kasar atau sebagai buruh jika belum mendapat pekerjaan yang menetap, bagi anak laki-laki yang tidak merantau ke luar kota biasanya bekerja ke
ladang juga dan ada sebagian yang bekerja sebagai supir, pembuat keranjang dan lain-lain. Namun secara keseluruhan yang sibuk bekerja di
ladang adalah anak perempuan dan para ibu, biasanya anak laki-laki dan para ayah pergi ke ladang setelah siang hari dan pada pagi hari mereka
berada di kedai kopi untuk membaca koran atau bermain catur.
B. Pengaruh Anak Terhadap Kebudayaan
Pada bab sebelumnya telah kita singgung bahwa anak sangat penting dalam keluarga, keluarga akan terasa kurang lengkap bila tidak
terdengar suara tawa dan tangis dari seorang anak di tengah-tengah keluarga tersebut. Begitu pentingnya anak bagi suatu keluarga maka akan
selalu diusahakan bagaimana caranya agar dalam suatu keluarga itu hadir seorang anak. Pada masyarakat Karo desa Lingga anak merupakan
anugrah dan harta yang dititipkan Tuhan kepada keluarga itu. Anak pada masyarakat Karo desa Lingga sangat berpengaruh
terhadap adat dimana suatu keluarga jika tidak memiliki anak akan merasa malu dan selalu dibicarakan oleh masyarakat terutama anak laki-
laki karena anak laki-laki akan menjadi penerus keluarga atau menjadi penerus marga ayahnya misalnya saja jika ayah dari suatu anak
meninggal dunia, maka dalam pesta adat penguburan orang tua akan ditanyakan anak berunya kepada anak tersebut siapa yang akan
menggantikan ayahnya tersebut maka anak tadi akan membawa anaknya
Universitas Sumatera Utara
yang laki-laki ke depan atau ke tengah-tengah pesta untuk ditunjukkan dan dikatakanlah bahwa dia yang akan menggantikan atau meneruskan
marga kakeknya. Selain anak laki-laki anak perempuan juga berpengaruh terhadap
pesta dimana anak perempuan jika dalam pesta akan menjadi anak beru dalam pesta kalimbubunya, dimana anak beru ini bertugas untuk
mengerjakan semua pekerjaan dalam pesta tersebut seperti membentangkan tikar, memasak di dapur, menyediakan rokok dan sirih
untuk para kalimbubu, dan jika anak beru tidak ada maka pesta adat ini tidak akan berjalan dengan lancar dan baik.
Oleh sebab itu anak laki-laki dan anak perempuan sangat berpengaruh dalam pesta adat, karena satu sama lainnya saling terkait
dimana anak laki-laki sebagai kalimbubu, dan anak perempuan sebagai anak beru, anak laki-laki jika mengadakan pesta selalu membutuhkan
batuan dari anak beru, begitu juga sebaliknya jika anak beru mengadakan pesta maka anak beru sangat mengharapkan kehadiran kalimbubunya,
sistem ini akan terus berjalan sesuai dengan peran masing-masing anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki.
Sistem yang terjadi dalam masyarakat Karo desa Lingga ini dapat dikatakan dengan sistem kekerabatan dimana sistem kekerabatan yang
ada pada masyarakat Karo disebutkan dengan istilah sangkep ngeluh. Yang secara kata demi kata Sangkep ngeluh berarti kelengkapan hidup.
Sangkep ngeluh sering juga disebut ikatan rakut siteludaliken sitelu, artinya kelengkapan dari tiga unsur dalam keluarga. Sangkep nggeluh
Universitas Sumatera Utara
berfungsi menjadi wadah musyawarah sekaligus menjadi perangkatnya dalam kelompok keluarga tertentu yang bertindak sebagai sukut atau tuan
rumah. Sangkep nggeluh tersebutlah membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan dalam suatu kelompok keluarga. Apa yang
dihasilkan sebagai putusan musyawarah, itulah yang dilaksanakan sebaik- baiknya, penuh tanggung jawab oleh pihak anak beru.
Pada masyarakat Karo, segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan dapat
kita kelompokkan ke dalam tiga jenis kekerabatan yaitu kalimbubu, senina, anak beru. Ketiga janis kekerabatan itu biasa disebut dengan istilah
daliken si telu “tungku yang berkaki tiga” atau telu sendalanen “tiga sejalan”, “tiga seiring”, “tri tunggal” ataupun sangkep si telu “tiga yang
lengkap atau tri tunggal”. Setiap anggota masyarakat Karo berada diantara senina, anak beru, dan kalimbubu, selalu berada di atas daliken
si telu Guntur, 1988:15. Sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo telah
terstruktur akibat dari adanya hubungan darah maupun hubungan perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Levi Strauss tentang teori
struktural. Masyarakat bersahaja biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan, dan warga-warganya berinteraksi di dalamnya berdasarkan
sistem simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sdikit tiga klas kerabat, yaitu kerabat karena hubungan darah, karena hubungan
kawin, dan karena hubungan keturunan Koentjaraningrat, 1980:213-214.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai pengaruh yang sama di dalam adat tetapi anak perempuan selalu berada
pada posisi nomor dua hal ini terlihat dari peran mereka dalam adat yang hanya berada di belakang walaupun secara nyata kita sadari bahwa
pengaruh anak perempuan juga sangat besar dalam adat. Akibat dari pengaruh kebudayaan atau adat ini terhadap anak perempuan selalu
membuat mereka atau anak perempuan dinomor duakan hal ini dapat dirasakan dalam berbagai hal misalnya saja dalam kesempatan
mengecap pendidikan. Karena pengaruh kebudayaan yang beranggapan bahwa hanya anak laki-lakilah yang dapat mengangkat martabat mereka
dalam masyarakat dan keluarga maka yang lebih diperioritaskan untuk pendidikan adalah anak laki-laki, selain pendidikan anak perempuan juga
selalu dinomor duakan dalam segi warisan dan ekonomi karena anggapan bahwa anak perempuan lemah maka anak perempuan hanya diberi
kesempatan dalam menegembangkan ekonominya dalam bidang pertanian dan dagang saja, dan masih banyak sekali ketidak adilan yang
dirasakan anak perempuan. Di Papua anak perempuan atau seorang istri sangat berpengaruh
terhadap adat di mana sebagai perempuan yang hidup dalam sistem adat Papua harus tabah, pasrah, dan sabar atas setiap situasi di dalam
keluarga, termasuk menerima semua bentuk kekerasan dan kekejaman suami terhadap istri dan anak-anak di dalam keluarga. Sikap seperti ini
dinilai adat sebagai sikap perempuan yang beretika, tahu diri, sopan menghormati adat, membawa rezeki, dan melahirkan keturunan yang
Universitas Sumatera Utara
beruntung. Hampir semua perempuan dalam keluarga memiliki semacam perasaan “wajib” menerima kekerasan dari suami dan keluarga suami.
Sikap ini diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi ibu kepada putrinya
http:www.kompas.comkompas- cetak030203swara10873.htm
, 28-7-2007.
C. Pengaruh Anak Terhadap Sistem Sosial