Jumlah Anggota Keluarga Pengaruh Sosial Budaya dan Ekonomi Keluarga terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar

Sebagai contoh mengenai pantangan makanan menarik untuk dilihat penelitian Khomsan 2008 yang menyampaikan contoh kasus pantangan makanan di wilayah Bogor. Masyarakat wilayah Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelaminnya membengkak. Balita perempuan tidak dibolehkan memakan dubur ayam karena dikhawatirkan ketika mereka sudah menikah bisa diduakan suami. Sementara di Indramayu, makanan gurih yang diberikan kepada bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar. Pantangan makanan sangat terkait dengan budaya dan tradisi adat istiadat masyarakat setempat. Tradisi atau adat ini sangat mempengaruhi pola pemberian makan kepada anak karena makanan-makanan yang biasa dipantangkan atau dilarang oleh budaya pada dasarnya memilki nilai gizi yang tinggi. Maka dari itu butuh peran seorang ibu dengan pengetahuan yang baik untuk mengatur pola konsumsi makan anak-anaknya.

5. Jumlah Anggota Keluarga

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin sangat rawan terhadap kurang gizi. Dari seluruh anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebagian memang demikian, sebab Universitas Sumatera Utara seandainya jumlah anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang lebih tua sering mengambil jatah makanan anak yang lebih muda. Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak mendapatkan cukup makanan. Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi Suhardjo, 2003.

2.2. Ekonomi dan Ketersediaan Pangan

Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa atau dengan kata lain usaha yang dilakukan manusia dalam rangka memenugi kebutuhan hidupnya Anne, 2008. Supariasa 2002, mejelaskan faktor sosial ekonomi sebagai keseluruhan data sosial ekonomi yang meliputi keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur, penyimpanan makanan, sumber air, kakus, pekerjaan, pendapatan, keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Sementara Dalimunthe 1995 menyampaikan kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur. Universitas Sumatera Utara Untuk keadaan ekonomi keluarga sebenarnya relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua perubahan ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga baik harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar Baliwati, 2006. Terkait dengan permasalahan gizi, faktor ekonomi sangat erat kaitannya dengan ketersediaan makanan. Ketersediaan makanan adalah suatu kondisi dalam penyediaan makanan yang mencakup makanan dan minuman tersebut berasal apakah dari tanaman, ternak atau ikan bagi rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Ketersediaan makanan dalam rumah tangga dipengaruhi antara lain oleh tingkat pendapatan Baliwati dan Roosita, 2004. Ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi disebut oleh Soetrisno 1998 sebagai ketahanan pangan. Menurut Koentjaraningrat 1993 ada beberapa faktor sosial ekonomi yang memengaruhi status gizi balita, yaitu pekerjaan dan penghasilan.

1. Pekerjaan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Bawah Garis Merah (Bgm) Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan

33 256 131

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Gambaran Epidemiologi Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggoe Aceh Darussalam Tahun 2003

3 24 83

Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Dan Status Gizi Anak Balita Di Desa Batunadua Kecamatan Pangaribuan Tapanuli Utara

3 67 95

Gambaran Pola Asuh Dan Sosial Ekonomi Keluarga Balita Bawah Garis Merah (BGM) Di Puskesmas Buhit Dan Puskesmas Harian Di Kabupaten Samosir Tahun 2009

3 59 120

Pengaruh Pola Asuh Anak Terhadap Terjadinya Balita Malnutrisi Di Wilayah Kerja Puskesmas Montasik Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006

0 33 97

Pengaruh Sosial Budaya dan Pola Makan terhadap Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Suku Alas di Wilayah Kerja Puskesmas Perawatan Kutambaru Kabupaten Aceh Tenggara

1 49 167

HUBUNGAN KEAKTIFAN IBU DALAM POSYANDU DENGAN PENURUNAN JUMLAH BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI DESA SUKO JEMBER KECAMATAN JELBUK KABUPATEN JEMBER

3 16 132

HUBUNGAN KEAKTIFAN IBU DALAM POSYANDU DENGAN PENURUNAN JUMLAH BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI DESA SUKO JEMBER KECAMATAN JELBUK KABUPATEN JEMBER

2 22 19

TEKNOLOGI PERTANIAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI DAN BUDAYA MASYARAKAT DI KECAMATAN MONTASIK KABUPATEN ACEH BESAR (1985-2016) Irva Zahara

0 0 8