sampai tahapan pernyataan saja dan tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam kehidupan yang sesungguhnya.
157
Seharusnya apabila gelandangan dan pengemis mau berusaha maka permodalan bisa diberikan atau di pinjamkan dari dana zakat, infak dan sedekah atau
dana yang disediakan oleh pemerintah sehingga seseorang bisa berusaha dengan cara yang baik dan tidak menjadi gelandangan dan pengemis.
BAB IV DEKRIMINALISASI TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS
DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Proses Dekriminalisasi
Kebijakan Perundang-undangan yang sering mendapat sorotan ialah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana kejahatan atau sering
disebut kebijakan kriminalisasi. Bertolak dari kenyataan bahwa kejahatan ditentukan oleh Undang-undang maka dapatlah dikatakan Undang-undanglah yang menciptakan
kejahatan. Undang-undang memberikan kewenangan dan dasar legitimasi kepada
157
Rena Yulia, Op. Cit., hlm. 135
Universitas Sumatera Utara
penegak hukum untuk menyatakan apakah perbuatan seseorang merupakan kejahatan atau tidak.
158
Undang-undang sebagai penyebab timbulnya kejahatan karena materi yang tercantum dalam Undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat sudah tidak
sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat, akibat hukum yang tidak baik, maka masyarakat cenderung tidak respek terhadap penegakan
hukum dan melakukan pelanggaran sebagai bentuk perlawanan. Dalam batas pengertian yang demikian, maka sebenarnya tidaklah dapat
dikatakan bahwa Undang-undang merupakan faktor kriminogen, artinya Undang- undang bukan faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan, tetapi
hanya sebagai salah satu faktor yang menyebabkan perbuatan seseorang dinyatakan atau di cap sebagai kejahatan.
159
Dalam salah satu laporan kongres PBB VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders pencegahan kejahatan dan tindakan perawatan
kepada pelanggar, khususnya yang membicarakan Crime Trends and Crime Preventions Strategies trenmodus operandi kejahatan dan strategi pencegahan
kejahatan, dikemukan antara lain ketiadaan konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen, semakin jauh undang-undang
bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka semakin
158
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 201
159
Ibid
Universitas Sumatera Utara
besar ketidak percayaan akan keefektifan sistem hukum itu. Ketidaksesuaian itu tidak hanya berarti tidak sesuai dan tidak responsif lagi terhadap problem-problem sosial
atau terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan pembangunan saat ini.
160
Ketidaksesuaian atau diskrepansi yang terlalu besar antara undang-undang dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat itulah yang dapat menyebabkan
undang-undang itu disfungsional dan pada akhirnya dapat menjadi faktor kriminogen
161
. Salah satu contoh diantaranya adalah penghukuman kepada gelandangan dan pengemis dalam KUHP, karena dalam pandangan masyarakat pada
umumnya perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana delik. Secara tegas bahwa didalam Alqur’an dijelaskan bahwa perbuatan
gelandangan dan pengemis bukan merupakan kejahatan seperti yang terdapat dalam Surat Al-Ma’un. Allah SWT berfirman:
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, yaitu orang- orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan
menolong dengan barang berguna. QS. Al-Ma’un: 1-7.
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”, maksudnya adalah Mereka yang menghardik anak yatim, menzalimi hak-haknya, dan tidak memberinya makan, tidak
berbuat baik kepada mereka. Yatim adalah orang yang bapaknya telah meninggal dan dia dibawah usia baligh baik lelaki atau wanita.“dan tidak menganjurkan memberi
160
Ibid, hlm. 202
161
Ibid
Universitas Sumatera Utara
makan orang miskin”, maksudnya adalah tidak memerintahkan untuk memberi makan orang miskin karena kebakhilan atau karena mendustakan hari pembalasan.
Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT: Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, QS. Al-Fajr: 17-18.
Dari Ayat diatas dapat dipetik pelajaran mengenai fakir miskin dan anak terlantar sebagai berikut:
162
8. Ayat ini menjelaskan tentang anjuran memberi makan kepada orang miskin
dan anak yatim. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Kitab shahihnya dari Sahl bin Sa’ad bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Aku bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini”. Dan beliau menjadikan jari telunjuk berjejeran dengan jari tengah”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Orang yang berusaha untuk kebutuhan wanita janda dan miskin seperti seorang mujahid di jalan Allah”, dan aku menyangka beliau bersabda:
“Seperti orang yang bangun malam tanpa merasa putus asa dan orang yang puasa yang tidak pernah meninggalkannya”
9. Anjuran untuk mengerjakan kebajikan, dan berbuat baik kepada orang lain
dengan memberikan meminjam harta walaupun kecil, seperti meminjamkan bejana, timba, buku, parang dan yang lainnya sebab Allah mencela orang yang
tidak berbuat demikian.
162
Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Merenungi Tafsir Al-Ma’un, dalam www. islamhouse. com., diakses Tgl. 13 Juni 2011
Universitas Sumatera Utara
10. Anjuran untuk berbuat ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap
riya, sebagaimana firman Allah tentang sifat orang-orang yang beriman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih. QS. Al-Insan: 8-9.”
Didalam firman lain Allah SWT, juga menjelaskan bahwa perbuatan gelandangan dan pengemis bukan sebagai perbuatan yang patut dipidana atau bahkan
dimarjinalkan dalam kehidupan masyarakat, Allah SWT berfirman: Artinya: “…dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu
bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa yang tidak mau meminta.” Q.S Al-Ma’aarij70:24-25.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Islam mempunyai ajaran tentang kepedulian terhadap orang-orang lemah, baik lantaran miskin, yatim, cacat maupun tertindas
yang menjadikan hidup mereka terlantar. Untuk membantu penghidupan mereka ini didalam Islam ada lembaga yang bernama zakat, infaq dan sedekah.
163
Sedangkan dalam KUHP Belanda 1886, perbuatan gelandangan dan pengemis disebutkan sebagai perbuatan yang dihukum dipidana, terhadap perbuatan
ini terdapat pembagian tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan asas konkordansi dioper kedalam Wvs Hindia Belanda 1918, kini
KUHP. Sebelum Wvs Tahun 1886, di Belanda dikenal tiga jenis tindak pidana, yaitu Misdaden kejahatan, wanbedrijven perbuatan tercela dan overtredingen
163
Ahmad Kosasih, HAM dalam Pandangan Islam, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran, yang mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis 1810, yang membedakan tindak pidana kedalam tiga jenis yakni crime kejahatan, delict
perbuatan tercela, dan contravention pelanggaran.
164
Mengenai dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat disimpulkan dari keterangan Memorie van Toelichting memori penjelasan bahwa
pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya didalam masyarakat terdapat perbuatan-perbauatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas
dipidana. Bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh undang-undang, dan juga ada perbuatan yang baru sifat melawan hukum dapat dipidana setelah undang menyatakan
demikian. Untuk yang pertama disebut dengan rechtdelicten, dan yang kedua disebut dengan wetsdelicten
165
Pada hakikatnya ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran hukum pada umumnya dengan dengan penekanan stress kepada delik hukum
rechtsdelicten dan delik undang-undang wetsdelicten. Dimana yang dikatakan kejahatan sebagai delik hukum rechtsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang
menurut sifatnya walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang tetap mempunyai sifat jahat dan bertentangan dengan hukum, sedangkan yang dimaksud
dengan pelanggaran sebagai delik undang-undang wetsdelicten yaitu perbuatan
164
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 122
165
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 123
Universitas Sumatera Utara
yang baru mempunyai sifat jahat jika dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum setelah dicantumkan dalam undang-undang.
166
Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman
pidana dan pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi dengan pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman
pidana penjara.
167
Mengenai perbuatanaktifitas yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu bersifat melawan hukum,
bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat perkataan “melawan hukum”, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur
tindak pidana yang lain dan kesalahan yang menunjuk pada sikap batin si pembuat sebagai kejiwaan yang terdapat di dalam rumusan delik. Dengan demikian maka
perbuatan gelandangan dan pengemis dikategorikan melawan hukum harus dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana.
Dalam hukum pidana, kedudukan sifat melawan hukum sangat khas. Umumnya telah terjadi kesepahaman dikalangan para ahli dalam melihat sifat
melawan hukum apabila dihubungkan dengan tindak pidana. Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap pidana. Roeslan Saleh mengatakan, “memidana sesuatu
yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”. Sementara itu, Andi Zainal
166
E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm. 230
167
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 123-124
Universitas Sumatera Utara
Abidin mengatakan, “salah satu unsur esensial delik ialah sifat melawan hukum wederechtelijkheid dinyatakan dengan tegas atau tidak didalam suatu pasal undang-
undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum. Dengan demikian, untuk dapat
dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum.
168
Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila
memenuhi unsur “melanggar hukum” yang dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Disini, kata recht yang dipakai dan bukan wet. Boleh dipersoalkan
disini sebenarnya hukum mana sebenarnya dalam pidana itu yang dilanggar. Hukum adalah undang-undang yang tertulis itu, atau hukum yang didalam kepustakaan
hukum sering dikenali dengan istilah living law, atau yang di Inggris di istilahkan dengan law of the country.
169
Maka apabila persoalan wederechtelijk dan law of the country ini diangkat dalam persoalan gelandangan dan pengemis, sebenarnya tidak ada unsur pidana
dalam perbuatan mengemis dan gelandangan. Pengemis dan gelandangan itu tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan yang menganggu ketertiban umum, karena perbuatan
168
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm.
51
169
Soetandiyo Wignjosoebroto, Nenek Minak Tak Curi Cokelat, Harian Kompas Tgl. 15 Februari 2010
Universitas Sumatera Utara
baru dianggap menganggu ketertiban apabila sudah sangat meresahkan masyarakat, yang dilakukan dengan cara-cara pemerasan, pemaksaan dan lain-lain sebagainya.
Memang dalam KUHP yang berlaku sekarang, perkataan “melawan hukum” kadang-kadang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, kadang-kadang tidak.
Menurut Schaffmeister, ditambahkan kata: “melawan hukum” sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk ruang lingkup rumusan delik yang
telah dibuat terlalu luas.
170
Seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana justru karena telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawabannya itu ditujukan terhadap tindak
pidana yang telah dilakukan. Berhubung setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka pertanggungjawabannya juga diarahkan kepada sifat melawan hukum
dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain kesalahan sipembuat yang dipertanggungjawabkannya itu, juga ditujukan kepada timbulnya tindak pidana yang
bersifat melawan hukum.
171
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor yang menentukan didalam pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law
system yang dikenal dengan maksim latin “actus non est reus nisi mens sit rea”. Menurut Wilson, umumnya maksim ini diterjemahkan sebagai “an act not criminal in
the absence og guilty mind”, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai
170
Op. Cit, hlm. 52
171
Op.cit, hlm. 56
Universitas Sumatera Utara
kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya. ini sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam sitem common law.
172
Karena setiap perbuatan mempunyai maksud dan tujuan, apakah gelandangan dan pengemis suatu
yang bersifat jahat, ini menjadi dilematis apabila mengeneralisir masalah. Doktrin ini menyebabkan mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak
pidana. Dengan kata lain, bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri
orang tersebut. Penerapan doktrin ini sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam sistem civil law.
173
Pelanggaran yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis seharusnya didekriminalisasi sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat miskin social
defence karena dari perbuatan tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan kepentingan umum yang dilanggar. Bertolak dari pengertian diatas maka
kriminalisasi terhadap gelandangan dan pengemis merupakan suatu kemunduran dalam penegakan hukum. Karena sesungguhnya penghukuman terhadap gelandangan
dan pengemis bukan solusi dalam menjaga ketertiban umum melainkan dengan memberdayakan zakat, infak dan sedekah dengan baik.
Secara sempit proses dekriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana suatu perilaku yang semula dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana dan
172
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010, hlm. 7
173
Ibid, hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
dikenakan sanksi negatif dibidang pidana, kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksi negatifnya. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya
kualifikasi pidana yang dihapuskan, akan tetapi juga sifat melawan atau melanggar hukumnya. Kecuali itu, maka penghapusan kualifikasi pidana dan sanksi-sanksi
negatifnya tidak diganti dengan reaksi sosial lainnya yang diatur, misalnya dalam bentuk sanksi perdata dan administratif.
174
Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, misalnya: 1.
Suatu sanksi secara sosiologi merupakan persetujuan sanksi positif atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu sanksi negatif. Ada kemungkinan
bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku tertentu pula mengalami perubahan, sehingga perilaku tertentu pula
mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi tersebut tidak lagi ditolak.
2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai
dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu. 3.
Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi- sanksi negatif tertentu sangat besar.
174
Soerjono Soekanto, dkk, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 47
Universitas Sumatera Utara
4. Sangat terbatasnya efektifitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu, sehingga
penerapannya akan menimbulkan pudarnya wibawa hukum.
175
Mahfud MD menyatakan sejumlah peristiwa hukum belakangan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat, seperti hukum berhadapan dengan pelanggar
dari kalangan kelas bawah dan miskin. Sementara pada pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara finansial maupun memilki akses pada
kekuasaan, penegakan hukum akan berbeda, bahkan cenderung mengatur sedemikian rupa supaya hukum bisa lebih menguntungkan dirinya.
176
Mahfud MD juga mendesak penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum. Hukum di Indonesia saat ini memang tengah
mengalami permasalahan yang besar, terutama ketika orang kecil yang berurusan dengan hukum, aparat langsung memberlakukan bunyi hukum secara formal.
177
Oleh sebab itu penegakkan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat
Indonesia, bagi sebagian masyarakat Indonesia hukum dirasakan belum memberikan rasa keadilan, kemamfaatan, kesetaraan dan perlindungan terhadap HAM khususnya
terhadap masyarakat kecil dan tidak mampu.
178
Menanggapi permasalahan gelandangan dan pengemis penulis sepakat untuk dihukumdipidana gelandangan dan pengemis dalam hal apabila melakukan tindak
175
Soerjono Soekamto, Ibid, hlm. 47- 48
176
Harian Kompas, Rasa Keadilan Masih Tersisih: Masyarakat Miskin Semakin Tidak Berdaya, Tgl. 15 Februari 2010
177
Ibid
178
Satjipto Rahardjo, Menbedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 212-213
Universitas Sumatera Utara
pidana yang merugikan dan menganggu ketertiban umum, bukannya dihukum karena label atau sebutan masyarakat yang termarjinal bagi mereka. Akan tetapi dalam hal
melakukan pengemisan didepan umum serta gelandangan maka penulis berpendapat apabila perbuatan tersebut di dekriminalisasikan. Oleh karena itu, yang terpenting
dalam upaya dekriminalisasi dalam mengatasi gelandangan dan pengemis adalah dengan mencari dan menemukan upaya penanganan gelandangan dan pengemis
secara konferehensif. Solly Lubis mengatakan bahwa gagasan, cita-cita, atau idealisme penciptaan
negara kesejahteraan, sangat erat hubungannya dengan perlindungan hak asasi manusia. Makin cenderung pemerintah mengemban hak asasi manusia maka makin
dekat dengan misi dan visi pemerintah kearah negara kesejahteraan. Apalagi kalau tekad dan konsep perlindungan itu didalam Undang-undang Dasar ataupun rencana-
rencana pembangunan, tidak sekedar dalam bentuk formal dan seyogianya harus berupa tindakan konkrit dan riil.
179
Di Indonesia, kita masih berada pada tahap peletakan fondasi kostitusional mengenai perlindungan hak asasi manusia, dan masih jauh realisasinya sesuai dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat luas sebagai stakeholders. Namun demikian,
179
M. Solly Lubis, Suplemen Untuk Modul: Teori Hukum, Politik Hukum, Kebijakan Publik, Hukum Dan Kebijakan Publik, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tanpa
Tahun
Universitas Sumatera Utara
dalam studi tentang service state and public service ini selayaknya diterapkan dalam Undang-Undang Dasar.
180
Konsep hak asasi manusia bukan hanya tercantum dalam pernyataan hak asasi manusia sedunia atau deklarasi-deklarasi melainkan juga ia seringkali dituangkan
dalam sejumlah konvensi, konstitusi, perundang-undangan, teori serta hasil-hasil dari pemikiran. Tidak semuanya berjalan dengan baik, karena banyak diantaranya yang
hanya merupakan sentuhan ironi dari untaian kata-kata indah dihadapan realitas kehidupan masyarakat. tak jarang bagian-bagiannya merupakan salinan literal yang
sesungguhnya cuma cocok untuk realitas-realitas lain.
181
Masalah utama yang layak diperhatikan tentang melaksanakan kebijaksanaan tersebut diatas adalah tentang bagaimana sistem hukum di Indonesia dapat secara
efektif menjamah mayoritas masyarakat miskin gelandangan dan pengemis yang berkat sistem pelapisan sosial yang tak bergeming di negeri ini, jarak antara hukum
dengan manfaatnya sangat dirasakan jauh dari nilai-nilai kesejahteraan.
182
B. Gelandangan dan Pengemis Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana