Nilai Sosial Nilai Anak Dalam Budaya, Ekonomi, Sosial Nilai Budaya

orang tua. Jika dibandingkan dengan anak perempuan tentu anak laki-laki terhitung yang mau bekerja sebagai pembuat tutup keranjang. Sedangkan anak perempuan banyak yang mau berjualan sayur-sayuran, tergantung pada sayur-sayuran yang dijual apakah ada atau tidak, jika sayuran yang mau dijual tidak ada maka anak perempuan pergi membantu orang tua diladang.

1.3. Nilai Sosial

Bagi masyarakat Karo khususnya masyarakat desa Lingga memiliki anak adalah satu anugerah Tuhan yang paling berharga, karena memiliki anak bagi masyarakat desa Lingga merupakan suatu kehormatan yang tak ternilai, masyarakat desa Lingga beranggapan bahwa kelak anak dapat mengangkat martabat mereka baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Apalagi kalau anak tersebut adalah anak laki-laki. Karena anak laki-laki inilah yang kelak meneruskan keturunan atau marga dari orang tuanya ayahnya. Oleh karena itu sebagai penganut garis keturunan Patrilineal, masyarakat Karo tentu sangat mengharapkan anak laki-laki, oleh sebab itu nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dari anak perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang tua dipanggil dengan sebutan nama anak laki-lakinya, misalnya “o bapa Nugrah kuja te kena” hai pak Nugrah mau kemana, tidak akan dipanggil dengan sebutan anak perempuan, walaupun anaknya yang pertama adalah perempuan. Jika anaknya semua perempuan tapi setelah ia mempunyai cucu laki-laki maka sebutan dia Universitas Sumatera Utara akan berubah menjadi kakek atau nenek dari cucunya yang laki-laki tadi, misalnya nini atau bulang hardi nenek atau kakek hardi. Desa Lingga merupakan salah satu desa yang sangat berbudaya hal ini terbukti masih kuatnya nilai-nilai budaya dan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Jika seorang anak perempuan sering keluar malam maka keluarganya atau anak perempuan itu akan mendapat gunjingan dari masyarakat dan yang menjadi jelek adalah nama keluarganya. Lain halnya bila anak laki-laki sering keluar malam maka masyarakat tidak sepeduli dengan anak perempuan. Selain itu jika anak perempuan pada suatu keluarga malas mengerjakan pekerjaan rumah atau dapat dibilang bila seorang anak perempuan tidak tahu mengerjakan pekerjaan rumah maka anak tersebut akan digunjingkan masyarakat dan yang akan disalahkan oleh masyarakat dan keluarga adalah orangtuanya terutama ibunya, masyarakat desa Lingga akan mengatakan ‘itulah sebabnya kalau punya anak perempuan itu jangan dimanjakan begini jadinya pekerjaan rumah saja tidak tahu, bisa-bisa nanti bila dia sudah berumah tangga karena tidak tahu mengerjakan pekerjaan rumah, maka mertuanya akan mengembalikannya kepada orangtuanya’. Selain masyarakat keluarga juga akan menugur orangtua terutama ibu dari anak perempuan tersebut keluarga akan mengatakan ‘anak perempuan itu jangan dimanjakan nanti kebiasaan manja, di manapun ia tinggal ia tidak akan sanggup karena kalian biasakan manja, tapi kalau dia tidak manja di manapun dia tinggal dia akan sanggup dan yang menjadi harumkan nama kalian juga, tapi kalau dia tidak sanggup yang jelekkan nama kalian juga. Universitas Sumatera Utara Ortner dalam Moore, mengatakan peran sosial perempuan dipandang lebih dekat kepada alam karena keterlibatan mereka dalam kegiatan mereka dalam reproduksi cenderung membatasi mereka pada fungsi-fungsi sosial tertentu yang juga dipandang lebih dekat kepada alam. Disini, Ortner merujuk pada pembatasan perempuan dalam domain wilayah domestik. Dalam konteks tempat tinggal keluarga, perempuan terutama dihubungkan dengan pengasuhan anak, dan karenanya dikaitkan dengan pribadi yang belum terbentuk secara budaya prasosial. Ortner mengemukakan bahwa hubungan yang tersirat antara anak dengan alam, merupakan suatu gambaran penting dalam sejumlah masyarakat. Hubungan yang alami antara perempuan, anak dan keluarga menyuguhkan tahap kategorisasi tambahan. Karena perempuan dibatasi dalam konteks domestik, maka lingkup kegiatan utama mereka menjadi intra dan inter hubungan keluarga, sebaiknya laki-lakilah yang menjalankan domain wilayah politik dan publik dari kehidupan sosial. Laki-laki diindentifikasikan dengan masyarakat dan kepentingan umum publik, sedangkan perempuan tetap diasosiasikan dengan keluarga, dan karenanya dengan urusan yang khusus serta permasalahan yang terpisah secara sosial 1998:32. Selain Ortner dalam Moore, Sukesi dalam Ihromi mengatakan bahwa dalam masyarakat Jawa dan Madura, masih kuatnya nilai-nilai yang mengatur hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang merupakan sumber pembagian kekuasaan yang tidak setara dapat ditunjukkan pada berbagai kegiatan. Nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai Universitas Sumatera Utara pengatur dan kontrol terhadap perilaku. Di Jawa dan Madura, dapat diindentifikasi nilai-nilai yang besumber dari adat-istiadat maupun agama, seperti berikut : • Laki-laki adalah pencari nafkah dalam keluarga. Nilai tersebut menimbulkan dominasi laki-laki dalam pekerjaan nafkah. Dalam waris laki-laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian. Pembagian harta dalam kasus perceraian adalah segendong sepikul. Dalam upah kerja, perempuan dinilai lebih rendah dari laki- laki, karena laki-laki menanggung nafkah keluarga. • Perempuan adalah ratuibu rumah tangga. Nilai ini menimbulkan dominasi perempuan dalam pekerjaan rumah tangga, dan sebaliknya dalam pekerjaan nafkah perempuan merupakan orang kedua. • Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Hal ini menimbulkan perilaku mengatur dan memutuskan semua kegiatan penting dalam rumah tangga. Laki-lakilah yang pantas berhubungan dengan pihak-pihak di luar rumah tangga, bekerja dengan teknologi, dan yang pantas hadir dalam rapat desa 1995:368-369.

2. Peranan Dan Kedudukan Anak Laki-laki Dalam Keluarga

Dokumen yang terkait

Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

2 51 132

KEBERADAAN MUSIK DALAM ACARA RITUAL PERUMAH BEGU PADA MASYARAKAT KARO DI DESA GAMBER KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

1 8 22

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELESTARIAN RUMAH ADAT KARO SEBAGAI CAGAR BUDAYA DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

0 2 22

PROSES PELAKSANAAN UPACARA MENGANGKAT TULANG BELULANG (NGURKURI TULAN-TULAN) DALAM MASYARAKAT BATAK KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

0 2 15

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 14

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

1 2 1

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 6

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

1 1 23

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 3

KABUPATEN KARO( Studi Kasus : Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 3 11