Moralitas terdiri dari ciri-ciri yang tanpa moral suatu sistem tidak dapat disebut sebagai sistem hukum. Sebagai kualitas keunggulan yang diperlukan bagi perbuatan
hukum adalah yang terdiri dari moralitas inti inner morality.
96
Penegakan hukum yang bernurani dan bermoral dirasakan sangat penting untuk mengatur keseimbangan
antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat. Maka selanjutnya adalah hukum tersebut harus dilaksanakan oleh pelaksana hukum, Pelaksanaan hukum dalam
kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mempunyai arti penting terhadap apa yang menjadi tujuan dari penegakan hukum tersebut.
97
C. Penghukuman Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis
Perbuatan gelandangan dan pengemis menurut hemat Rusli Effendi dalam Djoko Prakoso, menjelaskan bahwa penghukuman yang terdapat dalam Pasal 504-
505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pidana kurungan dikhawatirkan bahwa lembaga pemasyarakatan atau tempat untuk menjalani pidana bagi
gelandangan dan pengemis tidak akan mencukupi over capacity dengan memperhatikan banyaknya orang yang demikian diperkotaan.
98
Sehingga ide penghukuman terhadap gelandangan pengemis mustahil diterapkan apabila melihat
kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
96
Syafruddin Kalo, Teori dan Penemuan Hukum, Bahan Kuliah Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004
97
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 181
98
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana, di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1987, hlm. 178
Universitas Sumatera Utara
Ide penghukuman ini tidak terlepas dari kejahatan konvensional dengan pelakunya yang berasal dari lapisan sosial bawah, sehingga gambaran yang dihasilkan
mengenai tampang kriminal terutama yang memiliki ciri-ciri tertentu dari orang yang berada di lapisan bawah. Dengan demikian, cara berpakaian bertingkah laku,
pekerjaan tertentu atau tidak bekerja dicurigai dan karenanya juga lebih di perhatikan.
99
Adanya persepsi tentang kejahatan dan penjahat yang demikian itu menyebabkan lalu mencurigai pengemis, gelandangan serta pemungut puntung rokok
daripada terhadap orang-orang yang berpakaian rapi dan trendy apabila mereka berada disekitar rumahnya. Ini memberikan gambaran mengenai keadaan bahwa
persepsi kejahatan masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur dan status sosial dari pelakunya, pandangan ini tidak sepenuhnya benar karena banyak kejahatan dan
pelanggaran juga dilakukan oleh orang-orang berkedudukan.
100
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat meningkatkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup
bermasyarakat. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan, hal ini penting tidak
99
I.S. Susanto, Statistik Kriminal Sebagai Konstruksi Sosial Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya Suatu Studi Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 73
100
Ibid, hlm. 74
Universitas Sumatera Utara
hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga kehidupan manusia.
101
Mahmud Mulyadi menjelaskan bahwa usaha menemukan alas philosofis tujuan hukum pidana ini, membawa kita kearah pengembaraan secara imaginer dalam
alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif,
deterrence, treatment dan social defence.
102
a. Retributif
Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant 1724-1804 dan Hegel 1770- 1831, teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas
kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam
mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku
101
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penaggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 42
102
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Medan: Pustaka Bangsa Press, hlm. 68
Universitas Sumatera Utara
kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan
yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari
tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.
Immanuel Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah
melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya
sendiri.
103
b. Teori deterrence
Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham
1748-1832. Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1764 bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya
tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana pembalasan masyarakat. Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas
pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
103
Ibid, hlm. 68-72
Universitas Sumatera Utara
Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan
kejahatan.
104
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
untuk mengurangi frekuensi kejahatan … the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency. Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan
dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:
105
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offender, yaitu
membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterring potential imitators,
dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan
kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;
3. Perbaikan si pelaku reforming the offender, yaitu memperbaiki tingkah laku
sipelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman
pidana;
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan,
sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;
5. Melindungi masyarakat protecting the public, melalui pidana penjara yang
cukup lama.
104
Ibid, hlm. 72
105
Ibid, hlm. 72
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum general deterrence dan pencegahan khusus individual or
special deterrence, Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan..
Sedangkan Prevensi khusus, dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi
perbuatannya kembali. c.
Treatment Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang
berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
adalah untuk memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran
positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan
rehabilitation. d.
Social defence Perlindungan Sosial Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II
dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya,
Universitas Sumatera Utara
pandangan social defence ini Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949 terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal ekstrim dan aliran yang moderat
reformis.Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” La Lotta Contra
La Pena. Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum
perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini melahirkan gerakan yang menghendaki penghapusan hukum pidana abilisionisme. Penggunaan hukum pidana
sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan ditentang secara radikal oleh kaum abolisionisme. Hukum pidana dalam perspektif kaum abolisionisme dirasakan
sebagai sesuatu yang kurang manusiawi, oleh karena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial.
Cesare Beccaria mengatakan bahwa kerasnya hukuman adalah tidak berguna, meski tidak seketika berlawanan dengan kebaikan publik atau menjadi akhir bagi
maksud yang di emban, yaitu untuk mencegah kejahatan, kerasnya hukuman itu akan berlawanan dengan kebajikan dermawan, yang merupakan konsekuensi dari
pemikiran pencerahan, yang menginstruksikan penguasa untuk berkehendak daripada sekedar memerintah manusia dalam keadaan bebas dan bahagia alih alih keadaan
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih baik. Kerasnya hukuman juga akan berlawanan dengan keadilan dan permufakatan sosial.
106
Keefektivan penerapan hukuman jelas tidak membawa manfaat maupun pendidikan bagi gelandangan dan pengemis, selama sistem peradilan pidana di
Indonesia belum humanis. Persoalan humanis dalam hukum pidana sangat erat sekali dengan pendekatan humanistik, terlebih lagi bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan garis pembangunannya bertujuan untuk membentuk manusia yang seutuhnya.
107
Bila kita merujuk pada ajaran Islam, apa yang dilakukan dalam penegakan hukum maka kita akan menemui berbagai kesalahan, bukankan islam mengajarkan
ketauladanan dan keadilan tanpa pandang bulu, seperti yang disampaikan oleh Khalifah Umar bahwa seseorang pemimpin adalah orang yang disaatnya rakyatnya
kelaparan maka ia adalah orang yang pertama kali merasakan lapar, dan disaat rakyatnya kenyang maka ia ia adalah orang yang terakhir yang merasakan kenyang.
kita sebagai bangsa selalu mengabaikan nilai-nilai moral yang ada dalam agama.
108
106
Cesare Beccaria, Perihal Kejahatan dan Hukuman, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 7-8
107
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hlm.
349-364
108
M.Z. Al-Faqih, Negara Ideal St. Ausgustine: Adakah Negara Indonesia Itu, Jurnal Governance, Pusat Penelitian Kebijakan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran, vol. 2 no. 8, 2006, hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
BAB III KEDUDUKAN PASAL 504 DAN PASAL 505 KUHP DALAM