Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

dalam studi tentang service state and public service ini selayaknya diterapkan dalam Undang-Undang Dasar. 180 Konsep hak asasi manusia bukan hanya tercantum dalam pernyataan hak asasi manusia sedunia atau deklarasi-deklarasi melainkan juga ia seringkali dituangkan dalam sejumlah konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori serta hasil-hasil dari pemikiran. Tidak semuanya berjalan dengan baik, karena banyak diantaranya yang hanya merupakan sentuhan ironi dari untaian kata-kata indah dihadapan realitas kehidupan masyarakat. tak jarang bagian-bagiannya merupakan salinan literal yang sesungguhnya cuma cocok untuk realitas-realitas lain. 181 Masalah utama yang layak diperhatikan tentang melaksanakan kebijaksanaan tersebut diatas adalah tentang bagaimana sistem hukum di Indonesia dapat secara efektif menjamah mayoritas masyarakat miskin gelandangan dan pengemis yang berkat sistem pelapisan sosial yang tak bergeming di negeri ini, jarak antara hukum dengan manfaatnya sangat dirasakan jauh dari nilai-nilai kesejahteraan. 182

B. Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu dapat dikatakan, 180 Ibid, Service State negara pelayanan: yakni pelayanan demi kesejahteraan rakyat makin menonjol, dan semua potensi alami natural resources maupun pengerahan tenaga sumber daya manusia human resources diarahkan kepada penciptaan kesejahteraan masyarakat lahir dan bathin. 181 Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak Asasi Manusia Suatu Pemahaman Kritis, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 70 182 Ibid, hlm. 87 Universitas Sumatera Utara bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. 183 Melihat pengaturan gelandangan dan pengemis dalam hukum pidana, maka disini penulis melihat adanya kesalahan dalam perumusan kebijakan legislatif yang dapat menjadi kesalahan strategis dalam penegakan hukum pidana, karena kebijakan tersebut lebih menekankan pada pemidanaan tanpa melihat mengapa perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat, sehingga terkesan ada kesenjangan penegakan hukum. Perubahan hukum pada dasarnya dimulai dari adanya kesenjangan antara aturan yang ditegakkan dengan masyarakat, sehubungan dengan sifat hukum tertulis yang kaku itu, maka sejak semula tentunya sudah dapat diduga bahwa dalam perjalanan waktu ia akan senantiasa sulit untuk segera melakukan adaptasi terhadap- terhadap perubahan-perubahan. Oleh karena itulah apabila timbul kesenjangan antara hukum dengan sesuatu perubahan dalam masyarakat, maka kesenjangan itu sebetulnya termasuk hal yang normal. Akan tetapi dalam hal penanganan gelandangan dan pengemis mengunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, penulis beranggapan kurang efektif, apabila kesenjangan dalam pemerataan hak tidak dapat dilaksanakan oleh negara maka perubahan ditandai 183 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 2-3 Universitas Sumatera Utara dengan oleh tingkah laku masayarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban- kewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan. 184 Dilihat dari sudut kajian hukum pidana, penggunaan sarana penal sanksi pidana dalam mengatur masyarakat gelandangan dan pengemis atau untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, bukan merupakan keharusan atau tidak bersifat absolutimperatif. Penggunaan sarana penal dalam mengatur masyarakat pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan sosial social policy atau kebijakan pembangunan nasioanal national development policy, bagian dari kebijakan atau politik kriminal dan juga bagian dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy. Dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau intervensi penal seyogianya tidak terlalu di obral. Kebijakan penggunaannya harus sehemat mungkin, lebih berhati-hati, cermat, bersifat selektif dan limitatif. 185 Kebijakan penal yang demikian didasarkan pada pertimbangan atau latar belakang pemikiran bahwa sarana penal mempunyai keterbatasan dan mengandung beberapa kelemahan, antara lain sebagai berikut: 186 a. Dilihat secara dogmatisidealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajamkeras oleh karena itu juga disebut sebagai ultimum remedium sarana terakhir; 184 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 191-192 185 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 139 186 Ibid, hlm.139-140 Universitas Sumatera Utara b. Dilihat dari segi fungsionalpragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi antara lain: berbagai undang-undang organik, lembagaaparat pelaksana menuntut biaya tinggi; c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktifparadoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif; d. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan menanggulangi menyembuhkan kurieren am symptom. Jadi, sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana; e. Hukumsanksi pidana hanya merupakan bagian kecil subsistem dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio- kultural dan sebagainya; f. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individualpersonal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g. Efektifitas pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalahkan. Mengingat fungsinya yang subsidair maka dalam menggunakan sarana penal ada beberapa pedoman atau prinsip-prinsip pembatas the limiting principles yang Universitas Sumatera Utara sepatutnya mendapat perhatian. Niegel Walker dalam Barda Nawawi Arief misalnya pernah menyajikan beberapa prinsip-prinsip pembatas antara lain sebagai berikut: 187 a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasanretributif; b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan dan membahayakan; c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih ringan; d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugianbahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugianbahaya dari perbuatantindak pidana itu sendiri; e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari perbuatan-perbuatan yang akan dicegah; f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik; g. Hukum pidana jangan memuat laranganketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakandipaksakan. Berdasarkan dimensi diatas, kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu ius constitutum dan masa yang akan mendatang ius constituendum. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit. Sebab, sebagai suatu sistem, hukum pidana terdiri dari budaya, struktur dan substansi hukum. 188 Marc Ancel menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempunakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli dibidang ilmu- 187 Ibid, hlm.141 188 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Bandung: Mandar Maju, 2010, hlm. 87 Universitas Sumatera Utara ilmu sosial. Sistem hukum pidana asasnya memiliki empat elemen substanstif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum philosophic, adanya asas-asas hukum hukum legal principles, adanya norma atau peraturan Perundang-undangan legal rules dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem tersebut legal society. Keempat elemen dasar ini membentuk piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada dibagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat. Walau dibuat sesempurna mungkin, sistem pidana mengandung cacat pada beberapa hal: 189 1. Kejahatan harus ada sebelum perbaikan bisa dijalankan. Perbaikan tercipta dengan menerapkan hukuman, dan hukuman tidak bisa diterapkan sampai pelanggaran sudah terjadi. Setiap teladan hukuman baru yang dijatuhkan merupakan bukti tambahan bahwa hukuman tidak efektif dan masih menyisakan bahaya dan kekhawatiran. 2. Hukuman itu sendiri adalah suatu kejahatan, kendati perlu untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Pengadilan pidana dalam seluruh kinerjanya, hanya bisa menjadi rangkaian kejahatan-kejahatan yang muncul dari ancaman dan paksaan hukum, kejahatan yang muncul dari dituntutnya tertuduh sebelum ada kemungkinan untuk membedakan orang yang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. 189 Jeremy Bentham, Teori Perundang-Undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, terjemahan dari The Theory of Legislation oleh Nurhadi, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2010, hlm. 399 Universitas Sumatera Utara 3. Sistem pidana tidak mampu menjangkau banyak tindakan merugikan yang luput dari peradilan kerana kerapnya terjadi, kemudahan untuk menyembunyikannya, kesulitan dalam mendefinisikannya, atau kerena perubahan jahat opini publik yang mendukung pelanggaran-pelanggaran itu. Hukum pidana hanya dapat terselenggara dalam batas-batar tertentu, kekuasaannya hanya sampai pada perbuatan-perbuatan yang jelas dan mudah dibuktikan. Ketidaksemprnaan hukum pidana menyebabkan perlu diupayakan cara-cara baru yang berguna untuk menutupi kekurangannya. Cara-cara tersebut bertujuan untuk mencegah pelanggaran. 190 Maka diperlukan suatu kebijakan hukum pidana dalam menangani gelandangan dan pengemis sebagai amanat dari konstitusi. Dikaji dari perspektif politik hukum maka politik hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif disini diartikan sebagai peraturan perundang-undangan hukum pidana. karena itu istilah penal policy menurut Ancel, sama dengan kebijakan atau politik hukum pidana. usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari tujuan penaggulangan kejahatan. 191 190 Ibid, hlm. 399 191 Op.Cit, hlm. 87-88 Universitas Sumatera Utara Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu bukan sekedar pengakomodasi perubahan seperti dimplisitkan dalam ajaran the sociological jurisprudence Roscoe Pound. Ditengarai oleh Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum barat. Hukum yang dibingkai oleh tradisi dan konfigurasi kultural barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu saja dipakai dalam rangka mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya di negeri-negeri berkembang non barat yang memiliki aset-aset sosio kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditenggarai oleh Robert B. Seidman sebagai the law of the nontrasferability of law. 192 Berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, maka tidak terlepas dari sasaran pokok pembangunan peraturan perundang-undangan yang meliputi: 193 1. Melanjutkan pembaharuan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial. 192 Eman Suparman, Persepsi Tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa dalam Jurnal Penegakan Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Vol. 4 No. 1 Januari 2007, hlm. 25 Robert Seidman mengemukakan pada dasarnya memang tidak mudah untuk mentransfer begitu saja suatu sistem tertentu, dalam hal ini sistem hukum modern, kepada masyarakat lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berlainan. Menurut hemat penulis penerapan pasal-pasal dalam KUHP sudah selayaknya dirubah dan digantikan dengan aturan-aturan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan suasana psikologis ke-Indonesiaan. 193 Rabiatul Syariah, Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional, Dalam Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, hlm. 36 Universitas Sumatera Utara 2. Memperbaharui peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah merdeka telah ketinggalan atau tidak mencerminkan dasar dan arah politik hukum menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, berdasarkan atas hukum berkeadilan sosial. 3. Menciptakan peraturan perundang-undangan baru yang diperlukan baik dalam rangka memperkuat dasar dan arah politik hukum maupun mengisi kekosongan hukum akibat perkembangan baru. 4. Mengadakan atau memasuki berbagai persetujuan internasinal baik dalam rangka ikut memperkokoh tatanan internasional maupun untuk kepentingan nasional. Bagi indonesia, yang merupakan negara yang menganut paham demokrasi, dimana penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, merupakan suatu keharusan untuk diwujudkan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, bukan sekedar angan-angan atau impian belaka. Salah satu perwujudan negara demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah adanya keterbukaan transparancy dalam berbagai aspek, termasuk diantaranya adalah pengentasan kemiskinan yang mengakibatkan banyaknya gelandangan dan pengemis, sedangkan jaminan keadilan berkenaan dengan pemberian kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk memperoleh kesejateraan. 194 Sebagaimana dikatakan Sadu Wasistiono, bahwa ciri-ciri tata pemerintahan yang baik adalah: 1. Mengikutsertakan masyarakat; 2. Transparan dan bertanggung jawab; 194 Budi Utomo, Op. Cit., hlm. 56 Universitas Sumatera Utara 3. Efektif dan adil; 4. Menjamin adanya supremasi hukum; 5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, ekonomi, dan sosial didasarkan pada konsensus masyarakat; 6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah dan waktu dimana kita sedang berada law is not separate from the culture, history and time in which it exists setiap perkembangan sejarah dan sosial, harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum. 195 Selanjutnya M. Solly Lubis dalam Alvi Syahrin menyatakan bahwa melalui pendekatan kultural, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut kedalam konstruksi hukum nasional. 196 Kita berfikir, dengan membuat hukum nasional sejak merdeka, segala sesuatunya menjadi beres dan dengan pandangan tegap kedepan bisa mengatakan, bahwa sejak hari ini Indonesia sudah mempunyai hukum yang dibuatnya sendiri. Ternyata itu baru langkah awal saja, karena kita masih menghadapi sejumlah besar persoalan sehubungan dengan hukum nasional kita sebut saja kitab undang-undang 195 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Jakarta: Sofmedia, 2009, hlm. 3 196 Ibid, hlm. 3 Universitas Sumatera Utara hukum pidana. 197 Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional dikhwatirkan akan menjadi beban daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan. 198 Oleh sebab itu pembangunan Indonesia bersifat fundamental, tidak dilakukan secara tambal sulam, Indonesia merupakan suatu masyarakat yang sedang membangun dirinya secara lengkap a society making, sehingga membutuhkan peninjauan kembali terhadap semua kelembagaan yang selama ini dipakainya, dengan berpegangan pada kaidah-kaidah bangsanya seperti konsep Pancasila, wawasan nusantara, pembagunan manusia seutuhnya dan seterusnya. 199 Pada saat cita hukum kita berbicara mengenai kekeluargaan, kebersamaan dan pancasila, cara berhukum kita lebih cenderung ke cara-cara yang liberal dan individualistis. Terasa ada kesenjangan dan bahkan semacam keterbelahan disini antara bentuk kehidupan sosial dan hukumnya. Sudah saatnya kitab undang-undang hukum pidana diperharui, diantaranya memperbaharui Pasal 504-505 dalam hukum pidana nasional Indonesia. Serta pembenahan kesejahteraan bagi masyarakat miskin, sebenarnya dalam hidup tidak ada satupun manusia yang ingin menjadi pengemis dan gelandangan. 197 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 49 198 Ibid, hlm. 62 199 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 4 Universitas Sumatera Utara Suatu perubahan memang perlu dilakukan, untuk menjadikan hukum negeri ini mengabdi dan melayani manusia dan bukan sebaliknya, tetapi, dunia pendidikan memang menghadapi kesulitan besar, apabila peran legislator secara terus menerus memproduksi hukum, tanpa menyadari adanya perbedaan antara watak liberal dan watak bangsanya sendiri. 200 Harus diakui bahwa pengaruh Belanda sangat besar dalam hukum Indonesia, artinya, memang berasalan melakukan pembaharuan hukum pidana yang sekarang berlaku, besarnya pengaruh hukum Belanda itu dapat terjadi kerena: 201 1. Prinsip konkordansi yang dianut dalam sistem hukum Belanda 2. Ilmu hukum yang berkembang di Indonesia sebagian terbesar didasari oleh ajaran- ajaran dan teori yang dikembangkan dunia barat 3. Praktek peradilan yang dilangsungkan di Indonesia, hampir seluruhnya bersumber kepada peraturan perundang-undangan dan doktrin ilmu hukum Belanda. Dari uraian diatas dapatlah ditegaskan bahwa pembaharuan hukum pidana penal reform dalam penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis sangat mendesak perlu dilakukan karena latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio filosofik, sosio kultural atas berbagai kebijakan aspek kebijakan, 202 dan penulis menilai bahwa pembentukan regulasi gelandangan dan pengemis tanpa melihat aspek yang telah yang telah 200 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 118 201 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1996, hlm. 24 202 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op.Cit, hlm. 30 Universitas Sumatera Utara disinggung di atas, ini menyebabkan setiap peraturan yang diterapkan tidak dapat berlaku secara efektif karena peraturan tersebut bertentangan dengan nilai sosial. Karena hukum merupakan tumpuan harapan dan kepercayaan masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup bersama. Hukum merupakan perwujudan atau manifestasi dan nilai kepercayaan. Oleh karena itu wajar apabila penegak hukum diharapkan sebagai orang yang sepatunya dipercaya, dan menegakkan wibawa hukum pada hakikatnya berarti menegakkan nilai kepercayaan didalam masyarakat. 203 di sinilah dibutuhkan kebijakan dengan menghilangkan aspek pidana dalam pengaturan gelandangan dan pengemis, dan peran negara yang harus melihat masalah ini secara riil masalah bangsa yang harus diselesaikan secara bermartabat. Dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut: 204 1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan: a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial termasuk masalah kemanusiaan dalam rangka mencapaimenunjang tujuan nasional kesejahteraan masyarakat dan sebagainya; b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya upaya penanggulangan kejahatan; 203 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pemgembangan Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 5 204 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Loc.Cit, hlm. 31 Universitas Sumatera Utara c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan hukum. 2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali re-orientasi dan re-evaluasi nilai-nilai sosio-politik, sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan hukum pidana, apabila orientasi nilai-nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan misalnya KUHP baru sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah KUHP lama atau Wvs. Pembaharuan hukum pidana yang mengatur gelandangan dan pengemis perlu dilakukan karena ada hubungan antara peningkatan kejahatan dengan tidak rasionalnya kebijakan perundang-undangan pidana, terlihat pula dalam pandangan John Kaplan yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, salah satu aspek yang paling kacau dari peraturan pemidanaan ialah kondisi KUHP itu sendiri. Di kebanyakan negara, sanksi-sanksi yang tersedia untuk delik-delik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan yang rasional. 205 Kebijakan dalam penanganan pengemis adalah penghukuman sanksi moral dan agama dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis tanpa pemidanaan yang tidak berdampak pada pengurangan komunitas tersebut. Akan lebih efektif rasanya 205 John Kaplan, Criminal Justice: Introductory Cases and Materials, New York: The Foundation Press, Inc, Mineola, 1973, hlm. 443, dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori- Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 204 Universitas Sumatera Utara apabila sanksi sosial dilaksanakan daripada sanksi pidana, seperti yang diutarakan oleh Tgk. H. Abu Bakar Ismail Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe, mengharamkan pekerjaan gelandangan dan pengemis. Karena menurut beliau pengemis dapat dikelompokkan menjadi 2 dua jenis: 1. Pengemis yang tidak layak menjadi pengemis malas bekerjasehat fisik, pengemis semacam ini dari perbuatannya sudah dikatagorikan haram, disebabkan dengan menipu dalam melakukan pengemisan, misalnya: berpura-pura cacat padahal tidak cacat; 2. Pengemis yang layak menjadi pengemis orang cacat, orang lanjut usia yang terlantar, maka menurut beliau pengemis semacam ini di bolehkan diberikan sumbangan karena memang secara fisik tidak memungkinkan untuk bekerja. Perbuatan gelandangan dan pengemis merupakan tindakan merendahkan derajat dan martabat manusia bukan hanya dimata manusia, tapi juga di hadapan Tuhan serta menjatuhkan agama islam, sebetulnya persoalan ini juga harus ada jalan keluarnya dan pemerintah perlu memberikan solusinya. Sebab bukan tak mungkin akan menimbulkan persoalan baru termasuk menurunkan kualitas moral. Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab, karena pemerataan kesejahteraan masyarakat kecil di abaikan. 206 206 Wawancara dengan Tgk. H. Drs. Abu Bakar Ismail, MA., Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe, Tgl. 2 Mei 2011 Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya mengemis termasuk cara mencari harta yang diharamkan oleh Allah SWT, karena itu, mengemis tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim kecuali bila sangat terpaksa. Qabishah bin Mukhariq al Hilat Ra berkata: “aku pernah memikul tanggungan berat di luar kemampuan, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukan hal itu, kemudian beliau bersabda: “tunggulah sampai ada sedekah yang datang kepada kami, lalu kami perintahkan agar sedekah itu diberikan kepadamu”. 207 Setelah itu beliau bersabda: “hai Qabishah, sesungguhnya meminta- minta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari tiga golongan”, yaitu: a. Orang yang memikul beban tanggungan yang berat diluar kemampuannya, maka dia boleh meminta-minta sehingga setelah cukup lalu berhenti, tidak meminta-minta lagi; b. Orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka dia tidak boleh meminta-minta sampai dia mendapatkan sekedar kebutuhan hidupnya; c. Orang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang yang sehat pikirannya dari kaumnya mengagapnya benar-benar miskin, maka dia boleh meminta sampai dia memperoleh sekedar kebutuhan hidupnya. Sedangkan selain dari 3 tiga golongan tersebut maka meminta-minta haram hukumnya Hadist Riwayat Muslim. Ridwan Djalil Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe juga mengatakan bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap gelandangan dan pengemis dirasakan sangat kurang, hal ini ditandai dengan dukungan anggaran yang kurang memadai 207 Bahron Anshori, Mengemis Itu Haram, Dalam Harian Serambi Indonesia No. 7.908 Tahun ke-23, Tgl. 3 Juni 2011, hlm. 22 Universitas Sumatera Utara dalam penanganan gelandangan dan pengemis seperti yang diajukan oleh dinasnya yang memplot anggaran sebesar Rp. 600 juta tetapi yang disetujui sebanyak Rp. 60 juta. Selain itu, ternyata di Kota lhokseumawe belum pernah diadakan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis, beliau berasumsi bahwa ketika gelandangan dan pengemis ditangkap tidak tahu harus ditempatkan dimana mereka karena sampai saai ini belum ada rumah singgah atau tempat pembinaan. Sejauh ini anggaran habis pada belanja aparatur negara. 208 Hal senada diungkapkan oleh Asnawi Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kota Lhokseumawe menjelaskan bahwa Tahun 2011 bidangnya hanya memperoleh 3 tiga program yaitu: 209 1. Bagi lanjut usia produktif diberikan bantuan sebesar Rp. 1600. 000,-orang untuk 40 orang; 2. Kursi roda sebagai sarana untuk orang cacat; dan 3. Penertiban gepeng hanya untuk di tangkap, tapi belum terlaksana karena setelah ditangkap upaya yang apa yang harus dilakukan untuk mereka, karena terbentur anggaran dalam pelaksanaan dilapangan. Tingkat daerah kebijakan terhadap rehabilitasi sosial belum ter-implementasi dengan baik, karena kebijakan dalam pengentasan kemiskinan hanya berkutat pada kebijakan pengadaan bangunan fisik. Perlu dicatat bahwa dalam penegakan hukum terhadap gelandangan dan pengemis memiliki satu titik persilangan yang penting antara ide keadilan dan ide kebaikan atau kesejahteraan sosial. Sedikit sekali 208 Wawancara dengan Drs. Ridwan Djalil, Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe, Tgl. 2 Mei 2011 209 Wawancara dengan Asnawi Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kota Lhokseumawe, Tgl. 2 Mei 2011 Universitas Sumatera Utara perubahan sosial atau hukum-hukum yang menyenangkan atau memajukan kesejahteraan semua individu secara serupa. 210 Sebuah peraturan hukum bisa juga dipandang secara umum sebagai hal yang tidak penting untuk dipertahankan, bahkan secara umum disepakati bahwa peraturan demikian semestinya dihapuskan. Maka dengan demikian Pasal 504-505 Kitab Hukum Pidana sebaiknya diperbaharui, dengan menambahkan kriteria dan jenis gelandangan dan pengemis, sehingga dalam penerapan aturan hukum bisa memperoleh keadilan dan kepastian hukum. 210 H. L. A. Hart, Konsep Hukum The Concept of Law, Bandung: Nusamedia, 2009, hlm. 258 Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN