lingkungan desa. Semakin banyak pelatihan yang diselenggarakan oleh stakeholder,
maka diharapkan semakin meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat mengenai bidang ekowisata, yang akan menambah
motivasi dan minat masyarakat dalam membuka lapangan usaha baru. Saat ini frekuensi pelatihan bidang ekowisata yang telah dilaksanakan
oleh stakeholder rata-rata satu kali dalam setahun, seperti pelatihan teknik interpretasi wisata bagi masyarakat yang diselenggarakan oleh Balai TNGC dan
pelatihan ketrampilan pembuatan souvenir oleh Balai TNGC bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi, hasil penelusuran RPJMRenstra Balai
TNGC, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Berdasarkan hasil observasi terhadap masyarakat yang pernah
mendapatkan pelatihan, tanpa adanya pembinaan lebih lanjut, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh tidak terlihat dampaknya, karena tidak diterapkan
oleh masyarakat. Padahal biaya yang sudah dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan cukup besar.
Berdasarkan hasil wawancara, pembinaan yang dibutuhkan oleh responden adalah pembinaan minat dan motivasi, informasi permodalan,
informasi strategi pemasaran, informasi promosi bagi yang sudah dilatih menjadi pemandu wisata, dan pembinaan dalam kaitannya dengan persaingan usaha.
Pembinaan yang intensif dan berkualitas akan dapat meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam membuka usaha baru di bidang ekowisata, dan
selanjutnya akan dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat. Pada saat ini frekuensi pembinaan terhadap masyarakat yang berusaha di bidang
ekowisata masih terbatas, yaitu rata-rata satu kali per tahun. 3 Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan
Faktor ketiga adalah jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program kegiatan ekowisata. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh stakeholder
menjadi pembatas jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan dalam program pelatihan atau pembinaan. Dalam setiap kali pelatihan biasanya hanya
mengikutsertakan masyarakat sekitar 20 hingga 50 orang. Bahkan jika penyelenggaraan pelatihan oleh stakeholder mencakup wilayah yang luas, maka
dari satu desa hanya mengikutsertakan perwakilan dua hingga lima orang. Peningkatan kesempatan kerja masyarakat karena adanya peningkatan
fasilitas jenis usaha produk ekowisata yang diminati oleh pengunjung,
peningkatan jumlah programkegiatan per tahun serta peningkatan jumlah masyarakat yang dilibatkan, dapat dilihat pada Tabel 51.
Tabel 51 Peningkatan jumlah ekowisatawan karena adanya peningkatan fasilitas, jumlah programkegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan
Pengembangan Indikator
Tingkat Rata-rata
peningkatan jumlah
pengunjung Kualitas fasilitas
ekowisata Kurang baik
Cukup baik Sangat baik
1 2
3 5
10 20
Jumlah Programkegiatan
Jumlah program 1 x per tahun Jumlah program 2 x per tahun
Jumlah program 3 x pertahun 1
2 3
5 10
20 Jumlah masyarakat
Yang dilibatkan 20 - 50 orang
2 kali lipat dari kondisi saat ini 3 kali lipat dari kondisi saat ini
1 2
3 5
10 20
Keterangan = kondisi saat ini
Uraian dari masing-masing variabel kunci pada peningkatan produksi agroforestri dan pengaruhnya terhadap peningkatan kesempatan kerja dan
pendapatan masyarakat dapat dijabarkan sebagai berikut : 1 Frekuensi penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk peran stakeholder yang diinginkan oleh masyarakat petani agroforestri dalam upaya peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden stakeholder BP4K, saat ini
satu orang penyuluh pertanian membawahi wilayah satu sampai dua desa, sedangkan satu orang penyuluh kehutanan membawahi wilayah satu sampai
dua kecamatan. Hadirnya penyuluh di desa secara rutin dan teratur akan sangat membantu petani dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam budidaya
tanaman, dan akan berdampak secara langsung dalam peningkatan produksi. 2 Jumlah kelompok pendampingan
Keberadaan LSM Kanopi dalam kegiatan pendampingan kelompok masyarakat cukup efektif. Peran pendamping sebagai fasilitator dan mediator
banyak membantu petani dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam melakukan aktifitasnya, termasuk kegiatan agroforestri. Pada
saat ini pendampingan oleh LSM Kanopi di desa Pajambon berjumlah satu kelompok masyarakat yang berjumlah 20 orang.
3 Jumlah programkegiatan yang mendukung agroforestri per tahun Jumlah programkegiatan per tahun yang diimplementasikan oleh
stakeholder dalam mendukung pengembangan program agroforestri cukup berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Sejak tahun 2009, melalui Rencana
Pembangunan Jangka Menengah RPJMRenstra dapat diketahui bahwa terdapat minimal satu kali programkegiatan per tahun yang berkaitan dengan
kegiatan agroforestri. Sebagai contoh, pada tahun 2010 Dinas Kehutanan Propinsi melakukan demplot agroforestri di desa Karangsari, dengan jenis
tanaman buah-buahan pada lahan seluas 25 ha. Dengan adanya perluasan lahan untuk agroforestri dan perbanyakan tanaman, maka akan dapat
meningkatkan produksinya. 4 Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program
Semakin banyak masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan pada poin tiga di atas, maka semakin besar pula peningkatan produksinya.
Bertambahnya masyarakat yang dilibatkan dalam programkegiatan apakah dalam bentuk pelatihan atau bantuan langsung yang mendukung pengembangan
agroforestri akan berpengaruh terhadap produksinya. Peningkatan ini dilakukan dengan memperluas lahan yang diusahakan ekstensifikasi dan atau
mengintensifkan pengelolaan lahan agroforestri intensifikasi. Berdasarkan hasil FGD stakeholder dan responden petani agroforestri,
besarnya pengaruh frekuensi penyuluhan, pendampingan, jumlah kegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan terhadap peningkatan produksi agroforestri
disajikan dalam Tabel 52.
Tabel 52 Peningkatan produksi agroforestri karena adanya peningkatan frekuensi penyuluhan, pendampingan, jumlah programkegiatan
dan jumlah masyarakat yang dilibatkan
Pengembangan Indikator
Tingkat Rata-rata
peningkatan produksi
Penyuluhan Frekuensi 5 bulan 1 kali
Frekuensi 4 bulan 1 x Frekuensi 2 bulan 1
1 2
3 5
10 20
Pendampingan 1 kelompok 20 orang
2 kelompok 40 orang 3 kelompok 60 orang
1 2
3 10
20 30
Jumlah programkegiatan
Jumlah program 1 x per tahun Jumlah program 2 x per tahun
Jumlah program 3 x pertahun 1
2 3
5 10
20 Jumlah masyarakat
yang dilibatkan 20 - 50 orang
2 kali lipat dari kondisi saat ini 3 kali lipat dari kondisi saat ini
1 2
3 5
10 20
Iklim, hama dan penyakit tanaman
30 20
10 1
2 3
Keterangan = kondisi sekarang
c Sub Model Kelestarian TNGC Kelestarian kawasan hutan TNGC ditunjukkan dengan adanya
penambahan luas hutan TNGC karena adanya kegiatan restorasi kawasan dan pengurangan kerusakan hutan. Restorasi ini berasal dari kegiatan Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Gerhan, yang dilakukan oleh Balai TNGC dan instansi lainnya melalui program Corporate Social Responsibility CSR.
Penambahan luas hutan ini akan terus meningkat jika tidak ada gangguan dari masyarakat seperti perambahan, serta pengurangan akibat adanya kebakaran
hutan. Gangguan dalam kawasan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Struktur model dinamik sub model kelestarian TNGC dan
persamaannya disajikan pada Lampiran 6.
4.5.3 Persamaan dalam Model
Beberapa persamaan yang digunakan dalam perhitungan model secara garis besar yaitu;
1. Pengembangan daerah penyangga = f ekowisata, agroforestri 2. Kesempatan kerja dan pendapatan ekowisata = f pengunjung, usaha sektor
ekowisata 3. Kesempatan kerja dan pendapatan agroforestri = f produksi tanaman
pertanian, produksi tanaman kehutanan
4. Gangguan hutan = f perambahan, kebakaran hutan 5. Kelestarian TNGC luas penutupan hutan = f restorasi, gangguan hutan
4.5.4 Simulasi Model
Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponen-
komponen dari suatu perlakuan pada berbagai komponen. Simulasi dapat berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak
menggunakan waktu, tenaga dan biaya Suratmo 2002. Berdasarkan kondisi saat inieksisting Bussines as usual dari masing-
masing variabel kunci, dapat dibangun simulasi model pengembangan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat melalui ekowisata dan
agroforestri, serta kelestarian TNGC seperti disajikan berikut ini. a Simulasi Sesuai Kondisi Saat IniEksisting Bussiness as usual
Simulasi model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC ditujukan untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan
kelestarian TNGC dapat dicapai melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dari ekowisata dan agroforestri pada kondisi saat ini. Simulasi
dilakukan pada sepuluh tahun yang akan datang sesuai kondisi saat ini dari masing-masing variabel kunci.
Simulasi model kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat pada ekowisata dan agroforestri serta penutupan hutan TNGC dapat dilihat pada
Gambar 36, 37, 38.
Gambar 36 Simulasi model kesempatan kerja sesuai kondisi saat ini.
Gambar 37 Simulasi model pendapatan sesuai kondisi saat ini.
Gambar 38 Simulasi model penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini. Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi luas penutupan hutan
TNGC, kesempatan kerja dan pendapatan pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 53.
Tabel 53 Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini
Tahun Serapan
tenaga kerja
ekowisata Orang
Serapan tenaga
kerja agroforestri
Orang Pendapatan
perkapita ekowisata
Rpbulan Pendapatan
perkapita agroforestri
Rpbulan Luas
penutupan hutan TNGC
Ha 2009
204 93
241.667 392.409
5.132 2010
247 95
273.944 405.902
4.927 2011
276 97
301.093 401.232
4.730 2012
310 100
313.540 398.233
4.636 2013
350 102
325.891 396.785
4.543 2014
385 105
338.123 396.778
4.452 2015
401 109
349.261 398.106
4.569 2016
419 113
358.767 400.669
4.674 2017
437 118
368.484 404.375
4.864 2018
458 122
378.398 409.139
5.049 2019
481 129
388.496 414.881
5.231
Gambar 36 memperlihatkan bahwa serapan tenaga kerja pada ekowisata lebih tinggi dibandingkan agroforestri, karena bidang usaha yang dapat
diupayakan masyarakat pada ekowisata relatif lebih banyak 13 jenis usaha berdasarkan hasil analisis supply demand. Peningkatan kedatangan
ekowisatawan TNGC yang signifikan, merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap meningkatnya serapan tenaga kerja di ekowisata.
Tabel 53 memperlihatkan bahwa apabila tidak ada perubahan variabel kunci pada kegiatan ekowisata dan agroforestri, maka jumlah masyarakat yang
mendapat kesempatan bekerja pada ekowisata sebanyak 204 orang pada tahun 2009 menjadi 481 orang pada tahun 2019 dan pendapatan total per kapita per
bulan masyarakat dari ekowisata meningkat dari Rp. 241.666,67 menjadi Rp 388.496,01, dan pendapatan dari agroforestri meningkat dari Rp. 392.409,13
menjadi Rp. 414.880,97. Secara keseluruhan pendapatan total per kapita per bulan dari ekowisata dan agroforestri mencapai Rp. 317.037,90 pada tahun
2009 menjadi Rp. 456.150,99 pada tahun 2019. Melalui peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan tersebut,
peningkatan yang terjadi pada luas penutupan hutan TNGC yaitu dari 5.132 ha pada tahun 2009 menjadi 5.231 ha pada tahun 2019. Luas penutupan hutan
TNGC pada tahun kesepuluh ini masih cukup jauh untuk mencapai luas penutupan hutan TNGC pada awal penetapan yaitu seluas 8.931,27 ha untuk
wilayah Kabupaten Kuningan. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila tidak ada
perubahan pada variabel kunci sampai sepuluh tahun yang akan datang, maka tidak akan terjadi peningkatan secara signifikan bagi kesempatan kerja dan
pendapatan masyarakat, serta luas penutupan hutan TNGC. Hal ini terlihat dari tenaga kerja yang terserap dalam kurun waktu sepuluh tahun di sektor ekowisata
meningkat sebesar 135,78 dan agroforestri meningkat sebesar 38,27. Pendapatan masyarakat dari ekowisata meningkat sebesar 60,76, dan dari
agroforestri meningkat hanya sebesar 5,73, sehingga rata-rata peningkatan pendapatan dari ekowisata dn agroforestri meningkat sebesar 26,70.
Peningkatan luas hutan TNGC dalam sepuluh tahun yang akan datang hanya sebesar 1,92. Diperlukan peningkatan seluar 3.700,27 ha 73,08 agar luas
hutan TNGC mencapai luas hutan pada awal penetapan yaitu 8.931,27 ha. Berdasarkan kenyataan tersebut, perubahan terhadap variabel kunci harus
dilakukan melalui peningkatan peran stakeholders. Jika tidak dilakukan
intervensi, maka peningkatan tersebut bergerak dalam waktu yang cukup lama dan dengan persentase peningkatan yang kurang signifikan. Pengembangan
ekowisata dan agroforestri melalui peningkatan peran stakeholders diperlukan untuk mempercepat proses peningkatan ketiga variabel tersebut bagi tercapainya
kelestarian TNGC. b Simulasi dengan Skenario Model
Skenario model dilakukan sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat melalui pengembangan
ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Skenario yang dibangun terdiri dari : 1 skenario moderat dan 2 skenario optimis.
Skenario moderat diartikan sebagai kondisi dimana seluruh atau beberapa variabel kunci pada kinerja sistem mengalami perubahan ke arah yang lebih baik
dari kondisi eksisting pesimis. Sedangkan skenario optimis diartikan sebagai kondisi dimana seluruh atau beberapa variabel kunci pada kinerja sistem
mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari skenario moderat. Skenario model dibuat dengan mempertimbangkan kapasitas dan
peranserta tiga kelompok stakeholder dalam program pengembangan ekowisata dan agroforestri. Skenario dibuat agar lebih mudah dalam mengatur strategi
pengembangan, dengan melihat perubahan kinerja sistem sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
1 Simulasi Model Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga dengan Skenario Moderat
Simulasi model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat pada
skenario moderat dilakukan pada sepuluh tahun yang akan datang dari masing- masing variabel kunci, disajikan pada Gambar 39, 40,41.
Gambar 39 Simulasi model kesempatan kerja pada skenario moderat.
Gambar 40 Simulasi model pendapatan masyarakat pada skenario moderat
Gambar 41 Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario moderat Berdasarkan simulasi pada skenario moderat tersebut dapat diprediksi
kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNGC dan agroforestri, serta luas penutupan hutan TNGC pada sepuluh tahun yang
akan datang, seperti disajikan pada Tabel 54.
Tabel 54 Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat
Tahun Serapan
tenaga kerja
ekowisata Orang
Serapan tenaga
kerja agroforestri
Orang Pendapatan
perkapita ekowisata
Rpbulan Pendapatan
perkapita agroforestri
Rpbulan Luas
penutupan hutan TNGC
Ha 2009
204 88
241.667 392.409
5.132 2010
262 96
302.869 400.699
4.927 2011
310 104
347.008 430.245
4.829 2012
368 113
380.059 460.990
4.733 2013
437 122
415.922 492.499
4.639 2014
518 135
454.876 524.629
4.639 2015
592 151
497.229 557.493
5.050 2016
612 169
526.000 591.336
5.444 2017
612 194
529.631 626.421
5.830 2018
612 227
529.631 662.972
6.209 2019
612 276
529.631 701.157
6.580
Gambar 39, 40,41 dan Tabel 54 memperlihatkan bahwa jika dilakukan pengembangan pada skenario moderat, pada sepuluh tahun yang akan datang
jumlah masyarakat yang dapat terserap pada kegiatan ekowisata meningkat dari 204 orang pada tahun 2009 menjadi 612 orang pada tahun 2019 atau
meningkat sebesar 200, dan pada agroforestri meningkat dari 88 orang menjadi 276 orang, atau meningkat sebesar 213,64. Peningkatan pendapatan
per kapita per bulan masyarakat dari ekowisata, dari Rp 241.667,67 menjadi Rp 529.631,91 meningkat sebesar 119,16 dan pendapatan dari agroforestri
meningkat dari Rp 392.409,13 menjadi Rp 701.157,33 meningkat sebesar 78,68.
Serapan tenaga kerja total dari ekowisata dan agroforestri meningkat dari 292 orang pada tahun 2009 menjadi 888 orang atau meningkat sebesar
204,11, serta pendapatan total per kapita per bulan dari ekowisata dan agroforestri meningkat dari Rp 634.075,80 menjadi Rp 1.230.788,24 pada tahun
2019, meningkat sebesar 94,11. Sedangkan peningkatan luas penutupan hutan TNGC dari 5.132 ha pada tahun 2009 menjadi 6.580 ha pada tahun
2019 atau meningkat sebesar 28,21. Masih diperlukan luas penutupan hutan TNGC sekitar 2.351,27 ha 45,79 pada tahun kesepuluh pada skenario
moderat ini agar mencapai luas penetapan awal 8.931,27 ha
2 Simulasi Model Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga dengan Skenario Optimis
Simulasi model pengembangan daerah penyangga TNGC melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dapat dilakukan pada sepuluh
tahun yang akan datang pada skenario optimis dari masing-masing variabel kunci, seperti disajikan pada Gambar 42, 43, dan 44.
Gambar 42 Simulasi model kesempatan kerja pada skenario optimis
Gambar 43 Simulasi model pendapatan masyarakat pada skenario optimis
Gambar 44 Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario optimis Berdasarkan simulasi pada skenario optimis tersebut dapat diprediksi
kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata dan
agroforestri, serta luas hutan TNGC pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada
Tabel 55. Tabel 55 Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas
penutupan hutan TNGC pada skenario optimis
Tahun Serapan
tenaga kerja
ekowisata Orang
Serapan tenaga kerja
agroforestri Orang
Pendapatan perkapita
ekowisata Rpbulan
Pendapatan perkapita
agroforestri Rpbulan
Luas penutupan
hutan TNGC Ha
2009 204
93 241.667
392.409 5.132
2010 324
109 302.869
399.972 4.927
2011 456
126 373.953
452.430 4.829
2012 568
147 434.748
510.279 4.830
2013 612
173 497.483
573.659 4.830
2014 612
206 529.631
642.753 4.831
2015 612
244 529.631
717.813 5.344
2016 612
293 529.631
799.143 5.837
2017 612
356 529.631
887.060 6.320
2018 612
437 529.631
981.841 6.802
2019 612
541 529.631
1.083.679 7.286
Sesuai simulasi pada Gambar 42, 43, dan 44 serta prediksi pada Tabel 55 dapat dilihat bahwa apabila skenario optimis diterapkan pada pengembangan
ekowisata dan agroforestri, maka pada sepuluh tahun yang akan datang jumlah tenaga kerja yang dapat terserap pada ekowisata dan agroforestri mengalami
peningkatan. Untuk kegiatan ekowisata mengalami peningkatan dari 204 orang pada tahun 2009 menjadi 612 pada tahun 2019 atau meningkat 200,
sedangkan pada agroforestri meningkat dari 93 orang menjadi 541, meningkat sebesar 481,72. Serapan tenaga kerja total dari ekowisata dan agroforestri
meningkat dari 297 orang menjadi 1.153 orang, atau meningkat sebesar 288,22.
Pendapatan per kapita per bulan dari ekowisata meningkat dari Rp 241.667,67 menjadi Rp 529.631,91 meningkat sebesar 119,16 dan
pendapatan dari agroforestri meningkat dari Rp 392.409,13 tahun 2009 menjadi Rp
1.083.679,03 tahun 2019, meningkat sebesar 176,16. Secara keseluruhan, pendapatan total masyarakat per kapita per bulan dari ekowisata
dan agroforestri mengalami peningkatan dari Rp 634.075,80 pada tahun 2009 menjadi Rp 1.613.309,66 pada tahun 2019, meningkat sebesar 154,43.
Peningkatan pada luas penutupan hutan TNGC dari 5.132,00 ha pada tahun 2009 menjadi 7.701,00 ha pada tahun 2019, masih diperlukan sekitar
1.230,27 ha agar luas penutupan hutan TNGC pada tahun kesepuluh pada
skenario optimis ini mencapai luas penetapan awal kawasan TNGC yaitu 8.931,27 ha.
Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila dilakukan pengembangan pada skenario optimis, maka pada sepuluh tahun yang akan
datang, terjadi peningkatan secara signifikan bagi kesempatan kerja dan pendapatan pendapatan masyarakat serta luas penutupan hutan TNGC. Hal ini
terlihat dari tenaga kerja yang terserap di sektor ekowisata dan agroforestri dalam kurun waktu sepuluh tahun terserap sebesar 288,22, serta pendapatan
total masyarakat dari ekowisata dan agroforestri meningkat sebesar 154,43. Peningkatan yang signifikan pada kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat
tersebut akan dapat berkontribusi dalam meningkatkan luas penutupan hutan TNGC dalam sepuluh tahun yang akan datang sebesar 41,96 dari kondisi saat
ini. Diperlukan luas hutan 1645,77 ha 32,04 agar dapat seperti luas pada awal penetapan yaitu 8931,27 ha.
Berdasarkan hasil perhitungan pada tiga skenario tersebut, maka pengambilan keputusan untuk pengembangan ekowisata dan agroforestri
didasarkan atas skenario yang dapat memberikan hasil terbaik bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat agar tercapai kelestarian TNGC.
Hasil dari skenario moderat dan optimis dapat dilihat pada Tabel 56. Tabel 56 Rekapitulasi hasil perhitungan pada skenario moderat dan optimis
No. Variabel
Peningkatan Eksisting Pesimis
Moderat Optimis
1 Serapan tenaga kerja pada
ekowisata 204 - 481 orang
135,78 204 - 612 orang
200 204 – 612 orang
200,00 2
Serapan tenaga kerja pada agroforestri
93 – 129 orang 38,27
88 – 276 orang 213,64
93 – 541 orang 481,72
3 Pendapatan per kapita
per bulan dari ekowisata Rp 241.666,67 -
Rp 388.496,28 60,76
Rp 241.666,67 - Rp 529.630,91
119,16 Rp 241.666,67 –
Rp 529.630,91 119,16
4 Pendapatan per kapita
per bulan dari agroforestri Rp 392.409,13 –
Rp 414.880,97 5,73
Rp 392.409,13 - Rp 701.157,33
78,68 Rp 392.409,13 –Rp
1.083.678,75 176,16
5 Serapan tenaga kerja total
dari ekowisata dan agroforestri
297 orang – 610 orang
105,22 292 orang –
888 orang 204,11
297 orang – 1153 orang
288,22 6
Pendapatan total masyarakat per kapita per
bulan Rp 634.075,80 -
Rp 803.377,25 26,70
Rp 634.075,80 – Rp 1.230.788,24
94,11 Rp 634.075,80 -Rp
1.613.309,66 154,43
7 Luas penutupan hutan
TNGC awal = 8.931,27 ha
5.132 ha - 5.231 ha 1,92
Kurang = 3700,27 ha 73,08
5.132 ha - 6.580 ha 28,21
Kurang=2351,27 ha 45,79
5.132 ha - 7.286 ha 41,96
Kurang=1645,27 ha 32, 04
Tabel 56 memperlihatkan besarnya persentase peningkatan pada tiga variabel. Pengembangan ekowisata dan agroforestri pada skenario optimis
memberikan hasil terbaik dibanding skenario moderat. Pada skenario moderat juga memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kondisi eksisting, namun
selisih peningkatan pendapatan total dengan skenario optimis mencapai 84,11. Demikian juga dengan peningkatan luas penutupan hutan pada skenario moderat
hanya mencapai selisih 26,29 dibanding kondisi eksisting, sedangkan pada skenario optimis memiliki selisih lebih tinggi yaitu 40,04.
Peningkatan pendapatan masyarakat dari ekowisata pada sepuluh tahun yang akan datang sesuai kondisi saat ini tidak ada perubahan pada variabel
kunci mencapai 105, 83, sedangkan pada agroforestri hanya sebesar 5,73. Faktor penyebab kecilnya peningkatan ini, karena faktor iklim angin, hama dan
penyakit tanaman memiliki porsi yang cukup besar dalam mengurangi produksi tanaman pertanian dan kehutanan, sehingga mengurangi pendapatan. Demikian
juga pada skenario moderat, persentase peningkatan pendapatan dari ekowisata tetap lebih tinggi dari agroforestri. JIka faktor pengurang produksi iklim, hama
dan penyakit dapat ditekan sekecil mungkin melalui peningkatan frekuensi penyuluhan dan pendampingan, maka pada skenario optimis pendapatan
agroforestri meningkat secara signifikan yaitu 176,16, sedangkan pada ekowisata peningkatan pada skenario optimis, tidak merubah pendapatan. Hal ini
karena jumlah ekowisatawan yang merupakan faktor penentu dari peningkatan pendapatan masyarakat, harus dibatasi agar tidak melebihi daya dukung
kawasan ekowisata TNGC. 3 Skenario Model Kelestarian Hutan TNGC
Kegiatan restorasi kawasan TNGC telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh Balai TNGC maupun oleh instansi dan lembaga lain melalui program
Coorporate Social Responsibility CSR. Kegiatan ini melibatkan masyarakat daerah penyangga TNGC dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan
tanaman, penanggulangan terhadap bahaya kebakaran hutan, serta pencegahan perambahan kembali pada kawasan TNGC. Skenario meningkatnya luas tutupan
hutan TNGC karena adanya kegiatan restorasi dan pengurangan perambahan dan kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 57.
Tabel 57 Kondisi variabel kunci pada model kelestarian TNGC Variabel kunci
Eksisting Moderat
Optimis Rate penanaman CSR
1 2
3 Rate penanaman TNGC
2 2
3 Rate perambahan
0,5 0,1
Rate kebakaran hutan 1
0,2 0,05
Peningkatan luas tutupan hutan TNGC dari pengembangan kegiatan restorasi dan penurunan perambahan serta kebakaran hutan pada masing-
masing skenario dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45 Luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat dan optimis Berdasarkan simulasi pada Gambar 45, maka dapat diprediksi
peningkatan luas tutupan hutan TNGC pada masing-masing skenario, seperti disajikan pada Tabel 58.
Tabel 58 Prediksi peningkatan luas hutan TNGC pada skenario moderat dan optimis
Luas Penutupan Hutan ha Tahun ke
Eksisting Moderat
Optimis 2009
5.132 5.132
5.132 2010
4.927 4.927
4.927 2011
4.730 4.829
4.829 2012
4.636 4.733
4.830 2013
4.543 4.639
4.830 2014
4.452 4.639
4.831 2015
4.569 5.050
5.344 2016
4.674 5.444
5.837 2017
4.864 5.830
6.320 2018
5.049 6.209
6.802 2019
5.231 6.580
7.286
Dari Tabel 58 dan Gambar 45 dapat dilihat bahwa, melalui peningkatan kegiatan restorasi kawasan, yang dilaksanakan oleh Balai TNGC serta instansi
PDAM Cirebon, Hotel Ayong Kuningan, perusahaan air minum dalam kemasan,
serta Yayasan Penabur, maka luas penutupan hutan akan meningkat. Hasil simulasi pada skenario optimis menunjukkan bahwa jika laju penanaman oleh
instansi lain melalui CSR dan Balai TNGC masing-masing ditingkatkan menjadi sebesar 3 per tahun, laju perambahan kawasan dihentikan hingga angka 0,
dan laju kebakaran hutan dapat diturunkan hingga 0,05 maka dalam sepuluh tahun yang akan datang luas penutupan hutan TNGC akan mencapai 7.286 ha,
meningkat dari kondisi saat ini yaitu seluas 5.132 ha. Luas penutupan hutan yang sama dari tahun ke 0 hingga tahun ke 5
dikarenakan tanaman masih pada fase semai atau pancang, sehingga belum terlihat menutup lahan kawasan TNGC. Mulai tahun ke 6, secara bertahap mulai
terlihat adanya peningkatan luas tutupan hutan TNGC, dan pada skenario optimis, penutupan luas hutan mengalami peningkatan tertinggi 41,96.
Jika menggunakan skenario moderat, dimana laju penanaman oleh CSR dan Balai TNGC masing-masing sebesar 2 per tahun, laju perambahan
kawasan dihentikan hingga angka 0,1, dan laju kebakaran hutan dapat diturunkan hingga 0,2, maka dalam sepuluh tahun yang akan datang luas
penutupan hutan TNGC akan mencapai 6.580 ha, meningkat sebesar 28,21 dari kondisi saat ini.
Restorasi, perambahan kawasan dan kebakaran hutan TNGC menjadi tiga faktor yang penting dalam mencapai kelestarian kawasan TNGC. Kegiatan
restorasi relatif lebih mudah dilakukan, asalkan tersedia dana dan tenaga kerja yang memadai, namun tidak demikian halnya dengan pencegahan perambahan
dan kebakaran hutan, yang cukup sulit dilakukan apalagi jika menyangkut dengan sumber mata pencaharian masyarakat yang berada di daerah
penyangga TNGC. Oleh karena itu skenario moderat atau optimis dapat menjadi pilihan untuk dua tujuan, peningkatan pendapatan masyarakat dan pencapaian
kelestarian TNGC.
4.5.5 Pengujian Kinerja Model
Pengujian terhadap model pengembangan daerah penyangga TNGC dilakukan untuk mengetahui bahwa model yang dikembangkan sesuai dengan
sistem nyata. Cara untuk menguji model yang biasa dilakukan adalah membandingkan hasil simulasi komputer dengan data empiris di lapangan. Jika
hasil simulasi komputer sesuaimirip dengan data empiris, maka model yang dikembangkan dinyatakan sahih. Model yang sahih merupakan model yang
teruji dan dapat dijadikan sebagai alat percobaan untuk menganalisis kebijakan yang dapat diterapkan.
Pengujian model pada kasus desa-desa yang memiliki potensi ekowisata dan agroforestri tidak membandingkan kuantitas data antara hasil simulasi
dengan data empiris, tetapi hanya membandingkan pola perilaku saja. Hal ini dikarenakan hasil simulasi hanya berlaku pada desa contoh, yang merupakan
bagian dari Kabupaten Kuningan, sedangkan data empiris yang dibandingkan merupakan data se Kabupaten Kuningan.
Pada kasus model pengembangan daerah penyangga TNGC, pengujian model dilakukan dengan membandingkan antara pola perilaku hasil simulasi dan
beberapa perilaku sistem yang diamati, yaitu jumlah ekowisatawan, produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan serta pendapatan hasil simulasi dengan data
empiris jumlah ekowisatawan TNGC dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Kuningan yang telah berhasil dihimpun dari lapangan. Data ini
bersumber dari Balai TNGC dan Bappeda Kabupaten Kuningan. Gambar 46 memperlihatkan jumlah ekowisatawan pada obyek wisata di
Desa contoh meningkat dengan stabil pada periode waktu tersebut, dimana hasilnya tidak jauh berbeda dengan pola peningkatan ekowisatawan TNGC
berdasarkan data empiris di lapangan. Demikian juga dengan pendapatan masyarakat dari ekowisata dan agroforestri mengalami peningkatan yang sejalan
dengan peningkatan PDRB Kabupaten Kuningan.
Gambar 46 Diagram jumlah ekowisatawan pada obyek wisata TNGC
Gambar 47 Diagram jumlah ekowisatawan hasil simulasi
Gambar 48 Diagram PDRB per kapita Kabupaten Kuningan
Gambar 49 Diagram pendapatan masyarakat hasil simulasi Lapangan pekerjaan pertanian merupakan sektor yang paling dominan
dalam menyerap tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan. Tingginya lapangan kerja di sektor pertanian ini disebabkan sektor pertanian tidak terlalu
membutuhkan tenaga kerja terdidik, disusul kemudian oleh sektor perdagangan dan jasa.
Dari hasil simulasi ini diperoleh gambaran bahwa variabel-variabel dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri yang digunakan dalam penyusunan
model ini, merupakan faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kesempatan kerja, pendapatan dan luas penutupan hutan TNGC. Sesuai tujuan yang ingin
dicapai dalam pengembangan daerah penyangga. Oleh karena itu model pengembangan sosial ekonomi daerah penyangga TNGC dalam hal ini adalah
pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga yang menjadikan program ekowisata dan agroforestri sebagai program yang dapat dikembangkan,
melalui peran stakeholder dalam kegiatan peningkatan fasilitas ekowisata, peningkatan jumlah programkegiatan yang mendukung ekowisata, dan
peningkatan pelibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Pada agroforestri, melalui peningkatan kegiatan penyuluhan, pendampingan
masyarakat, peningkatan programkegiatan yang mendukung agroforestri dan peningkatan
pelibatan masyarakat dalam kegiatan agroforestri. Skenario yang dibangun dalam model ini adalah dalam kondisi ideal, dan
asumsi yang dibangun pada kegiatan pembangunan fasilitas ekowisata, frekuensi penyuluhan, pendampingan yang diberikan pada masyarakat, jumlah
program yang dgulirkan, serta pelibatan masyarakat sesuai dengan kondisi dan kemampuan stakeholder riil saat ini dari pihak pemerintah yaitu BP4K, Balai
TNGC, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.
Skenario moderat dan optimis dibangun dengan asumsi meningkatnya lima programkegiatan
tersebut pada
ekowisata dan
agroforestri, karena
meningkatnya peran dari pihak swasta yaitu Persatuan Hotel Seluruh Indonesia PHRI, Pengusaan Daerah Aneka Usaha PDAU, dan pengelola ekowisata CV
Wisata Putri Mustika serta peran dari LSM Kanopi dan LSM Akar. Dari hasil penyusunan skenario tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan
penyerapan tenaga kerja dan pendapatan dari ekowisata dan agroforestri diharapkan mampu membangkitkan motivasi masyarakat untuk memperluas dan
mengembangkan kedua program tersebut didasarkan atas potensi yang dimiliki masyarakat. Peran stakeholder adalah membantu dari aspek kebijakan,
infrastruktur, program-program yang mendukung, permodalanperkreditan dan bimbingan dalam menjalankan usaha.
4.6 Strategi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC
4.6.1 Peran Stakeholder
Pemerintah daerah melalui dinas terkait, Balai TNGC, LSM dan dunia usaha melalui program-programnya, telah melakukan berbagai upaya
pengembangan masyarakat dalam
rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah penyangga TNGC. Program pengembangan masyarakat tersebut telah dilakukan sejak sebelum kawasan TNGC ditetapkan menjadi
taman nasional, yakni ketika masih berfungsi sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, melalui program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat PHBM. Program ini telah diimplementasikan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001 yang meliputi 131 desa. Program pengembangan
masyarakat yang telah dilakukan oleh stakeholder pada masa ini berupa pelatihan lebah madu, bantuan langsung paket alat lebah madu, dana
bergulir, pembuatan
persemaian, pembinaan
fasilitator PHBM
dan pengembangan wisata alam dengan pemerintah desa. Dampak ekonomi dari
program ini telah memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga petani sebesar 7,71 per tahun dan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di
Kabupaten Kuningan sebesar 0,23 per tahun Yuniandra 2006. Setelah menjadi kawasan taman nasional yang dikelola oleh Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai Balai TNGC, program pengembangan masyarakat diimplementasikan dalam bentuk pelatihan kepada masyarakat pelatihan
budidaya lebah madu telah dilaksanakan pada 24 dari seluruh desa penyangga, pengelolaan obyek wisata alam di kawasan konservasi, interpretasi
wisata alam dan pelatihan kerajinan tangan untuk cinderamata, serta bantuan langsung dalam bentuk stup lebah madu, ternak domba dan kambing pada 11
dari seluruh desa penyangga, bibit tanaman buah-buahan dan kehutanan serta bantuan pembangunan bak penampung air. Kegiatan lain adalah dalam bentuk
pelibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan pembibitan dan penanaman pada program Gerhan serta pembentukan Model Desa Konservasi
MDK, seperti disajikan pada Tabel 59. Tabel 59 memperlihatkan bahwa program pengembangan sosial ekonomi
masyarakat di daerah penyangga TNGC telah dilakukan oleh stakeholder, namun dalam perjalanannya, program-program ini belum dapat mencapai
sasaran. Sebagai contoh, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM
sudah dilaksanakan sejak tahun 2001, namun ada beberapa kelemahan dalam implementasinya diantaranya adalah kelembagaan Kelompok Tani Hutan KTH
belum berfungsi Tabel 59 Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC
No Stakeholder
Tahun Bentuk Pengembangan Masyarakat
1. Perum Perhutani
2001 1. Kegiatan PHBM berbasis lahan dengan sistim
tumpangsari 2
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan 2005
1. Pembuatan persemaian 2. Bantuan dana bergulir sebesar 30 juta rupiah
per desa 3. Sosialisasi TNGC
4. Pembinaan fasilitator PHBM tingkat kecamatan
2006 1. Pelatihan lebah madu sebanyak 2 kelompok
2. Bantuan dana bergulir sebesar 20 juta rupiah 2007
1. Bantuan ternak kambing di 2 desa 2. Bantuan tanaman jati dan cengkeh 1 desa
3 LSM Akar
2007 Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa
sekolah, pendaki gunung dan masyarakat luas. 4.
Balai TNGC 2009
1.
Pelatihan budidaya lebah madu di 11 desa penyangga
2.
Bantuan ternak domba di 5 desa penyangga
3.
Pembentukan Model Desa Konservasi 2 desa 2010
1.
Pelatihan lebah madu 1 desa
2.
Pembentukan Model Desa Konservasi 1 desa
3.
Kegiatan rehabilitasi kawasan konservasilindung dan di kawasan TNGC seluas 1.800 ha
5 Dinas Kehutanan
Provinsi 2009
1.
Pembentukan Model Desa Konservsi 1 desa
2.
Pelatihan interpreter ekowisata 2010
1.
Penanaman agroforestri
2.
Pelatihan kerajinan tangan untuk cinderamata
3.
Pembentukan Model Desa Konservasi MDK 6.
Dinas Pertanian 2010
1. Program agrobisnis pedesaan 7.
8. LSM Kanopi
Balai TNGC 2010
2011 Pendampingan
masyarakat untuk
kegiatan pembuatan kebun bibit desa dalam rangka
pelaksanaan program Model Desa Konservasi MDK bermitra dengan Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Barat Bantuan ternak domba sebanyak 114 betina, 24
jantan di 6 desa penyangga yaitu Dusun Palutungan Desa Cisantana, Desa Sukamukti, Desa Sayana,
Desa Pasawahan, Desa Padabeunghar dan Desa Trijaya.
Sumber : LPI-PHBM Kuningan, Balai TNGC, LSM KanopiAkar, DishutbunKuningan, Dishut Provinsi Jabar
dalam mewadahi kepentingan anggotanya, kemampuan petani dalam budidaya tanaman pertanian dan kehutanan masih terbatas, dan peran instansi dalam
forum PHBM belum maksimal. Dampak negatif dari kebijakan PHBM terhadap
masyarakat adalah sebagian besar masyarakat menganggap PHBM hanya sekedar bantuan dan merupakan hadiah. PHBM hanya merupakan pelegalan
masyarakat menggarap hutan yang selama ini tidak terpantau atau sengaja tidak dipantau oleh petugas lapangan Perum Perhutani, sehingga masyarakat merasa
tenang masuk ke dalam hutan karena adanya kepastian hukum Yuniandra 2006.
Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC umumnya tidak berkelanjutan. Contoh kasus, di desa Seda Kabupaten Kuningan.
Jumlah ternak domba yang sudah disalurkan kepada masyarakat di desa Seda tahun 2009 adalah 20 ekor, sampai dengan tahun 2010 berkembang menjadi 45
ekor. Namun ternyata ternak ini hanya dimiliki oleh 20 orang saja tanpa mengalami perguliran kepada anggota kelompok lainnya sesuai kesepakatan
yang telah ditentukan, bahkan pada tahun 2011, keberadaan domba tersebut sudah tidak terpantau lagi baik kepemilikan maupun jumlahnya. Hal ini
disebabkan kurangnya monitoring dan evaluasi dari pihak Balai TNGC. Demikian juga dengan bantuan stup lebah madu tidak berkembang, baik kuantitas maupun
kualitasnya, pelatihan yang telah diberikan tidak dapat diterapkan oleh masyarakat karena tidak adanya pembinaan lebih lanjut atau program yang
mendukung jenis pelatihan tersebut tidak berlanjut. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh stakeholder belum optimal
melibatkan masyarakat. Sebagai contoh pelaksanaan pelatihan pemandu yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi hanya melibatkan dua anggota
masyarakat dari setiap desa penyangga. Jumlah ini terlalu sedikit dibandingkan jumlah masyarakat yang bekerja di wisata, sehingga peningkatan pengetahuan
dan ketrampilan untuk mengembangkan usaha di sektor wisata belum dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa program pengembangan masyarakat di desa-desa daerah penyangga TNGC belum berhasil. Hal ini
diindikasikan dengan; 1 program yang digulirkan stakeholder belum berkembang sesuai harapan stakeholder dan masyarakat, 2 Program-program yang
dikembangkan belum mampu menciptakan kemandirian masyarakat, 3 Stakeholder masih fokus dengan programnya masing-masing, belum adanya
keterpaduan dalam implementasi program dan kegiatan pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC. 4 tidak adanya kontinyuitas program,
program-program yang
diimplementasikan seringkali
hanya bersifat
bantuankeproyekan dengan tujuan utama pada target pencapaian dan bukan pada hasil jangka panjang terutama pada aspek kemandirian masyarakat, 5
Dalam pemilihan desa yang akan dilakukan pengembangan masyarakat belum memiliki kriteria yang jelas, sehingga ada desa penyangga yang belum pernah
menerima program pengembangan masyarakat, namun disisi lain ada desa yang mendapatkan beberapa kali bantuan dari berbagai stakeholder. Berdasarkan
hasil penelitian LATIN 2005, jumlah masyarakat miskin di desa-desa di sekitar kawasan TNGC masih cukup banyak.
Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan daerah penyangga TNGC secara umum terdiri dari organisasi pemerintah dan non pemerintah, serta
masyarakat. Stakeholder dapat meliputi organisasi dan kelompok-kelompok sosial dan komunitas masyarakat lokal. Peran stakeholder dalam pengembangan
daerah penyangga TNGC dipetakan berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya terhadap dua program yaitu ekowisata dan agroforestri di daerah
penyangga TNGC. Tingkat pengaruh stakeholder terhadap suatu program mengindikasikan kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan
atau ketidakberhasilan suatu program dan tingkat kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap sebuah program mengindikasikan adanya peluang
partisipasi dan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholderHermawan et al. 2005. Semakin besar dampak yang akan diterima
oleh stakeholder, semakin tinggi tingkat keterlibatannya. Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, Reed et al. 2009
mengelompokkan stakeholder kedalam empat bagian yaitu; 1 stakeholder subject yang memiliki tingkat pengaruh rendah, namun memiliki kepentingan
yang tinggi, 2 stakeholderkey player yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi, 3 stakeholdercontext setter yang memiliki tingkat
pengaruh yang tinggi namun memiliki kepentingan rendah, serta 4 stakeholdercrowd yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang rendah
terhadap program pengembangan daerah penyangga TNGC. 4.6.1.1 Pengembangan Ekowisata
Salah satu fungsi penting pengelolaan TNGC adalah pemanfaatan secara lestari jasa lingkungan dan ekowisata yang merupakan potensi TNGC. Peran
stakeholder dalam pengembangan ekowisata TNGC tercermin dari program yang telah dan sedang dilakukan oleh masing-masing stakeholder. Stakeholder yang
memiliki peran terhadap pengembangan ekowisata TNGC adalah; 1 Balai
TNGC, 2 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 3 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, 4 Dunia Usaha Perusahaan Daerah Aneka
UsahaPDAU dan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Kuningan, dan 5 LSM Kanopy dan Akar dan Kelompok Masyarakat
Kelompok Penggerak
PariwisataKOMPEPAR. Peran
masing-masing stakeholder diuraikan sebagai berikut;
a Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengelola Taman
Nasional Gunung Ciremai TNGC, Balai TNGC mempunyai peran yang sangat besar dalam pengembangan ekowisata di TNGC, baik dari aspek promosi,
penataan kawasan, pembangunan sarana-prasarana, pelayanan pengunjung, dan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata.
Berdasarkan Rencana Strategis Renstra Periode 2010-2015, kebijakan Balai TNGC dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah optimalisasi jasa
lingkungan dan wisata alam. Sedangkan programkegiatan yang dilakukan oleh Balai TNGC dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah:
1 Sosialisasi pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam 2 Identifikasi pemanfaatan kawasan
3 Membangun media informasi dan promosi 4 Pengelolaan obyek wisata
5 Pengelolaan pengunjung 6 Pengembangan fasilitas
7 Pengembangan media dan fasilitas interpretasi lingkungan 8 Pengelolaan bersama dalam penyelenggaraan pariwisata alam
9 Pemantapan pengelolaan kawasan wisata melalui profesionalisme
pengelolaan, kondisi alamiah, dan pemasaran b Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor: 522.1123KptsSekr2009, mengenai rencana strategis Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2013 disebutkan bahwa visi Dinas Kehutanan Dishut Provinsi Jawa Barat Jabar Tahun 2008-2013 adalah ”Terwujudnya
pengelolaan hutan lestari bagi kesejahteraan masyarakat”. Dalam rangka pengembangan ekowisata di provinsi Jabar, Dishut Provinsi Jabar menetapkan
kebijakan strategis yakni pengembangan pemanfataan jasa lingkungan, dengan pendanaan sekitar 60 hingga 70.
Sampai saat ini Dishut Provinsi Jabar mempunyai peran yang sangat terbatas dalam pengembangan ekowisata TNGC, karena terbatasnya anggaran
pengembangan ekowisata yang ada bagi beberapa lokasi taman nasional dan taman wisata alam di provinsi Jabar. Programkegiatan yang dilakukan oleh
Dishut Provinsi Jabar dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah: 1 Pelatihan interpreter bagi petugas Balai TNGC
2 Pelatihan pemandu bagi masyarakat di kawasan wisata di daerah penyangga 3 Pelatihanpengembangan masyarakat dalam rangka pembentukan Model
Desa Konservasi 4 Pendampingan masyarakat oleh LSM lokal dalam rangka Model Desa
Konservasi 5 Pelatihan peningkatan kerajinan tangan untuk cinderamata bagi masyarakat
c Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 06 Tahun
2009 Tanggal 18 Juni 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Kabupaten Kuningan tahun 2009–2013 ditetapkan Visi pembangunan
Kabupaten Kuningan adalah
“
Kuningan lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata yang Maju dalam Lingkungan Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Visi
tersebut mengandung makna bahwa keadaan yang akan diupayakan terwujud dalam periode pembangunan 2009-2013 adalah masyarakat Kuningan yang
memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi secara material ekonomi dan non- material non-ekonomi, dengan tulangpunggung bidang pertanian dan pariwisata
yang produktif dan berkembang pesat, dalam kondisi lingkungan sosial yang agamis serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lestari.
Dengan Visi tersebut terdapat empat misi yang telah ditetapkan dimana dua diantaranya berkaitan dengan program pengembangan ekowisata TNGC,
yaitu: misi 2;Meningkatkan pengembangan agropolitan dan kepariwisataan daerah melalui penguatan sarana dan prasarana, sinergitas sektor dan wilayah,
produktifitas dengan berorientasi pada pengembangan perekonomian rakyat, dan misi 4; Meningkatkan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam
kerangka Kabupaten Konservasi dengan berorientasi pada perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari.
Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Visi dan Misi tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Disparbud Kabupaten Kuningan mempunyai
kebijakan sebagai berikut; 1 Peningkatan mutu sarana dan prasarana serta pelayanan jasa pariwisata dan jasa penunjang dengan tetap memelihara
kebudayaan daerah, 2 Pembinaan pelestarian peninggalan sejarah dan promosi objek-objek pariwisata dilakukan sesuai dengan perkembangan kepariwisataan,
dan 3 Kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk penggalian objek wisata baru. Programkegiatan yang dilakukan oleh Disparbud Kabupaten Kuningan dalam
pengembangan ekowisata TNGC adalah: 1
Pembangunan Open Space Gallery 2
Penataan secara bertahap pembangunan jalan, pintu gerbang, lahan parkir, toilet, musholla, loket karcis, penjualan souvenir, jalan setapak, dll pada
obyek wisata Cigugur, Cibulan, Balong Dalem, Telaga Remis, Cibunar, Curug Cilengkrang dan Bumi Perkemahan Palutungan.
3 Pengembangan Jenis dan Paket Wisata
4 Pendataan potensi pariwisata
5 Penyusunan rencana masterplan pengembangan ODTW
6 Membangun kemitraan dengan pemangku kepentingan stakeholder
kepariwisataan 7
Menjalin kerjasama dengan pelaku usaha kepariwisataan, media cetak dan media elektronik
8 Pameran Pariwisata Tingkat Lokal dan Regional
9 Study Banding ke daerah lain yang lebih maju
10 Pengadaan sarana dan prasarana promosipariwisata Internet, Leaflet, booklet, banner, billboard, kalender, poster, dll.
d Dunia usaha Dunia usaha mempunyai peran penting dalam pengembangan ekowisata
di suatu daerah, karena pengembangan ekowisata membutuhkan modal yang besar dalam pembangunan infrastruktur yang diperlukan, seperti sarana-
prasarana jalan, akomodasi, perhotelan dan lain-lain. Dunia usaha yang telah berperan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah Perusahaan Daerah
Aneka Usaha PDAU dan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia PHRI Kabupaten Kuningan
. Programkegiatan yang dilakukan oleh PDAU Kabupaten
Kuningan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah; 1
Penyusunan site plan pengembangan obyek ekowisata 2
Penataan dan pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas di lokasi obyek ekowisata.
3 Pengelolaan tiket masuk dan pengunjung
4 Promosi dan publikasi
5 Pengembangan masyarakat yang membuka usaha di sekitar lokasi wisata
Sedangkan programkegiatan yang dilakukan oleh PHRI Kabupaten Kuningan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah;
1 Penyusunan master plan Rencana Pengembangan Pariwisata Daerah REPDA bersama Pemda Kabupaten Kuningan.
2 Pembinaan kepada anggota hotel dan restoran di Kabupaten Kuningan dalam hal perijinan dan perpajakan.
3 Pembinaan terhadap homestay masyarakat 4 Pengembangan pelatihan bagi pegawai hotel dan restoran
e Lembaga Swadaya Masyarakat dan Kelompok Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan kelompok masyarakat memiliki
peran penting dalam meningkatkan peranserta masyarakat daerah penyangga dalam pengembangan ekowisata. LSM dan kelompok masyarakat yang berperan
dalam pengembangan ekowisata di TNGC adalah LSM Kanopy, LSM Akar,dan Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata KOMPEPAR. Programkegiatan
yang dilakukan oleh LSM Kanopy dalam pengembangan ekowisata adalah; 1
Pengembangan model pemanfaatan wisata alam Lembah Cilengkrang sebagai Obyek Wisata Konservasi Berbasis Masyarakat di Pajambon
2 Pembuatan film partisipatif, leaflet dan poster tentang profil desadesa hutan,
profil kegiatan-kegiatan usaha kelompok dan teknis pembuatan makanan dan minuman olahan di seluruh desa hutan dampingan.
3 Pembuatan buletinkoran petani sebagai media berbagi pengetahuan dan
pengalaman antar masyarakat desa hutan di seluruh desa hutan dampingan. 4
Fasilitasi proses penyusunanperbaikan perjanjian kerjasama tertulis antara masyarakat desa hutan dengan pihak pengelola kawasan hutan Perum
Perhutani atau Balai TNGC tentang pengelolaan hutan kolaborasi bersama masyarakat di seluruh desa hutan dampingan
5 Peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan melalui metoda pelatihan,
magang, dan studi banding belajar antar petani lokal BAPEL di seluruh masyarakat desa hutan dampingan
Programkegiatan yang dilakukan oleh LSM Akar dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah:
1 Kegiatan rutin Gerakan Sapu Gunung GSG pada lokasi pendakian Ciremai
2 Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa sekolah, pendaki
gunung dan masyarakat 3
Mengkoodinasikan kelompok-kelompok pencinta alam di Kabupaten Kuningan
Programkegiatan yang dilakukan oleh KOMPEPAR dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah;
1 Pengelolaan tiket masuk
2 Pemanduan guiding
3 Pengamanan pengunjung
4 Pembersihan lokasi ekowisata
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, informasi tingkat pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholderterhadap pengembangan ekowisata TNGC
dapat dilihat pada Tabel 60.
Tabel60.Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TNGC
Stakeholder Pengaruh
Kepentingan Keterlibatan Balai TNGC
Tinggi. Akan mempengaruhi semua aspek kebijakan
konservasi TNGC Tinggi. Penyelenggaraan
konservasi di dalam dan di luar kawasan.
Dishut Provinsi Jawa Barat
Tinggi. Wilayah teritorial, implementasi dan keberhasilan
program Rendah. Tidak menerima
dampak Disparbud
Kabupaten Kuningan Tinggi. Memiliki kebijakan
pembinaan pariwisata Tinggi. Pengelolaan
ekowisata di wilayahnya Dunia usaha PDAU
dan PHRI Rendah. Tidak memiliki akses
terhadap kebijakan. Tinggi. Menerima manfaat,
terlibat dalam implementasi LSM Kanopi dan
Akar dan kelompok masyarakat
Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
Tinggi. Menerima manfaat, terlibat dalam implementasi
Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, selanjutnya
stakeholder dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek subject, pemain kunci key player, penghubung context setter dan penonton
crowd. Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholderyang dapat berperan lebih besar dan stakeholder yang mempunyai resiko bagi ketidakberhasilan
program. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 50
Gambar 50Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan ekowisata TNGC
Gambar 50memperlihatkanstakeholderpada kuadran satu subyek, dengan tingkat kepentingan tinggi namun mempunyai pengaruh rendah dalam
B
alai TNGC
D
inas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat
D
inas Pariwisata dan Kebudayaan
D
unia usaha PDAU
LSM Kanopi dan Akar dan
Kelompok Masyarakat
Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi
Kepentingan Tinggi
Kepentingan Rendah
SUBJECT KEY PLAYER
CROWD CONTEXT SETTER