83
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA
PERPAJAKAN Studi Putusan Nomor 1863Pid.B2015PN.Sby
A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Positif di Indonesia
Pertanggungjawaban didalam hukum pidana berkaitan dengan apakah dalam perbuatannya,
pelaku mempunyai
kesalahan atau
tidak. Sebab,
pertanggungjawaban didalam hukum pidana menganut asas ―tiada pidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist
rea. Asas ini tidak tersebut didalam hukum tertulis, tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku
138
. Moeljatno berpendapat bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
dijatuhi pidana jika orang tersebut tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu orang tersebut dapat
dipidana.
139
Adapun yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana adalah:
140
a. Kemampuan bertanggungjawab;
KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab.
Justru yang
diatur adalah
kebalikannya, yaitu
ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP Indonesia, yang masih memakai rumusan Pasal 37 Lid 1 Wetboek van Straftrecht W.v.S
Nederland tahun 1886, yang kemudian diterjemahkan secara harafiah oleh Zainal Abidin Farid, yaitu:
138
Moeljatno, Op.Cit.,Hal.153
139
Ibid., Hal. 167
140
Zainal Abidin Farid, Op.Cit., Hal. 222
Universitas Sumatera Utara
―Tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan sesuatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab
kekurangsempurnaan atau gangguan sakit kemampuan akalnya”.
141
Terjemahan tersebut terlihat janggal, oleh karena itu akan lebih baik apabila diartikan sebagai:
―Tidak boleh dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan oleh
kekurangsempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal”.
142
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang menderita gangguan akal atau dalam rumusan Pasal 44 KUHP Indonesia
143
memiliki ketidaksempurnaan jiwagangguan jiwa kemampuan jiwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara
pidana, sehingga
dapat dikenai
pertanggungjawaban secara pidana hanya manusia normal saja, yang terbukti bersalah karena dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum.
144
Patut diingat, bahwa Pasal 44 KUHP tersebut sebenarnya hanya mengatur mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab karena jiwa yang cacat dalam
141
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 260
142
Simon Nahak, Op.Cit., Hal. 76
143
Pasal 44 KUHP: 1 Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana
2 Jika karena perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggun karena penyakit, maka hakim
dapat memerintahkan kepada orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama 1 satu tahun sebagai waktu percobaan
3 Ketentuan ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
144
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tubuhnya atau terganggu karena penyakit. Dengan demikian, apabila ketidakmampuan bertanggungjawab pelaku disebabkan karena jiwa usia yang
masih sangat muda, Pasal 44 KUHP tidak dapat menjadi dasar untuk menjadi dasar untuk menghapus pidana, karena dipakai dasar yang tidak tertulis, yaitu asas
tidak dipidana tanpa ada kesalahan.
145
Apabila hakim akan menerapkan pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus diperhatikan apa telah memenuhi dua syarat berikut, yakni
146
: a. Syarat Psychiatris, yaitu adanya kekurangsempurnaan akal pada
Terdakwa, yaitu keadaan gila idiot, yang mungkin sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa;
b. Syarat Psychologist ialah gangguan jiwa pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana. Oleh sebab itu, suatu gangguan jiwa yang timbul
sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya, tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukumannya.
Menurut Memorie van Toeclichtung MvT, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabakan perbuatannya karena:
147
a. Karena ia tidak menginsyafi akan perbuatan yang dilakukan; b. Karena ia tidak bebas menentukan perbuatannya.
Moeljatno berpendapat bahwa didalam kemampuan bertanggungjawab harus ada:
148
145
A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, Hal.77
146
Simon Nahak, Op.Cit., Hal. 96
147
C.S.T. Kansil, Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 131
148
Moeljatno, Op.Cit., Hal.178
Universitas Sumatera Utara
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
Ini merupakan faktor akal intelectual factor yaitu, faktor yang dapat memperbeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang
tidak. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi. Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak volitional factor, yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
J.E Jonkers dalam Adam Chazawi menyebutkan terdapat 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu
149
: a. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan;
b. mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu; c. keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur elemen kesalahan, karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi
harus dibuktikan pula. Pada umumnya, terhadap orang-orang yang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab unsur kemampuan
bertanggungjawab dianggap selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin tidak normal.
150
b. Kesalahan pembuat, baik kesengajaan dan kelalaian