Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC
pemukiman para petani”. Ciri utama yang melekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif
kecil. Dengan perkataan lain, suatu desa ditandai oleh keterikatan warganya pada suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini disamping terutama
untuk tempat tinggal juga untuk menyangga kehidupan mereka. Sementara Paul Landis Rahardjo 2004 mengemukakan ciri-ciri desa adalah mempunyai
pergaulan hidup yang saling saling mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama
tentang kesukaan terhadap kebiasaan, serta cara berusaha ekonomi adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi
oleh alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Oleh karena itu sebelum
membahas mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri, maka terlebih dulu dianalisis mengenai karakteristik
dari setiap Desa contoh. Desa-desa contoh terdiri dari desa yang memiliki potensi ekowisata, yaitu Desa Cisantana, Manis Kidul dan Pajambon dan desa
yang memiliki potensi agroforestri yaitu Desa Karangsari, Seda dan juga termasuk Pajambon. Lima desa contoh ini memiliki karakteristik yang berbeda,
baik dalam potensi fisik maupun sosial ekonomi seperti disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 memperlihatkan bahwa mata pencaharian masyarakat dominan
sebagai petani dan buruh tani, kecuali desa Maniskidul yang sebagian besar adalah pedagang, karena adanya potensi obyek wisata Cibulan yang sangat
diminati oleh wisatawan. Pada Desa Pajambon dan Seda, proporsi buruh tani yang lebih besar menunjukkan tingkat kepemilikan lahan yang sempit yaitu
dibawah 0,250 ha. Jarak pemukiman terdekat dengan kawasan adalah antara satu hingga tiga kilometer, sedangkan lahan pertanian masyarakat berbatasan
dengan dengan kawasan TNGC. Penggunaan lahan sebagian besar desa adalah sawah dan tegalan, kecuali pada Desa Cisantana yang didominasi oleh hutan
milik negara. Meskipun secara persentase luas hutan negara mencapai 50,52, namun luas lahan untuk usaha tani sawah, tegalan, ladang dan perkebunan
rakyat di Desa Cisantana tetap memiliki luasan yang lebih besar diantara desa lainnya, sehingga komoditas hasil pangan cukup banyak diproduksi di desa ini.
Demikian juga di Desa Karangsari, sebagian besar penggunaan lahan adalah tegalanladang, yang ditanami palawija dan pohon berkayu. Desa Cisantana
merupakan sentra produksi susu sapi di Kecamatan Cigugur dengan kepemilikan ternak sapi mencapai 1.726 ekor sapi perah.
Tabel 23 Karakteristik Desa Contoh
Sumber ; Profil Desa tahun 2009
No Aspek
Cisantana Manis
Kidul Pajambon
Karangsari Seda
1 Luas ha
1.199,5 137,201
83,59 277
215,614 2
Jarak dari TNGC km 1
3 1
2,5 1
3 Jumlah Penduduk
- Laki-laki - Perempuan
6.420 3.342
3.058 6.131
3.121 3.010
2.648 1.322
1.325 2.138
1.079 1.058
2.513 1.330
1.193 4
KK 1.760
1.232 686
588 651
5 Mata Pencaharian
- Petani
- Buruh tani
- Peternak
- Pedagang
- PNS
- SwastaJasa
54,25 2,34
12,46 2,34
3,90 0,85
10,47 14,25
- 38,72
4,59 15,95
31,99 35,33
- 2,04
0,85 29,23
40,18 24,88
0,80 2,99
1,1 0,98
29,36 56,03
7 2,83
0,54 4,24
6 Agama
- Islam
- Katolik
- Kristen
64,88 22,07
13,15 Tidak ada
data 100
- -
99,86 0,14
- 100
- -
7 Pendidikan
- Tidak Tamat SD -
Tamat SD -
Tamat SMP -
Tamat SLTA -
SLTA -
73,60 13,35
13,06 -
46,38 17,23
15,25 80,17
35,57 Tidak ada
data
8 Penggunaan Lahan
- Sawah
- Tegalan
ladang -
Perkebunan Rakyat -
Pekarangan -
Pemukiman -
Hutan Negara dll 7,18
36,42 1,57
3,01 2,35
50,52 Tidak ada
data 42,14
24,09 -
- 21,52
12,25 10,83
72,72 9,03
- 4,69
2,73 32,59
36,28 -
- 11,97
19,16 9
Komoditas -
Hasil Pangan ha -
Tanaman Obat ha -
Hijauan Pakan Ternak ha -
Ternak ekor Unggas
Non Unggas sapi, kambing dan babi
189 3
10
2.432 1.830
237,5 -
- 6.000
475 106
10 1
t.a.d 425
172,43 5
0,5 30.020
262 Tidak ada
data
10 Pemanfaatan Air
- Mata Air
- Anak SungaiSungai
- Air Terjun
- Sumber Air Panas
7 2
2 -
Tidak ada data
1 1
- 2
3 2
Tidak ada data
11 Potensi
-Wisata alam
2 air terjun di desa, 2
di TNGC Pemandian
dan wisata religi
2 sumber air panas di
TNGC Potensi
Bumi Perkema-
han Tidak ada
Berdasarkan hasil analisis terhadap desa contoh, pada saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat pada lima desa contoh disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24 Kondisi sosial ekonomi lima Desa Contoh
No. Desa
Kategori Persentase
Mata Pencaharian
Persentase Angkatan Kerja
usia 15–55 thn Persentase Tingkat
Pendidikan 1.
Cisantana Rata-rata
sejahtera Petani 54,25
61,69. Sebagian besar
tamat SD 73,60 2.
Pajambon Pra
sejahtera Buruh tani
35,33, 33,46 bekerja
penuh 45,51 bekerja
tidak menentu Sebagian besar
tamat SD 80,17 3.
Manis Kidul
Rata-rata sejahtera
Pedagang wiraswasta
38,72 48,00
Sebagian besar tamat SD 46,38
4. Karangsari
Pra sejahtera
Petani 40,18 45,51,
Sebagian besar tamat SD 35,57
5. Seda
Rata-rata sejahtera
Buruh tani 56,03
75,00 Sebagian besar
tamat SD 40,00
Sumber : profil desa Cisantana, Pajambon, Manis Kidul, Karangsari, Seda dan wawancara dengan perangkat desa 2010
Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa rata-rata masyarakat desa bekerja sebagai petani dan buruh tani dengan dengan luas garapan rata-rata
0,250 ha, serta berpendidikan sebagian besar tamat SD. Lima Desa contoh ini dapat dikatakan mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat desa di daerah
penyangga secara keseluruhan yang berjumlah 27 desa, yang secara umum dapat menjadi potret masyarakat daerah penyangga TNGC, karena berdasarkan
data Bappeda 2010, mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar adalah petani 57 dengan luas garapan antarara 0,1 – 0,3
haKK, dan sebagian besar berpendidikan sekolah dasar. 4.1.2.1 Masyarakat yang Bekerja di Ekowisata
Konsep ekowisata yang digunakan mengacu pada Ceballos-Lascurain 1998 dalam Mc Neely, et.al. 1992 mendefinisikan wisata alam sebagai
kegiatan wisata dalam bentuk perjalanan ke kawasan alami yang relatif masih asli dengan tetumbuhan dan satwa liarnya beserta manifestasi aspek-aspek
kebudayaan yang ada, baik yang merupakan warisan budaya masa lampau maupun yang berlaku saat ini. Keuntungan aktual masyarakat dari ekowisata,
dapat diperoleh dari berbagai peluang usaha seperti usaha akomodasi yaitu pondok wisata, bumi perkemahan, karavan dan penginapan remaja, usaha
makanan dan minuman, usaha sarana wisata tirta, angkutan wisata, usaha cindera mata dan sarana budaya ICEL 1999.
Pada saat ini masyarakat daerah penyangga desa contoh yang bekerja di ekowisata sekitar 142 orang, 41 orang di lokasi obyek wisata Lembah
Cilengkrang, 34 orang di lokasi obyek wisata Buper Palutungan, dan 67 orang di lokasi obyek wisata Cibulan.
Menurut Biro Pusat Statistik, bekerja artinya melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan
dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu
dalam suatu usahakegiatan ekonomi. Responden yang bekerja di sektor ekowisata sebagian besar berusia 41
hingga 50 tahun, berpendidikan SD dan bekerja sebagai pedagang. Sebagian besar tidak memiliki lahan, dengan pendapatan rata-rata per bulan antara Rp
700.000 hingga Rp 1.500.000, serta pernah menggarap di lahan TNGC selama lebih dari 10 tahun. Sebagian besar tidak pernah mengikuti penyuluhan dan
pelatihan dari TNGC. Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata secara lengkap disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata.
No Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Jumlah 1
Umur - 21 – 30 tahun
- 31 – 40 tahun - 41 – 50 tahun
- 51 – 60 tahun - 61 – 70 tahun
- 71 – 80 tahun 14
19 27
14 11
14
2 Pendidikan
- Tidak tamat SD - Tamat SD
- SLTP - SLTA
- Dipolma 8
59 16
14 3
3 Tanggungan Keluarga
- 0 – 2 orang - 3 – 4 orang
- 5 orang 43
54 3
4 Kepemilikan Lahan
- Tidak punya lahan - 0,01 – 0,25 ha
- 0,251 – 0,50 ha 66
32 2
5 Pekerjaan Utama
- Buruh tani - Tani
- Dagang - Pengelola wisata
- Lain-lain 5
32 46
11 5
No Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Jumlah 6
Pendapatan per bulan - 0 – Rp 700.000
- Rp 700.000 – Rp 1.500.000 - Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000
- Rp 2.500.000 31
34 25
10
7 Lama menggarap TN
- 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun
- 10 tahun 21
24 45
8 Mengikuti Penyuluhan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
- 3 – 4 kali setahun 58
34 8
9 Mengikuti Pelatihan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
- 3 – 4 kali setahun 64
34 2
10 Menerima bantuan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
- 3 – 4 kali setahun 68
31 1
Sumber: data primer
Menurut Sensus Sosial Ekonomi Daerah SUSEDA Kabupaten Kuningan, kelompok umur penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja
dalam masyarakat adalah mereka yang berumur antara 15-64 tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK merupakan rasio antara kelompok penduduk
yang bekerja dan mencari kerja dengan kelompok penduduk usia 15 tahun ke atas.
Bidang usaha yang dilakukan sebagian besar masyarakat di sektor ekowisata adalah sebagai pedagang makanan dan minuman serta pedagang
souvenir. Pekerjaan sebagai pedagang di sektor ekowisata bagi 46 responden merupakan pekerjaan utama. Sebagian besar responden 66 tidak memiliki
lahan pertanian, dan 32 memiliki lahan antara 0,01 sampai 0,25 ha. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, berusaha di sektor wisata menjadi
pekerjaan utama. Bekerja di sektor wisata biasanya dilakukan dengan melibatkan tenaga istri dan anak, seperti menunggu warung, berjualan souvenir, sementara
kepala keluarga bekerja sebagai petani, buruh tani, ojek dan pekerjaan lainnya. Masyarakat yang bekerja sebagai pengelola obyek wisata, bertugas sebagai
penjaga loket, petugas kebersihan, pengawas wisatawan, bagian keamanan dan penjaga kamar bilas di pemandian.
Kontribusi usaha di sektor ekowisata terhadap pendapatan masyarakat cukup bervariasi. Dari hasil analisis, proporsi pendapatan tertinggi dari ekowisata
adalah sekitar 60 dan terendah 16 dengan rata-rata proporsi pendapatan sebesar 41 dari total pendapatan per tahun. Pendapatan per bulan dari
kegiatan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pendapatan responden dari usaha ekowisata
Sumber: data primer
Tabel 26 memperlihatkan rata-rata pendapatan dari sektor ekowisata adalah sebesar Rp. 6.955.014 per tahun atau sekitar Rp. 579.584 per bulan, dan
merupakan 41 dari total pendapatan rata-rata per KK per bulan sebesar Rp. 1.410.550. Proporsi 59 dari pendapatan yaitu rata-rata Rp. 830.966,- per bulan,
berasal dari sumber lain seperti bertani, buruh tani, ojek, pensiunan PNS, pedagang sayuran di pasar dan peternak. Diversifikasi mata pencaharian dalam
keluarga dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang rata- rata mencapai Rp 1.317.955 per bulan.
Pengeluaran responden di alokasikan untuk tiga kebutuhan utama, yaitu biaya hidup, yang meliputi pangan, sandang, papan, kebutuhan untuk
kebersihan, dan kebutuhan sosial kematian, hajatan dan iuran, biaya untuk kesehatan dokter, bidan dan obat-obatan serta biaya pendidikan buku, baju
seragam, biaya dan transport sekolah, iuran sekolah, serta keperluan sekolah lainnya. Pengeluaran masyarakat rata-rata per kapita per bulan untuk biaya
hidup adalah sebesar Rp. 302.742,27, untuk biaya pendidikan sebesar Rp. 20.615,77 serta biaya kesehatan sebesar Rp. 6130,65, dengan total pengeluaran
sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26 per bulan, sedangkan untuk kesehatan
sekitar 1,96. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya
No Jenis usaha
Pendapatan ekowisata
Pendapa- tan lain
Total Pendapatan
Pro- porsi
Biaya hidup
Pendi- dikan
Kese- hatan
1 Souvenir
6.582.000 16.750.200
23.332.200 28
21.056.168 2.975.452
501.667 2.
Warung makanan dan minuman
15.951.708 10.482.520
26.434.228 60
10.975.667 1.000.000
285.000 3.
Pemandu wisata 1.866.400
9.673.333 11.539.733
16 15.020.000
1.000.000 260.000
4. Pengelola obyek
ekowisata 6.800.000
6.133.333 12.933.333
53 14.898.000
866.800 290.000
5. Atraksi Outbond
6.000.000 10.200.000
16.200.000 37
9.443.000 300.000
425.000 6.
Penitipan kendaraan 5.240.000
14.533.333 19.773.333
27 19.660.200
1.174.200 172.500
7. Penyewaan toilet
umum 7.200.000
4.800.000 12.000.000
60 13.200.000
120.000 8.
Penyewaan peralatan renang
6.000.000 7.200.000
13.200.000 45
12.000.000 600.000
300.000 Pendapatan total
55.640.108 79.772.720
135.412.828 116.253.035
7.916.452 2.354.167
Pendapatan rata-rata per tahun
6.955.014 9.971.590
16.926.604 41
14.531.629 989.557
294.271 Pendapatan rata-rata
per bulan 579.585
830.966 1.410.550
1.210.980 82.463
24.523
hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus
mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke SLTP terdekat karena harus menggunakan ojek, responden memilih untuk tidak
melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung.
Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk
kebutuhan pangan. Proporsi pendapatan dari usaha ekowisata disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Proporsi pendapatan dari ekowisata Gambar 8 memperlihatkan proporsi pendapatan tertinggi adalah dari jenis
usaha warung makanan dan minuman serta penyewaan toilet umum 60, dan terendah sebagai pemandu wisata sebesar 16 karena ekowisatawan jarang
sekali membelanjakan uangnya untuk jasa pemanduan. Hampir sebagian besar ekowisatawan membelanjakan uangnya di warung-warung yang ada di lokasi
wisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Warpani 2007 bahwa keberadaan warung makan ini cukup penting karena pengeluaran untuk makanan dan
minuman proporsinya dapat mencapai 20 hingga 35 dari belanja ekowisatawan. Usaha warung ini cukup banyak menyerap tenaga kerja
masyarakat. Data PUSPAR UGM 1998 dalam Fandeli 2001 menemukan bahwa penyerapan tenaga kerja terbesar adalah dari jenis usaha penyediaan
akomodasi, kemudian usaha penyediaan makan dan minum, usaha angkutan ekowisata, serta usaha pemandian alam.
Curahan waktu kerja responden di ekowisata rata-rata 10 jam per hari, dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Pada hari Sabtu sekitar 20 responden yang
bekerja pada obyek wisata perkemahan akan membuka warung hingga malam hari, terutama jika wisatawan yang berkemah terdiri dari rombongan dalam
jumlah besar lebih dari 50 orang. Bagi responden yang memiliki lahan, pagi hari biasanya digunakan untuk mengolah lahannya, sementara usaha di wisata akan
dilakukan oleh anggota keluarganya. Potensi masyarakat yang bekerja di ekowisata di desa Cisantana, dusun Palutungan diantaranya adalah keahlian
memasak yang dimiliki ibu-ibu pemilik warung, sehingga seringkali dimanfaatkan untuk menyediakan katering bagi rombongan wisatawan dalam jumlah besar.
Potensi lain adalah hasil pertanian seperti wortel, kembang kol, kubis dan bawang daun yang berkualitas baik, dan hasil peternakan berupa susu sapi
segar yang dapat dijual sebagai souvenir. Potensi hasil tanaman buah jambu merah yang dijual kepada wisatawan dalam bentuk buah segar terdapat di desa
Pajambon. Tanaman bambu yang banyak terdapat di sekitar desa belum dimanfaatkan
secara optimal
untuk dibuat
barang-barang kerajinan
tangancenderamata yang dapat dijual kepada wisatawan. Pelatihan kerajinan tangan yang pernah diikuti oleh beberapa anggota masyarakat di desa Pajambon
belum dipraktekkan secara langsung karena kurangnya modal dan pembinaan. Sebagian besar responden 66 tidak memiliki lahan pertanian, dan
32 memiliki lahan 0,01 sampai 0,25 ha. Kondisi serba kekurangan ini mendorong petani yang memiliki lahan sempit untuk melakukan berbagai cara
agar dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, yaitu dengan menerapkan pola nafkah ganda dan memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun
istri. Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaragaman bidang mata pencaharian termasuk bekerja di sektor wisata, sedangkan pemaksimalan
tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-anak dan wanita istri untuk turut serta dalam pekerjaan. Hal ini mendukung pendapat Deere dan
Wasserstrom 1980 dalam McReynolds 1998 berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa sebagian besar dari pemilik lahan sempit di Amerika Latin
menjadi pekerja di berbagai sektor. Diversifikasi ekonomi ini merupakan cara yang efektif dari peningkatan pendapatan dan menurunkan resiko bagi petani.
Sumber-sumber pendapatan dari bukan pertanian tersebut ternyata cukup signifikan bagi petani yang melakukan kegiatan tersebut, dan cukup penting bagi
petani yang yang tidak memiliki lahan.
4.1.2.2 Masyarakat yang Bekerja di Agroforestri Mengingat konsep agroforestri yang meliputi rentang yang luas dari
sistem-sistem pemanfaatan lahan secara tradisional dan moderen, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu
sistem dapat dikategorikan dalam agroforestri. Konsep agroforestri dalam penelitian ini mengacu kepada Lundgren dan Raintree 1982 dalam Rianse dan
Abdi 2010 yang menitikberatkan pada dua karakter pokok, yaitu dalam pemanfaatan lahan dengan pola agroforestri 1 adanya pengkombinasian yang
terencanadisengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu pohon, tanaman pertanian danatau ternak baik secara bersamaan ataupun bergiliran,
dan 2 adanya interaksi ekologis danatau ekonomis yang nyata, baik positif dan atau negatif antara komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu.
Masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh tani, baik di sawah maupun tegalanladang.
Luas pemanfaatan lahan di desa Seda yang berupa ladangtegalan adalah seluas 78,216 ha, pada desa Karangsari seluas 201,43 ha, dan desa Pajambon
seluas 20,14 ha. Tidak seluruhnya luas tegalanladang tersebut ditanam dengan pola agroforestri. Ada juga yang ditanami secara monokultur, seperti jambu
merah yang telah berkembang dan mendominasi areal pesawahan dan tegalan di desa Pajambon.
Masyarakat di tiga Desa contoh yang memiliki lahan tegalan dan bertani dengan pola agroforestri sekitar 687 orang di desa Karangsari, 130 orang di desa
Pajambon, dan 327 orang di desa Seda. Namun tidak seluruhnya petani tersebut aktif secara terus menerus dalam mengelola lahannya, terutama kaum muda
yang sebagian besar bermigrasi ketika menunggu musim panen tiba. Seperti pada masyarakat desa Seda, dimana pada saat ini hanya tersisa sekitar 30
orang petani agroforestri yang tinggal di desa dan aktif mengelola lahan agroforestri.
Pada awalnya masyarakat bertani dengan pola agroforestri pada lahan kawasan TNGC. Petani dengan modal besar selain mengolah lahan kawasan
juga mengolah lahan miliknya. Setelah tidak lagi menggarap dalam kawasan, bagi petani yang memiliki lahan, mereka mulai mengolah lahan miliknya,
sedangkan bagi petani yang tidak memiliki lahan, ada yang tetap bertani dengan menyewa lahan, beralih menjadi buruh tani atau sebagai petani pengepul
bandar.
Responden masyarakat yang bertani agroforestri sebagian besar berusia 41 hingga 60 tahun, berpendidikan SD dengan pekerjaan utama sebagai petani
dan sebagian besar memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani dan peternak. Sebanyak 36 responden memiliki luas lahan antara 0 - 0,250 ha, dan
sebagian besar pernah menggarap di lahan TNGC antara 0 hingga 5 tahun. Dalam hal mengikuti penyuluhan, 56 responden tidak pernah mengikuti
penyuluhan, 76 responden tidak pernah mengikuti pelatihan dan 62 tidak pernah menerima bantuan. Karakteristik responden petani agroforestri
selengkapnya disajikan pada Tabel 27 Tabel 27 Karakteristik responden petani agroforestri
No Kondisi Sosial Ekonomi Responden
Jumlah
1 Umur
- 20 – 40 tahun - 41 – 60 tahun
- 61 – 80 tahun 18
57 25
2 Pendidikan
- Tidak tamat SD - Tamat SD
- Tamat SLTP 7
86 7
3 Pekerjaan Sambilan
- Buruh tani - Peternak
- Pengepul - Pedagang
- Tukang bangunan - Tidak ada
25 25
7 14
14 15
4 Luas Kepemilikan Lahan
- 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha
- 0,51 ha 36
36 22
5 Luas Lahan Agroforestri
- 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha
- 0,51 ha 54
36 10
7 Lama menggarap
- 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun
- 10 tahun 51
20 28
8 Frekuensi Penyuluhan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
- 3 – 4 kali setahun 56
35 9
9 Frekuensi Pelatihan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
- 3 – 4 kali setahun 76
20 4
10 Frekuensi bantuan
- Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun
62 38
Sumber: data primer
Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa Pajambon, Seda dan Karangsari 86 hanya tamat SD berpengaruh terhadap
kemampuannya dalam bertani. Ketrampilan dalam mengelola agroforestri diperoleh secara otodidak berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara turun
temurun. Pengetahuan mengenai ilmu pertanian dan kehutanan kurang dimiliki secara benar, sehingga berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama
dan penyakit pada tanaman tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi kurang
optimal. Selain pengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam mengadopsi pengetahuan dan teknologi
bertani yang baru. Berdasarkan hasil analisis, rata-rata pendapatan masyarakat dari agroforestri di tiga Desa contoh dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Rata-rata pendapatan responden petani agroforestri
Desa Tanaman
pertanian Rp
Tanaman kehutanan
Rp Total
pendapatan Agroforestri
Rp Pendapatan
dari usaha lain
Rp Total rata-rata
pendapatan per kapita per bulan
Rp Proporsi
pendapatan agroforestri
Karangsari 327.666,67
191.585,00 519.251,67
388.484,81 907.736,48
57,20 Seda
248.815,13 213.779,75
462.594,88 327.750,00
790.344,88 58,53
Pajambon 80.729,17
15.208,33 95.937,50
120.825,00 216.762,50
44,26 Total
657.210,96 420.573,08
1.077.784,04 837.059,81
1.914.843,85 Rata-rata
219.070,32 140.191,03
359.261,35 279.019,94
638.281,28 56,29
Sumber: data prmer
Tabel 28 memperlihatkan besarnya pendapatan rata-rata per kapita per bulan responden masyarakat di tiga Desa contoh, yaitu Rp. 638.281,28, dimana
nilai ini lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten UMK sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau
sebesar 56,29 dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71 diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri,
berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Proporsi pendapatan dari agroforestri ini lebih rendah dari hasil penelitian serupa, yaitu agroforestri Repong Damar di
Kecamatan Pesisir Selatan Krui Lampung memberikan kontribusi sebesar 61,8 dari total pendapatan rumah tangga per tahun de Foresta and Michon 1994 dan
Suharjito, dkk, 2003, serta di TN Meru Betiri kontribusi dari lahan agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60 kebutuhan rumah tangga petani Aliadi, 2006.
Agroforestri di tiga Desa contoh masih bersifat subsisten, artinya dalam pengelolaannya masih bersifat tradisional belum menggunakan teknologi yang
memadai, baik dari aspek pengolahan lahan, pola tanam, penanganan hama penyakit serta pemanenan, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal.
Sebagai contoh, tanaman melinjo masyarakat di desa Seda saat ini sebagian besar terserang oleh penyakit pucuk, sehingga menurunkan produksinya hampir
mencapai 10. Namun sampai saat ini belum ditangani secara intensif, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat.
Selain pendapatan, perhitungan juga dilakukan terhadap pengeluaran untuk kebutuhan hidup masyarakat, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
biaya hidup yang mencakup pangan, sandang, papan dan kebutuhan sosial, serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, yang tersaji pada Tabel 29.
Tabel 29 Pengeluaran responden petani agroforestri
Desa Biaya hidup
Pendidikan Kesehatan
Rata-rata Pengeluaran Per kapita per bulan
Karangsari 533.971,00
19.277,00 12.444,00
565.692,00 Seda
657.012,00 33.325,00
15.568,00 705.905,00
Pajambon 375.537,50
6.250,00 38.750,00
420.537,50 Total
1.566.520,50 58.852,00
66.762,00 1.692.134,50
Rata-rata 522.173,50
19.617,33 22.254,00
564.044,83
Sumber: data primer
Dari hasil perhitungan, diperoleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83. Berdasarkan pengamatan di
lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Hal
ini terlihat dari pola pengeluaran rumah tangga keluarga yang lebih banyak ntuk kebutuhan pangan, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi lebih tinggi dari SLTP serta pengobatan yang sederhana.
Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan,
sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah
lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka
anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani, terutama pada saat panen.
Tabel 30 Kegiatan Agroforestri di desa Seda, desa Pajambon dan desa Karangsari
Jenis Kegiatan Desa Seda
Desa Pajambon Desa Karangsari
Penanaman Kayu - Hasil penanaman bersifat
subsisten berubah ke ekonomis
- Sengon berkembang baik - Umur tanaman sekarang
rata-rata di atas 20 tahun - Luas kepemilikan
lahan milik relatif rendah
- Pola monokultur - Dilakukan sejak tahun
1972 - Sistem tumpangsari di
hutan produksi - Hasil penanaman
bersifat Subsisten berubah ke ekonomis
Peningkatan luas hutan rakyat
- 10 - 28
- 14 Jenis-jenis tanaman
kehutanan yang dikembangkan
- mahoni, albizia dan kayu afrika
- sengon, mahoni dan kayu afrika
- albizia, kayu afrika dan suren
Petani penggarap lahan TNGC
- 363 orang - 20 orang
- 50 orang
Sumber: data primer
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak
berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar sektor pertanian. Persepsi mereka adalah bahwa petani merupakan pekerjaan
yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan, karena terbatasnya lahan dan sumberdaya lain yang dimiliki, sehingga tidak memungkinkan untuk
dikembangkan. Pada saat ini petani agroforestri di tiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57 berusia antara 40 sampai 60
tahun dan 25 berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini cukup mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang. Saat ini hampir 30 anak muda di
Desa Seda merantau ke Jakarta, Bandung dan kota lainnya untuk bekerja di sektor informal pedagang, buruh bangunan, dan pekerjaan dengan ketrampilan
rendah lainnya, sehingga banyak petani di Desa Seda kekurangan tenaga kerja untuk berbagai kegiatan pertanian. Oleh karena itu, pengembangan agroforestri
dalam penelitian ini ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati pemuda desa, disamping meningkatkan pemahaman
dan pengetahuan mengenai manfaat agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell 1986 dalam Hairiah, dkk 2003 menyatakan
bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda
di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin 2006 menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan
mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau.
Hasil survei terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden
masyarakat masih rendah dibawah UMK Rp 700.000 per bulan. Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap
kawasan TNGC.