a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
Ini merupakan faktor akal intelectual factor yaitu, faktor yang dapat memperbeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang
tidak. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi. Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak volitional factor, yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
J.E Jonkers dalam Adam Chazawi menyebutkan terdapat 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu
149
: a. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan;
b. mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu; c. keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur elemen kesalahan, karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi
harus dibuktikan pula. Pada umumnya, terhadap orang-orang yang normal batinnya dan mampu bertanggungjawab unsur kemampuan
bertanggungjawab dianggap selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin tidak normal.
150
b. Kesalahan pembuat, baik kesengajaan dan kelalaian
149
Adami Chazawi, Op.Cit., Hal. 144
150
Moeljanto, Op.Cit., Hal. 181
Universitas Sumatera Utara
Istilah kesalahan berasal dari kata ―schuld‖ sampai saat sekarang belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang mempunyai pengertian pasti, namun
sudah sering dipergunakan didalam penulisan-penulisan. Pompe dalam Bambang Poernomo berpendapat, bahwa pengertian
kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela verwijtbaarheid yang pada hakikatnya tidak mencegah vermijdbaarheid kelakuan yang bersifat melawan
hukum der wederrechtlijke gedraging. Kemudia dijelaskan pula tentang hakikat tidak menceggah kelakuan yang bersifat melawan hukum vermijdbaarheid der
wederrechtlijke gedraging didalam perumusan hukum positif
151
Menurut doktrin, kesalahan schuld terdiri atas : 1. Kesengajaan dolus
Pengertian mengenai kesengajaan tidak terdapat didalam KUHP. Menurut Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809, kesengajaan adalah kemauan untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
152
Didalam Memorie van Toelichting MvT, dimuat antara lain bahwa kesengahaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu de bewuste richting van den wil op een bepaald misdriff.
153
Prof Satochid Kartanegara berkenaan dengan Memories van Toelichting tersebut mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten dikehendaki
dan diketahui adalah:
151
Bambang Poernomo, Op.Cit., Hal. 136
152
Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 13
153
Ibid., Hal. 13
Universitas Sumatera Utara
―Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus mengkehendaki willen perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti
weten akan akibat dari perbuatan itu”
154
Didalam Hukum Pidana, dikenal 2 teori mengenai pengertian kesengajaan, yakni
155
: 1 Teori Kehendak Wilstheorie
Teori kehendak dikemukakan oleh von Hipple dalam bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrassigkeit terbitan tahu 1903. Menurt von
Hipple, kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan tersebut. Akibat
dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.
2 Teori Membayangkan Teori ini dikemukakan Frank dalam bukunya Festschrift Gieszen tahun
1907. Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini,
mengharapkan atau membayangkan voorstelen kemungkinan adanya suatu akibat. Adalah ―sengaja‖ apabila suatu akibat yang ditimbulkan
dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan tersebut. Oleh karena itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan
bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya.
154
Satochid Kartanegara, Op.Cit., Hal.291
155
Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 14
Universitas Sumatera Utara
Jika kemudian diperbandingkan, maka antara Teori Kehendak wilstheorie dan Teori Membayangkan voorstellingstheorie pada hakikatnya tidak berbeda.
Perbedaannya adalah pokok pangkal yang berlainan dan cara menguraikan atau merumuskannya yang tidak sama. Namun dalam pendapatnya, Pompe
menjelaskan bahwa perbedaan antara Teori Kehendak wilstheorie dengan Teori Membayangkan voorstellingstheorie tidak terletak pada kesengajaan untuk
melakukan perbuatan positif atau negatif, tetapi hanya terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lain delik itu, sepanjang mengenai hal-hal yang diliputi oleh
kesengajaan itu, yaitu akibat dan keadaan yang menyertai perbuatan itu.
156
Moeljanto dalam Zainal Abidin Farid mengungkapkan bahwa rumus Frank adalah:
―Adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditmbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan oleh sebab itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat tersebut.”
157
Teori Membayangkan Frank paling banyak dianut oleh para sarjana hukum, karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi juga pengetahuan,
sebab untuk mengkehendaki sesuatu, oleh lebih dahulu harus mempunyai pengetahuan tentang sesuatu.
Didalam hukum pidana itu sendiri, pada umumnya terdapat tiga bentuk dari kesengajaan opzet, yaitu:
156
Zainal Abidin Farid, Op.Cit., Hal. 284
157
Ibid
Universitas Sumatera Utara
1 Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk Vos didalam Zainal Abidin Farid memberikan defenisi bahwa sengaja
sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik mengkehendaki akibat perbuatannya, dengan kata lain andaikata pembuat sebelumnya sudah
mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak melakukan perbuatannya.
158
Selanjutnya Jonkers menyatakan sengaja dengan maksud merupakan bentuk kesengajaan
paling sederhana serta maksud dan motif alasan tidak boleh dikacaukan.
Leden Marpaung berpendapat bahwa perlu dibedakan antara ―maksud‖ oogmerk
dengan ―motif‖. Dalam kehidupan sehari-hari, motif diidentikkan dengan tujuan. Padahal, maksud adalah kehendak dari
pelaku untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana.
159
Hoge Raad memiliki beberapa putusan yang berkaitan dengan kesengajaan sebagai maksud, yakni:
a. Hoge Raad tanggal 14-10-1940, N.J. 1941, No. 87 m.o.W.P
Seseorang bernama L.K melaporkan diri kepada penjara ‗s- Gravenhage untuk menjalankan pidana, yang sebenarnya
dijatuhkan kepada orang lain yang bernama A.W. Menuru
t Mahkamah ‗s-Gravenhage, dengan melakukan hal tersebut L.K telah menipu pegawai penjara, ia dapat dan
158
Ibid., Hal. 287
159
Leden Marpaung, Op.Cit.., Hal. 15
Universitas Sumatera Utara
seharusnya mengerti bahwa dengan menyamar sebagai tawanan, ia menikmati makanan yang bukan menjadi haknya
sebagai seorang yang tidak ditawan. Selanjutnya, putusan ini dikenal sebagai Arrest makanan
penjara gevangenisvoedsel b.
Hoge Raad tanggal 29-4-1935, N.J. 1936, No.50 m.o.W.P Seorang kepala sekolah menawarkan kepada pengurus sekolah
untuk mengusahakan mendapat subsidid dari kementerian pengajaran; kepada pengurus itu dikatakannya bahwa ia
memerlukan sedikit
uang untuk
membujuk pejabat
bersangkutan; pengurus sekolah memberikan f50 guna keperluan itu. Namun oleh kepala sekolah, uang itu
dimasukkan kedalam kasnya sendiri. Ketika dituntut karena melakukan penipuan, dalam pembelaanya kepala sekolah
mengemukakan bahwa ia mempunyai hak atas uang tersebut. Ia tidak mempunyai tujuan untuk menguntungkan diri sendiri
secara melawan hukum. Pembelaannya tersebut ditolak oleh Mahkamah Amsterdam. Hoge Raad menolaknya dengan
pertimbangan bahwa uang yang diserahkan untuk keperluan tertentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan sendiri.
Selanjutnya, putusan ini dikenal sebagai Arrest Kepala Sekolah.
2 Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti Opzet als zekerheidsbewuszijin
Universitas Sumatera Utara
Kesengajaan dengan
Keinsafan Pasti
Opzet Opzet
als zekerheidsbewuszijin yaitu sengaja sadar atau insaf akan keharusan
atau sadar akan kepastian, yang oleh Utrecht diuraikan dan diterjemahkan sebagaii sengajaka dilakukan dengan keinsafan bahwa,
agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran pula.
160
Leden Marpaung berpendapat, bahwa dalam Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti Opzet Opzet als zekerheidsbewuszijin pelaku doer or
dader mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu perbuatan lain. Si pelaku menyadarai bahwa dengan
melakukan perbuatan tersebut, pasti akan timbul akibat lain. 3 Kesengajaan dengan Keinsafan kemungkinan dolus eventualis
Disebut juga sebagai kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk
menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, pelaku menyadari bahwa mungkin akan ada timbul akibat lain yang juga dilanggar dan
diancam oleh undang-undang. Menurut Bemmelen dalan Zainal Abidin Farid, dolus eventualis adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari
kemungkinan. Artinya tidak pernah lebih banyak dikehendaki dan diketahui daripada kemungkinan itu. Seseoang yang menghendaki
kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia mengkehendaki supaya orang tersebut mati. Tetapi jika seseorang
160
Zainal Abidin Farid, Op.Cit., Hal. 286
Universitas Sumatera Utara
melakukan suatu perbuatannya dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat mengakibatkan matinya orang lain, hal itu menunjukkan
bahwa ia memang mengkehendaki kematian orang tersebut.
161
P.A.F. Lamintang juga menjelaskan dolus eventualis adalah pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan yang menimbulkan
suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibay yang
memang ia kehendaki. Jadi jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan
ia mempunyai kesengajaan.
162
2. Kelalaian atau kealpaan Culpa Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum pidana, diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau ciri-ciri dari kealpaan ini adalah :
1 Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatanotaknya secara salah, seharusnya ia
menggunakan ingatannya sebaik-baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan aktif
atau pasif dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan. 2 Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi
merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi,
161
Leden Marpaung, Op.Cit.., Hal. 18
162
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., Hal. 301
Universitas Sumatera Utara
dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas
tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat melawan hukum. Prof. Mr. D. Simons menerangkan kealpaan sebagai berikut:
“Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu.
Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu
mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.
Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat
itu lebih dulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
sebagai kealpaan.
Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya dapat diduga lebih dahulu, harus diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan-keadaan
yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuata yang dapat diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu
tidak ada.”
163
Dalam bukunya, A. Fuad Usfa dan Tongat berpendapat bahwa kelalaian atau kesengajaan harus memenuhi 2 syarat, yaitu:
164
1 Tidak ada kehati-hatian atau ketelitian yang diperlukan. Kemudian akan ditemukan permasalahan kapan seseorang dapat dikatakan
telah berbuat dengan tidak hati-hati? Maka untuk menentukan hal tersebut terdapat 2 hal yang dapat menjadi patokan, yaitu:
Untuk menentukan apakah seseorang telah berbuat hati-hati atau tidak, harus dilihat apakah tiap orang yang segolongan dengan
163
Leden Marpaung, Op.Cit., Hal. 25
164
A.Fuad Usfa dan Tongat, Op.Cit., Hal 87
Universitas Sumatera Utara
pelaku dalam hal yang sama akan berbuat lain? Kemudian apabila setiap orang yang segolongan dengan pelaku akan berbuat lain,
maka pelaku dapat dikatakan telah berbuat lalaialpa. Disebut juga kelalaian beratmenonjol culpa lata
Atau dapat dipakai ukuran lain, yaitu dengan diambil orang yang terpandai dalam golongan si pelaku. Disebut juga kelalaian ringan
culpa uvis. 2 Akibat yang dapat diduga sebelumnya, atau keadaan atau akibat yang
dapat diduga sebelumnya, yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum.
Secara umum, kealpaan atau kesengajaan culpa dibedakan atas: 1 Kealpaan dengan kesadaran bewuste schuld
Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, walaupun ia berusaha untuk mencegah,
namun akibat dari perbuatan tersebut tetap timbul. 2 Kealpaan tanpa kesadaran onbewuste schuld
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibay yang dilarang dan diancam hukuman oleh
undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
c. Tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar