75.000 per malam 13 62 25 10 Penitipan Pakaian - Tarif Rp 2.000 - Tarif Rp 2.000–Rp 5.000 - Tarif Rp 5.000 45 30 25 11 HomestayPondokan - Tarif Rp 50.000 per malam - Tarif Rp 50.000–Rp 100.000 per malam - Tarif Rp 100.000 per malam 55 38 7 12 Rumah makanRestoran - Tarif sekali makan Rp 20.000 - Tarif sekali makan Rp 20.000–Rp 30.000 - Tarif sekali makan Rp 30.000 47 45 8 Menurut responden, selain bersih dan sehat, kriteria utama yang harus dipenuhi oleh warung agar banyak pembeli adalah jika warung menyediakan banyak ragam makanan yang dijual menurut 45 responden, 32 responden menyatakan jika makanan yang dijual harganya murah, dan jika warung tersebut menyediakan makanan khas daerah setempat 23 responden. Tanggapan responden mengenai souvenir, sebagian besar 57 menginginkan souvenir yang menggambarkan ciri khas TNGC seperti gantungan kunci, pin, stiker, topi, kaos dan asesoris lainnya bergambar TNGC. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di tiga obyek ekowisata tidak ditemukan souvenir yang berciri khas TNGC, seperti yang diinginkan responden yaitu pin, gantungan kunci, kaos dan jenis lainnya yang menunjukkan keberadaan TNGC. Padahal melalui souvenir ini dapat menjadi ajang informasi dan promosi yang lebih efektif bagi pelestarian TNGC. Masyarakat akan lebih mengenal TNGC berdasarkan benda yang digunakannya sehari-hari, demikian juga jika souvenir ini diberikan sebagai oleh-oleh kepada kerabat yang jauh, akan dapat memperluas jangkauan informasi keberadaan TNGC. Pendapat responden mengenai pemandu ekowisata, sebagian besar 45 responden menyatakan cukup membutuhkan. Keberadaan pemandu cukup dibutuhkan responden, namun sebagian besar responden menyatakan tidak mengetahui informasi mengenai pemandu. Jumlah pemandu yang ada di tiga obyek wisata alam hanya berjumlah lima orang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, wisatawan yang memerlukan pemandu harus lebih dulu bertanya kepada petugas di pos jaga atau bertanya kepada masyarakat yang bekerja di wisata. Kurangnya informasi mengenai pemandu mengakibatkan ekowisatawan kurang memanfaatkan jasa pemandu. Frekuensi pemanduan menjadi hanya dua hingga tiga kali sebulan, dan berdampak terhadap kecilnya pendapatan yang diterima pemandu. Kapasitas pemandu di Lembah Cilengkrang dari segi pengetahuan dan ketrampilan cukup baik. Beberapa pelatihan mengenai teknik pemanduan dan interpretasi sudah pernah diikuti, namun keberadaannya belum banyak diketahui oleh wisatawan. Peran Balai TNGC atau stakeholder lainnya diperlukan untuk membuatnya menjadi lebih go public. Penitipan kendaraan merupakan jenis usaha yang cukup menguntungkan karena jumlah wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi semakin meningkat setiap tahun. Hanya perlu sebidang tanah yang tidak terlalu jauh dari lokasi wisata dan tidak perlu ketrampilan khusus bagi pengelolanya. Tarif penitipan kendaraan bervariasi untuk tiap lokasi, tapi rata-rata Rp 2.000 untuk kendaraan roda dua, dan Rp 4.000 untuk kendaran roda empat. Beberapa wisatawan mempertanyakan tentang tarif penitipan kendaraan ini, karena mereka sudah dikenakan biaya parkir yang masuk dalam komponen tarif masuk. Namun pengelola menyatakan bahwa tarif parkir berbeda dengan tarif penitipan kendaraan, karena jika membayar biaya penitipan maka akan ada jaminan keamanan terhadap kendaraan yang dititipkan. Meskipun biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk kendaraan menjadi dua kali lipat biaya parkir dan penitipan kendaraan, namun usaha ini tidak pernah sepi di masing-masing lokasi ekowisata. Kegiatan penjagaan terhadap kendaraan ini dilakukan oleh pengelola dengan sistim bergantian. Minat responden terhadap atraksi outbond cukup tinggi, baik di Palutungan maupun di Cibulan. Ada enam jenis atraksi outbond di Palutungan, dan satu jenis di Cibulan yaitu flyng fox. Kegiatan ini hanya ada pada hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur terutama libur lebaran. Menurut responden, keberadaan atraksi outbond menjadi salah satu daya tarik mengunjungi obyek wisata Palutungan dan Cibulan. Sebagian besar responden 82 menyatakan sebaiknya ada penambahan frekwensi kegiatan, tidak hanya pada hari minggu dan liburan sekolah dan lebaran, juga pada libur natal, hari besar keagamaan, dll. Penambahan jenis permainan menurut responden akan semakin memperbesar minat wisatawan untuk bermain. Pada saat ini atraksi outbond di Cibulan masih terus berjalan, sedangkan di Palutungan sudah sekitar enam bulan tidak aktif, karena belum adanya kesepakatan mengenai kerjasama antara pengelola outbond, pengelola obyek wisata dan pihak Balai TNGC. Pada obyek ekowisata air terjunpemandian pada umumnya wisatawan membawa sendiri perlengkapan renang. Namun usaha penyewaan peralatan renang di lokasi Cibulan cukup diminati oleh sekitar 22 responden. Menurut responden yang terpenting adalah pemeliharaan kebersihan peralatan. Jumlah dan kebersihan toilet umum dinyatakan oleh sebagian besar responden sebagai faktor yang menentukan minat wisatawan untuk menggunakannya. Saat ini toilet umum hanya ada di Cibulan sebanyak dua unit, satu unit terletak di dalam areal obyek ekowisata milik pengelola dan satu unit lagi di luar areal milik masyarakat. Pada saat musim liburan, menurut responden keberadaan toilet menjadi sangat penting. Jika toilet yang disediakan oleh pengelola kurang terawat atau terbatas jumlahnya, maka pilihan wisatawan adalah toilet umum. Menurut reponden, toilet umum yang bersih dan cukup jumlahnya perlu ada pada setiap lokasi wisata. Tanggapan responden terhadap penyewaan kamar bilas, sebagian besar 56 responden menyatakan membutuhkan kamar bilas. Di tiga obyek ekowisata, salah satu aktifitas yang dapat dinikmati wisatawan adalah berenangmandi, sehingga keberadaan kamar bilas dan penitipan pakaian dibutuhkan. Saat ini kamar bilas hanya ada di Cibulan, dan termasuk dalam pengelolaan tempat wisata Cibulan. Belum ada usaha kamar bilas yang dimiliki masyarakat. Menurut responden, keberadaan kamar bilas sangat diperlukan di lokasi wisata yang memiliki air terjun atau pemandian, karena terbatasnya jumlah toilet. Minat responden terutama anak sekolah dan remaja untuk berkemah cukup tinggi, apalagi saat liburan sekolah. Salah satu kendala aktifitas tersebut adalah ketersediaan tenda dan perlengkapannya. Selain karena harganya cukup mahal, membawa ke lokasi pun cukup merepotkan, sehingga solusi terbaik adalah menyewa di lokasi berkemah. Menurut responden informasi mengenai penyewaan dan tarif sewa tenda sangat dibutuhkan. Sebagian besar responden 62 menyatakan bersedia membayar sewa tenda untuk ukuran standar 4-5 orang sebesar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per malam. Aktifitas wisatawan di ketiga obyek wisata alam diantaranya adalah berenangmandi, sehingga menurut 65 responden tempat untuk menitipkan pakaian menjadi suatu kebutuhan ketika mereka beraktifitas. Sebanyak 45 responden bersedia membayar uang sewa jasa dibawah Rp. 2.000, 30 responden bersedia membayar Rp 2.000 hingga Rp 5.000, dan 25 responden bersedia membayar di atas Rp 5.000. Pada saat ini di ketiga lokasi ekowisata belum ada tempat untuk menitipkan pakaian. Akomodasi merupakan salah satu komponen belanja wisatawan yang cukup tinggi dan dapat menjadi peluang usaha yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Warpani dan Warpani 2007 belanja wisatawan tertinggi adalah pada komponen akomodasi yang mencapai 30. Keberadaan tempat menginap menjadi salah satu kebutuhan penting bagi ekowisatawan, khususnya yang berasal dari tempat yang jauh dari lokasi ekowisata. Banyak alternatif tempat untuk menginap seperti hotel, motel, wisma, cottage, villa dan bentuk lainnya. Wisatawan dapat menentukan pilihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansialnya. Ketiga lokasi obyek wisata alam berjarak cukup dekat dengan kota 7 km hingga 12,5 km, dimana terdapat beragam pilihan tempat menginap. Namun di sekitar obyek wisata alam tidak ditemukan tempat untuk menginap, padahal minat responden terhadap tempat menginap di sekitar lokasi wisata cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara, responden yang berminat untuk menginap dekat dengan obyek ekowisata adalah mereka yang ingin lebih menikmati suasana hutan termasuk flora dan fauna. Alasan responden menginap di sekitar lokasi adalah untuk efisiensi waktu serta ingin lebih menikmati suasana alami hutan. Responden yang berminat untuk menginap di sekitar lokasi sebanyak 37, berasal dari kota Mojokerto, Jakarta, Bekasi, Cirebon dan Indramayu. Tempat menginap yang menjadi pilihan adalah pondokanhome stay dan penyewaan rumah penduduk. Menurut responden, salah satu kriteria homestay pondokan dan rumah penduduk yang diinginkan adalah tempatnya cukup luas dan bersih, sehingga dapat menampung jumlah orang yang cukup banyak untuk keluarga atau rombongan. Dalam hal tarif sewa, sebagian besar responden 55 bersedia untuk membayar sewa kamar per malam dibawah Rp 50.000, 38 responden bersedia membayar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 dan 7 responden bersedia membayar di atas Rp 100.000. Keberadaan rumah makanrestoran di lokasi wisata cukup penting. Kenyamanan wisatawan dalam melakukan kegiatan salah satunya ditunjang oleh faktor konsumsi. Menurut sebagian besar responden 65, rumah makan yang bersih dan murah di lokasi ekowisata merupakan suatu kebutuhan, karena terkadang konsumsi kurang dipersiapkan dengan baik ketika melakukan kegiatan wisata. Berdasarkan hasil wawancara, untuk satu kali makan sebagian besar responden 47 bersedia membayar dibawah Rp 20.000. Secara umum kesan responden terhadap informasipromosi TNGC, perangkutanassesibilitas, sarana prasarana dan pelayanan cukup baik. Temuan ini mendukung hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh PUSPAR UGM pada tahun 2000 Fandeli 2001, bahwa kualitas pelayanan dari pelaku ekowisata terhadap ekowisatawan masih berada pada proporsi cukup baik. Persepsi dan preferensi masyarakat dan wisatawan dapat dipergunakan sebagai bahan dalam menentukan arahpola pengembangan seluruh komponen ekowisata, baik produk maupun pasar ekowisata. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya kesenjangan gaps antara kondisi dan penawaran dan permintaan komponen ekowisata serta produk ekowisata TNGC, sebagai berikut; 1 Ekowisatawan tertarik mengunjungi obyek wisata alam TNGC namun kegiatan ekowisata menjadi tidak nyaman karena kondisi fasilitas yang kurang baik. 2 Menurut ekowisatawan, kualitas pelayanan oleh pengelola ekowisata di TNGC perlu ditingkatkan. 3 Ekowisatawan berminat untuk berbelanja makanan dan minuman di lokasi ekowisata, namun jenis makanan kurang beragam. 4 Ekowisatawan menginginkan souvenir yang menggambarkan ciri khas TNGC namun belum tersedia di lokasi ekowisata. 5 Ekowisatawan berminat untuk menggunakan jasa pemandu, namun informasi tentang keberadaan pemandu ekowisata belum dikelola dengan baik. 6 Jenis atraksi outbond sangat diminati ekowisatawan, namun saat ini frekwensi kegiatan dan jenis permainan yang ada terbatas jumlahnya. 7 Ekowisatawan sangat membutuhkan toilet umum yang terawat dan berfungsi dengan baik terutama pada musim liburan. Namun saat ini penyediaan oleh masyarakat masih terbatas dalam hal jumlah dan kualitas. 8 Berkemah di bumi perkemahan menjadi faktor yang paling menarik bagi ekowisatawan, namun penyewaan tenda tidak tersedia di lokasi ekowisata. 9 Berenang dan mandi merupakan aktifitas yang diminati oleh ekowisatawan. Ruangkamar untuk bilas dan tempat penitipan pakaian menjadi kebutuhan ketika aktifitas tersebut dilakukan, namun belum tersedia di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang. 10 Penginapan di rumah penduduk, home stay atau pondok wisata diminati oleh ekowisatawan terutama dari luar daerah, namun masyarakat setempat belum siap menyediakan. 11 Minat ekowisatawan terhadap keberadaan rumah makanrestoran yang bersih dan relatif murah cukup tinggi, namun di lokasi ekowisata belum tersedia. Berdasarkan uraian di atas, peluang belanja ekowisatawan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal meliputi kebutuhan akan akomodasi, transportasi lokal, makan, minum, pemanduan dan cinderamata, dimana menurut Fandeli 2001 persentase komponen ini mencapai 59 – 65. Jenis permintaan ekowisatawan yang belum disediakan dan yang potensial untuk dikembangkan sebagai bentuk usaha oleh masyarakat sekitar adalah homestaypondokan di rumah penduduk, rumah makanrestoran, penyewaan tenda untuk berkemah, penjualan souvenir khas TNGC, pemandu wisata, penyewaan kamar untuk bilas, penitipan pakaian, penyewaan peralatan renang, atraksi outbond dan toilet umum. 4.4.1.3 Potensi Kesempatan Kerja Terdapat kesenjangan antara fasilitas, pelayanan wisatawan serta jenis usaha produk yang dapat disediakan oleh masyarakat, dengan permintaan dari ekowisatawan. Kesenjangan ini dapat menggambarkan potensi peningkatan jumlah ekowisatawan dan peluang usaha bagi masyarakat, seperti disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Kesenjangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata antara permintaan dan penawaran No Permintaan ekowisatawan Penawaran masyarakat Pengembangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata 1 Kuantitas dan kualitas fasilitas yang tersedia di lokasi wisata di tingkatkan dalam hal : jumlah dan kualitas papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking. Fasilitas yang tersedia di lokasi obyek ekowisata dalam kategori : 8 ekowisatawan menyatakan baik, 40 cukup baik, 48 kurang baik, dan 4 tidak baik. 1. Kurangnya jumlah papan petunjuk 2. Kurang jelasnya tulisan pada papan petunjuk, 3. Kondisi MCK kurang layak, 4. shelter kurang berfungsi dengan baik, 5. Jalur treking tidak jelas Peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum seperti : papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking. 2 Kualitas pelayanan berupa penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denahjalur treking di lokasi obyek ekowisata ditingkatkan. Pelayanan pengelola terhadap wisatawan dalam kategori : 43 responden menyatakan kurang baik, 53 cukup baik 4 baik. 1.Bookletleaflet tidak tersedia di lokasi obyek ekowisata 2.Pengelola belum terbiasa menjelaskan mengenai obyek ekowisata tanpa diminta oleh ekowisatawan 3.Peta denahjalur treking belum terpampang di areal masuk obyek ekowisata. Peningkatan kualitas pelayanan terhadap ekowisatawan dalam hal penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denahjalur treking lokasi obyek ekowisata. 3 Jenis makanan dan minuman di warung beragam. Warung makan dengan jenis makanan dan minuman yang homogen Penganekaragaman jenis makananminuman. 4 Adanya Souvenir khas TNGC Souvenir dengan jenis yang homogen Pengadaan jenis souvenir khas TNGC No Permintaan ekowisatawan Penawaran masyarakat Pengembangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata 5 Informasi Pemandu ekowisata mudah dan jumlahnya memadai Jumlah dan informasi Pemandu ekowisata terbatas Informasi keberadaan pemandu ekowisata dan jumlah pemandu 6 Daya tampung penitipan kendaraan diperluas dan menjamin keamanan kendaraan yang dititipkan. Daya tampung terbatas karena keterbatasan lahan dan ada kasus pencurian pada kendaraan yang dititipkan Perluasan daya tampung parkir kendaraan dan jaminan keamanan kendaraan 7 Penambahan frekwensi dan jenis atraksi outbond Frekwensi dan jenis atraksi outbond terbatas Penambahan frekwensi kegiatan, jumlah dan jenis atraksi outbond 8 Penyewaan peralatan renang pada Buper Palutungan dan Cilengkrang Penyewaan hanya ada di Cibulan. Kurangnya kebersihan peralatan renang . Peningkatan jumlah dan kebersihan peralatan renang 9 Penambahan toilet umum pada saat musim liburan Toilet umum hanya ada di Cibulan. Jumlah dan kebersihan toilet terbatas Peningkatan jumlah dan kebersihan toilet umum, terutama musim liburan. 10 Penyewaan kamar bilas di Buper Palutungan dan Cilengkrang Kamar bilas milik pengelola hanya ada di Cibulan Pengadaan kamar bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang 11. Penyewaan Tenda Belum ada Pengadaan dan informasi penyewaan tenda 12. Penitipan pakaian Belum ada Pengadaan penitipan pakaian 13. Home staypondokan di rumah penduduk Belum ada Pengadaan homestay atau pondokan di rumah penduduk 14. Rumah makanrestoran Belum ada Pengadaan rumah makanrestoran Tabel 39 memperlihatkan adanya unsur kesenjangan atau gap fasilitas, pelayanan, serta produk ekowisata yang tersedia dengan permintaan ekowisatawan. Berdasarkan kesenjangangap yang telah diketahui, maka dapat diperkirakan kesempatan kerja pada berbagai jenis usaha di sektor ekowisata yang dapat dikembangkan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 40. Tabel 40 Peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat di sektor ekowisata No. Pengembangan fasilitas pelayanan dan jenis usaha ekowisata Peluang kesempatan kerja masyarakat 1. Peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum seperti : papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking. Pembuatan dan pemeliharaan papan petunjuk, shelter dan peta pada lokasi ekowisata 2. Peningkatan kualitas pelayanan dalam hal penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denahjalur trecking lokasi obyek ekowisata. Pembuatan booklet mengenai obyek ekowisata yang terdapat di wilayahnya sebagai contoh Desa Cisantana memiliki 2 obyek ekowisata 3. Pengadaan jenis souvenir khas TNGC 1. Pembuat kerajinan tangan berupa souvenir khas TNGC 2. Penjual souvenir khas TNGC 4. Informasi keberadaan pemandu wisata 1. Biro jasa informasi pemandu 5. Perluasan daya tampung parkir kendaraan dan jaminan keamanan kendaraan 1. Pengelola penitipan kendaraan 2. Penyewaan lahan parkir 6. Penambahan frekwensi kegiatan, jumlah dan jenis atraksi outbond Pengelola atraksi outbond dengan jenis atraksi yang belum tersedia 7. Peningkatan jumlah dan kebersihan toilet umum, terutama musim liburan. Pengelola toilet umum 8. Pengadaan kamar bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Pengelola kamar bilas pada buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang 9. Pengadaan dan informasi penyewaan tenda Pengelola penyewaan tenda 10. Pengadaan penitipan pakaian Pengelola penitipan pakaian 11. Pengadaan home stay atau pondokan di rumah penduduk 1. Pengusaha homestaypondokan di sekitar lokasi wisata 2. Pengusaha penyewaan rumah penduduk 3. Biro perjalananbiro jasa 12. Pengadaan rumah makanrestoran 1. Pengusaha restoranrumah makan 2. Suplier bahan makanan untuk restoranrumah makan Tabel 40 memperlihatkan adanya 17 peluang jenis usaha di sektor ekowisata yang dapat menjadi lapangan kerja bagi masyarakat. Pengembangan ini dapat dilakukan pada jenis usaha yang telah tersedia dalam bentuk penambahan jumlah unit usaha pada lokasi obyek ekowisata, maupun bentuk penciptaan jenis usaha baru. Berdasarkan hasil wawancara, banyaknya responden ekowisatawan yang berminat terhadap produk ekowisata yang dimaksud berkisar antara 15 hingga 76. Dari 14 jenis usaha baru yang disajikan pada Tabel 39, jenis usaha yang terkait langsung dengan belanja ekowisatawan ada enam, yaitu souvenir khas TNGC, penitipan pakaian, penyewaan kamar bilas, penyewaan tenda, restoran dan toilet umum. Oleh karena itu perhitungan dalam model hanya didasarkan kepada keenam jenis produk ekowisata tersebut. Persentase responden yang berminat dan rata-rata kesediaan membayar uang yang dibelanjakan dari pengembangan jenis usaha baru disajikan pada Tabel 41. Tabel 41 Responden yang berminat dan rata-rata kesediaan membayar No Permintaan Ekowisatawan Persentase Responden yang Berminat Rata-rata kesediaan membayar WTP Rp 1. Pengadaan kamarruang bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang 40 5.000 2. Pengadaan Souvenir khas TNGC 76 7.500 3. Penyewaan tenda 28 25.000 4. Penitipan pakaian 30 5.000 5. Home stay dan pondokan di rumah penduduk 25 50.000 6. Rumah makanrestoran 36 15.000 Tabel 41 memperlihatkan persentase minat responden terhadap pengembangan produk ekowisata yang belum tersedia. Minat responden tertinggi adalah pada produk souvenir khas TNGC yaitu 76, dan terendah pada homestaypondokan dan penyewaan rumah penduduk 25, karena sebagian besar responden wisatawan berasal dari daerah yang relatif dekat, yaitu Kuningan, Cirebon dan Indramayu, sehingga minat untuk menginap sangat kecil. Nilai Willingness To Pay WTP adalah nilai harga yang sanggup dibayarkan oleh responden terhadap produk yang diminati Virza 2005, sebagai contoh harga yang bersedia dibayar responden untuk satu buah souvenir khas TNGC seperti gantungan kunci, stiker, dan pin rata-rata sebesar Rp 7.500 setiap buah. Demikian juga untuk nilai yang lain. Nilai harga ini kemudian dirata-ratakan dari masing-masing responden. Demikian juga dengan rata-rata WTP penyewaan kamar bilas yaitu sebesar Rp 5.000 sekali sewa, penyewaan tenda sebesar Rp. 25.000 per malam dengan ukuran standar 4-5 orang, homestaypondokan dan penyewaan rumah penduduk sebesar RP 50.000 per kamar per malam serta rata-rata WTP rumah makanrestoran sebesar Rp. 15.000 untuk sekali makan. Rata-rata WTP ini sebagai acuan bagi nilai belanja ekowisatawan pada setiap jenis usaha ekowisata. Kontribusi pendapatan yang berasal dari ekowisata ini cukup signifikan mempengaruhi pendapatan total masyarakat yang bekerja di ekowisata, dimana 37 bekerja sebagai buruh tani dan petani dengan lahan sempit. Bekerja di sektor non pertanian menjadi pilihan dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meskipun sebagian besar masyarakat memiliki tingkat pendidikan rendah, dengan bantuan modal kerja dan fasilitas lainnya, beberapa peluang pekerjaan di ekowisata dapat dimasuki karena tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, seperti penyewaan tenda, pengelola toilet umum, pengusaha warung, pengelola penitipan pakaian, usaha homestaypondokan dan pengusaha rumah makan. Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan dari non pertanian yaitu berusaha di sektor wisata memiliki kontribusi yang cukup besar bagi masyarakat yaitu rata-rata sebesar 41. Pendapatan ini cukup penting mengingat keterbatasan pendidikan, ketrampilan dan modal yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Reardon et al 2000 yang mengemukakan bahwa pendapatan non pertanian rata-rata menyumbang 42 dari total pendapatan rumah tangga pedesaan di Afrika, 40 di Amerika Latin, dan 32 di Asia. Berdasarkan data profil desa dan hasil observasi, sebagian besar penggunaan lahan masyarakat adalah untuk tegalanladangkebun masyarakat desa Pajambon seluas 20,14 ha, desa Cisantana seluas 436,812 ha, desa Karangsari seluas 201,43 ha dan desa Seda seluas 78,216 ha. Sebagian besar tegalanladang ini didominasi oleh tanaman kayu-kayuan, tanaman buah-buahan, kebun kopi, serta tanaman bambu. Jenis-jenis tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi pembuatan produkfasilitassarana untuk pengembangan usaha ekowisata. Selain sebagai potensi sumber bahan baku, kondisi alam di desa-desa daerah penyangga menuju kawasan obyek wisata TNGC dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Sebagai contoh di desa Pajambon, tanaman monokultur jambu merah yang ditanam hampir sepanjang jalan menuju obyek wisata Lembah Cilengkrang dapat menjadi obyek wisata yang sangat menarik sebagai wisata agro, apalagi jika mengemas wisata sekaligus dengan petik buah jambu. Buah jambu dapat dijual kepada wisatawan dalam bentuk buah segar atau dibuat jus buah dengan kemasan yang dibuat semenarik mungkin. Meskipun terdapat beberapa keterbatasan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan usaha baru di sektor ekowisata, namun masyarakat memiliki ketrampilan dalam bercocok tanam, bertukang, berdagang dan jasa boga yang dapat menjadi modal dasar dalam pengembangan usaha di sektor ekowisata. Beberapa anggota masyarakat pernah mendapatkan pelatihan interpreter, pembuatan kerajinan dari bambu, dan pembibitan tanaman yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Balai TNGC. Pengetahuan ini dapat dikembangkan dibawah pembinaan stakeholder. Masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada di desanya. Biaya atau modal untuk pengembangan usaha di ekowisata tetap diperlukan, namun relatif dapat ditekan seminimal mungkin. Pemanfaatan potensi sumber daya alam SDA dan sumber daya manusia SDM daerah penyangga bagi pengembangan jenis usaha ekowisata disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Pemanfaatan potensi SDA dan SDM daerah penyangga bagi pengembangan jenis usaha ekowisata No. Jenis Usaha Potensi SDA yang dimanfaatkan Potensi SDM Peruntukan 1. Pengusaha pembuat papan petunjuk, shelter dan peta pada lokasi ekowisata Tanaman kayu- kayuan Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan Bahan baku pembuatan papan petunjuk, peta, dan shelter 2. Pengrajin souvenir khas TNGC Tanaman kayu dan bambu Masyarakat yang sudah mengikuti pelatihan pembuatan kerajinancenderamata Bahan baku pembuatan souvenir 3 Penyewaan lahan parkir Lahan masyarakat yang tidak produktif Masyarakat yang memiliki lahan di sekitar lokasi wisata Penggunaan lahan untuk parkir kendaraan pengunjung 4 Pengelola kamar bilas pada buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Tanaman kayu dan bambu Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan. Bahan baku pembuatan ruangan kamar bilas yang tidak permanen 5. Pengelola penitipan pakaian Tanaman kayu dan bambu Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan. Bahan baku pembuatan loker untuk tempat penitipan pakaian tidak permanen 6 Pengusaha homestaypondokan di sekitar lokasi wisata -Tanaman kayu dan bambu -lahan yang berada di sekitar lokasi wisatatanah gege -mata airsungai Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan Bahan baku pembuatan pondokan umah panggung yang artistik dan menarik. Kebutuhan air terpenuhi dari sungaimata air 7 Penyewaan rumah penduduk Rumah penduduk yang layak untuk disewakan Masyarakat yang memiliki rumah yang layak Penyewaan kamar untuk pengunjung 8 Pengusaha rumah makanrestoran -Tanaman kayu dan bambu -lahan yang berada dekat lokasi wisata Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan memasak Pembuatan warung makan 9 Suplier bahan makananminuman untuk rumah makanrestoran Hasil-hasil pertanian dan perkebunan masyarakat Petani dan peternak Penjualan hasil pertanianperkebunan peternakan kepada pengusaha rumah makan restoran, di daerah penyangga atau di kota. No. Jenis Usaha Potensi SDA yang dimanfaatkan Potensi SDM Peruntukan 10 11 Pengelola penyewaan tenda Agrowisata tanaman hortikulturabuah- buahanpohon - Tanaman hortikulturabuah- buahanpohon- pohonan Masyarakat atau kelompok masyarakat yang berminat Masyarakat pemilikpenyewa, milik desa. Penyewaan tenda kepada pengunjung Agrowisata kondisi alam dan hasil tanaman Tabel 42 memperlihatkan berbagai potensi alam yang dimiliki desa-desa penyangga jika dapat dieksplor dengan cermat, secara nyata dapat menjadi sumber alternatif pekerjaan di sektor wisata. Ditunjang dengan berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat, maka perpaduan ini dapat menjadi potensi peluang kerja yang cukup besar. Menurut Fandeli 2001 pada umumnya tolok ukur keberhasilan pengembangan kepariwisataan dilakukan dengan menggunakan parameter terkuantifikasi, diantaranya adalah parameter jumlah pengunjung, penciptaan kesempatan kerja termasuk pendapatan pada masyarakat setempat dan pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun saat ini perubahan dilakukan ke arah tolok ukur yang sifatnya lokal, tidak hanya kuantitatif namun juga kualitatif, berkeadilan, pemerataan dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan di daerah. Aspek sosial ekonomi dan budaya dari pengembangan fasilitas ekowisata pada Tabel 42 ditujukan bagi pengembangan jenis usaha masyarakat baik kuantitas maupun kualitas. Peluang bekerja bagi sebagian besar masyarakat bukan hanya berpeluang meningkatkan pendapatan, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan harga diri bagi individu atau keluarga dalam kedudukannya di masyarakat. Dalam kebijakan kehutanan, seharusnya memperhitungkan hutan dalam kaitannya dengan peningkatan mata pencaharian masyarakat yang memilih hidup dalam lingkungan hutan, atau tidak memiliki pilihan namun harus melanjutkan kehidupan. Menurut Levang, Dounias, Sitorus 2003 dalam Theophile 2006, bagi beberapa orang yang tinggal di dalam lingkungan hutan, kunci bagi peningkatan mata pencaharian adalah meninggalkan lingkungan hutan. Hal ini juga berimplikasi kepada peningkatan pengelolaan jasa lingkungan hutan untuk masyarakat yang hidup dalam lingkungan hutan.

4.4.2 Penawaran dan Permintaan Agroforestri

Hasil panen tanaman pertanian dan kehutanan diharapkan dapat terserap oleh konsumenpasar. Oleh karena itu diperlukan informasi kondisi permintaan konsumen terhadap produk tanaman pertanian dan kehutanan yang dihasilkan. Menurut Bentley, WR. 2001 salah satu hal spesifik yang penting dari hasil penelitian untuk pengembangan agroforestri adalah penaksiran hubungan supply dan demand, karena kesalahan dalam memahami pasar akan berakibat pada kesalahan dalam investasi. Potensi pengembangan agroforestri dilakukan melalui analisis kesenjangan antara potensi agroforestri yang dapat disediakan oleh masyarakat dengan permintaan dari konsumen. Uraian kondisi penawaran dan permintaan komoditas agroforestri dijelaskan sebagai berikut; 4.4.2.1 Kondisi Penawaran Agroforestri Komponen tempat tumbuh serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengembangan agroforestri dan akan mempengaruhi produksi tanaman pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu kajian terhadap potensi sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat dilakukan untuk melihat potensi pengembangan agroforestri bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. a Potensi Sumber Daya Alam Daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan memiliki jenis tanah Andosol, Aluvial, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Latosal dan Regosol, dengan kedalaman efektif tanah berkisar 30 cm–90 cm, serta curah hujan antara 3.000–4.000 mmtahun menjadikan wilayah ini subur dan memiliki iklim yang kondusif bagi tumbuhnya berbagai macam flora. Potensi sumberdaya air yang telah dimanfaatkan yaitu 43 sungai yang mengalir ke daerah penyangga TNGC, yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri, rumah tangga kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan produksi tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Kuningan yang cenderung mengalami peningkatan, seperti diperlihatkan pada Gambar 24. Gambar 24 Produksi tanaman hortikultura utama Gambar 25 Produksi tanaman perkebunan Jenis kayu yang berasal dari kebun-kebun milik masyarakat di Kabupaten Kuningan sebagian besar terdiri dari jenis jati, sonokeling, mahoni, pinus dan kayu sengon, pisuk, mindi, suren an kayu afrika. Perkembangan produksi kayu rakyat ini berfluktuasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 karena adanya penjarangan sehingga kayu yang diproduksi berukuran kecil, seperti dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Produksi kayu utama di Kabupaten Kuningan Produksi ton Produksi m3 Produksi ton Berdasarkan hasil wawancara dengan petani agroforestri dan industri pengolahan kayu, pada kawasan daerah penyangga TNGC sebagian besar kayu yang dihasilkan adalah dari jenis kayu sengon, pisuk dan afrika dengan istilah setempat disebut kayu rawa karena masa panen yang relatif lebih cepat. Penurunan produksi kayu pada tahun 2008 dikarenakan kayu yang dipanen hanya bersifat penjarangan, sehingga kayu yang dihasilkan berkualitas rendah. b Potensi Sosial Ekonomi dan Budaya Desa penyangga yang potensial untuk pengembangan agroforestri, yaitu desa Karangsari, Seda dan Pejambon . Kebiasaan masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu serta pola tanamnya dipengaruhi budaya atau kebiasaan masyarakat yang sudah dilaksanakan turun temurun. Di Desa Karangsari, budaya masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1972. Pada saat itu masyarakat desa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sawah dan petani lahan kering banyak yang ikut serta dalam kegiatan penanaman di hutan produksi Perhutani dengan sistem tumpangsari. Kegiatan ini lambat laun membuat masyarakat memiliki ketrampilan dalam menanam tanaman kehutanan, khusunya pinus. Kebutuhan masyarakat akan kayu yang digunakan untuk membangun rumah dan fasilitas umum lainnya, seperti mesjid, dll, membuat masyarakat berfikir untuk menanam kayu dilahan milik yang selama ini diperoleh dengan cara membeli. Pada awalnya masyarakat memperoleh bibit kayu dengan cara “mencuri” di persemaian Perhutani. Namun oleh pihak petugas Perhutani Mandor dan Mantri kegiatan itu dibiarkan saja, dengan satu alasan, jika masyarakat dapat menghasilkan kayu di lahan milik, maka akan mengurangi tingkat pencurian kayu di kawasan hutan Perhutani hasil wawancara dengan Kepala Desa Karangsari, yang pernah bertugas sebagai Mandor dan Mantri di desa Karangsari 2011. Budaya menanam kayu ini kemudian berkembang hingga saat ini, dan mengalami perbedaan kepentingan. Jika dahulu 95 hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat, namun dengan meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat saat ini sudah mengarah kepada kepentingan ekonomis. Masyarakat sudah mulai menjual pohon kayunya untuk memenuhi kebutuhan seperti hajatan dan biaya sekolah. Namun demikian, budaya masyarakat untuk membangun rumah bagi keluarga dengan menggunakan kayu dari lahan milik sampai saat ini masih terus dilakukan dan menjadi prioritas utama tujuan menanam pohon. Hal ini terlihat dari masih tingginya keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kayu-kayuan meskipun membutuhkan masa panen lebih lama dibandingkan hasil sayuran, palawija dan kopi yang menjadi komoditas unggulan masyarakat Karangsari. Demikian juga dengan masyarakat desa Seda. Penanaman kayu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendirikan atau merenovasi rumah bagi keluarga, serta untuk fasilitas umum, masih menjadi budaya masyarakat hingga saat ini. Hal ini berdampak pada kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan, khususnya sengon yang berkembang dengan baik. Umumnya warisan orang tua kepada keturunannya diberikan dalam bentuk kebun, sehingga di desa ini terlihat baik tanaman serbaguna Multi Purpose Tree SystemMPTS maupun tanaman kehutanan pada lahan agroforestri rata-rata sudah berumur diatas 20 tahun dan dalam tahap regenerasi. Masyarakat sebagian besar sudah menikmati hasil penjualan kayu seperti mahoni dan menggunakannya untuk membeli kebun. Perkembangan kegiatan agroforestri di lahan milik di desa Pajambon tidak sebaik Karangsari dan Seda, pertama karena luas kepemilikan lahan milik di desa Pajambon relatif lebih rendah rata-rata 0,2 ha dan kedua, pada saat ini masyarakat Pajambon lebih senang menanam dengan pola monokultur, seperti jambu biji merah dan jahe yang terlihat berkembang dengan baik, bahkan banyak lahan persawahan yang beralih penggunaan menjadi tegalan untuk ditanami jambu merah. Meskipun demikian, keterbatasan lahan tidak menjadi penghambat bagi masyarakat untuk tetap menerapkan pola agroforestri meski dalam skala kecil. Dalam hal potensi kayu rakyat, peningkatan luas hutan rakyat dari tahun 2004 hingga tahun 2007 untuk Kecamatan Darma desa Karangsari sebesar 14, dengan jumlah pohon terbanyak albizia, afrika dan suren. Kecamatan Mandirancan desa Seda mengalami peningkatan sebesar 10, dengan jumlah pohon terbanyak mahoni, albizia dan afrika, sedangkan Kecamatan Kramatmulya desa Pajambon mengalami kenaikan sebesar 28, dengan jumlah pohon terbanyak sengon, mahoni dan afrika Bappeda 2007. Dari data terlihat bahwa albizia dan afrika merupakan dua jenis tanaman kehutanan yang paling banyak dibudidayakan. Uraian ketiga desa contoh diatas memberikan suatu gambaran bagaimana kegiatan usaha tani sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan masyarakat di desa penyangga, jauh sebelum mereka menggarap lahan di kawasan Perhutani, setelah kawasan menjadi taman nasional hingga saat ini setelah tidak lagi menggarap di lahan taman nasional. Pekerjaan sebagai petani masih tetap dilakukan meski dengan keterbatasan kepemilikan lahan yang sempit dan rendahnya modal kerja. Hal ini menurut Mubyarto 1991 karena bagi petani, pertanian tidak hanya sebagai mata pencaharian, tetapi sudah menjadi way of life yang menyangkut unsur ekonomi, sosial, budaya dan spiritual. Oleh karena itu alternatif mata pencaharian kepada bidang lain hanya bersifat diversifikasi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Jumlah keseluruhan petani yang pernah menggarap lahan TNGC pada tiga desa contoh adalah sebanyak 433 KK, dengan rincian desa Karangsari sebanyak 50 orang, Seda 363 orang dan desa Pajambon 20 orang. Setelah tidak lagi menggarap di kawasan TNGC, sebagian besar masyarakat masih tetap bertani pada lahan milik, dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh tani, pengepul, suplier kayu, peternak, tukang bangunan, ojek, pedagang dan bekerja di kota. Pada saat menggarap dalam kawasan TNGC lahan milik ini tidak dikelola secara intensif, bahkan ada yang dibiarkan begitu saja dengan alasan kurang subur serta keterbatasan modal. Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa pajambon, Seda dan Karangsari 86 hanya tamat SD berpengaruh terhadap kemampuannya dalam bertani. Kemampuan dalam pengelolaan agroforestri diperoleh mereka secara otodidak berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Pengetahuan mengenai ilmu-ilmu pertanian dan kehutanan kurang mereka miliki secara benar. Berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama dan penyakit tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi tidak maksimal. Selain pengaruh- pengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa, sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar bidang pertanian karena mereka berpikiran bahwa petani merupakan pekerjaan yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan. Oleh karena itu petani agroforestri di ketiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57 berusia antara 40 sampai 60 tahun dan 25 berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini akan mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang jika tidak ada regenerasi. Oleh karena itu pengembangan agroforestri harus ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati generasi muda, serta peningkatan pendidikan pengetahuan pada para pemuda desa mengenai manfaat agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell 1986 dalam Hairiah, dkk, 2003 menyatakan bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin 2006 menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau. Kesempatan kerja pada agroforestri terbuka melalui pengembangan produksinya. Semakin meningkatnya produksi agroforestri akan membuka lapangan kerja melalui kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Dari hasil analisis, persentase responden petani yang bertanam kopi di desa Karangsari sebanyak 53, di desa Seda 45 dan di desa Pajambon sebanyak 60. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam budidaya kopi adalah 12 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 2,5 kwintal 1,75 tonhektar, sedangkan untuk budidaya sayuran dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 50 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 54,70 kwintal. Untuk dua komoditas ini penyerapan tenaga kerja mencapai 62 HOK. Sebanyak 35 dari keseluruhan HOK tersebut adalah pada pekerjaan pemanenan hasil hasil FGD dengan petani agroforestri 2011. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Smits untuk mengetahui lamanya kerja per hektar untuk kegiatan penanaman dan pemanenan pertanian pada musim hujan, yaitu kegiatan menanam di Cirebon lamanya 289 jam per ha dan di Banten 151 jam per ha, sedangkan kegiatan pemanenan di Cirebon 946 jam per ha 36 dan di Banten 1104 jam per ha 31. Berdasarkan hasil penelitian di Desa contoh dapat dikatakan bahwa pekerjaan pemanenan hasil merupakan pekerjaan yang potensial menyerap tenaga kerja lebih banyak pada kegiatan agroforestri. Sebagai perbandingan dalam hal produktifitas petani, hasil kerja petani untuk tanaman jagung adalah 3,7 kg per jam, padi ladang 1,4 kg per jam, kopi 0,4 kg per jam dan lada 0,2 kg per jam Sajogyo 1982. Pembagian kerja sepanjang tahun adalah yang paling penting bagi seorang petani. Hanya pembagian kerja yang baik akan menjamin hasil kerja keluarga terbesar. Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian McReynolds 1998 yang mengungkapkan bahwa pada kegiatan pertanian, tenaga kerja dengan porsi pengeluaran terbesar adalah pada saat pemanenan, kedua saat pembersihan lahan dan ketiga saat penanaman, seperti dilihat pada Gambar 27. Gambar 27 Persentase dari total biaya untuk tenaga kerja Sumber : MAG-OSPA-PERA 1987 dalam McReynolds 1998 Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen. Seperti contoh yang disajikan pada Gambar 28, yang terjadi di Desa Karangsari, tiga orang anak dipekerjakan oleh Pengepul Bandar untuk membantu menjadi tenaga panen dan angkut singkong dengan upah Rp. 100 per kilogram jika jarak antara lokasi panen dengan tempat pengumpulan dekat kurang dari 100 meter dan Rp. 200 jika jauh lebih dari 100 m. Dalam satu hari bekerja rata-rata setiap anak berhasil mengumpulkan uang antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000. Gambar 28 Tenaga kerja anak dalam pemanenan hasil agroforestri Hasil penelitian McReynolds 1998 juga menyimpulkan bahwa, hubungan antara ukuran kepemilikan lahan dengan tenaga kerja yang diperkerjakan adalah banyaknya tenaga kerja per hektar meningkat sebanding dengan menurunnya ukuran luas kepemilikan lahan. Hal ini karena tenaga kerja lebih murah daripada teknologi yang tidak mampu diinvestasikan oleh petani kecil, yang biasanya memiliki pendidikan yang rendah dan memiliki akses yang rendah terhadap orang yang dapat membantu untuk mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi tersebut serta biasanya lahan-lahan petani kecil terdapat di lereng- lereng bukit yang sulit untuk dicapai oleh teknologi traktor atau bajak. Tanah dan modal merupakan sumberdaya yang terbatas, sedangkan tenaga kerja paling penting digunakan dalam pertanian kecil. Stevens dan Jabara 1988 dalam Wijayanto 2002 mempunyai pendugaan bahwa tenaga kerja hampir 80-85 dari total nilai sumberdaya yang digunakan dalam sistem pertanian tradisional. Untuk pertanian dengan sistem keluarga seperti yang dilakukan oleh petani di Desa contoh, juga memperkerjakan petani-petani lain di sekitarnya, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi petani lain untuk dapat bekerja di bidang pertanian c Potensi Ekonomi Agroforestri Sebagian besar 90 hasil dari tanaman pertanian pada lahan agroforestri di tiga desa dijual kepada Bandar Pengepul. Sedangkan untuk tanaman kehutanan sekitar 60 tanaman yang berupa kayu-kayuan digunakan untuk kebutuhan sendiri, dan jika telah terpenuhi maka sisanya dijual kepada suplier kayu yang akan datang ke lokasi untuk membeli dalam bentuk tegakan pohon. Harga sebatang pohon dihitung berdasarkan besar diameter dan jarak dari jalan mobil. Potensi pengembangan agroforestri di tiga Desa contoh dengan pemilihan jenis komoditas yang paling disukai dan bernilai ekonomis dapat dilihat pada Tabel 43, sedangkan potensi untuk masing-masing desa dijelaskan sebagai berikut; Tabel 43 Potensi komoditas pertanian desa-desa agroforestri Desa No Komoditas Pertanian Keuntungan Rata- rata Per tahun Persentase Petani yang Menanam Karangsari 1 Cabe rawit 1.893.800 67 2 Jagung 3.111.250 53 3 Kopi 2.504.625 53 Seda 1 Melinjo 1.350.000 82 2 Cengkeh 5.280.000 45 3 Kopi 3.381.500 45 Pajambon 1 Kopi 1.245.000 60 2 Kunyit 960.000 25 3 Bawang daun 300.000 24 Tabel 44 Potensi komoditas tanaman kehutanan desa-desa agroforestri Desa No Komoditas Tanaman Kehutanan Keuntungan Rata- rata Per tahun Persentase Petani yang Menanam Karangsari 1 Kayu Afrika 3.462.852 67 2 Sengon 19.929.421 60 Seda 1 Mahoni 1.777.143 88 2 Sengon 5.666.667 38 Pajambon 1 Kayu Afrika 180.000 60 2 Sengon 240.000 40 1 Desa Karangsari Penanaman tanaman palawija dengan tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak masyarakat desa Karangsari menggarap di lahan kawasan Perhutani melalui PHBM. Jenis tanaman pertanian cabe rawit, jagung, singkong dan kopi mendominasi hampir sebagian besar tanaman pertanian masyarakat, sedangkan untuk jenis tanaman kehutanan didominasi oleh tanaman sengon, kayu afrika dan pinus. Keuntungan rata-rata dari tanaman pertanian dan kehutanan per tahun serta persentase petani yang menanam jenis tanaman pertanian dan kehutanan dilihat pada Tabel 45. Tabel 45 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Karangsari Komoditas No Jenis Tanaman Keuntungan rata-rata per tahun Rp Persentase Petani yang Menanam Tanaman Pertanian 1. Jagung 3.111.250 53 2. Petsay 5.743.333 40 3. Cabe rawit 1.893.800 67 4. Singkong 440.000 53 5. Lada 6.379.400 27 6. Kopi 2.504.625 53 7. Alpuket 3.207.143 47 8. Pisang 2.721.364 73 9. Petai 4.125.001 27 Tanaman Kehutanan 1 Sengon 19.929.421 60 2 Suren 1.871.893 40 3 Mahoni 1.211.070 20 4 Kayu afrika 3.462.852 67 5 Pinus 319.370 60 6 Waru 1.846.628 53 7 Manglid 397.953 20 8 Jati 4.977.000 7 Hasil perhitungan pada Tabel 45 memperlihatkan bahwa keuntungan rata- rata responden dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman lada, petsay, petai, alpuket, jagung, pisang, kopi, cabe rawit, dan singkong. Meskipun lada dan petsay memberikan keuntungan yang relatif besar, namun hanya 27 saja responden yang menanam lada dan 40 menanam petsay. Hal ini karena diperlukan modal yang relatif besar untuk menanam kedua komoditas tersebut, terutama untuk pembelian bibit lada dan pupuk petsay. Sebagian besar responen 73 menanam pisang, karena mudah tumbuh dan tidak memerlukan modal, serta hasilnya cukup menguntungkan. Tiga tanaman pertanian yang paling banyak ditanam masyarakat adalah cabe rawit, jagung dan kopi. Pemilihan ketiga komoditas pertanian ini didasarkan pada hasil yang relatif menguntungkan, modal yang tidak begitu besar serta kemudahan dalam penanaman. Luas areal penanaman jagung di Kecamatan Darma seluas 1.703 ha, dengan luas panen 1.472 ha, dengan produksi 5.298 ha, sehingga menghasilkan produktivitas sebesar 41,54 kwintal per ha. Faktor iklim terutama angin, hama babi dan penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang dapat mengurangi produktifitas tanaman pertanian ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penurunan hasil panen tanaman pertanian akan terjadi 10 diakibatkan oleh angin, 20 karena hama babi dan 10 karena adanya penyakit. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas ini, baik dalam hal peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidayanya, termasuk penanggulangan akibat hama dan penyakit, maupun pengembangan modal serta pemasaran. Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata relatif besar di desa Karangsari adalah sengon Paraserianthes falcataria sebesar Rp 19.929.421 per tahun, jati Tectona grandis sebesar Rp 4.977.000 per tahun serta kayu afrika Maesopsis eminii sebesar Rp 3.462.852 per tahun. Meskipun dari sisi keuntungan tanaman jati relatif besar, namun hanya sekitar 7 saja masyarakat yang menanam. Hal ini dikarenakan jati memiliki masa panen yang cukup lama, dibanding tanaman lainnya. Kayu afrika dan sengon menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam, karena memiliki masa panen relatif singkat, untuk Sengon berumur lima hingga enam tahun, memiliki harga yang berlaku di tempat yaitu sekitar Rp 500.000 per pohon dalam kondisi berdiri, sedangkan untuk kayu afrika dengan dengan umur 10 tahun, memiliki harga sekitar Rp. 800.000 per pohon. Beberapa contoh pola tanam agroforestri masyarakat dan kegiatan pemanenan di desa Karangsari disajikan pada Gambar 29. Gambar 29 Pola tanam agroforestri di Desa Karangsari 2 Desa Seda Penanaman tanaman dengan pola agroforestri sudah dikembangkan selama puluhan tahun oleh 70 masyarakat desa Seda. Campuran antara tanaman cengkeh dan melinjo dengan tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni paling banyak dibudidayakan. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman cengkeh sebesar Rp. 5.280.000, kopi Rp. 3.381.500, dan melinjo Rp. 1.350.000. Oleh karena itu ketiga jenis tanaman banyak dipilih masyarakat untuk ditanam, yaitu 82 menanam melinjo, 45 menanam cengkeh, dan 45 menanam kopi. Budidaya jenis tanaman ini sudah dilakukan selama puluhan tahun. Para orang tua di desa ini mewariskan tanah yang berupa kebun kepada keturunannya secara turun temurun. Karena tanaman ini berkembang dengan baik, maka sebagian besar masyarakat tidak berusaha untuk merubah jenis tanaman. Beberapa petani pernah mencoba untuk menanam coklat, namun mengalami kegagalan karena tidak dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara, hama babi dan monyet serta penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang mengurangi produksi tanaman pertanian di desa Seda. Penurunan hasil panen tanaman pertanian seperti pisang, ketela pohon dan kelapa terjadi sebesar 20 karena adanya hama babi dan monyet, serta 20 karena adanya penyakit, untuk tanaman cengkeh dan melinjo. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas tersebut, dengan cara peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidaya tanaman khususnya penanggulangan penyakit, pengembangan modal serta pemasaran. Sebagian besar daerah pertanian dan kebunladang penduduk di daerah penyangga sangat berdekatan dengan batas taman nasional, sedangkan jarak pemukiman dengan batas kawasan rata-rata sekitar satu hingga dua km. Dalam beberapa kasus, dekatnya jarak ini menjadi permasalahan, karena gangguan hama seperti babi hutan dan monyet yang menyerang tanaman pertanian dan kebun masyarakat seringkali terjadi. Rombongan babi hutan biasanya menyerang pada sore atau malam hari dengan jumlah 10 hingga 20 ekor. Ancaman ini berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman dan berdampak terhadap pendapatan masyarakat. Untuk mencegah serangan hama tersebut, masyarakat mengadakan sistim jaga malam di ladangnya masing-masing terutama menjelang panen. Belum ada solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. Keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian dan persentase petani yang menanam disajikan pada Tabel 46. Tabel 46 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Seda Komoditas No Jenis tanaman Keuntungan rata- rata per tahun Rp Persentase Petani yang menanam Tanaman Pertanian 1. Melinjo 1.350.000 82 2. Cengkeh 5.280.000 55 3. Duren 316.700 27 4. Lada 200.000 18 5. Pisang 372.000 45 6. Kelapa 412.500 18 7. Kopi 3.381.500 45 Tanaman Kehutanan 1 Sengon 5.666.667 38 2 Kayu afrika 832.143 88 3 Mahoni 1.777.143 88 4 Waru 100.000 25 5 Pinus 450.000 13 Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata per tahun relatif besar di desa Seda adalah sengon Paraserianthes falcataria sebesar Rp 5.666.667 mahoni Swietenia mahagoni sebesar Rp 1.777.143, dan kayu afrika Maesopsis eminii, sebesar Rp 832.143, Kayu afrika dan mahoni menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam 88, karena disamping relatif lebih baik dijadikan bahan bangunan untuk keperluan membangunmerenovasi rumah, juga memiliki harga relatif tinggi. Umumnya, untuk mahoni dengan masa panen 20 tahun diameter sekitar 40 cm seharga Rp 1.000.000 per ponon dan kayu afrika dengan masa panen 10 tahun seharga Rp 500.000 per pohon. Contoh pola tanam agroforestri masyarakat di desa Seda disajikan pada Gambar 30 berikut ini; Gambar 30 Pola agroforestri antara tanaman Melinjo, Cengkeh, Kopi, Lada dengan tanaman Mahoni dan Kayu Afrika di Desa Seda. 3 Desa Pajambon Penanaman dengan pola agroforestri di lahan milik masyarakat belum dikembangkan dengan baik di desa Pajambon. Hal ini karena kepemilikan lahan masyarakat yang sangat terbatas, yaitu sekitar 99,75 petani memiliki tanah milik dibawah 0,5 ha, serta budaya masyarakat yang lebih menyukai menanam tanaman sayuran tomat dan sawi dan tanaman monokultur jambu biji merah. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman kopi sebesar Rp 1.245.000, kunyit sebesar Rp 960.000 dan bawang daun sebesar Rp 300.000. Meskipun memberikan keuntungan yang relatif besar, namun hanya kopi yang banyak diminati untuk ditanam yaitu 60, sedangkan bawang daun dan kunyit hanya 24 dan 25. Petani lebih senang menanam pisang dan cabe rawit dilahan kebunnya, karena faktor harga dan kemudahan dalam budidaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang dapat mengurangi produksi tanaman pertanian di desa Pajambon. Penurunan hasil tanaman pertanian terjadi sebesar 10 karena adanya penyakit. Keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian dan persentase petani yang menanam disajikan pada Tabel 47. Tabel 47 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Pajambon Komoditas No Jenis Tanaman Keuntungan rata- rata per tahun Rp Persentase Petani yang menanam Tanaman Pertanian 1. Cabe rawit 70.000 40 2. Pisang 210.000 55 3. Kopi 1.245.000 60 4. Bawang daun 300.000 24 5. Kunyit 960.000 25 6. Lada 80.000 15 Tanaman Kehutanan 1 Afrika 180.000 60 2 Waru 300.000 20 3 Mindi 250.000 45 4 Sengon 240.000 40 5 Mahoni 80.000 25 Tabel 47 memperlihatkan bahwa di desa Pajambon, tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata pertahun relatif besar adalah Waru Hibiscus tiliaceus sebesar Rp 300.000, mindi Melia azedarach sebesar Rp 250.000, serta sengon Paraserianthes falcataria sebesar Rp 240.000. Kayu afrika 60, mindi 45 dan sengon 40 menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam, meskipun dalam luasan kecil dan sedikit jumlahnya. Contoh pola tanam agroforestri di Desa Pajambon dapat dlihat pada Gambar 31. Gambar 31 Pola tanam agroforestri di Desa Pajambon Secara umum dari sisi ekonomi, agroforestri telah memberikan keuntungan bagi masyarakat di tiga desa, tidak hanya dalam bentuk yang dapat secara langsung dikonsumsi seperti padi, sayuran dan buah, serta kayu bakar, namun juga dalam bentuk pendapatan tunai bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti biaya hidup sehari-hari, menyekolahkan anak, keperluan kesehatan serta kebutuhan sosial. Agroforestri telah membuktikan sebagai sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsisten saja, namun juga pada tingkatan semi komersial hingga komersial Nair 1989. Sebagai contoh, proporsi pendapatan agroforestri Repong Damar di Kecamatan Pesisir Selatan Krui Lampung memberikan kontribusi sebesar 61,8 dari total pendapatan rumah tangga per tahun H de Foresta and Michon 1994 dan Suharjito, dkk. 2003, serta di TN Meru Betiri kontribusi dari lahan agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60 kebutuhan rumah tangga petani Aliadi 2006. Hal ini karena agroforestri di tiga Desa contoh masih bersifat subsisten, artinya dalam pengelolaannya masih bersifat tradisional belum menggunakan teknologi yang memadai, baik dari aspek pengolahan lahan, pola tanam, penanganan hama penyakit serta pemanenan, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Sebagai contoh, tanaman melinjo masyarakat di desa Seda saat ini sebagian besar terserang oleh penyakit pucuk, sehingga menurunkan produksinya hampir mencapai 10. Namun sampai saat ini belum ditangani secara intensif, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Proporsi pendapatan dari agroforestri di desa Seda adalah paling tinggi yaitu sebesar Rp. 462.594,88 atau sebesar 58,65 dari pendapatan total sebesar Rp. 790.344,88 per bulan. Sebagian besar masyarakat Seda memiliki kebun melinjo dan cengkeh yang berumur rata-rata diatas 10 tahun, dan dalam kondisi normal, produksi dari kedua komoditas ini relatif stabil setiap tahun. Desa Karangsari memiliki pendapatan per kapita per bulan tertinggi, yaitu Rp. 907.736,48, dengan proporsi dari agroforestri sebesar dimana sebagian besar dalam bentuk investasi tanaman kayu-kayuan terutama sengon, yang memiliki masa panen lima tahun. Agroforestri di desa Karangsari mengalami perkembangan yang relatif baik, sehingga menjadi salah satu percontohan agroforestri di Kabupaten Kuningan. Melalui demplot agroforestri seluas 25 hektar yang merupakan salah satu program Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, Pembentukan Model Desa Konservasi MDK oleh balai TNGC juga dibentuk di desa ini untuk mewadahi kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kelestarian TNGC. Desa Pajambon memiliki pendapatan per kapita per bulan yang paling rendah yaitu Rp 216.762,50, jauh di bawah UMK, dengan kontribusi dari hasil agroforestri sebesar Rp 95.937. Kegiatan agroforestri di desa Pajambon sangat terbatas karena sempitnya kepemilikan lahan rata-rata dibawah 0,2 ha. Namun di desa Pajambon ada potensi ekowisata yang bila dikembangkan bersama- sama dengan potensi agroforestri akan mampu meningkatkan proporsi pendapatan masyarakat, yaitu dari ekowisata sebesar Rp. 272.812,50 ditambah dengan agroforestri sebesar Rp. 95.937,00, dan pendapatan dari usaha lain sebesar Rp. 120.825,00, maka total pendapatan per kapita per bulan menjadi Rp. 489.574,50. H de Foresta and Michon 1994 dan Suharjito, dkk, 2003, menyatakan bahwa sebagai suatu sistem produksi, agroforestri memberikan kontribusi pendapatan terhadap pengelolanya dan terhadap perekonomian daerah setempat, serta menghasilkan kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja. Keberhasilan pengelolaan agroforestri ini dapat dicapai jika berjalan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya serta kemampuan masyarakat setempat. Von Maydell 1986 dalam Hairiah 2003 menyatakan bahwa salah satu tujuan agroforestri dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan adalah memelihara nilai-nilai budaya masyarakat. Jenis-jenis tanaman kehutanan tanaman kayu yang sudah dibudidayakan dari generasi ke generasi dan lazim digunakan sehari-hari seharusnya diutamakan dan menjadi perhatian utama dalam proses penyuluhan atau pembinaan oleh instansi terkait. Keunggulan strategi agroforestri ini sebaiknya dipertimbangkan oleh penentu kebijakan untuk dikembangkan di daerah penyangga TNGC. Foresta dan Michon 2000 menyatakan bahwa strategi agroforestri seyogyanya diekstrapolasikan paling tidak ke daerah-daerah dimana tekanan terhadap hutan-hutan yang tersisa sudah sedemikian tinggi sementara upaya-upaya pemulihan sumberdaya hutan mengalami berbagai hambatan. 4.4.2.2 Kondisi Permintaan Agroforestri Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Kuningan, pada tahun 2007 laju pertumbuhan di sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 2,84 setelah pada tahun sebelumnya mengalami penurunan laju pertumbuhan sebesar 1,46. Pada tahun 2003-2008 rata-rata peranan sektor pertanian sebesar 39, dan jika dibandingkan setiap tahun peranan sektor pertanian mengalami penurunan, namun peranannya masih dikisaran di atas 30. Banyaknya pembangunan rumah dan gedung fisik menyebabkan berkurangnya lahan pertanian sehingga walaupun kontribusi sektor pertanian paling dominan namun dilihat dari peningkatan produksi cenderung menunjukkan penurunan, terutama tanaman bahan makanan. Produksi tanaman pertanian dan kehutanan yang dihasilkan oleh petani agroforestri diharapkan dapat seluruhnya terserap oleh pasar. Hal ini ditentukan oleh tingkat permintaan konsumen yang menggunakan hasil tanaman tersebut. Sebagian besar hasil tanaman pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat desa penyangga dijual kepada pengepul setempat, kemudian oleh para pengepul diangkut ke pasar grosir untuk dijual, sedangkan konsumen produk hasil tanaman kehutanan adalah industri kayu panglong, industri batu bata, dan masyarakat pengguna kayu bakar. Berikut akan diuraikan bagaimana permintaan dari konsumen tersebut. 1 Pasar Grosir Komoditas Pertanian Pasar grosir komoditas pertanian merupakan tempat dimana berbagai jenis komoditas pertanian diperdagangkan dalam partai besar. Komoditas pertanian ini berasal dari seluruh wilayah kabupaten Kuningan yang hanya memiliki satu pasar grosir. Aktifitas transaksi pasar hampir 24 jam berjalan, terutama pada musim panen. Pembeli yang datang umumnya adalah para pedagang bronjong semacam agen yang nantinya akan menjual kembali kepada pedagang eceran. Selain untuk memenuhi kebutuhan sayuran di Kabupaten Kuningan, beberapa permintaan dari kota Cirebon dan Indramayu juga dipenuhi dari pasar grosir ini. Komoditas pertanian yang diperjualbelikan biasanya tergantung musim. Dengan adanya pasar grosir yang cukup besar ini, maka hampir seluruh komoditas pertanian masyarakat melalui pola agroforestri dapat terserap oleh pasar. Kegiatan pada pasar grosir sayuran terlihat pada Gambar 32. Gambar 32 Pasar grosir sayuran 2 Kayu Bakar untuk Kebutuhan Rumah Tangga Permintaan masyarakat desa terhadap kayu bakar cukup tinggi. Sekitar 20 dari masyarakat desa Pajambon menggunakan kayu bakar untuk memasak, desa Karangsari 30 dan desa Seda 30. Berdasarkan hasil wawancara, kebutuhan kayu bakar per rumah tangga KK per bulan dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang adalah 2 dua m3, dengan harga 1 satu m3 sekitar Rp 25.000,-. Dari informasi tersebut dapat diperkirakan jumlah kayu bakar yang dibutuhkan masyarakat dan biaya pengadaan kayu bakar dalam satu bulan, seperti disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Kebutuhan kayu bakar masyarakat Desa contoh No Desa Jumlah KK Pengguna Kayu bakar Jumlah Pengguna KK Rumah Tangga Jumlah Penggunaan kayu Bakar per Bulan m3 Total Kebutuhan Kayu Bakar per Bulan m3 Biaya Pengadaan Kayu Bakar RpBulan 1. Pajambon 686 20 137 2 274 13.700.000 2. Karangsari 588 30 176 2 352 17.600.000 3. Seda 651 30 195 2 390 19.500.000 Jumlah Total 1925 80 508 6 1016 50.800.000 keterangan : wawancara dengan Perangkat Desa, 2011 Berdasarkan tabel 48 konsumsi kayu bakar masyarakat per bulan ternyata cukup tinggi yaitu 1016 m3, dengan perkiraan biaya pengadaan sebesar Rp. 50.800.000,-. Kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar sepertinya tidak akan berakhir, bukan saja karena harga minyak tanah dan gas elpiji yang kurang terjangkau oleh masyarakat kurang mampu, namun berdasarkan pengamatan di lapangan, bagi masyarakat yang mampu, memasak dengan dengan kayu bakar sudah menjadi budaya. Alasan pertama adalah kekhawatiran akan terjadinya ledakan pada tabung elpiji seperti yang seringkali mereka dengar melalui media, dan kedua menurut responden rasa masakan relatif lebih enak jika dibandingkan memasak dengan kompor. Jumlah pengguna pada Tabel 48 merupakan estimasi berdasarkan wawancara dengan perangkat desa dan masyarakat pengguna kayu bakar, mungkin saja jumlah pengguna lebih banyak karena sejumlah masyarakat memasak menggunakan kompor gas dan kayu bakar secara bergantian. Kebutuhan kayu bakar per bulan pada perhitungan di atas hanya ditujukan bagi Desa contoh, dan estimasi kebutuhan kayu bakar untuk seluruh rumah tangga di 27 desa penyangga Kabupaten Kuningan 24.197 KKRT dapat dihitung dengan menggunakan asumsi tertentu. Jika diperkirakan 20 dari jumlah rumah tangga desa penyangga menggunakan kayu bakar 4.839 KK, maka kebutuhan kayu bakar per bulan mencapai 9.679 m3 atau 116.146 m3 per tahun, dengan besarnya biaya pengadaan sebesar Rp. 483.940.000 per bulan atau Rp. 5.807.280.000 per tahun. Cernea 1998 menyatakan bahwa sesungguhnya agroforestri dapat memenuhi konsumsi kayu bakar masyarakat yang meliputi 80 konsumsi kayu di negara berkembang. Estimasi konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar tersebut membuktikan bahwa, permintaankebutuhan kayu dari lahan agroforestri akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu pengembangan agroforestri menjadi salah satu solusi untuk menekan biaya pengadaan kayu bakar untuk masyarakat dan paling penting adalah menjaga agar hutan lindung dan hutan di kawasan TNGC aman dari tekanan. 3 Industri Pengolahan Kayu Panglong Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha industri pengolahan kayu, kebutuhan masyarakat akan kayu dari kebun-kebun masyarakat semakin meningkat. Konsumsi kayu bulat dalam satu tahun mencapai 85 hingga 90. Hal ini karena kayu Kalimantan harganya sudah sangat mahal, dan pemakaian sudah ketat karena maraknya illegal logging, akhirnya konsumen beralih ke kayu masyarakat karena lebih murah. Meskipun sudah banyak yang beralih ke rangka baja, namun harganya cukup mahal, sehingga hanya orang tertentu yang mampu menggunakan. Banyaknya industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan sekitar 100 buah, dengan kebutuhan kayu bulat per bulan sekitar 200 m3 hingga 300 m3 dan produksi kayu sekitar 10 m3 per hari, sehingga kebutuhan industri secara keseluruhan adalah sekitar 20.000 m3 hingga 30.000 m3 kayu bulat per bulan. Konsumen yang secara rutin membutuhkan kayu olahan adalah proyek-proyek perumahan, sekolahan, bangunan kantor, industri mebeler kursi, meja, bufet, dll serta industri makaukusen lemari, kusen, pintu, dll. Satu industri palet di kabupaten Cirebon juga secara rutin membutuhkan bahan baku kayu, khususnya sengon, serta pabrik plywood yang baru beroperasi pada tahun 2010 di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan. Kayu-kayu hasil olahan sebagian besar 90 dikirim keluar daerah Kuningan seperti Indramayu, Cirebon, Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan hingga Surabaya, dan hanya sekitar 10 saja yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kuningan, itupun sebagian besar untuk kebutuhan proyek perkantoran, sekolah dan perumahan. Hal ini karena masyarakat Kuningan sebagian besar menanam sendiri pohon-pohonan untuk kebutuhan rumah tangganya. Ada juga industri yang melakukan pemasaran tetap berjumlah 10 toko, yaitu toko material Indramayu dan Cirebon dalam bentuk kayu bangunan kusen, kaso, balok, proyek sekolahan Jakarta dan Bekasi, serta industri furnitur Plered Cirebon. Bahan baku rutin dari supplier per minggu, 50 bahan baku kayu berasal dari hutan rakyat dan 50 dari kebun rakyat dari daerah penyangga TNGC. Bahan baku kayu tersebut berasal dari Kec. Kadugede 5 desa, Kec Cigugur Desa Cisantana serta Kec Jalaksana Sukamukti, Babakan mulya, Sayana dan Sangkan Herang. Jenis kayu yang banyak diminati konsumen adalah jenis kayu berkelas seperti jati, pinus dan mahoni, sedangkan kayu yang banyak ditanam masyarakat adalah kayu rawa seperti sengon, afrika, alpuket, mindi. Namun untuk industri pengolahan jenis kayu rawa paling banyak digunakan. Gambaran industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Gambar 33 Gambar 33 Industri pengolahan kayu panglong di Kabupaten Kuningan 4 Industri Batu Bata Industri batu bata menggunakan kayu sebagai bahan baku dalam proses pembakaran batu bata sampai siap digunakan. Kayu yang digunakan untuk membakar adalah kwalitas tiga atau jenis kayu seberan dengan harga satu mobil sebesar Rp 200.000 atau sekitar Rp 30.000 per m3. Kayu ini diperoleh dari industri pengolahan kayu. Proses pembakaran sejumlah 20.000 sampai 25.000 batu bata memerlukan waktu sekitar 50 hari jika cuaca terang, dan membutuhkan tiga mobil pick up kayu, dengan volume satu mobil adalah 7 m3. Ini berarti bahwa setiap tahun industri ini melakukan proses pembakaran sebanyak 7,3 kali, dan setiap kali proses pembakaran memerlukan 21 m3 kayu, sehingga jumlah kayu yang diperlukan dalam satu tahun sekitar 153,3 m3 untuk setiap industri batu bata. Kabupaten Kuningan memiliki sekitar 500 industri batu bata, sehingga dalam satu tahun jumlah kayu yang diperlukan sebanyak 76.650 m3, dan jika dinilai dengan uang, setara dengan biaya sebesar Rp. 2.299.500.000 per tahun. Kayu kwalitas tiga yang dibutuhkan oleh industri batu bata cukup terbatas jumlahnya karena keterbatasan produksi yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu. Oleh karena itu jika tidak mencukupi, maka kayu yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu dibagi secara merata kepada industri batu bata yang membutuhkan. Keterbatasan banyaknya kayu untuk proses pembakaran disiasati oleh industri batu bata dengan cara mengganti kayu dengan bambu. Namun ternyata selain batu bata yang dihasilkan kurang bagus, juga proses pembakaran dengan bahan bakar bambu relatif lebih lama. Oleh karena itu harapan dari pemilik industri batu bata adalah tersedianya bahan baku kayu untuk proses pembakaran secara kontinyu dalam jumlah yang cukup. Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34 Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata 4.4.2.3 Potensi Kesempatan Kerja Berdasarkan hasil wawancara, pengembangan agroforestri ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan modal, terutama untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian 30, faktor kurangnya pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknik budidaya tanaman yang benar, terutama penanganan hama dan penyakit tanaman 60, serta sistim pemasaran hasil pertanian dan kayu 10. Menurut Vink dalam Sajogyo 1982 pekerjaan dalam suatu kegiatan yang dekat dengan alam seperti pertanian, tidak memiliki faktor yang mendekati kepastian matematis, seperti yang kebanyakan terdapat dalam industri. Banyak faktor alam seperti hujan, cahaya matahari, dingin dan panas, persediaan air, keadaan tanah, tumbuhnya semak, keadaan anaman, angin, mencegah kerusakan hama dan penyakit, dan lainnya. Selain itu terdapat pula faktor tenaga pribadi, kecenderungan, pandangan dan kecocokan, tersedianya tenaga kerja yang banyak atau sedikit dalam keluarga dan banyak atau sedikitnya kesanggupan untuk menyewa tenaga kerja dari luar, sehingga umumnya prestasi kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu alam, kerja dan modal. Penurunan hasil panen tanaman pertanian agroforestri sebagian besar disebabkan oleh tiga hal, yaitu angin, hama babi dan monyet serta akibat penyakit tanaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, untuk desa Karangsari yang menyebabkan penurunan produktifitas tanaman pertanian adalah iklim angin sebesar 10 , hama babi 20 serta karena penyakit busuk akar sebesar 10 . Untuk desa Seda disebabkan karena faktor hama babi dan monyet untuk tanaman ketela pohon, pisang dan kelapa 20, serta faktor penyakit tanaman 30 yang mengakibatkan bunga cengkeh dan melinjo tidak berkembang menjadi buah. Sedangkan di desa Pajambon, lebih banyak karena faktor penyakit 10 . Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petani terhadap perkembangan teknik budidaya tanaman, khususnya dalam pencegahan hama dan penyakit merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan produktifitas. Padahal menurut Vink, G.J dalam Sajogyo 1982 sifat, tenaga dan ketrampilan pekerja adalah hal yang penting bagi semua pekerjaan. Oleh karena itu pengetahuan dan ketrampilan petani perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, petani masih mengandalkan para penyuluh pertanian atau pihak pendamping dalam mengatasi masalah tersebut karena dipandang lebih efektif, dibandingkan jika petani mengikuti pendidikan dan latihan yang sangat terbatas jumlahnya. Hasil analisis terhadap produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan yang paling banyak dibudidayakan petani yang memiliki produksi relatif tinggi, didapatkan beberapa komoditas yang perlu dikembangkan seperti disajikan pada Tabel 49. Tabel 49 Komoditas tanaman pertanian yang disukai masyarakat No Desa Jumlah petani Agro forestri Tanaman pertanian Luas lahan ha Produksi kg Hargakg Rp. Total Rata -rata Total Rata- rata 1 Karangsari 687 1. Jagung 2. Cabe rawit 3. Kopi 0,877 1,097 0,921 0,11 0,11 0,11 19.400 1.296 2.323 2425 129,60 290,38 2.800 14.000 8.000 2 Seda 327 1. Melinjo 2. Cengkeh 1,16 0,67 0,13 0,11 6075 570,5 675 95,08 2.000 55.000 3 Pajambon 130 1. Cabe rawit 2. Kopi 0,0328 0,0328 0,02 0,02 8,24 415 4,12 207.50 17.000 6.000 Harga berlaku saat penelitian Hasil wawancara dengan perangkat Desa Tabel 49 memperlihatkan bahwa cabe rawit merupakan komoditas tanaman pertanian yang menjadi unggulan di desa Karangsari dan Seda, hal ini dikarenakan harga cabe rawit meningkat tajam pada saat penelitian dilakukan dari harga rata-rata Rp 8.000, menjadi sekitar Rp 14.000 sampai Rp 17.000. Di desa Seda komoditas perkebunan cengkeh dan melinjo sejak dahulu tetap menjadi unggulan, bahkan menjadi unggulan Kabupaten Kuningan. Oleh karena itu penurunan produktifitas akibat penyakit tanaman pada kedua komoditas ini harus menjadi fokus perhatian stakeholder. Komoditas tanaman kehutanan di tiga Desa contoh yang menjadi unggulan adalah sengon. Menurut sebagian besar responden karena tanaman sengon memiliki masa panen yang relatif lebih cepat, sehingga dapat segera menghasilkan kayu. Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat disajikan pada Tabel 50. Tabel 50 Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat No Desa Tanaman kehutanan Luas lahan ha Produksi batang Hargapohon Rp. Total Rata-rata Total Rata-rata 1 Karangsari 1. Sengon 2. Kayu afrika 2,685 1,872 0,298 0,187 1803 446 200,3 44,6 500.000 800.000 2 Seda 1. Sengon 2. Mahoni 0,414 0,977 0,138 0,143 170 362 56,67 52 500.000 1.000.000 3 Pajambon 1. Kayu afrika 2. Sengon 0,0283 0,0283 0,0141 0,0141 113 75 4 3 400.000 400.000 Jenis tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni menjadi tiga komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat. Berdasarkan wawancara, permintaan konsumen terhadap jenis tanaman kehutanan ini cenderung meningkat baik dari segi volume maupun harga. Peningkatan produksi jenis tanaman ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani agroforestri, oleh karena itu perhatian terhadap ketiga jenis komoditas tanaman kehutanan ini harus lebih diutamakan oleh stakeholder terkait, terutama penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan. Kombinasi jenis tanaman pertanian dan kehutanan yang dipilih oleh masyarakat disarankan untuk dikembangkan, hal ini sesuai dengan pendapat Satjapradja 1982 bahwa untuk pengembangan dan keberhasilan sistem agroforestri, jenis tanaman yang dikembangkan harus memenuhi beberapa persyaratan bukan saja meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga aspek sosial, fisik dan biologi. Salah satu persyaratan keberhasilan agroforestri adalah jenis tanaman yang dikembangkan sudah dikenal dan disukai masyarakat, oleh karena itu peningkatan produksi tanaman pertanian dan kehutanan pada ketiga Desa contoh dilakukan terhadap komoditas tanaman pertanian dan kehutanan yang disukai, namun memiliki nilai ekonomis yang dapat memenuhi kebutuhan petani. Suharjito, dkk 2003 menyatakan bahwa di tingkat petani keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar untung rugi. Suatu sistim penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistim tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan dan penghasilan tunai. Masyarakat desa yang diprioritaskan untuk bekerja pada beberapa jenis usaha yang dikembangkan sebaiknya adalah masyarakat yang pernah menggarap pada lahan kawasan TNGC berakhir pada bulan November 2010. Hal ini dilakukan untuk memberikan alternatif sumber mata pencaharian dan sumber pendapatan lain melalui kesempatan kerja di sektor ekowisata dan agroforestri. Jumlah masyarakat yang pernah menggarap lahan di kawasan TNGC pada desa-desa contoh berdasarkan data terakhir Balai TNGC November 2010 yaitu; Desa Seda 363 orang, Desa Cisantana 260 orang, Desa Karangsari 50 orang dan desa Pajambon 20 orang. Disamping itu lahan yang mereka miliki juga termasuk dalam kategori sempit dibawah 0,5 ha, bahkan banyak yang tidak memiliki lahan pertanian. Menurut Heriawan 2006 berdasarkan jumlah Rumah Tangga Pertanian RTP di seluruh Indonesia terdapat 13,3 juta RTP yang hanya menguasai belum tentu memiliki luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar.

4.5 Model Sistem Dinamik Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

Tujuan pengembangan masyarakat adalah menciptakan kondisi yang lebih maju dalam hal sosial dan ekonomi, melalui proses penyadaran dan peningkatan kemandirian. Pelaksanaan pengembangan masyarakat pada daerah penyangga TNGC pada prinsipnya tidak terbatas pada selang waktu tertentu, apabila masyarakat telah memasuki tahap kemandirian maka dapat berpindah dengan tidak menghentikan sama sekali kegiatan yang bersifat konsultatif dan dan informatif. Namun untuk mengefektifkan kegiatan ini, maka diawali dengan mengembangkan ide atau inovasi kepada masyarakat melalui pengembangan program ekowisata an agroforestri. Mardikanto 2010 menyampaikan bahwa salah satu upaya yang sering dilakukan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat terhadap ide yang ditawarkan adalah menunjukkan manfaat atau keunggulan ekonomi dan non ekonomi dari ide atau upaya yang ditawarkan. Keunggulan sosial ekonomi ekowisata dan agroforestri tercermin melalui seberapa besar manfaat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja serta penerimaan yang diperoleh dari kedua kegiatan tersebut untuk jangka panjang. Untuk itu melalui upaya perumusan model pengembangan ekowisata dan agroforestri dengan menggunakan pendekatan sistem dinamis ini akan dapat diprediksi seberapa besar manfaat yang diterima oleh masyarakat. Dengan gambaran ini, diharapkan adanya peningkatan motivasi masyarakat untuk ikut mengembangkan program ini, dengan dua tujuan, yaitu mendapatkan manfaat sosial ekonomi sehingga meningkatkan sikap dan dukungannya terhadap upaya konservasi TNGC serta meningkatnya luas penutupan hutan TNGC. Pembinaan terhadap masyarakat daerah penyangga merupakan tugas bersama antara Pemerintah Pemda setempat melalui instansi terkait dan Balai TNGC, dunia usaha pihak pengelola ekowisata, Perusahaan Daerah Aneka Usaha dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia cabang Kabupaten Kuningan serta LSM lokal Akar dan Kanopy. Pada saat ini pemerintah lebih dominan berperan dalam program-program pengembangan masyarakat, melalui berbagai kegiatan pelatihan, bantuan, dan kegiatan lainnya. Namun karena keterbatasan sumberdaya terutama anggaran dan SDM, maka dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala. Dalam pengembangan ekowisata, sesuai dengan fokus pengembangan hasil analisis supply dan demand, kendala yang dihadapi adalah pada pembangunan fasilitas ekowisata, kontinyuitasjumlah program yang digulirkan, serta keterbatasan pelibatan masyarakat dalam program, sedangkan pada pengembangan agroforestri kendala yang dihadapi pada kegiatan penyuluhan, pendampingan, kontinyuitas jumlah program yang digulirkan, adanya keterbatasan dalam pelibatan masyarakat dalam program, serta kendala iklim, hama dan penyakit tanaman. Keterbatasan kemampuan pemerintah terhadap implementasi program- program pengembangan ekowisata dan agroforestri pada saat ini berpengaruh terhadap aspek kesejahteraan masyarakat daerah penyangga yang bekerja di kedua sektor tersebut. Oleh karena itu dalam program pengembangan masyarakat daerah penyangga khususnya pada kegiatan ekowisata dan agroforestri dibutuhkan peran yang lebih besar dari stakeholder dunia usaha dan LSM. Kontribusi terhadap program pengembangan ekowisata dan agroforestri dari dua stakeholder pemerintah dan dunia usaha atau LSM diharapkan akan dapat mewujudkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Namun kondisi optimal akan dicapai jika ketiga stakeholder pemerintah, dunia usaha dan LSM dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam menghadapi kendala pengembangan ekowisata dan agroforestri. Atas dasar peran stakeholder tersebut, maka dalam penyusunan simulasi model untuk memprediksi besarnya manfaat yang diperoleh dari pengembangan ekowisata dan agroforestri, dilakukan dengan tiga skenario, yaitu pertama adalah skenario sesuai kondisi saat inieksisting bussiness as usual, dimana hanya pihak pemerintah saja yang berperan, kedua adalah skenario moderat, dimana terdapat dua stakeholder yang berperan pemerintah dengan dunia usaha atau pemerintah dengan LSM dan ketiga adalah skenario optimis, yang merupakan skenario ideal, dimana ketiga kelompok stakeholder berperan secara nyata terhadap pengembangan ekowisata dan agroforestri.

4.5.1 Identifikasi sistem

Pengembangan daerah penyangga TNGC merupakan sebuah sistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi dan terorganisir. Isu utama pembuatan model adalah bagaimana pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC dibangun dalam suatu model dinamik. Tujuan khusus dari pembuatan model adalah untuk mengembangkan daerah penyangga melalui ekowisata dan agroforestri yang ditujukan bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta tercapainya kelestarian TNGC. Berdasarkan pengertian permasalahan dan mekanisme sistem yang akan dibangun, maka diagram lingkar sebab akibat menggambarkan tiga sub sistem, yaitu sub sistem kesempatan kerja, sub sistem pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga dan sub sistem luas penutupan hutan TNGC. Diagram lingkar akibat causal loop tersebut, diilustrasikan pada Gambar 35. Kondisi sosial ekonomi Gangguan terhadap hutan penggarapan dalam kawasan, kebakaran, pencurian Kelestarian TNGC Luas penutupan hutan + + Sikap Konservasi Kesempatan kerja dan Pendapatan + + ─ Pengembangan Daerah Penyangga ekowisata dan agroforestri + + Gambar 35 Diagram lingkar sebab akibat causal loop model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC Gambar 35 memperlihatkan hubungan antara komponen yang saling berinteraksi. Pengembangan daerah penyangga TNGC melalui ekowisata dan agroforestri akan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Peningkatan kedua aspek ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, taraf hidup yang semakin meningkat, pendidikan dan kesehatan yang semakin membaik, dapat menjadi pendorong terbentuknya sikap yang positif terhadap konservasi TNGC. Tingkat gangguan terhadap kawasan TNGC akan semakin menurun sejalan dengan membaiknya sikap dan dukungan masyarakat terhadap keberadaan TNGC, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kelestarian TNGC dengan indikasi semakin luasnya penutupan hutan yang pada saat ini mengalami kerusakan sebesar 43. Diagram lingkar sebab akibat mencerminkan efek jangka panjang dari mekanisme yang terjadi dalam sistem pengembangan daerah penyangga, kemudian menjabarkannya dalam struktur model. Pengembangan terhadap kegiatan ekowisata dan agroforestri bertujuan untuk melihat seberapa besar kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan dari kedua kegiatan tersebut. Pengembangan yang dimaksud didasarkan pada hasil analisis supply demand ekowisata dan agroforestri. Konseptual model yang dibangun dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa pengembangan fasilitas ekowisata dan penyediaan jenis usaha masyarakat secara langsung akan meningkatkan jumlah ekowisatawan. Dari belanja ekowisatawan akan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Jumlah wisatawan menjadi faktor yang mempengaruhi besarnya belanja wisatawan dan akan mempengaruhi pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor wisata. Peningkatan jumlah wisatawan dan peningkatan belanja wisatawan merupakan tujuan utama dari program pengembangan ekowisata. Namun mempertahankan kualitas lingkungan pada kepariwisataan alam mutlak diperlukan sebab daya tarik utamanya adalah pada lingkungan tersebut, oleh karena itu jumlah pengunjung harus dibatasi sesuai daya dukung kawasan TNGC, karena menurut Fandeli 2001 faktor yang signifikan mempengaruhi daya dukung lingkungan obyek ekowisata atau kawasan adalah jumlah wisatawan, aktifitas wisatawan, perilaku wisatawan, intensitas pemanfaatan dan daya pulih secara alami obyek ekowisata serta tingkat pengelolaan. Oleh karena itu jumlah wisatawan harus dikontrol agar tidak melebihi daya dukung kawasan, namun tetap memberikan kontribusi dalam bentuk belanja wisatawan bagi peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya yang berada di sekitar obyek ekowisata. Menurut Douglass 1975 dalam Fandeli 2001, jumlah wisatawan yang diperkenankan untuk mengunjungi areal hutan yang dikembangkan untuk wisata agar tidak menimbulkan kerusakan adalah lima orang wisatawan per hektar per hari. Untuk Buper Palutungan petak 27 dengan luas kawasan wisata 5 hektar, maka jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 9.000 orang setiap tahun 5 ha x 360 hari x 5 wisatawan. Pada saat ini jumlah wisatawan Buper Palutungan setiap tahun rata-rata berjumlah 34.596 orang, atau kelebihan sekitar 25.596 orang atau sekitar 73,98 dari ambang batas jumlah wisatawan yang diperkenankan. Untuk lembah Cilengkrang dengan luas 30 ha, jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 54.000 orang per tahun, sedangkan saat ini rata-rata jumlah wisatawan adalah 65.424 orang per tahun kelebihan sekitar 11.424 orang per tahun atau sekitar 17,46, sehingga perlu ada pembatasan jumlah wisatawan agar kerusakan kawasan obyek ekowisata dapat dicegah. Lokasi pemandian Cibulan memiliki luas 5,95 ha, maka jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 10.710 orang setiap tahun, sedangkan saat ini baru sekitar 4.380 wisatawan setiap tahun atau baru sekitar 40,90 dari dari total jumlah wisatawan yang diperkenankan. Berdasarkan perhitungan jumlah maksimal wisatawan menurut Douglass tersebut, maka peningkatan jumlah wisatawan hanya dimungkinkan pada lokasi obyek ekowisata Pemandian Cibulan, dan harus ada pembatasan pada lokasi obyek ekowisata Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang. Peningkatan produksi agroforestri di daerah penyangga akan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Peningkatan kedua variabel ini diharapkan dapat mencegah sikap dan perilaku yang dapat merusak kawasan hutan TNGC, sehingga kelestarian TNGC dapat tercapai. Peningkatan produksi yang ingin dicapai pada pengembangan agroforestri dilakukan melalui kebijakan. Sadoulet dan Janvry 1995 dalam Rianse dan Abdi 2010 memformulasikan fungsi produksi agroforestri dengan persamaan yang memasukkan faktor tetap seperti infrastruktur dan pelayanan penyuluhan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi produksi agroforestri. Berdasarkan isu, tujuan, dan konseptual tersebut maka dibangun tiga sub model yaitu: 1 Sub model kesempatan kerja, 2 Sub model pendapatan masyarakat, dan 3 Sub model kelestarian TNGC. Gambar struktur model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC disajikan pada Lampiran 3. Analisis dilakukan untuk sepuluh tahun yang akan datang sejak tahun 2009 hingga tahun 2019. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemodelan ini adalah : 1. Kesempatan kerja masyarakat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dalam kegiatan ekowisata dan agroforestri. Masyarakat yang menjadi prioritas adalah yang pernah menggarap kawasan TNGC pada masing- masing desa, dengan asumsi setelah turun dari kawasan, masyarakat tersebut dalam kondisi belum bekerja. 2. Perhitungan pendapatan masyarakat dari ekowisata adalah berdasarkan pendapatan masyarakat di daerah penyangga yang terlibat secara langsung dalam usaha ekowisata TNGC yang terdiri dari: pengelola obyek wisata, warung makananminuman, penjual souvenir, pemandu wisata, penitipan kendaraan, penyewaan peralatan renang, penyewaan kamar bilas, atraksi outbond, usaha toilet umum, serta pendapatan dari pengembangan usaha penyewaan tenda, homestaypondokan di rumah penduduk, rumah makanrestoran, penitipan pakaian. Pendapatan masyarakat dalam perhitungan dimaksud adalah pendapatan per kapita per bulan. 3. Perhitungan pendapatan masyarakat dari agroforestri adalah berdasarkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan yang ditanam pada tegalan ladangkebun milik masyarakat. 4. Seluruh perhitungan pendapatan masyarakat hanya yang berasal dari kegiatan ekowisata dan agroforestri. 5. Kelestarian TNGC diperhitungkan dalam bentuk peningkatan luas tutupan hutan, karena adanya kegiatan penanaman RHL dan pengurangan akibat perambahan dan kebakaran hutan pada kawasan TNGC.

4.5.2 Sub Model pada Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

a Sub Model Kesempatan Kerja Masyarakat Kesempatan kerja pada sub model ini adalah banyaknya anggota masyarakat yang dapat terserap atau bekerja pada berbagai jenis usaha ekowisata dan kegiatan agroforestri. Kesempatan kerja yang dikembangkan dari ekowisata yaitu sebagai pengelola ekowisata, warung makanan dan minuman, penjual souvenir, pemandu wisata, pengelola penitipan kendaraan, atraksi outbond, penyewaan kamar bilas, penyewaan peralatan renang, toilet umum, rumah makanrestoran, penyewaan tenda, homestaypenyewaan di rumah penduduk dan penitipan pakaian hasil analisis supply demand. Kesempatan kerja masyarakat yang akan dikembangkan dari agroforestri dibatasi hanya sebagai petani agroforestri on farm. Struktur model dinamik sub model kesempatan kerja dan persamaannya disajikan pada lampiran 4. b Sub Model Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat pada sub model ini adalah pendapatan yang berasal dari pengembangan 13 jenis usaha ekowisata yang dihasilkan dari analisis supply demand pada sub bab potensi pengembangan ekowisata dan diperoleh dari sub model kesempatan kerja, sedangkan besarnya pendapatan masyarakat dari agroforestri diperoleh dari hasil produksi tanaman pertanian dan kehutanan. Semakin tinggi produksi tanaman pertanian dan kehutanan, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Struktur model dinamik sub model pendapatan masyarakat dan persamaannya disajikan pada lampiran 5. Disamping pendapatan dari kegiatan ekowisata TNGC dan agroforestri, masyarakat juga mempunyai sumber pendapatan lain, karena kegiatan ekowisata dan agroforestri belum dapat dijadikan sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian. Dalam model ini pengeluaran masyarakat dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kesehatan, dan pendidikan. Peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dan agroforestri tidak terlepas dari peran stakeholder. Pengembangan ekowisata yang dilakukan oleh stakeholder adalah dalam bentuk peningkatan fasilitas ekowisata,peningkatan programkegiatan per tahun yang mendukung ekowisata TNGC, serta peningkatan jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan ekowisata. Peningkatan ketiga aspek ini akan berdampak terhadap jumlah ekowisatawan dan peningkatan produk dan jasa ekowisata oleh masyarakat. Dengan adanya peningkatan usaha produk ekowisata, maka akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu variabel kunci yang digunakan dalam pengembangan ekowisata adalah 1 Fasilitas ekowisata, 2 programkegiatan per tahun, dan 3 Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan. Peran stakeholder dalam pengembangan programkegiatan agroforestri di daerah penyangga TNGC secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman agroforestri. Peningkatan produksi pada agroforestri selanjutnya berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Variabel kunci yang digunakan adalah 1 Frekuensi penyuluhan, 2 Banyaknya kelompok pendampingan, 3 Jumlah program kegiatan per tahun, 4 Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program kegiatan, serta adanya 5 Faktor iklim, hama dan penyakit. Uraian dari masing-masing variabel kunci pada program ekowisata dan pengaruhnya terhadap peningkatan jumlah usaha di sektor ekowisata adalah sebagai berikut; 1 Fasilitas Ekowisata Peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas pada lokasi obyek wisata sangat penting karena fasilitas menurut Gunn 1988 termasuk elemen penunjang yang membuat proses kegiatan ekowisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan. Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas umum yang disediakan oleh pengelola, seperti papan petunjuk, shelter, mushola, MCK, pos jaga, pos informasi dan tempat sampah, serta fasilitas jenis usaha produk wisata yang diminati oleh pengunjung dan dapat disediakan oleh masyarakat setempat. Dengan adanya peningkatan jumlah dan kondisi fasilitas umum dan fasilitas berupa jenis produk ekowisata ini, maka diharapkan terjadi peningkatan jumlah pengunjung dan belanja pengunjung. 2 Jumlah programkegiatan yang mendukung ekowisata per tahun Faktor kedua yang mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat adalah banyaknya programkegiatan yang mendukung pengembangan ekowisata yang ditujukan bagi peningkatan kapasitas masyarakat diantaranya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Peran stakeholder diperlukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tersebut melalui berbagai jenis pelatihan dan pembinaan pasca pelatihan. Berdasarkan hasil wawancara 32 menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan ketrampilan dalam usaha di sektor wisata mempengaruhi minat masyarakat dalam membuka usaha. Kurangnya pengetahuan mengenai suatu jenis usaha dapat mengurungkan niat untuk mencoba membuka usaha baru. Jenis pelatihan yang diinginkan oleh responden adalah yang berkaitan dengan ketrampilan strategi pemasaran, pembuatan souvenir, jenis-jenis usaha di bidang ekowisata, dan pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi di lingkungan desa. Semakin banyak pelatihan yang diselenggarakan oleh stakeholder, maka diharapkan semakin meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat mengenai bidang ekowisata, yang akan menambah motivasi dan minat masyarakat dalam membuka lapangan usaha baru. Saat ini frekuensi pelatihan bidang ekowisata yang telah dilaksanakan oleh stakeholder rata-rata satu kali dalam setahun, seperti pelatihan teknik interpretasi wisata bagi masyarakat yang diselenggarakan oleh Balai TNGC dan pelatihan ketrampilan pembuatan souvenir oleh Balai TNGC bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi, hasil penelusuran RPJMRenstra Balai TNGC, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Berdasarkan hasil observasi terhadap masyarakat yang pernah mendapatkan pelatihan, tanpa adanya pembinaan lebih lanjut, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh tidak terlihat dampaknya, karena tidak diterapkan oleh masyarakat. Padahal biaya yang sudah dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan cukup besar. Berdasarkan hasil wawancara, pembinaan yang dibutuhkan oleh responden adalah pembinaan minat dan motivasi, informasi permodalan, informasi strategi pemasaran, informasi promosi bagi yang sudah dilatih menjadi pemandu wisata, dan pembinaan dalam kaitannya dengan persaingan usaha. Pembinaan yang intensif dan berkualitas akan dapat meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam membuka usaha baru di bidang ekowisata, dan selanjutnya akan dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat. Pada saat ini frekuensi pembinaan terhadap masyarakat yang berusaha di bidang ekowisata masih terbatas, yaitu rata-rata satu kali per tahun. 3 Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan Faktor ketiga adalah jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program kegiatan ekowisata. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh stakeholder menjadi pembatas jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan dalam program pelatihan atau pembinaan. Dalam setiap kali pelatihan biasanya hanya mengikutsertakan masyarakat sekitar 20 hingga 50 orang. Bahkan jika penyelenggaraan pelatihan oleh stakeholder mencakup wilayah yang luas, maka dari satu desa hanya mengikutsertakan perwakilan dua hingga lima orang. Peningkatan kesempatan kerja masyarakat karena adanya peningkatan fasilitas jenis usaha produk ekowisata yang diminati oleh pengunjung,