Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

pemukiman para petani”. Ciri utama yang melekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Dengan perkataan lain, suatu desa ditandai oleh keterikatan warganya pada suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini disamping terutama untuk tempat tinggal juga untuk menyangga kehidupan mereka. Sementara Paul Landis Rahardjo 2004 mengemukakan ciri-ciri desa adalah mempunyai pergaulan hidup yang saling saling mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, serta cara berusaha ekonomi adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi oleh alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Oleh karena itu sebelum membahas mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri, maka terlebih dulu dianalisis mengenai karakteristik dari setiap Desa contoh. Desa-desa contoh terdiri dari desa yang memiliki potensi ekowisata, yaitu Desa Cisantana, Manis Kidul dan Pajambon dan desa yang memiliki potensi agroforestri yaitu Desa Karangsari, Seda dan juga termasuk Pajambon. Lima desa contoh ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam potensi fisik maupun sosial ekonomi seperti disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 memperlihatkan bahwa mata pencaharian masyarakat dominan sebagai petani dan buruh tani, kecuali desa Maniskidul yang sebagian besar adalah pedagang, karena adanya potensi obyek wisata Cibulan yang sangat diminati oleh wisatawan. Pada Desa Pajambon dan Seda, proporsi buruh tani yang lebih besar menunjukkan tingkat kepemilikan lahan yang sempit yaitu dibawah 0,250 ha. Jarak pemukiman terdekat dengan kawasan adalah antara satu hingga tiga kilometer, sedangkan lahan pertanian masyarakat berbatasan dengan dengan kawasan TNGC. Penggunaan lahan sebagian besar desa adalah sawah dan tegalan, kecuali pada Desa Cisantana yang didominasi oleh hutan milik negara. Meskipun secara persentase luas hutan negara mencapai 50,52, namun luas lahan untuk usaha tani sawah, tegalan, ladang dan perkebunan rakyat di Desa Cisantana tetap memiliki luasan yang lebih besar diantara desa lainnya, sehingga komoditas hasil pangan cukup banyak diproduksi di desa ini. Demikian juga di Desa Karangsari, sebagian besar penggunaan lahan adalah tegalanladang, yang ditanami palawija dan pohon berkayu. Desa Cisantana merupakan sentra produksi susu sapi di Kecamatan Cigugur dengan kepemilikan ternak sapi mencapai 1.726 ekor sapi perah. Tabel 23 Karakteristik Desa Contoh Sumber ; Profil Desa tahun 2009 No Aspek Cisantana Manis Kidul Pajambon Karangsari Seda 1 Luas ha 1.199,5 137,201 83,59 277 215,614 2 Jarak dari TNGC km 1 3 1 2,5 1 3 Jumlah Penduduk - Laki-laki - Perempuan 6.420 3.342 3.058 6.131 3.121 3.010 2.648 1.322 1.325 2.138 1.079 1.058 2.513 1.330 1.193 4 KK 1.760 1.232 686 588 651 5 Mata Pencaharian - Petani - Buruh tani - Peternak - Pedagang - PNS - SwastaJasa 54,25 2,34 12,46 2,34 3,90 0,85 10,47 14,25 - 38,72 4,59 15,95 31,99 35,33 - 2,04 0,85 29,23 40,18 24,88 0,80 2,99 1,1 0,98 29,36 56,03 7 2,83 0,54 4,24 6 Agama - Islam - Katolik - Kristen 64,88 22,07 13,15 Tidak ada data 100 - - 99,86 0,14 - 100 - - 7 Pendidikan - Tidak Tamat SD - Tamat SD - Tamat SMP - Tamat SLTA - SLTA - 73,60 13,35 13,06 - 46,38 17,23 15,25 80,17 35,57 Tidak ada data 8 Penggunaan Lahan - Sawah - Tegalan ฀ladang - Perkebunan Rakyat - Pekarangan - Pemukiman - Hutan Negara dll 7,18 36,42 1,57 3,01 2,35 50,52 Tidak ada data 42,14 24,09 - - 21,52 12,25 10,83 72,72 9,03 - 4,69 2,73 32,59 36,28 - - 11,97 19,16 9 Komoditas - Hasil Pangan ha - Tanaman Obat ha - Hijauan Pakan Ternak ha - Ternak ekor  Unggas  Non Unggas sapi, kambing dan babi 189 3 10 2.432 1.830 237,5 - - 6.000 475 106 10 1 t.a.d 425 172,43 5 0,5 30.020 262 Tidak ada data 10 Pemanfaatan Air - Mata Air - Anak SungaiSungai - Air Terjun - Sumber Air Panas 7 2 2 - Tidak ada data 1 1 - 2 3 2 Tidak ada data 11 Potensi -Wisata alam 2 air terjun di desa, 2 di TNGC Pemandian dan wisata religi 2 sumber air panas di TNGC Potensi Bumi Perkema- han Tidak ada Berdasarkan hasil analisis terhadap desa contoh, pada saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat pada lima desa contoh disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Kondisi sosial ekonomi lima Desa Contoh No. Desa Kategori Persentase Mata Pencaharian Persentase Angkatan Kerja usia 15–55 thn Persentase Tingkat Pendidikan 1. Cisantana Rata-rata sejahtera Petani 54,25 61,69. Sebagian besar tamat SD 73,60 2. Pajambon Pra sejahtera Buruh tani 35,33, 33,46 bekerja penuh 45,51 bekerja tidak menentu Sebagian besar tamat SD 80,17 3. Manis Kidul Rata-rata sejahtera Pedagang wiraswasta 38,72 48,00 Sebagian besar tamat SD 46,38 4. Karangsari Pra sejahtera Petani 40,18 45,51, Sebagian besar tamat SD 35,57 5. Seda Rata-rata sejahtera Buruh tani 56,03 75,00 Sebagian besar tamat SD 40,00 Sumber : profil desa Cisantana, Pajambon, Manis Kidul, Karangsari, Seda dan wawancara dengan perangkat desa 2010 Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa rata-rata masyarakat desa bekerja sebagai petani dan buruh tani dengan dengan luas garapan rata-rata 0,250 ha, serta berpendidikan sebagian besar tamat SD. Lima Desa contoh ini dapat dikatakan mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat desa di daerah penyangga secara keseluruhan yang berjumlah 27 desa, yang secara umum dapat menjadi potret masyarakat daerah penyangga TNGC, karena berdasarkan data Bappeda 2010, mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar adalah petani 57 dengan luas garapan antarara 0,1 – 0,3 haKK, dan sebagian besar berpendidikan sekolah dasar. 4.1.2.1 Masyarakat yang Bekerja di Ekowisata Konsep ekowisata yang digunakan mengacu pada Ceballos-Lascurain 1998 dalam Mc Neely, et.al. 1992 mendefinisikan wisata alam sebagai kegiatan wisata dalam bentuk perjalanan ke kawasan alami yang relatif masih asli dengan tetumbuhan dan satwa liarnya beserta manifestasi aspek-aspek kebudayaan yang ada, baik yang merupakan warisan budaya masa lampau maupun yang berlaku saat ini. Keuntungan aktual masyarakat dari ekowisata, dapat diperoleh dari berbagai peluang usaha seperti usaha akomodasi yaitu pondok wisata, bumi perkemahan, karavan dan penginapan remaja, usaha makanan dan minuman, usaha sarana wisata tirta, angkutan wisata, usaha cindera mata dan sarana budaya ICEL 1999. Pada saat ini masyarakat daerah penyangga desa contoh yang bekerja di ekowisata sekitar 142 orang, 41 orang di lokasi obyek wisata Lembah Cilengkrang, 34 orang di lokasi obyek wisata Buper Palutungan, dan 67 orang di lokasi obyek wisata Cibulan. Menurut Biro Pusat Statistik, bekerja artinya melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usahakegiatan ekonomi. Responden yang bekerja di sektor ekowisata sebagian besar berusia 41 hingga 50 tahun, berpendidikan SD dan bekerja sebagai pedagang. Sebagian besar tidak memiliki lahan, dengan pendapatan rata-rata per bulan antara Rp 700.000 hingga Rp 1.500.000, serta pernah menggarap di lahan TNGC selama lebih dari 10 tahun. Sebagian besar tidak pernah mengikuti penyuluhan dan pelatihan dari TNGC. Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata secara lengkap disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata. No Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah 1 Umur - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 – 50 tahun - 51 – 60 tahun - 61 – 70 tahun - 71 – 80 tahun 14 19 27 14 11 14 2 Pendidikan - Tidak tamat SD - Tamat SD - SLTP - SLTA - Dipolma 8 59 16 14 3 3 Tanggungan Keluarga - 0 – 2 orang - 3 – 4 orang - 5 orang 43 54 3 4 Kepemilikan Lahan - Tidak punya lahan - 0,01 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha 66 32 2 5 Pekerjaan Utama - Buruh tani - Tani - Dagang - Pengelola wisata - Lain-lain 5 32 46 11 5 No Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah 6 Pendapatan per bulan - 0 – Rp 700.000 - Rp 700.000 – Rp 1.500.000 - Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000 - Rp 2.500.000 31 34 25 10 7 Lama menggarap TN - 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun - 10 tahun 21 24 45 8 Mengikuti Penyuluhan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 58 34 8 9 Mengikuti Pelatihan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 64 34 2 10 Menerima bantuan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 68 31 1 Sumber: data primer Menurut Sensus Sosial Ekonomi Daerah SUSEDA Kabupaten Kuningan, kelompok umur penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja dalam masyarakat adalah mereka yang berumur antara 15-64 tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK merupakan rasio antara kelompok penduduk yang bekerja dan mencari kerja dengan kelompok penduduk usia 15 tahun ke atas. Bidang usaha yang dilakukan sebagian besar masyarakat di sektor ekowisata adalah sebagai pedagang makanan dan minuman serta pedagang souvenir. Pekerjaan sebagai pedagang di sektor ekowisata bagi 46 responden merupakan pekerjaan utama. Sebagian besar responden 66 tidak memiliki lahan pertanian, dan 32 memiliki lahan antara 0,01 sampai 0,25 ha. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, berusaha di sektor wisata menjadi pekerjaan utama. Bekerja di sektor wisata biasanya dilakukan dengan melibatkan tenaga istri dan anak, seperti menunggu warung, berjualan souvenir, sementara kepala keluarga bekerja sebagai petani, buruh tani, ojek dan pekerjaan lainnya. Masyarakat yang bekerja sebagai pengelola obyek wisata, bertugas sebagai penjaga loket, petugas kebersihan, pengawas wisatawan, bagian keamanan dan penjaga kamar bilas di pemandian. Kontribusi usaha di sektor ekowisata terhadap pendapatan masyarakat cukup bervariasi. Dari hasil analisis, proporsi pendapatan tertinggi dari ekowisata adalah sekitar 60 dan terendah 16 dengan rata-rata proporsi pendapatan sebesar 41 dari total pendapatan per tahun. Pendapatan per bulan dari kegiatan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pendapatan responden dari usaha ekowisata Sumber: data primer Tabel 26 memperlihatkan rata-rata pendapatan dari sektor ekowisata adalah sebesar Rp. 6.955.014 per tahun atau sekitar Rp. 579.584 per bulan, dan merupakan 41 dari total pendapatan rata-rata per KK per bulan sebesar Rp. 1.410.550. Proporsi 59 dari pendapatan yaitu rata-rata Rp. 830.966,- per bulan, berasal dari sumber lain seperti bertani, buruh tani, ojek, pensiunan PNS, pedagang sayuran di pasar dan peternak. Diversifikasi mata pencaharian dalam keluarga dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang rata- rata mencapai Rp 1.317.955 per bulan. Pengeluaran responden di alokasikan untuk tiga kebutuhan utama, yaitu biaya hidup, yang meliputi pangan, sandang, papan, kebutuhan untuk kebersihan, dan kebutuhan sosial kematian, hajatan dan iuran, biaya untuk kesehatan dokter, bidan dan obat-obatan serta biaya pendidikan buku, baju seragam, biaya dan transport sekolah, iuran sekolah, serta keperluan sekolah lainnya. Pengeluaran masyarakat rata-rata per kapita per bulan untuk biaya hidup adalah sebesar Rp. 302.742,27, untuk biaya pendidikan sebesar Rp. 20.615,77 serta biaya kesehatan sebesar Rp. 6130,65, dengan total pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26 per bulan, sedangkan untuk kesehatan sekitar 1,96. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya No Jenis usaha Pendapatan ekowisata Pendapa- tan lain Total Pendapatan Pro- porsi Biaya hidup Pendi- dikan Kese- hatan 1 Souvenir 6.582.000 16.750.200 23.332.200 28 21.056.168 2.975.452 501.667 2. Warung makanan dan minuman 15.951.708 10.482.520 26.434.228 60 10.975.667 1.000.000 285.000 3. Pemandu wisata 1.866.400 9.673.333 11.539.733 16 15.020.000 1.000.000 260.000 4. Pengelola obyek ekowisata 6.800.000 6.133.333 12.933.333 53 14.898.000 866.800 290.000 5. Atraksi Outbond 6.000.000 10.200.000 16.200.000 37 9.443.000 300.000 425.000 6. Penitipan kendaraan 5.240.000 14.533.333 19.773.333 27 19.660.200 1.174.200 172.500 7. Penyewaan toilet umum 7.200.000 4.800.000 12.000.000 60 13.200.000 120.000 8. Penyewaan peralatan renang 6.000.000 7.200.000 13.200.000 45 12.000.000 600.000 300.000 Pendapatan total 55.640.108 79.772.720 135.412.828 116.253.035 7.916.452 2.354.167 Pendapatan rata-rata per tahun 6.955.014 9.971.590 16.926.604 41 14.531.629 989.557 294.271 Pendapatan rata-rata per bulan 579.585 830.966 1.410.550 1.210.980 82.463 24.523 hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke SLTP terdekat karena harus menggunakan ojek, responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan. Proporsi pendapatan dari usaha ekowisata disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Proporsi pendapatan dari ekowisata Gambar 8 memperlihatkan proporsi pendapatan tertinggi adalah dari jenis usaha warung makanan dan minuman serta penyewaan toilet umum 60, dan terendah sebagai pemandu wisata sebesar 16 karena ekowisatawan jarang sekali membelanjakan uangnya untuk jasa pemanduan. Hampir sebagian besar ekowisatawan membelanjakan uangnya di warung-warung yang ada di lokasi wisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Warpani 2007 bahwa keberadaan warung makan ini cukup penting karena pengeluaran untuk makanan dan minuman proporsinya dapat mencapai 20 hingga 35 dari belanja ekowisatawan. Usaha warung ini cukup banyak menyerap tenaga kerja masyarakat. Data PUSPAR UGM 1998 dalam Fandeli 2001 menemukan bahwa penyerapan tenaga kerja terbesar adalah dari jenis usaha penyediaan akomodasi, kemudian usaha penyediaan makan dan minum, usaha angkutan ekowisata, serta usaha pemandian alam. Curahan waktu kerja responden di ekowisata rata-rata 10 jam per hari, dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Pada hari Sabtu sekitar 20 responden yang bekerja pada obyek wisata perkemahan akan membuka warung hingga malam hari, terutama jika wisatawan yang berkemah terdiri dari rombongan dalam jumlah besar lebih dari 50 orang. Bagi responden yang memiliki lahan, pagi hari biasanya digunakan untuk mengolah lahannya, sementara usaha di wisata akan dilakukan oleh anggota keluarganya. Potensi masyarakat yang bekerja di ekowisata di desa Cisantana, dusun Palutungan diantaranya adalah keahlian memasak yang dimiliki ibu-ibu pemilik warung, sehingga seringkali dimanfaatkan untuk menyediakan katering bagi rombongan wisatawan dalam jumlah besar. Potensi lain adalah hasil pertanian seperti wortel, kembang kol, kubis dan bawang daun yang berkualitas baik, dan hasil peternakan berupa susu sapi segar yang dapat dijual sebagai souvenir. Potensi hasil tanaman buah jambu merah yang dijual kepada wisatawan dalam bentuk buah segar terdapat di desa Pajambon. Tanaman bambu yang banyak terdapat di sekitar desa belum dimanfaatkan secara optimal untuk dibuat barang-barang kerajinan tangancenderamata yang dapat dijual kepada wisatawan. Pelatihan kerajinan tangan yang pernah diikuti oleh beberapa anggota masyarakat di desa Pajambon belum dipraktekkan secara langsung karena kurangnya modal dan pembinaan. Sebagian besar responden 66 tidak memiliki lahan pertanian, dan 32 memiliki lahan 0,01 sampai 0,25 ha. Kondisi serba kekurangan ini mendorong petani yang memiliki lahan sempit untuk melakukan berbagai cara agar dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, yaitu dengan menerapkan pola nafkah ganda dan memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri. Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaragaman bidang mata pencaharian termasuk bekerja di sektor wisata, sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-anak dan wanita istri untuk turut serta dalam pekerjaan. Hal ini mendukung pendapat Deere dan Wasserstrom 1980 dalam McReynolds 1998 berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa sebagian besar dari pemilik lahan sempit di Amerika Latin menjadi pekerja di berbagai sektor. Diversifikasi ekonomi ini merupakan cara yang efektif dari peningkatan pendapatan dan menurunkan resiko bagi petani. Sumber-sumber pendapatan dari bukan pertanian tersebut ternyata cukup signifikan bagi petani yang melakukan kegiatan tersebut, dan cukup penting bagi petani yang yang tidak memiliki lahan. 4.1.2.2 Masyarakat yang Bekerja di Agroforestri Mengingat konsep agroforestri yang meliputi rentang yang luas dari sistem-sistem pemanfaatan lahan secara tradisional dan moderen, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem dapat dikategorikan dalam agroforestri. Konsep agroforestri dalam penelitian ini mengacu kepada Lundgren dan Raintree 1982 dalam Rianse dan Abdi 2010 yang menitikberatkan pada dua karakter pokok, yaitu dalam pemanfaatan lahan dengan pola agroforestri 1 adanya pengkombinasian yang terencanadisengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu pohon, tanaman pertanian danatau ternak baik secara bersamaan ataupun bergiliran, dan 2 adanya interaksi ekologis danatau ekonomis yang nyata, baik positif dan atau negatif antara komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu. Masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh tani, baik di sawah maupun tegalanladang. Luas pemanfaatan lahan di desa Seda yang berupa ladangtegalan adalah seluas 78,216 ha, pada desa Karangsari seluas 201,43 ha, dan desa Pajambon seluas 20,14 ha. Tidak seluruhnya luas tegalanladang tersebut ditanam dengan pola agroforestri. Ada juga yang ditanami secara monokultur, seperti jambu merah yang telah berkembang dan mendominasi areal pesawahan dan tegalan di desa Pajambon. Masyarakat di tiga Desa contoh yang memiliki lahan tegalan dan bertani dengan pola agroforestri sekitar 687 orang di desa Karangsari, 130 orang di desa Pajambon, dan 327 orang di desa Seda. Namun tidak seluruhnya petani tersebut aktif secara terus menerus dalam mengelola lahannya, terutama kaum muda yang sebagian besar bermigrasi ketika menunggu musim panen tiba. Seperti pada masyarakat desa Seda, dimana pada saat ini hanya tersisa sekitar 30 orang petani agroforestri yang tinggal di desa dan aktif mengelola lahan agroforestri. Pada awalnya masyarakat bertani dengan pola agroforestri pada lahan kawasan TNGC. Petani dengan modal besar selain mengolah lahan kawasan juga mengolah lahan miliknya. Setelah tidak lagi menggarap dalam kawasan, bagi petani yang memiliki lahan, mereka mulai mengolah lahan miliknya, sedangkan bagi petani yang tidak memiliki lahan, ada yang tetap bertani dengan menyewa lahan, beralih menjadi buruh tani atau sebagai petani pengepul bandar. Responden masyarakat yang bertani agroforestri sebagian besar berusia 41 hingga 60 tahun, berpendidikan SD dengan pekerjaan utama sebagai petani dan sebagian besar memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani dan peternak. Sebanyak 36 responden memiliki luas lahan antara 0 - 0,250 ha, dan sebagian besar pernah menggarap di lahan TNGC antara 0 hingga 5 tahun. Dalam hal mengikuti penyuluhan, 56 responden tidak pernah mengikuti penyuluhan, 76 responden tidak pernah mengikuti pelatihan dan 62 tidak pernah menerima bantuan. Karakteristik responden petani agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 27 Tabel 27 Karakteristik responden petani agroforestri No Kondisi Sosial Ekonomi Responden Jumlah 1 Umur - 20 – 40 tahun - 41 – 60 tahun - 61 – 80 tahun 18 57 25 2 Pendidikan - Tidak tamat SD - Tamat SD - Tamat SLTP 7 86 7 3 Pekerjaan Sambilan - Buruh tani - Peternak - Pengepul - Pedagang - Tukang bangunan - Tidak ada 25 25 7 14 14 15 4 Luas Kepemilikan Lahan - 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha - 0,51 ha 36 36 22 5 Luas Lahan Agroforestri - 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha - 0,51 ha 54 36 10 7 Lama menggarap - 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun - 10 tahun 51 20 28 8 Frekuensi Penyuluhan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 56 35 9 9 Frekuensi Pelatihan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 76 20 4 10 Frekuensi bantuan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun 62 38 Sumber: data primer Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa Pajambon, Seda dan Karangsari 86 hanya tamat SD berpengaruh terhadap kemampuannya dalam bertani. Ketrampilan dalam mengelola agroforestri diperoleh secara otodidak berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara turun temurun. Pengetahuan mengenai ilmu pertanian dan kehutanan kurang dimiliki secara benar, sehingga berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama dan penyakit pada tanaman tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi kurang optimal. Selain pengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam mengadopsi pengetahuan dan teknologi bertani yang baru. Berdasarkan hasil analisis, rata-rata pendapatan masyarakat dari agroforestri di tiga Desa contoh dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Rata-rata pendapatan responden petani agroforestri Desa Tanaman pertanian Rp Tanaman kehutanan Rp Total pendapatan Agroforestri Rp Pendapatan dari usaha lain Rp Total rata-rata pendapatan per kapita per bulan Rp Proporsi pendapatan agroforestri Karangsari 327.666,67 191.585,00 519.251,67 388.484,81 907.736,48 57,20 Seda 248.815,13 213.779,75 462.594,88 327.750,00 790.344,88 58,53 Pajambon 80.729,17 15.208,33 95.937,50 120.825,00 216.762,50 44,26 Total 657.210,96 420.573,08 1.077.784,04 837.059,81 1.914.843,85 Rata-rata 219.070,32 140.191,03 359.261,35 279.019,94 638.281,28 56,29 Sumber: data prmer Tabel 28 memperlihatkan besarnya pendapatan rata-rata per kapita per bulan responden masyarakat di tiga Desa contoh, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten UMK sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau sebesar 56,29 dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71 diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri, berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Proporsi pendapatan dari agroforestri ini lebih rendah dari hasil penelitian serupa, yaitu agroforestri Repong Damar di Kecamatan Pesisir Selatan Krui Lampung memberikan kontribusi sebesar 61,8 dari total pendapatan rumah tangga per tahun de Foresta and Michon 1994 dan Suharjito, dkk, 2003, serta di TN Meru Betiri kontribusi dari lahan agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60 kebutuhan rumah tangga petani Aliadi, 2006. Agroforestri di tiga Desa contoh masih bersifat subsisten, artinya dalam pengelolaannya masih bersifat tradisional belum menggunakan teknologi yang memadai, baik dari aspek pengolahan lahan, pola tanam, penanganan hama penyakit serta pemanenan, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Sebagai contoh, tanaman melinjo masyarakat di desa Seda saat ini sebagian besar terserang oleh penyakit pucuk, sehingga menurunkan produksinya hampir mencapai 10. Namun sampai saat ini belum ditangani secara intensif, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Selain pendapatan, perhitungan juga dilakukan terhadap pengeluaran untuk kebutuhan hidup masyarakat, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu biaya hidup yang mencakup pangan, sandang, papan dan kebutuhan sosial, serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, yang tersaji pada Tabel 29. Tabel 29 Pengeluaran responden petani agroforestri Desa Biaya hidup Pendidikan Kesehatan Rata-rata Pengeluaran Per kapita per bulan Karangsari 533.971,00 19.277,00 12.444,00 565.692,00 Seda 657.012,00 33.325,00 15.568,00 705.905,00 Pajambon 375.537,50 6.250,00 38.750,00 420.537,50 Total 1.566.520,50 58.852,00 66.762,00 1.692.134,50 Rata-rata 522.173,50 19.617,33 22.254,00 564.044,83 Sumber: data primer Dari hasil perhitungan, diperoleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola pengeluaran rumah tangga keluarga yang lebih banyak ntuk kebutuhan pangan, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lebih tinggi dari SLTP serta pengobatan yang sederhana. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani, terutama pada saat panen. Tabel 30 Kegiatan Agroforestri di desa Seda, desa Pajambon dan desa Karangsari Jenis Kegiatan Desa Seda Desa Pajambon Desa Karangsari Penanaman Kayu - Hasil penanaman bersifat subsisten berubah ke ekonomis - Sengon berkembang baik - Umur tanaman sekarang rata-rata di atas 20 tahun - Luas kepemilikan lahan milik relatif rendah - Pola monokultur - Dilakukan sejak tahun 1972 - Sistem tumpangsari di hutan produksi - Hasil penanaman bersifat Subsisten berubah ke ekonomis Peningkatan luas hutan rakyat - 10 - 28 - 14 Jenis-jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan - mahoni, albizia dan kayu afrika - sengon, mahoni dan kayu afrika - albizia, kayu afrika dan suren Petani penggarap lahan TNGC - 363 orang - 20 orang - 50 orang Sumber: data primer Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar sektor pertanian. Persepsi mereka adalah bahwa petani merupakan pekerjaan yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan, karena terbatasnya lahan dan sumberdaya lain yang dimiliki, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan. Pada saat ini petani agroforestri di tiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57 berusia antara 40 sampai 60 tahun dan 25 berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini cukup mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang. Saat ini hampir 30 anak muda di Desa Seda merantau ke Jakarta, Bandung dan kota lainnya untuk bekerja di sektor informal pedagang, buruh bangunan, dan pekerjaan dengan ketrampilan rendah lainnya, sehingga banyak petani di Desa Seda kekurangan tenaga kerja untuk berbagai kegiatan pertanian. Oleh karena itu, pengembangan agroforestri dalam penelitian ini ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati pemuda desa, disamping meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai manfaat agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell 1986 dalam Hairiah, dkk 2003 menyatakan bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin 2006 menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau. Hasil survei terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden masyarakat masih rendah dibawah UMK Rp 700.000 per bulan. Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap kawasan TNGC.

4.2 Sikap Masyarakat terhadap Konservasi TNGC

Sikap berisikan komponen berupa cognitive pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain, affective emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain dan behavioralovert actions perilaku, kecenderungan bertindak. Sikap merupakan kecenderungan bertindak tend to act, dan sikap sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan sangat menentukan perilaku behavior seseorang Rosenberg dan Hovland 1960; Krech, Crutchfield Ballachey 1962. Sikap terhadap konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC dapat dikaji dari sejauhmana pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap TNGC. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap dampak dari kerusakan hutan terhadap komponen manusia, satwa, tumbuhan, air, udara, tanah dan hasil pertanian, serta bagaimana pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat TNGC. Sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC ditunjukkan dengan pernyataan dukungan mereka terhadap konservasi TNGC. Jika masyarakat bersikap positif terhadap TNGC maka cenderung untuk berperilaku positif terhadap konservasi TNGC. Perilaku positif masyarakat terhadap TNGC dapat diwujudkan melalui partisipasi masyarakat dalam kegiatan perlindungan kawasan, seperti tidak melakukan aktifitas yang dapat merusak hutan serta turut serta menjaga kawasan dari berbagai kerusakangangguan.

4.2.1 Pemahaman Responden Terhadap Dampak Kerusakan Hutan

Secara umum masyarakat telah memahami dengan baik bahwa kerusakan hutan akan berdampak secara nyata terhadap manusia, satwa, tumbuhan, air, udara, tanah dan hasil pertanian, seperti tersaji pada Tabel 28. Tabel 31 Pemahaman responden terhadap dampak kerusakan hutan No. Dampak Kerusakan Hutan Terhadap Komponen Pemahaman Responden Nyata Tidak nyata 1 Manusia 74 26 2 Satwa 82 18 3 Tumbuhan 81 19 4 Air 80 20 5 Udara 79 21 6 Tanah 65 35 7 Hasil Pertanian 81 19 Rata-rata 77 23 Tabel 31 memperlihatkan sebanyak 77 responden masyarakat menganggap bahwa kerusakan hutan berdampak nyata terhadap ketujuh komponen tersebut, dengan persentase tertinggi adalah dampak kerusakan hutan terhadap satwaliar 82. Nilai ini mengandung makna bahwa menurut pandangan masyarakat, dampak kerusakan hutan yang paling terlihat jelas dan merugikan adalah terhadap satwaliar. Sedangkan dampak kerusakan hutan terhadap tanah, menurut 35 pendapat masyarakat dianggap tidak nyata. Persepsi ini kemungkinan disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi ekologis dari kawasan hutan, padahal seringkali informasi mengenai kejadian erosi dan longsor yang diakibatkan rusaknya kawasan hutan disiarkan melalui berbagai media ataupun menjadi materi penyuluhan oleh berbagai pihak. Pemahaman ini belum dimiliki masyarakat, salah satunya karena belum mengetahui atau mengalami kondisi tersebut. Siagian 2004 menyebutkan bahwa pengetahuan dan pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Pengalaman yang dialami sendiri oleh masyarakat akan lebih kuat dan sulit dilupakan dibandingkan dengan melihat pengalaman orang lain. Namun secara umum masyarakat telah memahami dampak yang akan terjadi jika hutan mengalami kerusakan. Pemahaman ini cukup penting dimiliki masyarakat, sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungannya dan respek terhadap segala kegiatan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Davidoff menyatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan juga tentang keadaan individu yang bersangkutan Walgito 2003 dan persepsi seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya Siagian 2004.

4.2.2 Pemahaman Responden terhadap Fungsi dan Manfaat TNGC

Pemahaman responden terhadap tujuan dibentuknya taman nasional untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari direspon oleh sebagian besar responden dengan pernyataan sangat tidak setuju 34 dan tidak setuju 18, sedangkan respon setuju dan sangat setuju dilakukan oleh 23 dan 15 responden. Sebagian besar responden menyatakan sangat setuju 21 dan setuju 19 bahwa fungsi taman nasional adalah menjamin ketersediaan air, namun responden yang tidak sependapat juga cukup banyak tidak setuju 31 dan sangat tidak setuju 7. Hal ini karena dalam hal mendapatkan air untuk berbagai kebutuhan, responden menyatakan tidak merasa kesulitan sebelum kawasan menjadi TN. Pemahaman ini mungkin karena sejumlah masyarakat daerah penyangga memperoleh air bukan berasal dari kawasan TNGC, namun dari mata air yang ada di wilayah desa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejak timbulnya kerusakan pada kawasan TNGC karena semakin menyebarnya kebun kopi, sebagian masyarakat desa Seda sudah merasakan kesulitan air pada awal musim hujan karena keringnya mata air pada kawasan TNGC bagian atas hasil wawancara dengan perangkat desa Seda 2011. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian LIPI 2006 yang menyatakan bahwa mata air kawasan TNGC sudah berkurang sebesar 36,28 dari 430 titik menjadi 156 titik. Pemahaman reponden terhadap penyebab kerusakan kawasan TNGC yang sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia dan karena adanya penggarapan lahan pertanian dalam kawasan, belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar responden menyatakan tidak setuju 34 pada pernyataan pertama, dan pada pernyataan kedua sebagian besar responden 50 menyatakan tidak setuju. Namun demikian sebagian besar responden telah memahami dan menyatakan setuju 42 dan sangat setuju 14 bahwa keberadaan tumbuhan dan satwa liar dalam kawasan TNGC berguna bagi manusia oleh karena itu harus dilestarikan, didukung oleh pernyataan sebagian besar responden 63 bahwa sebelum menjadi taman nasionalpun menurut mereka perburuan terhadap satwaliar tidak sering terjadi. Dalam hal perlindungan terhadap tumbuhan dan satwaliar dalam kawasan, pada kenyataannya responden cukup memahami, bahkan masyarakat desa Karangsari pernah melaporkan kepada petugas ketika ada macan kumbang yang masuk ke ladang mereka. Demikian juga masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon tidak berusaha membunuh sekawanan babi hutan dan monyet yang sering menjadi hama pada tanaman pertanian mereka. Cara mereka mengatasi hanya dengan mengadakan ronda malam pada ladang masing- masing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arjunan et al. 2005 yang membuktikan bahwa sekelompok masyarakat miskin, apakah menerima manfaat atau tidak, cenderung untuk mendukung konservasi harimau karena mengkonservasi satwa liar tidak berdampak terhadap mata pencahariannya. Baik masyarakat yang mampu atau miskin, hanya memiliki rasa khawatir terhadap konservasi hutan dalam kaitannya dengan ketergantungan mereka terhadap produk-produk hutan. Sebagian besar responden 50 belum memahami mengenai manfaat taman nasional bagi pengembangan wisata, namun 40 responden dapat memahami bahwa udara sejuk dan bersih yang mereka rasakan merupakan salah 1 manfaat adanya hutan TNGC, serta 54 responden memahami bahwa hutan TNGC yang lestari juga dapat mencegah terjadinya erosi dan banjir. Tujuan dibuatnya peraturan perlindungan TNGC agar tidak menyebabkan meluasnya kerusakan kawasan TNGC belum secara baik dipahami masyarakat. Sebagian besar responden 61 menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Demikian juga dengan pernyataan jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera, 80 responden menyatakan ketidaksetujuannya. Pernyataan ketidaksetujuan ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi serta manfaat ekologis dan sosial dari TNGC. Berdasarkan pengalaman masyarakat dalam menggarap kawasan sebelum menjadi taman nasional, keberadaan kawasan hutan selalu dikaitkan dengan manfaat ekonomis yang dapat diperoleh secara langsung melalui kegiatan budidaya tanaman di dalam kawasan hutan. Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat memahami dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut. Meskipun, terlepas dari siapa yang bersalah, fakta di lapangan membuktikan bahwa pengelolaan hutan dengan sistem PHBM pada kawasan lindung Gunung Ciremai selama lebih dari 11 tahun sejak ditetapkan pada tahun 2000, berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 1061KptsDir2000, Perhutani menerapkan program baru pengelolaan hutan yang diberi nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, telah menyisakan kerusakan hutan yang mencapai luas 3.799,27 atau sebesar 42,54. Secara umum responden ternyata kurang memahami fungsi dan manfaat TNGC 53,18, dan hanya 34,64 responden dalam kategori memahami fungsi dan manfaat TNGC, sedangkan 13,08 sisanya ragu-ragu dalam memahami fungsi dan manfaat TNGC. Gambaran persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC secara lengkap disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC Keterangan Notasi : 1. Tujuan dibentuknya taman nasional adalah untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari 2. Keberadaan taman nasional menjamin ketersediaan air yang terus menerus 3. Tumbuhan dan satwa liar yang ada dalam taman nasional berguna bagi umat manusia 4. Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah penggarapan lahan menjadi lahan pertanian 5. Salah satu manfaat taman nasional adalah pengembangan wisata 6. Satwa dan tumbuhan yang berada dalam taman nasional dilindungi 7. Udara sejuk yang dirasakan adalah karena hutan yang lestari 8. Kerusakan yang dialami taman nasional sebagian besar akibat perbuatan manusia 9. Jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera 10. Bertanam sayur di lahan taman nasional tidak akan menyebabkan kerusakan hutan

4.2.3 Sikap Responden terhadap Konservasi TNGC

Sikap attitude dapat dinyatakan melalui perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap suatu bendaobyekkejadian fenomena tertentu Rosenberg 1960. Pernyataan responden terhadap pembentukan taman nasional sebagian besar 61 menyatakan sangat tidak setuju dan tidak setuju, dan hanya 28 responden yang menyatakan sangat setuju dan setuju. Pendapat ini muncul karena setelah menjadi taman nasional, menurut sebagian besar responden 47 mereka tidak mudah lagi dalam memperoleh kayu bakar dan pakan ternak, dan 58 tidak merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional. Dalam menyatakan sikapnya terhadap konservasi TNGC, responden sebagian besar tidak setuju bahwa semua gangguan seperti perburuan satwa, pencurian kayutanaman serta kebakaran hutan banyak terjadi sebelum kawasan menjadi TN, mereka tidak setuju bahwa saat ini hutan di taman nasional mengalami kerusakan yang parah dan semua itu diakibatkan oleh ulah manusia. Makna dari pernyataan sikap responden adalah bahwa meskipun kawasan hutan tidak menjadi TN, semua gangguan dan kerusakan tersebut tidak banyak terjadi. Sebagian besar responden 64 setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas yang pertanian dalam kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya terutama yang tidak memiliki lahan. Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar 80 sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar 50 sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang yang mencuri kayusatwa di kawasan TN. Dalam hal mata pencaharian, ada satu sistim nilai yang dianut masyarakat. Mereka menyatakan bahwa ‘orang yang hidup dekat laut, akan bekerja dan mencari penghasilan di laut, dan orang yang hidup dan tinggal dekat hutan, bekerja dan mencari penghasilan dari hutan”. Kalimat ini mencerminkan ketergantungan yang besar terhadap kawasan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Responden yang mengatakan bahwa kondisi hutan tidak mengalami kerusakan, tidak selalu bermakna bahwa fungsi hutan tersebut masih baik, namun dapat berarti bahwa masyarakat setempat masih dapat menggantungkan kehidupan sosial ekonominya akibat keberadaan hutan. Selama kegiatan tersebut masih dapat berlangsung tanpa hambatan, maka selama itu pula masyarakat akan menganggap kondisi hutan masih baik, terlepas dari seberapa besar penurunan fungsi tersebut dirasakan masyarakat. Masalahnya adalah tidak selalu masyarakat yang menyebabkan menurunnya fungsi hutan tersebut merasakan akibatnya. Seperti kasus di desa Cipulus Majalengka, dimana kondisi hutannya sudah banyak terbuka karena menjadi lahan sayuran kentang hingga ketinggian di atas 1.000 m dpl, masyarakat desa tidak merasakan kekurangan air, tapi justru desa-desa yang berada dibawahnya yang seringkali mengalami kesulitan air, padahal tidak ada 1pun penggarap kawasan TN berasal dari desa yang berada di bawah tersebut. Sikap positif masyarakat ditunjukkan dari respon sebagian besar responden 76 yang merasa senang jika mendapatkan penyuluhan tentang manfaat dan fungsi taman nasional. Demikian juga 61 responden merasa yakin bahwa masyarakat mampu menjaga taman nasional dari gangguan pihak manapun. Hal ini dipertegas dengan sikap 36 responden yang setuju bahwa kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional. Sikap responden terhadap tujuan peraturan pengelolaan taman nasional bagi kelestarian hutan, memberikan respon yang hampir seimbang antara responden yang setuju 42 dan tidak setuju 41. Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat menerima dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut. Hal ini dikarenakan kehadiran petugas TNGC belum mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang taman nasional, yang dibuktikan dengan jawaban responden yang sebagian besar 56 menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai TNGC, serta tidak setuju 43 dan sangat tidak setuju 5 bahwa keberadaan petugas TNGC membantu masyarakat lebih paham taman nasional. Meskipun demikian sebagian besar responden 43 setuju bahwa perlindungan kawasan taman nasional merupakan tanggung jawab petugas dan masyarakat. Namun dalam hal sikapnya jika diminta untuk berpartisipasi terhadap perlindungan kawasan TNGC, 49 responden menyatakan tidak setuju. Artinya bahwa kepedulian responden dalam melindungi kawasan taman nasional merupakan potensi yang dapat dikembangkan melalui peran aktif petugas dalam mensosialisasikan fungsi dan manfaat taman nasional secara lebih komprehensif, tidak hanya sebatas sosialisasi aturan dan larangan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dusun Palutungan desa Cisantana, Januari 2011. Dalam kaitannya dengan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap konservasi TNGC, hasil penelitian Oakley 1991 dalam Daoutopoulos and Pyrovetsy 1999 menemukan bahwa ternyata ada sebuah asumsi umum dari pemerintah yang menyatakan masyarakat desa sama sekali tidak memahami issu yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam dan oleh karena itu tidak dapat dipercayakan terhadap tanggung jawab tersebut. Asumsi ini tentu saja keliru, keterbukaan terhadap berbagai permasalahan lingkungan, termasuk masalah kerusakan yang terjadi di taman nasional, apalagi menyangkut tempat hidup masyarakat desa harus dikomunikasikan secara adil kepada masyarakat. Adil dalam arti, bahwa semua faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan diungkapkan secara terbuka, tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak manapun seperti yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Desa contoh, dan berupaya mencari akar permasalahan dan solusi pemecahan. Pada dasarnya masyarakat dapat diberikan tanggung jawab untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut bersama-sama dengan pihak manapun. Daoutopoulos, G, and Pyrovetsy, M. 1999 telah membuktikan melalui penelitiannya bahwa untuk mencapai kelestarian lingkungan, penting bagi para pembuat keputusan konservasi dan pegawai untuk mendapatkan informasi kepedulian petani terhadap isu-isu lingkungan, mengembangkannya jika perlu, dan menjadikan petani sebagai kunci penting dalam agenda konservasi. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Walgito 2003 bahwa sikap seseorang terhadap obyek sikap, dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang tersebut dengan obyek sikap tersebut. Orang akan bersikap negatif atau positif terhadap obyek sikap atas dasar pengalamannya. Secara umum sikap responden terhadap TNGC dalam kategori kurang mendukung 49,94, kategori mendukung sebesar 36,19 dan 13,88 dalam kategori ragu-ragu untuk menyatakan apakah mendukung atau tidak mendukung terhadap konservasi TNGC. Gambaran pemetaan sikap responden terhadap konservasi TNGC disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Sikap responden terhadap konservasi TNGC Keterangan Notasi : 1. Saya senang kawasan hutan dijadikan taman nasional 2. Saya menjadi mudah memperoleh kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak sejak kawasan hutan menjadi taman nasional 3. Saya merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sebelum kawasan hutan menjadi taman nasional 4. Saya merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional 5. Mengambil kayu atau hasil hutan bukan kayu di dalam hutan tidak akan menimbulkan kerusakan hutan 6. Saya senang kawasan hutan menjadi taman nasional karena satwa liar menjadi terlindungi 7. Pendapatan masyarakat menjadi menurun setelah kawasan hutan menjadi taman nasional 8. Saya senang mendapatkan penyuluhan mengenai fungsi dan manfaat taman nasional 9. Hukuman perlu diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani sayur 10. Perlindungan terhadap taman nasional merupakan kewajiban petugas dan masyarakat 11. Saya yakin masyarakat mampu menjaga agar taman nasional tidak mendapat gangguan dari pihak manapun 12. Peraturan dalam konservasi taman nasional dibuat agar hutan tetap terjaga 13. Saya senang jika diminta partisipasi untuk menjaga dan melindungi taman nasional 14. Pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 15. Keberadaan petugas taman nasional membantu masyarakat lebih paham taman nasional 16. Kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional

4.2.4 Perilaku Responden dalam Konservasi TNGC

Perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan manusia tersebut. Bila manusia itu mempunyai kebutuhan dan ingin memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi ketegangan dalam diri manusia tersebut. Bila manusia berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut Crider 1983 dalam Walgito 2003. Oleh karena itu memahami dorongan atau motif masyarakat dalam berperilaku terhadap konservasi TNGC menjadi penting, selain memahami sikap. Secara umum sikap responden kurang mendukung terhadap konservasi TNGC. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Persentase Responden