Gambar 10 Sikap responden terhadap konservasi TNGC
Keterangan Notasi : 1. Saya senang kawasan hutan dijadikan taman nasional
2. Saya menjadi mudah memperoleh kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak sejak kawasan hutan menjadi taman nasional
3. Saya merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sebelum kawasan hutan menjadi taman nasional
4. Saya merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional 5. Mengambil kayu atau hasil hutan bukan kayu di dalam hutan tidak akan menimbulkan kerusakan hutan
6. Saya senang kawasan hutan menjadi taman nasional karena satwa liar menjadi terlindungi 7. Pendapatan masyarakat menjadi menurun setelah kawasan hutan menjadi taman nasional
8. Saya senang mendapatkan penyuluhan mengenai fungsi dan manfaat taman nasional 9. Hukuman perlu diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani sayur
10. Perlindungan terhadap taman nasional merupakan kewajiban petugas dan masyarakat 11. Saya yakin masyarakat mampu menjaga agar taman nasional tidak mendapat gangguan dari pihak
manapun 12. Peraturan dalam konservasi taman nasional dibuat agar hutan tetap terjaga
13. Saya senang jika diminta partisipasi untuk menjaga dan melindungi taman nasional 14. Pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
15. Keberadaan petugas taman nasional membantu masyarakat lebih paham taman nasional 16. Kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu
manfaat taman nasional
4.2.4 Perilaku Responden dalam Konservasi TNGC
Perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan manusia
tersebut. Bila manusia itu mempunyai kebutuhan dan ingin memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi ketegangan dalam diri manusia tersebut. Bila
manusia berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut Crider 1983 dalam
Walgito 2003. Oleh karena itu memahami dorongan atau motif masyarakat dalam berperilaku terhadap konservasi TNGC menjadi penting, selain memahami
sikap. Secara umum sikap responden kurang mendukung terhadap konservasi
TNGC. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
Persentase Responden
fungsi dan manfaat kawasan taman nasional, meskipun cukup memahami dampak dari kerusakan hutan. Sikap yang kurang mendukung tersebut
berdampak terhadap perilaku masyarakat dalam perlindungan kawasan TNGC. Perilaku responden secara nyata dapat diwujudkan melalui partisipasinya dalam
kegiatan perlindungan kawasan TNGC. Hasil pengamatan di lapangan terhadap perilaku nyata masyarakat, akan dapat memperkuat pernyataan yang
diungkapkan oleh responden melalui kuesioner. Hasil analisis terhadap perilaku responden, diuraikan sebagai berikut;
Hasil penilaian terhadap perilaku responden menunjukkan bahwa sebagian besar 69 responden tidak melakukan kembali penggarapan dalam
kawasan, namun ada 11 responden yang menjawab menggarap kembali. Penggalian lebih mendalam terhadap 11 responden tersebut berhasil
menemukan jawaban, bahwa maksud sesungguhnya dari menggarap kembali menurut responden adalah masih dilakukannya kegiatan memanen kopi dari
dalam kawasan meskipun tidak lagi mengelola, memelihara dan meremajakan kembali tanaman tersebut. Jika yang dimaksud menggarap kembali adalah
memanen kopi dan atau hasil lainnya tanpa memelihara atau memperluas kegiatan budidaya, maka kegiatan ini masih diijinkan oleh pihak Balai TNGC.
Meskipun sikap responden sebagian besar kurang mendukung terhadap keberadaan TNGC, namun langkah hukum yang harus ditempuh jika ada
masyarakat yang melanggar aturan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional, khususnya kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan TNGC membuat
masyarakat takut akan resiko yang harus diterima. Hal tersebut terungkap dari jawaban masyarakat yang merasa takut resiko hukuman penjara jika melanggar
aturan. Perilaku sadar hukum dari masyarakat ini menjadi bagian yang harus dihargai dan didukung melalui pendekatan yang lebih baik tanpa harus menakut-
nakuti, sehingga masyarakat tidak melakukan pelanggaran bukan karena rasa takut, tapi karena kesadaran akan dampak kerusakan yang akan timbul.
Perilaku positif yang ditunjukkan oleh responden meskipun dalam persentase kecil adalah 16 pernah melaporkan pihak-pihak yang melakukan
pencurian kayu dan hasil hutan lainnya kepada petugas Balai TNGC, serta 18 responden ikut berpartisipasi ketika ada gangguan terhadap taman nasional,
seperti kebakaran hutan yang hampir terjadi setiap tahun serta penangkapan terhadap satwa liar yang keluar dari kawasan. Sebagian besar responden 23
pernah ikut menjelaskan arti penting taman nasional kepada masyarakat lain
yang belum paham. Dalam hal partisipasi terhadap kegiatan penanaman pohon di dalam kawasan, sebanyak 58 responden menyatakan tidak pernah
berpartisipasi. Demikian juga dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pengamanan kawasan, sebagian besar responden 62 mengaku tidak pernah
membantu kegiatan patroli. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Konservasi Wilayah
Kuningan, pada saat terjadi kebakaran hutan kawasan TNGC Agustus 2011, masyarakat di sekitar lokasi kebakaran tidak berusaha membantu petugas untuk
memadamkan api. Mereka hanya menyelamatkan ladangnya masing-masing dari rambatan api. Bantuan pemadaman hanya dilakukan oleh beberapa anggota
masyarakat yang tergabung dalam Manggala Agni yang telah terbentuk sebelumnya, dengan fasilitas dan biaya operasional yang sudah dianggarkan
oleh Balai TNGC. Masalah penggarapan lahan dalam kawasan sampai saat ini masih sering
menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat. Harapan masyarakat untuk dapat kembali menggarap lahan di kawasan TNGC selalu disampaikan ketika
mengadakan pertemuan. Pernah terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh bekas penggarap kawasan TNGC dusun Palutungan Desa Cisantana menuntut
adanya kompensasi bantuan bagi mereka yang tidak lagi menggarap di dalam kawasan TNGC Hasil wawancara dengan Petugas TNGC 2011. Salah satu
bentuk demonstrasi tersebut adalah dengan memblokir jalan menuju lokasi ekowisata yang melalui jalan kampung mereka. Sejak tidak lagi menggarap
kawasan TNGC, sumber pendapatan masyarakat desa Cisantana menurun drastis dari rata-rata per bulan Rp. 2.039.858,00 pendapatan dari menggarap
lahan TNGC untuk budidaya sayuran sebesar Rp. 1.324.879,00, ditambah pendapatan dari usaha lain sebesar Rp. 714.979,00, menjadi hanya Rp.
714.979,00 atau mengalami penurunan sebesar 65. Sulit bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya ketika pendapatan yang tersisa
hanya 35, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan dan hanya mengandalkan garapan dari kawasan TNGC. Pendekatan persuasif yang telah
dilakukan oleh pihak Balai TNGC adalah dengan memberikan bantuan berupa ternak domba sebanyak 26 ekor betina dan dua ekor jantan kepada masyarakat
yang diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki lahan, serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Meskipun penambahan pendapatan dari
kegiatan ekowisata ini lebih kecil dari pendapatan pada saat menggarap di
kawasan, namun manfaat keberadaan TNGC dapat tetap dirasakan, sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap manfaat TNGC. Pada
dasarnya motif yang mendasari sikap dan perilaku masyarakat dusun Palutungan adalah kebutuhan yang masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan fisiologis yang
berupa pangan, sandang dan papan. Menurut Siagian 2004 banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku negatif, selain karateristik individu
seperti usia, status perkawinan, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, juga latar belakang sosial, kepribadian, nilai-nilai yang dianut, persepsi mengenai
kehidupan dalam lingkungannya dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahaminya adalah dengan
menganalisis kebutuhan manusia yang beranekaragam. Haeruman 1982 dan Sugandhy 1995 berpendapat bahwa sikap yang
baik ternyata belum cukup untuk mempengaruhi perilaku atau menjadi motivasi yang dapat melahirkan tindakan nyata dalam usaha perbaikan lingkungan.
Meskipun sikap masyarakat tentang pentingnya memelihara lingkungan semakin meningkat, namun sikap untuk berbuat sesuatu untuk mencegah perusakan
lingkungan masih merupakan kelemahan utama. Jika dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka pernyataan tersebut patut menjadi perhatian, jika sikap yang
baik saja belum tentu melahirkan tindakan nyata yang sadar lingkungan, apalagi sikap yang kurang mendukung, tindakan nyata dari masyarakat yang diharapkan
terhadap konservasi TNGC tentu masih jauh dari harapan. Namun potensi masyarakat untuk dapat ditingkatkan mengenai pemahaman, sikap positif dan
partisipasinya terhadap konservasi TNGC sangat dimungkinkan, karena masyarakat daerah penyangga wilayah Kabupaten Kuningan adalah masyarakat
yang agamis dan menjunjung tinggi norma agama dan sosial. Secara umum perilaku responden dalam kategori kurang berpartisipasi
47,67, dalam kategori berpartisipasi dalam perlindungan TNGC 34,83, dan selebihnya 17,5 tidak menunjukkan kedua perilaku tersebut. Gambaran
pemetaan partisipasi responden dalam perlindungan kawasan TNGC secara lengkap disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Perilaku responden dalam konservasi TNGC
Keterangan Notasi : 1. Melakukan kembali penggarapan lahan pertanian di kawasan taman nasional
2. Membantu petugas melaporkan pihak-pihak yang melakukan pencurian kayu atau hasil hutan lainnya 3. Ikut membantu petugas dalam kegiatan pemadaman kebakaran dan penangkapan satwa liar yang keluar
4. Berpartisipasi dalam kegiatan gerhan di dalam kawasan TNGC 5. Membantu menjelaskan arti penting taman nasional kepada masyarakat lain yang belum paham
6. Ikut membantu melakukan patroli pengamanan terhadap kawasan taman nasional
Berdasarkan analisis sikap dan perilaku responden terhadap konservasi TNGC, dapat disimpulkan bahwa secara umum masyarakat cukup memahami
bahwa kerusakan terhadap kawasan TNGC dapat memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan yang ada di dalam dan di luar kawasan
hutan, namun responden sebagian besar kurang memahami mengenai fungsi dan manfaat kawasan TNGC. Pemahaman terhadap manfaat tidak langsung dari
kawasan penting untuk selalu dikomunikasikan kepada masyarakat, karena telah dipersepsikan secara keliru oleh responden. Pemahaman yang kurang terhadap
arti penting kawasan ternyata menumbuhkan sikap yang kurang mendukung terhadap konservasi TNGC. Hal ini ternyata sangat berdampak terhadap perilaku
responden yang kurang berpartisipasi terhadap perlindungan kawasan TNGC, atau responden akan berpartisipasi jika ada kompensasi berupa upah kerja.
Beberapa anggota masyarakat sudah terbiasa untuk menerima upah dalam melakukan kegiatan restorasi dari Balai TNGC, kegiatan rehabilitasi dari
Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, serta kegiatan patroli yang dilakukan Balai TNGC. Kegiatan yang bersifat keproyekan seringkali membuat masyarakat
menjadi kurang mandiri, karena sebagian besar mereka berpartisipasi jika ada imbalan. Hal ini mendukung pernyataan De Janvry dan Sadoulet
2001 berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pola-pola deforestrasi di Mexico,
Persentase Responden
menemukan bahwa konservasi hutan justru berhasil sebagian besar pada masyarakat tanpa proyek kehutanan komersil.
4.3 Analisis Permasalahan Konservasi TNGC
Usaha melestarikan lingkungan seringkali menjadi masalah dalam pembangunan karena terjadi konflik kepentingan antara kepentingan sosial
ekonomi dengan manfaat ekologi. Demikian juga yang terjadi dalam upaya konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC. Ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya pada kawasan TNGC telah menimbulkan berbagai kerusakan pada kawasan. Oleh karena itu berdasarkan kondisi potensi
TNGC dan daerah penyangga, kondisi sosial ekonomi dan sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC serta peran stakeholder, maka dapat dianalisis
mengenai seberapa jauh permasalahan yang terjadi dalam upaya konservasi TNGC, yang dapat diuraikan sebagai berikut;
4.3.1 Kondisi Kerusakan TNGC
Kerusakan hutan pada TNGC sudah sangat mengkhawatirkan. Penggarapan lahan oleh masyarakat sejak masih berfungsi sebagai kawasan
hutan produksi, kemudian menjadi hutan lindung gunung ciremai hingga menjadi kawasan taman nasional yang sudah berlangsung hampir 10 tahun 2001 sampai
2011, telah menyisakan berbagai kerusakan pada kawasan. Kerusakan tersebut berupa berkurangnya luas penutupan hutan sejak awal ditetapkan menjadi taman
nasional pada tahun 2004 yaitu seluas kurang lebih 15.500 ha. Sugandhy 1999 menyatakan bahwa kerusakan hutan dapat diindikasikan secara kuantitatif
dengan penyusutan luas kawasan hutan. Kondisi Penutupan Hutan TNGC pada tahun 1996, 2000, 2003, 2006, berdasarkan penafsiran citra landsat dapat dilihat
pada Tabel 32. Tabel 32 Kondisi luas penutupan lahan kawasan TNGC
No Peta
tahun Hutan
lahan kering
primer ha Hutan
lahan kering
sekunder ha
Hutan tanaman
industri Pertanian
lahan kering
ha Pertanian
lahan kering+
semak Sawah
ha Semak
belukar+ tanah
terbuka ha
Pemu- kiman
ha 1
1996 6.820,68
t a d t a d
8679,32 t a d
t a d t a d
t a d 2
2000 t a d
11.719,83 1.35,85
1.205,61 1.305,49
977,27 t a d
t a d 3
2003 1.370,79
3.501,15 3.422,92
1.098,39 1.870,45
232,88 2.153,41
43,40 4
2006 1.343,23
3.647,37 6.762,82
1.131,14 1.886,77
245,78 435,44
47,47 Sumber: Data diolah berdasarkan hasil interpretasi citra landsat Badan Planologi Kehutanan
Keterangan: t a d = tidak ada data yang dapat diinterpretasikan
Tabel 32 memperlihatkan pengurangan luas hutan primer dari sekitar 44 dari luas 15.500 ha pada tahun 1996, menjadi sekitar 8,67 pada tahun
2006. Peningkatan luas hutan tanaman industri meningkat sebesar 0,88 tahun 2000 menjadi 43,63 tahun 2006. Hutan tanaman industri dalam interpretasi
peta ini yaitu tutupan pohon yang relatif seragam jenis maupun umur. Jenis pohon yang ditanam oleh Perhutani pada wilayah ini adalah pinus. Luas
pertanian lahan kering meningkat dari 16,20 200 menjadi 19,47 2006. Ini berarti luas penutupan hutan menjadi semakin berkurang. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun 1996-2006 luas penutupan hutan primer, sekunder, hutan tanaman mengalami fluktuasi berturut-turut 44,
76,49, 53,52 dan 75,83. Sementara luas lahan non hutan pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, tanah kosong dan pemukiman berturut-turut
56, 22,51, meskipun mengalami fuktuasi, namun tetap memiliki persentase yang cukup besar. Padahal sejak tahun 2004 kawasan ini telah berubah menjadi
taman nasional, aktifitas pertanian dalam kawasan seharusnya sudah tidak ada. Secara umum pengurangan luas penutupan hutan terjadi pada seluruh kawasan
TNGC. Sebagai gambaran adanya penurunan luas penutupan hutan pada tahun 1996 dan 2006 dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Luas hutan primer wilayah TNGC pada tahun 1996 dan tahun 2006 Gambar 12 memperlihatkan warna hijau tua pada peta sebelah kanan
tahun 2006 menunjukkan hutan primer yang mengalami penyusutan sekitar 35,33 dibanding tahun 1996 pada peta sebelah kiri.
Sementara itu luas penutupan hutan TNGC wilayah Kabupaten Kuningan hanya merupakan perkiraan melalui penafsiran citra landsat untuk wilayah
Kabupaten Kuningan, karena dalam pemecahan citra landsat, yang paling kecil adalah dalam wilayah provinsi.
Luas penutupan hutan TNGC wilayah Kabupaten Kuningan pada saat penetapan adalah seluas 8.931,27 ha
.
Berdasarkan citra landsat tahun 2009, luas penutupan hutan kawasan TNGC adalah 4.422 ha, atau sekitar 54,14 dan
selebihnya adalah berbentuk kebun campuran, sawah, semak, tanah kosong dan ladang yang mencapai luas 26,86. Data pada Balai TNGC pada tahun 2010,
menunjukan luas penutupan hutan adalah sekitar 5.132,00 ha, artinya telah terjadi kerusakan pada kawasan hutan TNGC seluas 3.799,27 atau sebesar
42,54. Gambar 10 memperlihatkan kondisi penutupan lahan pada kawasan TNGC tahun 2009. Warna hijau tua menunjukkan hutan alam, hijau muda
adalah hutan lahan kering, coklat muda adalah ladang dan abu-abu merupakan kebun campuran.
Gambar 13 Peta penutupan hutan TNGC berdasarkan citra landsat tahun 2009 Penggarapan lahan menjadi ladang pertanian ini telah mencapai
ketinggian 1.800 meter dpl. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak
mungkin dalam beberapa tahun kedepan, luas hutan alam akan semakin habis. Akibat yang paling terasa adalah telah berkurangnya sumber mata air dari dari
430 titik menjadi 156 titik LIPI, 2006, padahal ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting bagi usaha pertanian masyarakat yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani. Faktor lain yang menyebabkan kerusakan pada kawasan TNGC adalah
kebakaran hutan dalam kawasan TNGC, biasanya terjadi pada saat musim kemarau, antara bulan Juni hingga Oktober. Kebakaran hutan kawasan TNGC
terjadi mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 dengan masing-masing luasan kebakaran yaitu 2.200 ha, 415 ha, 474 ha dan 710 ha. Data terakhir kebakaran
hutan pada bulan Februari 2012 adalah sekitar 427 ha. Hal ini disebabkan oleh kurangnyaterbatasnya dukungan sistem pengendalian kebakaran, personel,
sarana dan prasarana yang memadai serta pemahaman masyarakat akan pentingnya kelestarian kawasan konservasi TNGC. Demikian juga dengan
pencurian kayu yang masih ditemukan di beberapa tempat. Perburuan satwa liar terjadi di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC
yang mengakibatkan belum terjaminnya kelestarian satwa liar. Salah satu sebab terjadinya perburuan liar adalah adanya gangguan terhadap lahan milik
masyarakat oleh beberapa satwa liar seperti babi hutan akibat kondisi habitat di dalam kawasan TNGC yang mengalami gangguan.
Identifikasi terhadap peta daerah penyangga TNGC pada Bab Metode Penelitian menunjukkan daerah berwarna merah merupakan zona inti TNGC,
kuning merupakan zona rimba, biru merupakan zona rehabilitasi, zona pemanfaatan digambarkan dengan warna hijau, serta wilayah berwarna merah
muda yang mengelilingi kawasan TNGC merupakan daerah penyangga TNGC yang merupakan wilayah administratif desa yang berjumlah 45 desa. Dari peta
tersebut terlihat bahwa hampir separuh luas kawasan TNGC adalah areal yang harus direhabilitasi yaitu sekitar 4.487,95 ha rencana rehabilitasi pada kawasan
TNGC 2012. Zona ini sebagian besar adalah areal bekas penggarapan lahan oleh masyarakat. Luasan ini bermakna kerusakan yang sudah sedemikian parah,
dan harus mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Permasalahan lain yang dihadapi dalam upaya konservasi TNGC adalah
pada wilayah Kabupaten Kuningan rekontruksi pal batas baru akan dilaksanakan oleh BPKH pada tahun 2012, tetapi berdasarkan kegiatan investigasi dan patroli
rutin oleh pihak Balai TNGC, di beberapa kawasan TNGC telah terjadi
pemindahan pal batas dan juga kepemilikan lahan oleh pemerintah desa yang telah disertifikatkan oleh Badan Pertanahan Nasional BPN. Pada wilayah
Majalengka, rekonstruksi pal batas di SPTN Wilayah II Majalengka sudah dilakukan oleh BPKH sepanjang 94.747 m dengan jumlah pal batas sebanyak
1.615 buah pada tahun 2006. Namun kepastian hukum tentang batas kawasan TNGC di SPTN Wilayah II Majalengka berdasarkan hasil kegiatan patroli tata
batas yang dilaksanakan belum clear and clean karena ada 17 tujuh belas pal batas yang belum terpasang akibat terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan
antara Balai TNGC dengan masyarakat. Penataan batas kawasan TNGC yang belum secara keseluruhan dilaksanakan berdampak terhadap proses penataan
zonasi yang merupakan acuan dalam pengelolaan kawasan TNGC. Pada saat ini pengelolaan TNGC berjalan berdasarkan pada peta zonasi indikatif. Hal ini
berpengaruh terhadap pengelolaan yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
4.3.2 Kondisi Pengelolaan Daerah Penyangga TNGC
Sebelum menganalisis mengenai kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di daerah penyangga TNGC, maka perlu terlebih dahulu diketahui
bagaimana kondisi daerah penyangga TNGC sejak ditetapkannya kawasan hutan Gunung Ciremai yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi
taman nasional. Informasi ini penting sebagai dasar dalam menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat dan peran stakeholders yang terlibat dalam proses
pengembangan daerah penyangga. Hal ini berkaitan dengan kebijakan peruntukan pemanfaatan ruang bagi berbagai kegiatan pembangunan yang akan
dilakukan oleh stakeholder dan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sampai saat ini pengelolaan
Daerah penyangga TNGC masih dalam tahap pembahasan di tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW
Kabupaten belum secara jelas disebutkan dan ditetapkan mengenai daerah penyangga TNGC, hanya ada penentuan tiga kawasan strategis yaitu kawasan
strategis yang berkaitan dengan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, kawasan strategis yang memiliki kepentingan sosial ekonomi dan kawasan
strategis bidang pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi Bappeda Kabupaten Kuningan 2010.
Belum adanya kekuatan hukum
penetapan daerah penyangga
menyebabkan lemahnya legitimasi pengakuan daerah penyangga oleh stakeholder. Demikian pula organisasi pengelolaan daerah penyangga TNGC
seperti yang diatur dalam Surat Edaran Mendagri No. 660.1269VBangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga, sampai saat ini belum
terbentuk. Program-program yang dilaksanakan oleh stakeholder pada daerah penyangga bersifat sektoral. Pemerintah daerah kabupaten, melalui dinas-dinas
teknis terkait belum secara khusus merancang dan melaksanakan program pengembangan daerah penyangga TNGC, sehingga tidak ada perbedaan
perlakuan antara masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TNGC dan masyarakat yang tinggal di luar daerah penyangga TNGC. Demikian pula
stakeholder lain seperti dunia usaha dan LSM belum menunjukkan peranannya yang signifikan dalam pengembangan daerah penyangga TNGC. Program dan
kegiatan yang dilaksanakan oleh stakeholder di daerah penyangga belum bersinergi sehingga kurang memberikan manfaat bagi peningkatan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Beberapa faktor yang menjadi penyebab belum efektifnya implementasi
kebijakan di bidang pengelolaan daerah penyangga taman nasional adalah : 1
Belum adanya Keputusan Menteri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari PP, seperti dimaksud PP No. 28 tahun 2011 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 2
Instruksi dan Surat Edaran Mendagri No. 660.1269VBangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga, belum ditindaklanjuti dengan
penyusunan peraturan terkait di tingkat daerah. 3
Kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap pentingnya pengelolaan daerah penyangga taman nasional, hal ini diindikasikan
dengan kurangnya program pemerintah serta kurangnya kontinyuitas dari program yang diimplementasikan oleh stakeholder pada masyarakat
daerah penyangga. 4
Lemahnya koordinasi antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan daerah penyangga. Pemberian program
yang overlap menjadi salah satu indikator kurangnya koordinasi.
4.3.3 Permasalahan Sosial Ekonomi dan Sikap Masyarakat
Setelah Balai TNGC melakukan penertiban terhadap masyarakat yang menggarap lahan dalam kawasan konservasi pada tahun 2009 yang
mendapatkan dukungan dari Bupati Kuningan melalui Instruksi Bupati Kuningan Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penertiban Penggunaan Kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai TNGC sebagai Lahan Pertanian dan Perkebunan, maka sekitar 2.331 orang penggarap 1.654 KK pada bulan November 2010 telah
menghentikan aktifitasnya dari kawasan TNGC tanpa menimbulkan gejolak yang besar di lapangan seperti yang biasa terjadi di lokasi lain. Jumlah bekas
penggarap kawasan TNGC pada masing-masing desa di daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan disajikan pada lampiran 1.
Penurunan penggarap ini membawa konsekuensi hilangnya mata
pencaharian masyarakat dari hasil menggarap lahan dalam kawasan TNGC yang rata-rata telah lebih dari sepuluh tahun menghidupi masyarakat. Untuk
selanjutnya, aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan mata pencaharian, pada kasus Desa contoh, yaitu; 1 bagi masyarakat yang memiliki lahan, dan
sebelumnya tidak menggarap lahan miliknya, maka aktifitas pertanian beralih pada lahan milik. Jika lahan miliknya termasuk kategori sempit dibawah 0,250
ha maka untuk mencukupi kebutuhan masyarakat mencari alternatif pekerjaan lain, yaitu sebagai buruh tani atau pedagang pengepul bandar dan migrasi ke
Jakarta, Cirebon, dan kota lainnya 2 masyarakat yang tidak memiliki lahan, alternatif pekerjaan lain adalah menyewa lahan bagi yang memiliki modal atau
menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil, menjadi buruh tani, dan migrasi keluar daerah, 3 bagi masyarakat yang memiliki lahan cukup luas diatas
0,50 ha maka akan menggarap lahannya lebih intensif, yang selama ini tidak digarap atau disewakan, 4 bagi masyarakat yang sebelumnya telah bekerja di
ekowisata sambil menggarap lahan dalam kawasan TNGC, setelah penggarapan lahan dalam kawasan ditinggalkan, maka mereka lebih fokus bekerja di
ekowisata, sebagai pengelola dan atau membuka usaha warung makanan. Beberapa masyarakat bekas penggarap mendapat kesempatan bekerja di
ekowisata yaitu sebagai pengelola penitipan kendaraan, pedagang dan usaha . lainnya, namun jumlahnya hanya sekitar lima persen dari sekitar 693 orang
bekas penggarap yang berasal dari Desa contoh, seperti tersaji pada Tabel 33.
Tabel 33 Jumlah masyarakat bekas penggarap kawasan TNGC pada Desa contoh
No Desa
Jumlah penggarap Orang KK
Persentase 1
Karangsari 50
45 7,22
2 Cisantana
260 189
37,52 3
Pajambon 20
15 2,89
4 Maniskidul
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada 5
Seda 363
204 52,38
Jumlah 693
453 Sumber: Balai TNGC 2010
Jumlah yang mendapat kesempatan kerja ini tidak sebanding dengan sekitar 658 orang yang harus berjuang untuk mendapatkan kembali mata
pencaharian lain, terutama bagi Desa Seda dan Desa Cisantana yang memiliki jumlah bekas penggarap terbanyak. Belum lagi jumlah angkatan kerja di Desa
contoh yang terus bertambah, menjadi pesaing dalam mengisi peluang kerja yang tersedia. Kekhawatirannya adalah, masyarakat kembali menggarap lahan
kawasan TNGC, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk melakukan aktifitas budidaya tanaman pada lahan TNGC karena adanya tekanan
pemenuhan kebutuhan hidup. Apalagi berdasarkan hasil analisis sikap konservasi, responden cenderung ingin kembali menggarap kawasan TNGC
karena kesulitan mendapat alternatif pekerjaan lain. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat menurut Maslow adalah dimulai
dari kebutuhan fisiologis yang berupa pangan, sandang dan papan. Sebagai kasus, sejak tidak lagi menggarap kawasan TNGC, sumber pendapatan
masyarakat desa Cisantana menurun drastis dari rata-rata per bulan Rp 2.039.858,00 pendapatan dari menggarap lahan TNGC sebesar Rp
1.324.879,00, ditambah pendapatan dari usaha lain sebesar Rp 714.979,00, menjadi hanya Rp 714.979,00 atau mengalami penurunan sebesar 65. Sulit
bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup ketika pendapatan yang tersisa hanya 35, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan
dan hanya mengandalkan garapan dari kawasan TNGC. Pada saat ini rata-rata pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor
ekowisata adalah sebesar Rp 6.955.014 per tahun atau sekitar Rp 579.584 per bulan, dan merupakan 41 dari total pendapatan rata-rata per KK per bulan
sebesar Rp 1.410.550. Pengeluaran masyarakat rata-rata per kapita per bulan untuk biaya hidup adalah sebesar Rp 302.742,27, untuk biaya pendidikan
sebesar Rp 20.615,77 serta biaya kesehatan sebesar Rp 6.130,65, dengan total
pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26 per bulan, sedangkan untuk
kesehatan sekitar 1,96. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah
setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke
SLTP terdekat karena harus menggunakan ojek, responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga
jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah
mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan.
Rata-rata pendapatan responden masyarakat di tiga Desa contoh yang bekerja di agroforestri per kapita per bulan, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini
lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten UMK sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau
sebesar 56,29 dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71 diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri,
berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Dari hasil perhitungan, diperoleh rata- rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal
pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola makan keluarga, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
lebih tinggi dari SLTP serta pengobatan yang sederhana jika menderita sakit. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional,
dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja
manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka
anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen.
Hasil penelitian terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden
masyarakat masih rendah dibawah UMK Rp 700.000 per bulan. Sehingga