Strategi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC
Tabel60.Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TNGC
Stakeholder Pengaruh
Kepentingan Keterlibatan Balai TNGC
Tinggi. Akan mempengaruhi semua aspek kebijakan
konservasi TNGC Tinggi. Penyelenggaraan
konservasi di dalam dan di luar kawasan.
Dishut Provinsi Jawa Barat
Tinggi. Wilayah teritorial, implementasi dan keberhasilan
program Rendah. Tidak menerima
dampak Disparbud
Kabupaten Kuningan Tinggi. Memiliki kebijakan
pembinaan pariwisata Tinggi. Pengelolaan
ekowisata di wilayahnya Dunia usaha PDAU
dan PHRI Rendah. Tidak memiliki akses
terhadap kebijakan. Tinggi. Menerima manfaat,
terlibat dalam implementasi LSM Kanopi dan
Akar dan kelompok masyarakat
Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
Tinggi. Menerima manfaat, terlibat dalam implementasi
Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, selanjutnya
stakeholder dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek subject, pemain kunci key player, penghubung context setter dan penonton
crowd. Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholderyang dapat berperan lebih besar dan stakeholder yang mempunyai resiko bagi ketidakberhasilan
program. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 50
Gambar 50Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan ekowisata TNGC
Gambar 50memperlihatkanstakeholderpada kuadran satu subyek, dengan tingkat kepentingan tinggi namun mempunyai pengaruh rendah dalam
B
alai TNGC
D
inas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat
D
inas Pariwisata dan Kebudayaan
D
unia usaha PDAU
LSM Kanopi dan Akar dan
Kelompok Masyarakat
Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi
Kepentingan Tinggi
Kepentingan Rendah
SUBJECT KEY PLAYER
CROWD CONTEXT SETTER
pengembangan ekowisata TNGC yaitu dunia usaha PDAU dan PHRI, LSM, dan kelompok masyarakat. Stakeholder ini yang akan menjalankan kebijakan dan
bertanggung jawab bagi implementasi pengembangan ekowisata, meskipun tidak harus menjadi pengambil keputusan. Sebagai penerima manfaat, maka
kepentingan stakeholder ini harus dilindungi melalui upaya-upaya peningkatan kemampuan dan peningkatan kesadaran konservasi dalam pengembangan
ekowisata. Manfaat yang diterima oleh PDAU, PHRI dan kelompok masyarakat khususnya adalah dalam bentuk pendapatan yang diperoleh sebagai pengelola
obyek wisata maupun pengelola fasilitas wisata. Sedangkan LSM menerima manfaat dalam bentuk kegiatan fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok
masyarakat. Upaya peningkatan kesadaran dimaksudkan agar dalam mengelola obyek dan fasilitas ekowisata selalu menerapkan prinsip daya dukung dan
kelestarian kawasan TNGC. Posisi kuadran kedua key players dalam pengembangan ekowisata
TNGC adalah Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.Stakeholderini mempunyai pengaruh dan kepentingan yang tinggi
terhadap keberhasilan pengembangan ekowisata TNGC,karena kewenangannya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata.
Stakeholder yang berpengaruh namun memiliki tingkat kepentingan yang rendah dalam pencapaian tujuan pengembangan ekowisata di daerah
penyangga TNGC dikelompokkan dalam kuadran ketiga context setter, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut tidak ada stakeholder yang termasuk dalam kuadran keempat crowd yaitu yang mempunyai tingkat
kepentingan dan pengaruh kecil dalam pengembangan ekowisata TNGC. Berdasarkan hasil kajian terhadap dokumen perencanaan dan pelaporan
stakeholder serta wawancara dengan masyarakat, diperoleh data peran stakeholder dalam pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat pada program
ekowisata TNGC, sebagaimana disajikan pada Tabel 61. Peran stakeholder dalam peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan
pendapatan masyarakat dari sektor ekowisata dilakukan melalui pengembangan berbagai jenis usaha masyarakat. Peran tersebut dapat berbentuk pembangunan
fisik seperti pembangunan fasilitas dalam obyek wisata, dalam hal ini pihak TNGC memiliki kewenangan penuh, karena pembangunan dilakukan dalam
kawasan taman nasional yang memiliki aturan tersendiri.
Tabel 61Peran stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja pada program pengembangan ekowisata TNGC
No. Jenis Lapangan Pekerjaan
Jumlah Lapangan
Pekerjaan orang
Stakeholder peran 1.
Penjual souvenir 31
a. Dinashut Prop Jabar pelatihan kerajinan b. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat, melalui pelatihan, magang dll
2. Pengusaha warung makanan
dan minuman 30
a. Dishut Prov Jabar pendanaan pendampingan masyarakat desa
konservasi b. PDAU pengembangan masyarakat
c. PHRI pelatihan dan pembinaan 3.
Pemandu wisata interpreter 5
a. Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kab Kuningan
pembangunan media informasi, promosi dan interpretasi
b. Dinashut Prop Jabar pelatihan pemanduan dan interpretasi
c. Kompepar penyiapan SDM d. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat, melalui pelatihan, magang dll
4. Pengelola ekowisata
27 a. Balai TNGC dan Disparbud Kuningan
informasi, promosi dan pelatihan b. PHRI pelatihan dan pembinaan
c. PDAU pengelolaan tiket masuk
d. Kompepar penyiapan SDM e. LSM Akar advokasi gerakan sapu
gunung 5.
Pengelola atraksi outbond 12
a. Balai TNGC pengelolaan bersama kolaborasi, informasi dan promosi
b. Dinashut Prop Jabar pendampingan masyarakat desa konservasi
c. PDAU pengembangan masyarakat d. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat, melalui pelatihan, magang dll
6. Pengelola penitipan kendaraan.
27 a. Balai TNGC pembangunan fasilitas
b. Kompepar penyiapan SDM c. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat melalui pelatihan, magang dll 7.
Pengelola toilet umum 1
a. Balai TNGC dan Disparbud Kuningan pembangunan fasilitas
8. Pengelola penyewaan peralatan
renang 8
a. LSM Kanopy peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang
dll 9.
Pengusaha restoran Belum ada
a. Dinashut Prop Jabar pendampingan masyarakat desa konservasi
b. PDAU pengembangan masyarakat c. PHRI pelatihan dan pembinaan
d. LSM Kanopy peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang
dll 10.
Pengusaha Belum ada
a. Dinas Parbud Kuningan kemitraan
No. Jenis Lapangan Pekerjaan
Jumlah Lapangan
Pekerjaan orang
Stakeholder peran homestaypenyewaan di rumah
penduduk b. Dinashut Prop Jabar pendampingan
masyarakat desa konservasi c. Balai TNGC informasi dan promosi
d. PDAU pengembangan masyarakat e. PHRI pelatihan dan pembinaan
f. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat, melalui pelatihan, magang dll
11. Pengelolaan penyewaan kamar
bilas Belum ada
a. Balai TNGC pembangunan fasilitas b. Kompepar penyiapan SDM
c. LSM Kanopy peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang
dll 12.
Pengelolaan penitipan pakaian Belum ada
a. Balai TNGC pembangunan fasilitas b. Kompepar penyiapan SDM
c. LSM Kanopy peningkatan kapasitas
masyarakat, melalui pelatihan, magang dll
13. Pengelolaan penyewaan tenda
Belum ada a. Dinashut Prop Jabar pendampingan
masyarakat desa konservasi b. PDAU pengembangan masyarakat
c. PHRI pelatihan dan pembinaan d. Balai TNGC informasi dan promosi
Pelatihan dan pembinaan terhadap masyarakat dalam upaya peningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dapat dilakukan secara bersamaan oleh beberapa
stakeholder. Sebagai contoh, Persatuan Hotel Seluruh Indonesia PHRI Kabupaten Kuningan setiap tahun mengadakan pelatihan bagi karyawan
perhotelan, dimana 70 karyawan hotel merupakan penduduk Kabupaten Kuningan. Pihak TNGC dan PDAU dapat berkerjasama untuk mengirimkan
masyarakat daerah penyangga dalam kegiatan pelatihan tersebut. Rahman 2003 menyatakan bahwa pendidikan dan kontak penyuluhan memegang peran
penting dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya Dalam hal kemampuan mengakses informasi dan promosi terhadap bidang
pekerjaan, masyarakat daerah penyangga termasuk sangat kurang, baik informasi untuk memasuki pekerjaan informal, maupun informasi tentang
berbagai jenis pelatihan dan pembinaan yang dilaksanakan oleh stakeholder. Selain kualifikasi yang disyaratkan oleh jenis pekerjaan tersebut umumnya tidak
dapat dipenuhi masyarakat dalam hal tingkat pendidikan dan ketrampilan, juga karena informasi pekerjaan yang ada, tidak berupaya untuk mengangkat potensi
masyarakat.
Peran stakeholder dalam ekowisata terutama ditujukan bagi peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum serta faktor-faktor yang terkait dengan
pengembangan jenis produk ekowisata yang dapat disediakan masyarakat sesuai kesenjangan yang dihasilkan dari analisis supply demand. Berdasarkan
permasalahan pokok yang dihadapi responden yang bekerja di ekowisata, bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan jenis usaha masyarakat, yaitu
modal, pengetahuan dan ketrampilan. Dengan memperhatikan peran stakeholderyang terlibat dalam pengembangan ekowisata terkait dengan
pembangunan fasilitas serta peningkatan pelayanan dan pelatihan yang telah dilakukan
selama ini, maka
peningkatan peran
stakeholder dalam
pengembangan unit usaha masyarakat dapat dirumuskan dalam Tabel 62. Tabel 62 Peran stakeholder dalam pengembangan jenis usaha masyarakat di
sektor ekowisata TNGC
No. Stakeholder
Jenis peran Strategi pengembangan
kesempatan kerja bagi masyarakat 1
Balai TNGC, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten
Kuningan Pembangunan dan penataan
fasilitas : 1. Papan petunjuk
2. Shelter 3. Peta obyek wisata di lokasi
4. Jalur trecking 5. Toilet umum
6. Kamar bilas 7. Penitipan pakaian
Promosi 1. Booklet di lokasi wisata
2. Informasi Pemandu 3. Biro jasatravel
Mengadakan kerja sama dengan masyarakat dalam pembuatan dan
pemeliharaan fasilitas dan penyediaan sarana promosi leaflet
dan booklet.
2 Dinas Kehutanan
Prov. Jabar, PDAU, PHRI.
Pelatihan, pembinaan dan magang Materi pelatihan dan pembinaan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan
jenis usaha : pembuatan souvenir khas TNGC, interpretasi, pelayanan
pengunjung, kursus pembuatan makanan dan strategi pemasaran.
3 LSM Akar dan
Kanopy Pendampingan
Masyarakat dan fasilitasi Mediator masyarakat dengan pasar
dan investor. 4
Kompepar, Pengelola Obyek
Wisata Penyediaan SDM dan data dasar
potensi sumberdaya alam dan sosial budaya masyarakat
Data dan informasi potensi sda di daerah penyangga serta ketrampilan
masyarakat yang dapat dikembangkan seperti : pemanfaatan
berprofesi masyarakat dengan peluang usaha contoh; tukang kayu
menjadi pengrajin souvenir
4.6.1.2 Pengembangan Agroforestri Peran stakeholder
dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC tercermin dari program yang telah dan akan dilakukan oleh
masing-masing stakeholder.
Berdasarkan hasil
identifikasi didapatkan
stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah : 1Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, 3 Balai TNGC, 4 Dunia Usaha Perusahaan Daerah Aneka UsahaPDAU, dan 5 LSMKanopy
dan Akar. Peran masing-masing stakeholder diuraikan sebagai berikut : a Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
Berdasarkan Rencana Strategis RENSTRA Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Periode 2010-2015, kebijakan Balai TNGC yang terkait
dengan pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1 Pembentukan kelembagaan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, dan 2
Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan RHL. Dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga, Balai TNGC tidak secara langsung terlibat,
seperti bantuan bibit tanaman atau sarana produksi lainnya yang berkaitan dengan usaha agroforestri. Keterlibatan Balai TNGC adalah melalui
pembentukan model desa konservasi di desa Pajambon dan Karangsari, sebagai wadah bagi masyarakat dalam berbagai kegiatan seperti restorasi kawasan
TNGC. Kegiatan ini dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan masyarakat khususnya
mengenai pengayaan
jenis-jenis tanaman
kehutanan. Programkegiatan yang dilakukan oleh Balai TN. Gunung Ciremai dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1
Pembentukan Model Desa Konservasi 2
Peningkatan usaha ekonomi masyarakat 3
Kerjasama dengan investor dan pasar untuk pendukung usaha alternatif petani hutan
4 Sinkronisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat
b Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang terkait dengan
pengembangan agroforestri adalah 1 meningkatkan rehabilitasi lahan dan kawasan konservasi dan 2 peningkatan kapasitas ekonomi dan kemitraan
masyarakat sekitar hutan.Mengingat terbatasnya anggaran dan luasnya wilayah kerja Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, maka pengembangan agroforestri
yang sudah dilakukan di daerah penyangga TNGC masih sangat terbatas. Programkegiatan pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC
yang dilaksanakan baru pada tahap kegiatan pelatihan budidaya tanaman suren, mahoni dan jambu biji, kegiatan pengelolaan Kebun Bibit Desa KBD, serta
pemberian bibit tanaman kehutanan dan MPTS buah-buahan. Programkegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Barat dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1 Pelatihan budidaya tanaman suren, mahoni dan jambu biji,
2 Kegiatan pengelolaan Kebun Bibit Desa KBD 3 Pemberian bibit tanaman kehutanan dan MPTS buah-buahan.
c Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Berdasarkan Rencana Strategis DinasKehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan Periode Tahun 2009 sampai 2013, kebijakan strategis yang terkait dengan pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC
adalah: 1 peningkatan pengelolaan sumber daya hutan dan kebun melalui perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan, rehabilitasi hutan dan lahan,
penyediaan bibit berkualitas serta peningkatan partisipasi masyarakat, 2 peningkatan usaha kehutanan dan perkebunan melalui kemitraan dan penerapan
teknologi tepat guna, dan 3 peningkatan kapasitas SDM kehutanan dan perkebunan melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Programkegiatan
yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah:
1 Pembinaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan pengendalian OPT Organisme Pengganggu Tanaman dan pemanfaatan Agensia Hayati dan Insektisida Nabati
2 Pembuatan demplot pengelolaan lahan hutan dan perkebunan berbasis
teknologi dan pengetahuan lokal 3
Program diversifikasi dan pengembangan usaha Hutbun berbasiskan komoditas unggulan lokal
4 Kegiatan swadaya masyarakat berupa gerakan penananam dan
pemeliharaan pohon 5
Peningkatan kemampuan kelompok tani hutan dan kebun melalui pelatihan dan temu teknis
6 Program Peningkatan Produksi
Dan Pemasaran Hasil Pertanian Perkebunan
7 Pemanfaatan lahan di bawah tegakan dan pengembangan hasil hutan non
kayu 8
Pembentukan Model Desa Konservasi MDK 9
Pembuatan model agroforestri di kawasan lindung.
10 Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis GRLK dan GERHAN dan pemeliharaan tanaman
dBadan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Kuningan
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanandan Kehutanan BP4K Kabupaten Kuningan merupakan instansi dibawah Pemerintah Kabupaten
Kuningan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan dibidang pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Mengingat tugas pokok dan fungsi tersebut, maka BP4K mempunyai peran
penting dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC yang dilaksanakan oleh instansi teknis.
Saat ini terdapat 295 orang petugas penyuluh yang tersebar pada seluruh desa di Kabupaten Kuningan. Satu orang penyuluh pertanian memiliki wilayah
kerja satu hingga dua desa, sedangkan penyuluh kehutanan karena jumlahnya yang terbatas, setiap penyuluh mempunyai wilayah kerja satu hingga dua
kecamatan. Programkegiatan yang dilakukan oleh BP4K Kabupaten Kuningan dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah:
1 Pembentukan dan pembinaan kelompok tani, Gapoktan dan Koperasi tani
2 Peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani dalam penerapan
teknologi budidaya tanaman pertanian dan tanaman kehutanan 3
Peningkatan aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi, modal dan sarana produksi
4 Pendampingan program pengembangan petani melalui penerapan teknologi
dan informasi pertanian. 5
Pelatihan bagi petani yang berdomisili di dalam dan di sekitar hutan, di bidang teknologi, sosial dan ekonomi
6 Penyuluhansosialisasi
peraturan pemerintah
tentang kehutanan
penebangan kayu, perdagangan kayu illegal dan penghijauan hutan 7
Pengembangan kepemimpinan dan kelembagaan petani e Dunia usaha
Dunia usaha mempunyai peran
yang cukup penting dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC, dimana salah satunya adalahPerusahaan Daerah Aneka Usaha PDAU Kabupaten Kuningan, yang
dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati Kuningan. Perusahaan Daerah Aneka Usaha Kabupaten Kuningan telah berperan dalam mendukung pembangunan
agroforestri di daerah penyangga TNGC, meskipun kegiatannya masih sangat
terbatas hanya sekitar 10, itupun bersama-sama dengan kegiatan bidang industri dan telekomunikasi.Programkegiatan PDAU yang mendukung
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGCyaitu pembuatan pupuk organik dan pengembangan minyak atsiri minyak yang berasal dari buah pala.
f Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat memiliki peran melakukan pendampingan
kepada masyarakat dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Ada dua Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang berperan yaitu LSM
Kanopy dan LSM Akar. Programkegiatan yang dilakukan oleh LSM Kanopy dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah:
1 Penyusunan rencana pembangunan hutan dan desa berbasis masyarakat
dan ekosistem di desa Puncak, Pajambon, Linggajati, dan Padabeunghar. 2
Pengembangan usaha kelompok pembuatan kebun bibit jenis endemik Ciremai, MPTS buah-buahan, kayu rakyat, dan kayu hutan lainnya di desa
Karangsari, Puncak,
Pajambon, Linggajati,
Trijaya, Seda,
dan Padabeunghar.
3 Pengembangan usaha kelompok pemanfaatan lahan di bawah tegakan
nilam, jahe, laja, kunyit, lada, tanaman obat, iles-iles porang, dan buah- buahan lokal unggulan melalui pola agroforestri di kawasan hutan di desa
Padabeunghar, Seda, Trijaya, Linggajati, Pajambon, dan Puncak.
4 Pengembangan credit unionusaha bersama kelompok masyarakat melalui
pola iuranarisantabungan anggota di desa Puncak, Trijaya, Seda, dan Padabeunghar.
5 Peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan melalui metoda pelatihan,
magang, dan studi banding belajar antar petani lokalBAPEL, di seluruh masyarakat desa hutan dampingan
6 Sekolah Lapang Komuniti Forestri SLKF di desa desa hutan di desa
Puncak, Seda, dan Padabeunghar. 7
Fasilitasi proses penyusunanperbaikan perjanjian kerjasama tertulis antara masyarakat desa hutan dengan pihak pengelola kawasan hutan Perum
Perhutani atau Balai TNGC tentang pengelolaan hutan kolaborasi bersama masyarakat seluruh desa hutan dampingan.
8 Penyadaran masyarakat desa hutan tentang kelestariankonservasi kawasan
hutan di seluruh desa hutan dampingan. 9
Pengembangan Model Desa Konservasi melalui Sistem PKKBM di seluruh desa hutan dampingan di sekitar kawasan TNGC
10 Pengembangan pola agroforestri dalam pemanfaatan kawasan hutan dengan jenis tanaman kayu hutan, MPTS buah-buahan, dan tanaman obat
di seluruh desa hutan dampingan. 11 Pendampingan masyarakat untuk kegiatan pembuatan kebun bibit desa
dalam rangka pelaksanaan program Model Desa Konservasi MDK di Desa Pajambon,bermitra dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
Sedangkan programkegiatan yang dilakukan oleh LSM Akar dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah:
1 Advokasi berbagai kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dan
masyarakat. 2
Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa sekolah, pendaki gunung dan masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholderterhadap program pengembangan agroforestri di daerah penyangga
TNGC dapat dilihat pada Tabel 63. Tabel 63 Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC
Stakeholder Pengaruh
Kepentingan Keterlibatan Balai TNGC
Tinggi. Mempengaruhi aspek kebijakan konservasi TNGC
Rendah. Tidak menerima dampak langsung
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Tinggi. Implementasi dan keberhasilan program
Tinggi. Menerima dampak langsung keberhasilan
program Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kab. Kuningan
Tinggi. Memiliki kebijakan pembinaan
Tinggi. Pengelolaan sumber daya hutan di wilayahnya
BP4K Kab. Kuningan Tinggi. Keberhasilan program
Tinggi. Langsung terlibat dalm implementasi
Dunia usaha PDAU Rendah. Tidak memiliki akses
terhadap kebijakan. Tinggi. Menerima manfaat,
langsung terlibat dalam implementasi
LSM Kanopi dan Akar
Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
Tinggi. Menerima manfaat, langsung terlibat dalam
implementasi
Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, selanjutnya
stakeholder dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek subject, pemain kunci key player, penghubung context setter dan penonton
crowd. Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholderyang dapat berperan lebih besar dan stakeholder yang mempunyai resiko bagi ketidakberhasilan
program. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 51.
Gambar 51Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan agroforestri di daerah penyanggaTNGC
Pada Gambar 51 dapat dilihat bahwa stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan tinggi namun mempunyai pengaruh kecil dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah PDAU, dan LSM. Stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh tinggi
dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, BP4K, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuningan. Stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan kecil namun mempunyai pengaruh tinggi dalam pengembangan agroforestri di daerah
penyangga TNGC adalah Balai TNGC. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut tidak ada stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh kecil
dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Berdasarkan hasil kajian terhadap dokumen perencanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah RPJM atau Renstra, dan pelaporan stakeholderlaporan tahunan, serta wawancara dengan masyarakat, diperoleh
data peran stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat pada program agroforestri di daerah penyangga TNGC, sebagaimana disajikan
pada Tabel 64. Peran stakeholder dalam agroforestri terutama ditujukan bagi peningkatan
produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan. Sesuai dengan permasalahan pokok yang dihadapi responden, bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh
terhadap produksi agroforestri, yaitu modal 30, pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknik budidaya tanaman terutama penanganan hama
Balai TNGC
Dinas Kehutanan Prop. Jabar
Dishutbun B
P4K
Dunia usaha PDAU
LSM dan Kelompok
Masyarakat
Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi
Kepentingan Rendah
Kepentingan Tinggi
CROWD SUBJECT
CONTEXT SETTER
KEY PLAYER
Tabel 64 Peran Stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat pada program pengembangan agroforestri di daerah
penyangga TNGC.
No. Jenis lapangan
pekerjaan Jumlah lapangan
pekerjaan orang Stakeholder peran
1. Petani agroforestri
543 a. Balai TNGC kerjasama dengan
investor, peningkatan usaha ekonomi
b. Dinas Kehutanan Prop Jawa Barat pelatihan: budidaya tanaman,
pengelolaan kebun bibit c. Dishutbun Kab Kuningan
diversifikasi usaha kehutanan, pelatihan kelompok tani,
peningkatan produksi dan pemasaran
d. BP4K penyuluhan dan pembinaan petani
e. Kerjasama LSM Kanopy Pengembangan usaha kebun
bibit, pengembangan usaha agroforestri, kredit usaha,
peningkatan kapasitas masyarakat, pendampingan
2. Buruh tani
116 3.
Pengepul 9
dan penyakit tanaman 60 dan sistim pemasaran hasil 10. Dengan memperhatikan peran stakeholder terkait dengan frekuensi penyuluhan dan
pembinaan yang telah dilakukan selama ini, maka peran stakeholder dalam peningkatan produksi tanaman agroforestri dapat dirumuskan dalam Tabel 65.
Tabel 65 Peran stakeholder dalam peningkatan produksi tanaman agroforestri
No. Stakeholder
Jenis Peran Hasil yang diharapkan
1 Dishut Prop.
Jabar, Dishutbun Kab
Kuningan, BP4K
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan teknik
budidaya tanaman pertanian dan kehutanan,
serta bantuan bibit tanaman yang berkualitas
Intensifikasi lahan melalui penerapan teknologi budidaya
tanaman
2 PDAU
Pelatihan dan magang Meningkatnya usaha
pembuatan pupuk organik oleh masyarakat untuk kebutuhan
pemeliharaan tanaman agroforestri
3 LSM Akar dan
Kanopy Pengembangan
permodalan masyarakat melalui credit unionusaha
bersama kelompok dan Perbaikan sistim
pemasaran hasil, Meningkatnya modal petani
untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan tanaman serta
semakin baiknya sistim pemasaran hasil
4. Balai TNGC
Bantuan bibit tanaman Meningkatnya kualitas
kehutanan yang berkualitas serta pelatihan teknik
konservasi tanah. tanaman kehutanan dan
produktifitas lahan.
Saat ini frekuensi kegiatan penyuluhan dan pendampingan masyarakat oleh LSM dirasakan belum optimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan
stakeholder BP4K, satu orang penyuluh kehutanan pertanian membawahi wilayah satu hingga dua desa, sedangkan satu orang penyuluh kehutanan
membawahi wilayah satu hingga dua kecamatan. Pendampingan masyarakat oleh LSM Kanopi saat ini yang terdapat di desa Pajambon, hanya untuk satu
kelompok masyarakat yang beranggotakan 20 orang. Pentingnya pendampingan telah dibuktikan pada sistim agroforestriyang dikembangkan dalam hutan
kemasyarakatan di Provinsi Sulawesi Selatan melalui program pendampingan, pelatihan masyarakat, dan program rehabilitasi lahan dengan mengkombinasikan
tanaman hutan dan tanaman serbaguna yang biasa dikelola masyarakat, ternyata dari hasil tanaman sela telah memberikan peningkatan pendapatan
masyarakat 100 sampai 300, dan memberikan mata pencaharian baru dalam pengembangan hutan kemasyarakatan di areal 2.000 ha yaitu sejumlah 53.000
HOK Dephut 2001. Peran stakeholderdianalisis melalui indikator banyaknya program
kegiatan yang bertujuan meningkatkan produksi agroforestri serta jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Frekuensi penyuluhan dan
pendampingan yang pada saat ini dilakukan oleh stakeholder pada tiga Desa contoh disajikan pada Tabel 66.
Tabel 66 Kegiatan penyuluhan dan pendampingan pada program agroforestri No
Desa Frekuensi
penyuluhan Jumlah kelompok
pendampingan 1.
Karangsari 3 bulan sekali
2. Seda
4 bulan sekali 3.
Pajambon 4 bulan sekali
1 kelompok 20 orang Dalam hal ini penyuluh pertanian dan kehutanan memiliki peran yang
strategis dalam upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, karena penyuluh bukan saja berperan dalam prakondisi masyarakat agar tahu,
mau dan mampu berperan serta dalam pelestarian kawasan TNGC, akan tetapi penyuluh kehutanan harus terus menerus aktif dalam melakukan proses
pendampingan masyarakat sehingga tumbuh kemandirian dalam usahakegiatan berbasiskehutanan, sedangkan kegiatan pendampingan terutama diarahkan
dalam memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat dan kegiatan usaha ke arah masyarakatyang mandiri.
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani agroforestri sebaiknya dilakukan pada semua aspek bidang pertanian dan kehutanan sehingga dapat
memperluas wawasan petani. Identifikasi terhadap komoditas yang diprioritaskan untuk dikembangkan sangat dibutuhkan, sehingga kegiatan penyuluhan,
pendampingan dan programkegiatan yang dikembangkan oleh stakeholderakan secara signifikan membantu petani mengembangkan usahanya. Kemudahan
akses terhadap kredit usaha, penyediaan input-input produksi terutama bibit dan pupuk, peningkatan teknologi usaha tani yang mampu diserap petani, serta
kemudahan terhadap akses pasar, merupakan jenis kegiatan yang dapat dikemas dalam bentuk program tahunan stakeholder.
4.6.1.3 Peningkatan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi TNGC Disamping berperan dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri,
stakeholder juga berperan dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservsi TNGC. Peran stakeholder dalam peningkatan
sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservasi TNGC disajikan pada Tabel 67.
Tabel 67 Peran Stakeholder dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservasi TNGC
No. Stakeholder
Jenis Peran 1.
Balai TNGC Penyediaan media informasi
tentang konservasi Sosialisasi konservasi
Pembentukan Model Desa Konservasi MDK
2. Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat
Pembentukan Model Desa Konservasi MDK
3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab
Kuningan Peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan hutan
Gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon
Gerakan rehabilitasi lahan kritis Pembentukan MDK
4. BP4K
Penyuluhan peraturan bidang kehutanan
Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental
masyarakat penyangga 5.
LSM Kanopy Penyadaran masyarakat desa
hutan tentang kelestarian konservasi kawasan hutan
No. Stakeholder
Jenis Peran Penyediaan media informasi
tentang konservasi Pelatihan, magang dan studi
banding bagi masyarakat Pembentukan MDK
6. LSM Akar
Gerakan Sapu Gunung Bina Cinta Alam bagi siswa dan
pendaki
Berdasarkan Tabel 64 beberapa peranstakeholder yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan kesadaran konservasi masyarakat, gerakan sapu
gunung sudah rutin dilakukan LSM Kanopy, pembentukan Model Desa Konservasi sudah menjadi program Dinas Kehutanan Provinsi Jabar, Bina Cinta
Alam merupakan program rutin Balai TNGC. Program penyadaran melalui pelatihan, penyuluhan dan pendidikan cukup efektif untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat, namun harus dilakukan secara kontinyu dan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat.
Faktanya, program-program penyadaran masyarakat tersebut belum terkoordinir dengan baik diantara sesama stakeholder. Belum ada suatu kegiatan
yang menjadi program bersama diantara stakeholder tersebut yang dilakukan secara bersama-sama sejak perencanaan hingga monitoring dengan pembagian
tugas dan wewenang yang jelas. Kerja sama biasanya hanya berupa permintaan bantuan dari satu stakeholder kepada stakeholder lain pada saat dibutuhkan.
Sebagai contoh, ketika ada kegiatan sosialisasi mengenai penurunan penggarap dari kawasan TNGC, pihak Balai TNGC meminta bantuan BP4K dalam kegiatan
sosialisasi tersebut, dan bantuan tersebut berakhir ketika kegiatan sosialisasi tersebut selesai. Contoh lain, Gerakan Sapu Gunung GSP merupakan program
yang sangat mendukung upaya konservasi kawasan TNGC. Semestinya menjadi program bersama antara Balai TNGC dan LSM Akar yang dapat direncanakan
dan dikelola dengan lebih baik, namun nyatanya inisiatif dan kontribusi sumberdaya lebih banyak dilakukan oleh LSM Akar. Tidak terbentuk sebuah
kerja sama yang sinergis, saling berbagi tugas dan kewenangan secara proporsional misalnya LSM Akar sebagai pelaksana dan Balai TNGC selaku
tuan rumah, sebagai penyedia logistik, sehingga menghasilkan satu program yang kontinyu dan tepat sasaran. Pada akhirnya karena adanya keterbatasan,
program GSP hanya dilaksanakan oleh LSM Akar ketika sumberdaya khususnya pendanaan tersedia.
4.6.2Pengembangan Masyarakat Daerah Penyangga TNGC
Istilah pengembangan masyarakat sangat beragam di dasarkan pada fokus apa yang menjadi tujuan pengembangan dan ‘ideologi’ yang dianut. Dalam
sudut partisipasi dan kemandirian masyarakat, menurut Ife pengembangan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah
atau tidak beruntung Ife 1995. Pengembangan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan kata lain adalah
bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.Untuk pembahasan
selanjutnya yang
akan digunakan
adalah terminologi
pengembangan masyarakat agar tidak terjebak kedalam konsep atau istilah pemberdayaan masyarakat yang seringkali digunakan dalam konteks program-
program pemerintahdunia usahaLSM yang sangat berbeda dengan konsep yang dimaksud oleh Ife.
Pengembangan masyarakat merupakan bagian yang esensi dari pembangunan, dimana dalam penelitian ini adalah pembangunan sebuah daerah
penyangga yangmemiliki tujuan untuk melindungi kawasan taman nasional dari berbagai kerusakan yang ditimbulkan dari luar kawasan, dan tujuan untuk yang
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitarnya. Dalam mengembangkan daerah penyangga TNGC ini, sangat diisadari
bahwa jumlah masyarakat yang bermukim di desa penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan yaitu sebanyak 84.313 jiwa atau sekitar 7,4 dari
penduduk Kabupaten Kuningan, merupakan sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang menjadi fokus perhatian pemerintah daerah Kabupaten
Kuningan. Demikian pula, dari 374 desa di Kabupaten Kuningan hanya 27 desa yang menjadi penyangga kawasan TNGC atau hanya sekitar 7,2 saja. Namun
mengingat dukungan masyarakat daerah penyangga sangat penting terhadap kelestarian Taman Nasional Gunung Ciremai yang memberikan kontribusi cukup
besar dalam PAD Kabupaten Kuningan, maka menjadi lebih bijaksana jika pemerintah daerah memberikan porsi perhatian yang lebih besar terhadap
masyarakat pada desa-desa penyangga TNGC. Secara umum, dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengembangan
masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah, Balai TNGC dan LSMNGO pada masyarakat yang bermukim di desa-desa daerah penyangga
dari sisi program, belum menunjukkan keberhasilan jika mengacu pada konsep Ife yang lebih menekankan pada kemandirian. Selama ini pengembangan selalu
diartikan sebagai “memberi sesuatu”, apakah dalam bentuk bantuan barang ternak domba, setup lebah madu, bibit tanaman dan dana bergulir ataupun
dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan, magang, sosialisasi, penyediaan media informasi dan pembentukan Model Desa
Konservasi MDK. Ketika program-program dalam bentuk bantuan ini selesai dilaksanakan sesuai target yang biasanya pada besarnya volume bantuan serta
jumlah masyarakat yang menerima bantuan, maka selesai pula kegiatan pengembangan masyarakat pada program tersebut, dan berikutnya dikucurkan
kembali dalam bentuk program yang lain. Upaya pembinaan selanjutnya hanya dilakukan ketika timbul permasalahan atau ketika ada kegiatan monitoring.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaaan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak Balai TNGC dan pemerintah daerah melalui instansi
terkait, dari sisi kebijakan, menunjukkan bahwa seluruh program pengembangan sangat tergantung pada tugas pokok dan fungsi dari masing-masing stakeholder
yang tertuang dalam Rencana Strategis Renstra, Rencana Pengelolaan Jangka Menengah RPJM dan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang RPJP, yang
memuat tujuan kegiatan pengembangan, bagaimana program tersebut dilaksanakan, sumberdaya yang dialokasikan, serta sasaran yang diharapkan,
sebagai indikator keberhasilan. Dari dokumen perencanaan tersebut tergambar bentuk-bentuk pengembangan masyarakat yang direncanakan, dan dari
dokumen laporan tahunan, akan jelas terlihat bahwa indikator keberhasilan dari program pengembangan adalah realisasi programkegiatan. Apalagi jika
kebijakan pemda lebih dominan pada pencapaian target PAD, maka pengembangan masyarakat hanya menjadi sesuatu yang lebih bersifat
charitybelas kasihan. Demikian halnya dengan pengembangan masyarakat yang
dilaksanakan oleh
LSMNGO. Sebagai
lembaga non
profit programkegiatan yang dilaksanakan oleh LSM Kanopy sesungguhnya telah
mencerminkan proses-proses pengembangan masyarakat, seperti kegiatan pendampingan masyarakat untuk kegiatan pembuatan kebun bibit desa di Desa
Pajambon. Namun kendala utama adalah, aktivitas LSM Kanopy sangat bergantung kepada pendanaan dari pihak luar, baik untuk pelaksanaan program
maupun untuk menggaji karyawan. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi keberlanjutan program.
Uraian gambaran secara umum kondisi pengembangan masyarakat tersebut terjadi di seluruh desa penyangga melalui peran stakeholder pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, Balai TNGC, dunia usaha dan LSM, seperti disajikan pada Tabel 68.
Beberapa pendekatan pengembangan masyarakat yang telah banyak digunakan yaitu socio charity, socio economic, socio reformation dan
sociotransformation Hasim dan Remiswal 2009. Keempat bentuk pendekatan pengembangan tersebut memiliki pengertian yaitu;1 Sosio karikatif adalah suatu
bentuk community development CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa masyarakat adalah miskin, menderita dan tidak mampu memecahkan
masalahnya. Masyarakat dianggap tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka perlu ditolong dan dikasihani. 2 Sosio ekonomis adalah suatu bentuk
CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa bila pendapatan masyarakat ditingkatkan atau bila kebutuhan ekonomi terpenuhi persoalan yang lainnya
dengan sendirinya akan terpecahkan. 3 Sosio reformis adalah suatu bentuk CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa masyarakat dalam keadaan darurat
resque, seperti menderita bencana alam, bencana sosial atau lainnya. Oleh karena itu, maksud dari pendekatan ini adalah hanya untuk mengembalikan pada
keadaan semula. 4 Sosio tranformatif adalah suatu bentuk CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa pengembangan dan pembangunan masyarakat pada
dasarnya adalah perubahan sikap, tingkah laku, pandangan dan budaya, yang mengarah pada keswadayaan dalam melaksanakan pemecahannya dan
mengevaluasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan bahwa, program-program
yang selama ini dilaksanakan oleh stakeholder lebih banyak didasarkan pada bantuan atau pemberian kepada masyarakat yang dianggap dalam kondisi tidak
berdaya, seperti bantuan ternak domba, stup lebah madu, kebun bibit desa, persemaian, pemberian bibit, dan kegiatan lainnya. Pemberian dana bergulir
yang diperuntukan bagi modal kelompok dan berbagai jenis pelatihan seperti tersaji pada Tabel 69 juga menjadi salah satu program yang dikembangkan.
Dukungan kebijakan dalam bentuk pengembangan Model Desa Konservasi sudah diimplementasikan pada beberapa desa penyangga. Untuk lebih jelasnya
dapat dipetakan pendekatan pengembangan masyarakat yang telah digunakan oleh stakeholder pada masyarakat daerah penyangga TNGC, seperti tersaji pada
Tabel 69.
Tabel 68 Program pemberdayaan masyarakat pada desa-desa penyangga TNGC
No Resort
Kecamatan Desa
Kegiatan pemberdayaan Rencana
≤ 2007 2008
2009 2010
2011 2012
1 Pasawahan
Pasawahan 1
Padangbeunghar
- -
pelatihan lebah madu
bantuan Sapi Dinsos domba TNGC, Kebun Raya
Kuningan dishutbun MDK Dishut prop-
Dishutbun 2
Pasawahan
- -
pelatihan lebah madu Dishut prop,
tumpangsari Parpol
-
domba TNGC
-
3 Singkup
- -
pelatihan lebah madu
- -
-
4 Cibuntu
ternak sapi Dinsos
pelatihan lebah madu
- -
MDK Dishutbun 5
Paniis
- -
- -
- -
6 Padamatang
- -
- -
- -
7 Kaduela
- -
- -
-
MDK Dishutbun 2
Mandiranca Mandirancan
8 Seda
-
bantuan ternak TNGC
MDK Dishutbun 9
Trijaya
- -
pelatihan lebah madu
-
domba TNGC MDK dishut prop,
silvopasture dishutbun 10
Randobawagirang
- -
- -
-
3 Darma
Darma 11
Gunung sirah
-
pelatihan lebah madu
PNPM Mandiri pembangunan poskesdes
,RHL Dishutbun TNGC
MDK TNGC 12
Karangsari
- -
-
penanaman agroforestri Dishut
LMDK,water meter,domba- lebah madu TNGC,
Pengkayaan cengkeh dan pala Dishutbun
Agroforestri Dishutbun 13
Sagahariang
- -
-
PNPM Mandiri pembangunan posyandu
TNGC
- 2
3
175
Sumber: Balai TNGC 2010
- -
4 Cigugur
Cigugur 14
Puncak
- -
bantuan ternak TNGC
-
Kebun dinas, KBR dishutbun
Kebun bibit permanen dishutbun
15 Cisantana
- -
- -
ternak domba tiket donasi buper, LMDK TNGC
MDK dishutbun 16
Cigugur
- -
- -
- -
5 Cilimus
Cilimus 17
Linggarjati
- -
- -
- -
18 Bandorasa kulon
- -
bantuan ternak BP3K
- -
MDK dishutbun 19
Setianegara
- -
- -
Pengkayaan cengkeh dishutbun
-
20 Cibeureum
- -
- -
Pelatihan HPT dishutbun
-
21 Linggasana
- -
- -
-
MDK TNGC 6
Jalaksana Jalaksana
22 Sangkanerang
bantuan ternak kambing
Dishutbun
-
pelatihan lebah madu
-
bantuan sapi pemda, LMDK TNGC
MDK dishutbun 23
Babakan mulya Raksa Desa prop
jabar, PPK pusat dan pemda
- -
-
Pembangunan sarana wisata TNGC
MDK Dishutbun 24
Sukamukti bibit jati dan
cengkeh,ternak domba
dishutbun,
- -
-
TNGC
-
25 Sayana
- -
-
Program Usaha Agrobisnis Pedesaan Rp 100 juta
Dinas pertanian-2010 Domba TNGC
Arboretum dishutbun 26
Maniskidul
- -
- -
- -
Keramatmulya 27
Pajambon
- -
MDK Dishut-2009
-
Bibit jambu merah TNGC, pembinaan MDK dishut
prop
- 2
4
Tabel 69Pemetaan pengembangan masyarakat yang telah dilakukan di desa penyangga TNGC
Pendekatan CD Aspek Pengembangan
Sosio Karitatif
Sosio Ekonomis
Sosio Reformis
Sosio Transformatif
1. Bantuan dana bergulir sebesar 30 juta rupiah per desa dan 20 juta rupiah
per desa √
√ Sebagai dana
kelompokmodal bergulir
√ √
Sebagai dana kelompokmodal
bergulir 2. Peningkatan kapasitas para pelaku
dalam hal -sosialisasi TNGC,
-pembinaan fasilitator PHBM, -pelatihan lebah madu
-pelatihan interpreter wisata -pelatihan kerajinan tangan
√ √
3. Bantuan pendampingan oleh LSM Kanopi bermitra dengan Dinas
Kehutanan Provinsi Jabar √
√
4. Bantuan sarana produksi : -ternak kambing
-tanaman cengkeh dan jati √
√ √
5. Dukungan kebijakanperaturan -pembentukan Model Desa Konservasi
MDK √
√ √
6. Penyediaan infrastruktur -sekolah, posyandu, puskesmas
pembantu √
√
7. Alih teknologi; pembuatan persemaian
√ √
8. Peningkatan pendapatan masyarakat melalui upah kerja
-penanaman agroforestri -rehabilitasi kawasan
√
9. PemeliharaanKonservasi : -penanaman agroforestri
-rehabilitasi kawasan √
Berdasarkan keempat pendekatan community development di atas, program pengembangan masyarakat yang selama ini telah dilakukan pada
masyarakat daerah penyangga TNGC ternyata lebih banyak menggunakan pendekatan sosio karikatif dan sosio ekonomis, meskipun ada sedikit kegiatan
yang menggunakan pendekatan sosio reformis dan sosio transformatif, namun perlu dicermati apakah benar-benar telah melalui proses transformasi.
Tabel 69 memperlihatkan bahwa sebagian besar pengembangan masyarakat dilakukan melalui pendekatan sosio ekonomis, dengan tujuan utama peningkatan
pendapatan masyarakat. Pendekatan sosio transformatif sudah mulai dilakukan, melalui bantuan dana bergulir, pelatihan-pelatihan, bantuan pendampingan dan
alih teknologi pembuatan persemaian. Namun berdasarkan hasil penelitian, pendekatan sosio transformatif ini belum sesuai dengan tujuan utama yaitu
mengarah kepada keswadayaan dan kemandirian masyarakat, karena faktanya begitu pelatihan atau program selesai, maka selesai pula kegiatan tersebut.
Selanjutnya yang terjadi di lapangan adalah masyarakat yang pernah mengikuti pelatihan dan mendapat program tidak mampu untuk memanfaatkan hasil dari
program tersebut apalagi sampai pada tingkat kemandirian. Sebagai contoh, anggota masyarakat dari desa Pajambon yang pernah mengikuti pelatihan
kerajinan untuk cinderamata tidak mampu untuk mengembangkan hasil pelatihan, karena keterbatasan akses terhadap modal dan pasar. Pembinaan
selanjutnya terhadap kegiatan tersebut tidak dilakukan untuk memantau seberapa jauh masyarakat telah memanfaatkan dan bagaimana program
tersebut mampu
dikembangkan oleh
masyarakat. Seluruh
kegiatan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh stakeholder berasal dari
program-program yang dikucurkan dari atas top-down, masyarakat daerah penyangga tinggal menerima dan melaksanakan program tersebut. Meskipun
terkadang program tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan dari sejumlah anggota masyarakat seperti bantuan ternak domba namun belum
mencerminkan kebutuhan yang berasal dari masyarakat yang sesungguhnya, karena hanya diwakili oleh sebagian kecil anggota masyarakat.
Program-program pengembangan masyarakat yang telah di gulirkan selama
inikhususnya yang
berbentuk bantuan,
hanya menciptakan
ketergantungan pada masyarakat, dalam artian, ketika program datang, ada reaksi dari masyarakat penerima yang hampir sama pada seluruh program yang
digulirkan. Reaksi tersebut adalah; penerimaan bantuan, pendistribusian pada masyarakat
penerima bantuan,
dan administrasi
pelaporan. Setelah
bantuanprogram selesai terlihat tidak ada tindak lanjut dari program tersebut. Hal ini diindikasikan dengan kurang berkembangnya program-program yang
digulirkan. Di desa Pajambon, kebun bibit desa dapat dikatakan gagal karena bibit hasil persemaian masyarakat tidak dapat dipasarkan. Selain karena akses
pasar yang tidak dimiliki masyarakat, juga bibit yang disemaikan bukan yang
dibutuhkan oleh pasar. Di desa Seda, domba yang diberikan kepada masyarakat sebanyak 20 ekor, seharusnya bergulir kepada anggota masyarakat lainnya,
namun saat ini tidak sesuai tujuan. Kurangnya monitoring dan pengawasan dari stakeholder
menjadikan program tersebut semakin jauh dari harapan kemandirian
masyarakat. Untuk
lebih melihat
sejauhmana program
pengembangan masyarakat telah benar-benar menjadi transformatif, berikut ini disajikan sebuah contoh kasus program pengembangan masyarakat pada satu
kelompok masyarakat di desa Pejambon. 4.6.2.1 Studi Kasus Proses Pengembangan Masyarakat
Sebagai gambaran sejauh mana inisiatif pengembangan masyarakat telah dilakukan pada masyarakat daerah penyangga TNGC, maka peneliti
melakukan studi kasus terhadap komunitas masyarakat yang terdapat di dua desa, yaitu komunitas masyarakat yang bekerja di ekowisata dengan nama
Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata Kompepar yang berada di Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, serta komunitas masyarakat yang bekerja
di agroforestri dengan nama Lembaga Masyarakat Desa Konservasi LMDK Rimba Sari di Desa Karangsari.
a Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata Kompepar Kompepar didirikan pada tahun 2001 pada saat TNGC masih berstatus
sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh PT Perhutani. Pada awalnya, saat TNGC masih berstatus sebagai hutan produksi,
kelompok ini merupakan bagian dari Kelompok Tani Hutan KTH yang mengelola lahan dengan sistim tumpangsari melalui program PHBM, dengan
nama Kelompok Tani Penggerak Pariwisata Poktapepar. Poktapepar yang semula melaksanakan pengelolaan hutan yang berbasis lahan dalam kawasan
lindung dan produksi, berubah menjadi Kompepar yang merupakan kelompok yang lebih berorientasi pada wisata alam dengan pengesahan dari Bupati
Kuningan melalui SK no 9 tahun 2001. Aktifitas Kompepar selanjutnya adalah sebagai pelaksana Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat PHBM dan kegiatan wisata alam di Lembah Cilengkrang yang dilaksanakan pada kawasan lindung dan hutan negara yang
masuk dalam wilayah administratif Desa Pajambon.PHBM dikelola oleh PT Perhutanidan obyek wisata Lembah Cilengkrang dikelola oleh Pengelola Wisata
alam Cilengkrang PWC yang merupakan sebuah lembaga gabungan antara PT
Perhutani KPH Kuningan, unsur pemerintah Desa Pajambon serta Kelompok Tani Hutan KTH. Sebagai pelaksana PHBM, Kompepar juga adalah sebagai
anggota KTH, dimana jabatan Ketua KTH juga sekaligus sebagai ketua Kompepar, dengan anggota sebanyak 20 orang.
Sejak tahun 2003 ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan PHBM telah dituangkan dalam Peraturan Desa Perdes Pajambon Nomor 5PemdesIV2003
dengan dasar penyusunan adalah Nota Kesepahaman Bersama NKB dan Nota Perintah Kerja NPK. Beberapa poin penting dari Perdes tersebut adalah bahwa
KTH dan Kompepar bertugas mengkoordinir dan melakukan bimbingan kepada para anggotanya dalam kegiatan penjagaan, perlindungan dan pemanfaatan
hasil sumberdaya pertanian dan sumber daya hutan, serta larangan untuk menanam tanaman semusim di hutan lindung dan menggantinya dengan
tanaman keras dan jasa wisata, sedangkan pada hutan produksi masyarakat masih diperkenankan untuk melakukan tanaman semusim dan memelihara
tegakan pohon milik Perhutani. Setelah status kawasan menjadi hutan lindung pada tahun 2003, maka
tidak ada lagi aktifitas masyarakat yang melakukan penanaman tanaman semusim dan menggantinya dengan tanaman keras yaitu kopi, dan buah-buahan
alpukat dan durian.Pada tahun 2004, status kawasan Gunung Ciremai selanjutnya mengalami perubahan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
TNGC.Secara operasional pengelolaan TNGC untuk sementara dilakukan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Sumberdaya Alam BKSDA Jawa Barat II, sambil
menunggu organisasi TNGC terbentuk. Setelah perubahan status ini, masyarakat masih diberikan akses untuk
melakukan kegiatan-kegiatan di dalam kawasan TNGC seperti yang terdapat dalam program PHBM. Sementara dengan adanya perubahan status ini
Kompepar merevisi NKB dan NPK karena adanya perubahan pengelola dari PT Perhutani kepada Balai KSDA Jawa Barat II. Perjanjian tersebut berubah nama
menjadi Nota Perjanjian Kemitraan NPK antara Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Jawa Barat II dengan Kompepar tentang Pengelolaan Hutan
Lembah Cilengkrang Melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. Nota Perjanjian Kemitraan tersebut secara garis besar berisi landasan
perjanjian, tujuan dan sasaran, obyek dan ruang lingkup kemitraan, rencana pengelolaan, kewajiban dan hak pihak pertama, kewajiban dan hak pihak kedua,
monitoring dan evaluasi, tarif dan mekanisme sharing, jangka waktu, sanksi,
force majuure, perselisihan dan lainnya. Nota Perjanjian Kemitraan tersebut diketahui oleh Kepada Desa pajambon, Camat Kramatmulya dan disetujui oleh
Bupati Kuningan.Dengan demikian, keberadaan perjanjian kerjasama tersebut memiliki kekuatan hukum yang jelas bagi Kompepar dalam melaksanakan
kegiatan pengelolaan hutan Lembah Cilengkrang.Tujuan utama dari perjanjian ini adalah terjaminnya kelestarian TNGC melalui optimalisasi fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan dalam mendukung kesejahteraan masyarakat serta memperjelas peran, tanggung jawab, kewajiban dan hak para pihak.Sebagai
obyek kemitraan adalah kawasan hutan lembah Cilengkrang TNGC seluas 30 ha yang termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pajambon. Rencana
pengelolaan yang disepakati meliputi jenis kegiatan wisata alam seluas 0,5 ha, bumi perkemahan seluas 1 ha, rehabilitasi kawasan dengan luas 28,5 ha,
potensi tanaman obat sebanyak 57 jenis, dan jasa lingkungan lainnya. Pembagian tugas mengelola obyek wisata Lembah Cilengkrang,
dilakukan dengan sistem pergiliranshift. Pada hari Senin hingga Jumat, hanya sekitar empat orang anggota yang bertugas di lokasi obyek wisata, sedangkan
pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya hampir seluruh anggota yang berjumlah 20 orang ikut serta mengelola obyek wisata karena banyaknya jumlah
pengunjung yang datang. Pembagian tugas anggota di lokasi obyek wisata meliputi penjagaan karcis masuk, petugas kebersihan, penjagaan keamanan
pengunjung serta penjagaan kolam air panas dan air terjun Lembah Cilengkrang. Dengan adanya pergiliran tersebut, rata-rata setiap anggota bertugas sebanyak
lima hingga enam kali dalam satu bulan. Dengan demikian, besarnya pendapatan yang diterima tergantung pada jumlah pengunjung, semakin banyak
pengunjung yang datang, semakin banyak pula pendapatan yang diperoleh anggota Kompepar. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang pada satu
waktu yang sama, tentu membawa konsekwensi terhadap dampak yang ditimbulkan terhadap kawasan. Namun hal ini cukup menjadi perhatian anggota
Kompepar.Dari hasil pengamatan terhadap aktifitas anggota Kompepar pada kawasan obyek wisata pada saat hari libur, terlihat bahwa anggota Kompepar
melakukan penjagaan terhadap aktifitas pengunjung sejak pintu masuk kawasan hingga lokasi obyek wisata utama yaitu empat buah air terjun pada Lembah
Cilengkrang.Aktifitas pengunjung yang didominasi anak-anak muda sangat beragam, baik positif maupun negatif.Aktifitas negatif diantaranya adalah
membuang sampah sembarangan, vandalisme pada pepohonan, batu-batuan,
bangunan dan papan petunjuk dan merusak tanaman muda.Tugas dari anggota Kompepar adalah mengawasi dan menegur pengunjung yang melakukan
aktifitas yang negatif. Hasil pengelolaan hutan Lembah Cilengkrang bersumber dari
penyelenggaraan wisata alam yang berasal dari tarif masuk pengunjung, yang terdiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP, biaya operasional
pengelolaan, serta biaya asuransi kecelakaan pengunjung. Pada saat ini biaya tarif masuk ke obyek wisata alam Lembah Cilengkrang adalah sebesar Rp. 5.000
dengan komposisi pembagian, 1 Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP sebesar Rp 1.500, asuransi sebesar Rp 500, dan donasi sebesar Rp 3.000.
Besarnya dana donasi dialokasikan untuk pemerintah Desa Pajambon sebesar 12,5, dana konservasi sebesar 7,5, Pengelolaan Kawasan Konservasi
Berbasis Masyarakat PKKBM sebesar 5, Rp 60 untuk pengadaan tiket dan sebesar 5 dipergunakan alat tulis kantor, selebihnya dibagikan kepada 20
orang anggota Kompepar.Pendapatan rata-rata setiap anggota berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 setiap bulan. Setiap anggota Kompepar harus
mengikuti arisan kelompok sebesar Rp 25.000 per bulan, agar setiap anggota memiliki dana tabungan untuk persiapan kebutuhan dalam bentuk uang tunai.
Penyelenggaraan kegiatan pembagian hasil ini dilakukan secara terbuka dengan proses administrasi yang cukup tertib dan catatan pembukuan yang cukup baik.
Penyerahan hasil kegiatan dilakukan setiap akhir bulan dalam bentuk uang tunai. Nota Perjanjian Kemitraan ini berlaku untuk jangka waktu lima tahun, dan dapat
diperpanjang sesuai permohonan pihak Kompepar. Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dilihat bahwa pendapatan yang
diterima dari karcis masuk wisata telah menyertakan tiga komponen lainnya yaitu pihak Desa Pajambon, PKKBM dan alokasi dana yang dikembalikan untuk
kegiatan-kegiatan yang berorientasi konservasi pada kawasan TNGC seperti pemeliharaan papan petunjuk, pemeliharaan jalur trecking, dan lain-lain, yang
sangat dibutuhkan mengingat terbatasnya anggaran Balai TNGC. Selain mengelola obyek wisata, hingga saat ini anggota Kompepar masih
mendapat akses untuk melakukan pemanenan kopi dan buah alpukat pada kawasan TNGC seluas 5 ha.Dengan jumlah anggota 20 orang, maka masing-
masing anggota dapat memanen kopi dan alpukat pada lahan seluas 0,250 ha.Pendapatan dari hasil panen ini rata-rata sebesar Rp 800.000 hingga Rp
1.000.000 per anggota per tahun.
Selain pendapatan dari kedua kegiatan tersebut, lima anggota Kompepar mendapatkan kesempatan untuk membuka warung di dalam kawasan obyek
wisata, sedangkan bagi masyarakat yang bukan anggota Kompepar, letak warung berada di luar kawasan. Warung ini biasanya dikelola oleh keluarga istri
dan anak dari anggota, sedangkan apabila sedang tidak bertugas di lokasi obyek wisata, anggota Kompepar melakukan kegiatan bertani, menjadi buruh
tani atau pekerjaan lainnya ojek, dan lain-lain. Melalui wadah Kompepar ini, program pengembangan masyarakat telah
dilakukan khususnya oleh Balai TNGC seperti pemberian bibit jambu merah pada tahun 2011 untuk ditanam pada masing-masing lahan milik.Pemberian bibit
jambu ini didasarkan atas pengajuan dari Kompepar kepada pihak Balai TNGC.Program lainnya seperti pendidikan lingkungan kepada siswa SD dan
SLTP, penyuluhan, kegiatan analisis vegetasi dan pengamatan burung Elang Jawa hanya bersifat meminta bantuan tenaga ketua Kompepar untuk kegiatan
tersebut, dan
bukan merupakan
kegiatan untuk
seluruh anggota
Kompepar.Anggota hanya
mengetahui adanya
kegiatan berdasarkan
pemberitahuan dari Ketua. Dari hasil pengamatan terhadap aktifitas Kompepar, terlihat bahwa peran
ketua Kompepar sangat dominan baik di dalam interen kelompok, maupun hubungan dengan Balai TNGC, sehingga dalam hal urusan yang menyangkut
kelompok pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan pengetahuan, wawasan dan pengalaman Ketua
Kompepar berbeda cukup jauh dengan para anggotanya. Pihak Balai TNGC atau stakeholderlain lebih sering bahkan dapat dikatakan selalu mempercayakan
suatu kegiatan melalui Ketua atau hanya meminta bantuan Ketua. Kaderisasi dan pembagian tugas belum terlihat jelas dilakukan, sehingga hampir semua
aktifitas kegiatan dilakukan oleh Ketua, sementara pelibatan anggota sebatas mengelola obyek wisata dan hadir pada pertemuan bulanan.Selama ini pihak
Balai TNGC sangat jarang secara langsung mengumpulkan seluruh anggota baik untuk sosialisasi aturan maupun penyuluhan. Padahal dalam proses
pengembangan masyarakat
semestinya memungkinkan
keterlibatan oranganggota kelompok dalam pengambilan keputusan.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai TNGC, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan,
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan dalam bentuk pelatihan
interpreter, studi banding dan lokakarya lebih banyak mengikutsertakan ketua, sehingga distribusi peningkatan kapasitas anggota kelompok kurang
proporsional. Kapasitas pengetahuan dan pengalaman ketua menjadi semakin kuat, dan membuat jarak yang semakin jauh dengan anggota. Balai TNGC dan
stakeholder lain tidak berusaha untuk melakukan perbaikan secara bersama sama baik secara individu maupun kelompok secara terbuka, dan tidak berusaha
mengajak dan membimbing ketua agar mendiskusikan berbagai hal dengan para anggotanya secara terbuka didasari oleh sikap saling percaya.
Keberadaan Kompepar dengan segala hak dan kewenangannya untuk mengelola obyek wisata Lembah Cilengkrang telah menimbulkan kecemburuan
sosial pihak Desa Pajambon dan masyarakat desa lainnya.Mereka menganggap Kompepar adalah sebuah kelompok eksklusif yang memperoleh perlakuan
istimewa, khususnya dari Balai TNGC.Karena anggapan ini, pihak desa dan masyarakat lainnya cenderung kurang berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan
yang menyangkut kepentingan obyek wisata Lembah Cilengkrang.Mereka menyerahkan semua kondisinya kepada Kompepar.Kondisi ini diperparah
dengan kurangnya komunikasi antara pihak Balai TNGC dengan aparat desa dan masyarakat sekitar.Kedatangan pihak Balai TNGC di Desa Pajambon hanya
terbatas ketika ada kegiatan pada obyek wisata, seperti monitoring, sosialisasi dan kegiatan lainnya dan itupun lebih banyak dilakukan di lokasi obyek
wisata.Hal ini menimbulkan hubungan yang kurang harmonis antara pihak desa dan masyarakat dengan pihak Balai TNGC dan Kompepar. Di samping itu,
program Masyarakat Peduli Api MPA yang berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD bentukan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kuningan serta Mitra Polhut dalam kegiatan keamanan kawasan TNGC, hanya diikuti oleh anggota Kompepar. Seluruh kondisi tersebut,
berdampak pada kurangnya dukungan dari seluruh masyarakat Desa Pajambon dalam upaya perlindungan kawasan.
Usaha-usaha untuk membuka ruang dan kegiatan untuk menjalin hubungan dan dialog yang baik antar masyarakat dan komunitas sangat penting
dilakukan, sehingga kesadaran yangtumbuh akan lebih cepat berkembang dan merata. Pertemuan dan dialog antar komunitas dan masyarakat juga tidak terjadi,
padahal kegiatan ini bertujuan positif untuk saling berbagi beragam pengalaman dan perasaan ketidakadilan sehingga proses kesamaan empati bisa lebih cepat
terjalin, sekaligus upaya untuk membuka kemungkinan tindakan bersama antar
masyarakat dan desa. Tindakan bersama akan lebih efektif dalam mendorong kesamaan persepsi, sikap dan perilaku terhadap upaya-upaya perlindungan
kawasan TNGC. Untuk mewadahi kegiatan masyarakat lainnya yang tidak tergabung
dalam Kompepar, pada tahun 2009 atas dasar kesepakatan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Balai TNGC dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kuninganmengembangkan program Model Desa Konservasi MDK dan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Konservasi LMDK Mekar
Kemuning di Desa pajambon yang beranggotakan 60 orang. Fokus kegiatan yang dilaksanakan oleh LMDK berbasis pada kegiatan kehutanan, seperti
pembuatan Kebun Bibit Desa KBD.Hubungan antara Kompepar dengan LMDK terjalin cukup baik.Tenaga pendamping pada LMDK adalah Ketua Kompepar
yang bertugas untuk mendampingi dalam kegiatan teknis pembuatan kebun bibit, dan fasilitator pengembangan masyarakat dari LSM Kanopi Kabupaten Kuningan
melakukan pendampingan kelembagaan dan administrasi.Sekitar delapan orang anggota Kompepar juga menjadi anggota LMDK, dimana keanggotaan ini atas
sepengetahuan anggota Kompepar lainnya.Pada kegiatan pertemuan anggota LMDK, Ketua Kompepar juga menjadi motivator bagi para anggota LMDK yang
relatif memiliki pengetahuan yang baru dalam kegiatan organisasi.Dengan demikian proses komunikasi antara Kompepar dan LMDK dapat berlangsung
dengan baik. Insentif yang diterima oleh kedua tenaga pendamping atas tugas pelaksanaan pendampingan ini diperolehdari Dinas Kehutanan Provinsi sebesar
Rp 400.000 per orang per bulan, selama tiga bulan pada tahap I. Selanjutnya untuk tahap II, pendampingan terhadap LMDK diserahkan kepada petugas
aparat desa Pajambon Bagian Ekonomi Pembangunan agar terjadi proses pembelajaran bersama.
b Lembaga Masyarakat Desa Konservasi LMDK Rimba Sari Sebagai studi kasus kelompok agroforestri adalah kelompok petani
agroforestri di Desa Karangsari, Kecamatan Darma. Pada awalnya, para petani tidak tergabung secara khusus menjadi satu kelompok yang memiliki kesamaan
matapencaharian sebagai petani agroforestri. Beberapa program pengembangan masyarakat dilakukan oleh stakeholder, diantaranya adalah pada tahun
1984Dinas Kehutanan dan Perkebunan memberikan bantuan ternak domba sebanyak 40 ekor untuk 40 orang. Pada tahun 2003 mendapatkan bantuan dari
Dinas Sosial berupa lebah madu sekitar 2.000 ekor, yang diberikan melalui
aparat desa. Namun bantuan ini ternyata tidak disalurkan ke masyarakat. Antara tahun 2007 hingga 2009, program pengembangan masyarakat untuk kegiatan
agroforestri mengalami kekosongan. Baru pada tahun 2010 masyarakat mendapatkan program berupa demplot agroforestri seluas 25 ha dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Dishutbun Kabupaten Kuningan. Demplot ini melibatkan sekitar 100 orang petani sebagai pemilik tanah di areal demplot.
Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis jati, sengon dan suren, serta buah-buahan pete, cengkeh, pala dan rambutan. Pada awal tahun 2010 petani mendapatkan
bibit kentang sebanyak tiga ton dari Dinas Pertanian. Bibit kentang ini diberikan kepada 20 orang petani yang akan membuat pembibitan kentang.
Kelompok tani yang bekerja sebagai petani agroforestri di desa Karangsari baru terbentuk menjadi suatu wadah Lembaga Masyarakat Desa
Konservasi LMDK Rimba Sari padabulan Maret tahun 2011. Lembaga ini beranggotakan 20 orang yang seluruhnya merupakan petani agroforestri Desa
Karangsari. Pertemuan bulanan secara rutin dilakukan untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan LMDK. Kantor Resort Darma Balai
TNGC juga berfungsi sebagai sekretariat LMDK sehingga pembinaan dari Balai TNGC dapat secara intensif dilakukan. Setelah terbentuknya lembaga ini,
program pengembangan masyarakat dari stakeholder disalurkan melalui LMDK. Program yang digulirkan oleh Balai TNGC yaitu berupa bantuan water
meter untuk menyalurkan air dari sumber mata air TNGC ke rumah-rumah pendudukyang mencakup 250 KK. Masyarakat yang menerima penyaluran air,
membayar sesuai dengan banyaknya volume air yang digunakan setiap hari, dengan besarnya tarif Rp 300 per m3. Penerimaan dari penggunaan air ini
dikelola oleh LMDK untuk biaya operasional dan terutama untuk pemeliharaan alat. Pada tahun yang sama LMDK mendapatkan bantuan pengkayaan tanaman
durian dari Dishutbun Kabupaten Kuningan, namun hanya di sekitar mata air. Pada tahun 2011 LMDK telah mengajukan proposal untuk menjadi
pengelola Bumi Perkemahan di kawasan TNGC, yang masih termasuk dalam wilayah Desa Karangsari. Proposal tersebut sedang dalam tahap menunggu
keputusan dari Balai TNGC. Pelatihan yang diikuti oleh anggota LMDK pada tahun 2011 sebanyak satu kali, dengan perwakilan sebanyak dua orang. Materi
pelatihan adalah persiapan menjelang musim kemarau dalam kaitannya dengan masyarakat peduli api. Kegiatan studi banding juga diikuti dengan
mengikutsertakan lima orang anggota. Pendanaan pelatihan dan studi banding ini bersumber dari Balai TNGC.
Untuk tahun 2012 ini, mendapatkan program dari Balai TNGC menjadi pengawas lapangan persemaian bibit endemik pada zona rehabilitasi.
Persemaian bibit ini merupakan kerjasama Balai TNGC dengan JICA, yang bejumlah 4.000 bibit dengan jenis jamuju, tania, saninten, dadap dan rasamala.
Hingga saat ini belum ada keuntungan ekonomis yang diterima oleh anggota LMDK, karena belum ada usaha kelompok yang dikelola bersama.
Namun pada saat ini anggota LMDK sedang melakukan penataan pada areal yang direncanakan sebagai lokasi ekowisata Bumi Perkemahan seluas 3 ha.
Kegiatan penataan dilakukan setiap hari minggu dan bersifat swadaya anggota, dimulai dengan merencanakan denah lokasi dan pembangunan MCK. Pada
tahun 2013 areal Bumi Perkemahan ini baru akan mendapatkan bantuan sarana prasarana dari Balai TNGC. Pada tahun 2013 juga melalui dana Pembangunan
Daerah Bangda Departemen Dalam Negridirencanakan akan diberikan bantuan berupa bibit cengkeh dan reservoir air untuk kebun buah masyarakat.
Belum banyak yang dapat dikaji mengenai program pengembangan masyarakat dan dinamika kelompok yang terdapat pada LMDK Rimba Sari
karena masih baru terbentuk. Namun dilihat dari prospeknya, kegiatan yang berbentuk usaha sampingan menjadi pengelola ekowisata bumi perkemahan dan
usaha sektor wisata lainnya, akan membantu meningkatkan pendapatan anggota kelompok dan menjadikan kelompok lebih dinamis. Namun bekerja
sebagai petani agroforestri tetap dapat dijalankan sebagai pekerjaan utama, agar lahan yang dimiliki dapat tetap produktif.
Hubungan antara LMDK dan pihak desa Karangsari cukup baik. Kepala Desa Karangsari sangat mendukung keberadaan LMDK sebagai wadah yang
diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat desa lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan perlindungan kawasan TNGC. Namun penting
untuk selalu diingatkan agar LMDK tidak menjadi kelompok yang merasa diistimewakan, sehingga akan menimbulkan jarak dengan masyarakat lainnya.
Dari studi kasus tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat masih diperlakukan sebagai objek pelaksana program dan bukan sebagai pelaku
perubahan.Pendampingan yang dilakukan oleh stakeholder belum mampu untuk menumbuhkan sikap masyarakat yang terbuka dan mandiri. Proses
pengembangan masyarakat masihterlihat bersifat top downdan masih
menganggap masyarakat tidak
berdaya dan
harus selalu
dibantu. Konsep bottomup tidak samadengan partisipasi, sejauh masyarakat hanya
digerakkan untuk membuat usulan, membuat perencanaan sementara keputusan tetap berada pada sumber di luar masyarakat, dalam hal ini stakeholder yang
melaksanakan program-program pengembangan masyarakat.Partisipasi harus menyiratkan kemandirian didalamnya dan sebaliknya.
Belum terlihat adanya kemandirian dari Kompepar, meskipun organisasi sudah berjalan hampir 10 tahun, sedangkan pada LMDK belum terlihat
bagaimana perubahan sikap dan kemandirian masyarakat karena kelompok ini belum lama terbentuk. Namun keduanya terlihat sama dalam hal
ketergantungannyayang masih masih cukup besar terhadap program-program pengembangan dari Balai TNGC dan stakeholder lain. Meskipun pembinaan
stakeholder, khususnya Balai TNGC, kepada LMDK terlihat lebih intensif dibandingkan kepada Kompepar, sehingga diharapkan proses pengembangan
masyarakat akan berjalan lebih baik. Dari kedua contoh kasus yang telah diuraikan dapat dikatakan bahwa baik peningkatan kapasitas masyarakat
maupun dukungan kebijakan berupa pembentukan Model Desa Konservasi seperti tersaji pada Tabel 69 sudah mengarah kepada perubahan sikap
masyarakat, namun belum sepenuhnya dapat merubah tingkah lakudan budaya yang mengarah pada kemandirian masyarakat dalam memecahkan serta
mengevaluasi permasalahan yang terjadi dalam kelompoknya. Proses pembangunan komunitas community building Kompepar masih
belum berhasil, dimana hal tersebut dicirikan diantaranya: 1 usaha pembangunan Kompepar yang masih mendasarkan pada obyek perubahan dan
bukan sebagai subjek pelaku perubahan dan modal sosial, 2 belum dilakukannya penguatan hubungan antar Kompepar dengan masyarakat lainnya,
3belum dilakukannya upaya yang membantu memperlancar proses komunikasi satu kelompok masyarakat satu dengan yang lain 4 belum dilakukan upaya
untuk membantu usaha untuk menyelesaiakan atau jika bisa menghindari masalah perpecahan, pengasingan dan individualisme, serta 5 belum
menjadikan Kompepar sebagai sebuah kelompok yang mandiri, melakukan perbaikan terus menerus secara bersama sama baik secara individu maupun
kelompok dengan prinsip saling percaya. Program pengembangan masyarakat yang telah diimplementasikan pada
masyarakat desa penyangga belum mengarah pada suatu keyakinan bahwa
pengembangan pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah suatu perubahan pandangan, pemikiran, sikap dan tingkah laku bersama seluruh
anggota masyarakat menuju pada keswadayaan dan kemandirian. Kompepar adalah salah satu kelompok yang dipandang oleh stakeholder sudah cukup
berhasil, sehingga seringkali menjadi contoh bagi kelompok-kelompok lainnya. Padahal setelah digali lebih mendalam, banyak hal yang sebaiknya dibenahi agar
dapat mencapai transformasiyakni pendekatan yang lebih melihat masyarakat kecil, lemah dan tidak berdaya tersebut sebagai masyarakat yang telah
menunjukkan kemampuan
luar biasa
dalam pergulatan
hidup melawan kemiskinan mereka. Oleh karena itu tidak hanya Kompepar, dan LMDK
namun masyarakat desa penyangga tidak perlu dikasihani. Mereka hanya perlu diberi motivasi, kesempatan, pengetahuan serta ketrampilan sehingga mereka
lebih mampu merencanakandan mengembangkan potensi yang mereka
miliki.Dalam kondisi yang demikian akan jauh lebih baik dan secara obyektif diakui bahwa program pendampingan dibuat oleh orang luar, tetapi untuk
diterimanya oleh
masyarakat dilakukan
melalui proses
pemahaman dengan Keputusan Ada di Tangan Masyarakat.
Wilson Mardikanto 2010 mengemukakan bahwa dalam suatu kegiatan kegiatan pengembangan masyarakat, pada setiap individu dalam suatu
organisasi merupakan suatu siklus kegiatan seperti yang disampaikan dalam gambar 52. Hal ini dapat menjadi acuan bagi stakeholder dalam melaksanakan
pendampingan dalam proses pengembangan masyarakat di desa penyangga TNGC, terutama perubahan sikap terhadap upaya-upaya perlindungan TNGC.
Gambar 52 Siklus Tahapan tersebut yaitu :
Pertama, menumbuhkan
memperbaiki, yang merupakan adanya keinginan untuk
pengembangan masyarakat simpati, atau partisipasi masyarakat.
Kedua, menumbuhkan kemauan
kesenangan dan atau hambatan mengambil keputusan mengikuti
dan perbaikan yang diharapkan;
Ketiga, mengembangkan
kegiatan pemberdayaan yang memberikan
Keempat, peningkatan peran
yang telah dirasakan man
Kelima, peningkatasn
masyarakat
Keenam, peningkatan
masyarakat
Peningkatan efektivitas dan
efisiensi pemberdayaan
Tumbuhnya kompetensi
untuk berubah
Siklus pengembanganmasyarakat Wilson 2004 aitu :
menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah ang merupakan titik awal perlunya upaya pemberdayaan.
untuk berubah dan memperbaiki, maka semua masyarakat yang dilakukan tidak akan memperoleh perhatian
simpati, atau partisipasi masyarakat. kan kemauan dan keberanian untuk melepaskan
atau hambatan-hambatan yang dirasakan, untuk kemudian keputusan mengikuti pengembangan demi terwujudnya perubahan
ang diharapkan; gkan kemauan untuk mengikuti mengambil bagian
dayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan; peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pengembangan
yang telah dirasakan manfaatperbaikannya; peningkatasn efektivitas dan efisiensi kegiatan pengembangan
peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengembangan
Keinginan untuk
berubah Kemauan dan
keberanian untuk berubah
Kemauan untuk berpartisipasi
Peningkatan Partisipasi
Tumbuhnya motivasi
baru untuk berubah
buhnya petensi
berubah
2004
berubah dan pemberdayaan. Tanpa
semua upaya mperoleh perhatian,
melepaskan diri dari untuk kemudian
terwujudnya perubahan mengambil bagian dalam
rbaikan keadaan; ngembangan
ngembangan ngembangan
auan untuk berpartisipasi
Ketujuh, peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan
pengembangan masyarakat yang baru. Dari uraian dan studi kasus pada dua kelompok masyarakat tersebut dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa program pengembangan masyarakat hendaknya didasarkan pada :
a. Proses, karena dalam proses sudah mencerminkan prinsipcommunity
development. Dalam praktiknya dari proses dilakukan sendiri oleh masyarakat, diawasi, dilestarikan oleh masyarakat
b. Berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, berdasarkan pada kesepakatan
bersama, sehingga masyarakat merasa memiliki program tersebut, dan bukan hanya sekedar hadiah atau bantuan.
c. Program dilakukan secara kontinyu dan sesuai dengan program yang
mendukung, serta adanya pembinaan yang berkelanjutan. d.
Berorientasi pada proses dan hasil. Peningkatan sosial ekonomi masyarakat berupa kesempatan kerja dan pendapatan dapat dicapai
melalui program-program pengembangan dan intervensi stakeholder, namun memelihara kondisi ini jauh lebih sulit. Oleh karena itu pendekatan
pengembangan masyarakat berupaya untuk menjaga kemandirian masyarakat dengan kondisiyang telah dicapai.
e. Dalam proses pengembangan masyarakat proses dan perencanaan jauh
lebih penting daripada hasil. Karena itu yang perlu dilihat adalahproses dan perencanaannya terlebih dahulu, apakah sudah melibatkan masyarakat
secara penuh atau belum, baru kemudian melihat hasilnya.