Teori Hukum Progresif Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)

Terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti peradilan terhadap para hakim dan peyalahgunaan kekuasaan dalam hukum oleh aparat penegak hukum serta friksi yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum, tampaknya tidak harus dikembalikan kepada masalah mentalitas para pelaksana penegakan hukum, sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat, melainkan juga ada kemungkinan disebabkan oleh karena memang nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa keadilan masyarakat kita. 37 Tumpang tindih dalam peraturan ini memang menjadi masalah dalam penerapan hukum dilapangan, seperti penghukuman kepada pengemis dan gelandangan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang menjelma menjadi sebuah aturan didalam pelanggaran ketertiban umum, ternyata dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa itu bukan pelanggaran pidana, tetapi negara menjamin kesehjahteraan bagi masyarakat miskin dan perlakuan yang sama di depan hukum, di sinilah letak ketidakharmonisan hukum dalam penegakkanya.

2. Teori Hukum Progresif

Hukum progresif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada 37 Ibid, hlm. 69 Universitas Sumatera Utara manusia. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum dan menolak status quo hukum, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani. 38 Hukum progresif didasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Oleh sebab itu hukum harus ditempatkan sebagai alat untuk membahagiakan masyarakat bukan sebaliknya. Gagasan hukum progresif muncul kerena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat internasional, sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Tidak hanya pengamat, tetapi umumnya rakyat juga berpendapat demikian, kendatipun mereka tidak mengutarakan sebagai tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkrit mereka dengan hukum sehari-hari, seperti kelamahan mereka saat berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum. 39 Secara spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan, pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimanakah hukum akan 38 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hlm. 1-2 39 Ibid, hlm. 3 Universitas Sumatera Utara bekerja dan dijalankan. Sebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus menerus membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi hukum progresif. Sebagai penggagas hukum progresif, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif terpanggil untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum karena hukum merupakan institusi yang progresif, hukum tidak pernah berhenti, stagnan, melainkan terus tumbuh berubah dan berkembang. 40 Hukum progresif mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status quo sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan. Kata kunci dari gagasan hukum progresif tersebut adalah kesedian untuk membebaskan diri dan faham status quo tersebut. 41 Maka sangat diharapkan hukum progresif dapat diterapkan dalam berhukum, agar hukum dapat tegak bukan hanya melalui substansi hukum melainkan hukum yang menghargai hak asasi individu didalam sebuah bangsa yang beradab, maka pengaturan mengenai gelandangan dan pengemis harus dicerna oleh pembuat undang- undang untuk diatasi sebagai wujud tanggung jawab negara.

3. Teori Keadilan