Ikhtiar menghapus situasi ini melalui UU Pokok Agraria dan kebijakan landreform justru berujung pada kenyataan pahit hingga klimaksnya pada tahun
1965, ketika realitas kemiskinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya dijadikan perang politik ideologi untuk perebutan kekuasaan. Kemiskinan tersebut
menyebabkan timbulnya gelandangan dan pengemis sebagai pilihan hidup,
70
atau karena politik hukum yang belum dapat menyentuh kebutuhan-kebutuhan rakyat,
sehingga menjadi pengemis adalah karena keterpaksaan akibat beban ekonomi tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat.
Oleh sebab itu dibutuhkan ide hukum nasional dengan pementingan regulasi kehidupan ekonomi secara selektif lewat perundang-undangan nasional yang
terkodifikasi dan terunifikasi secara terbatas karena hukum adalah sarana penting guna mempertahankan ketertiban. Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk
pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya pembangunan ekonomi masyarakat, sebagai wujud dari negara kesejahteraan.
71
B. Fungsionalisasi Hukum Pidana
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat
hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau berkerja dan terwujud secara
kongkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah
70
www. gapri.org.,Op. Cit
71
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial- Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Op. Cit., hlm. 234-235
Universitas Sumatera Utara
operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.
72
Bertolak dari pengertian yang demikian, maka fungsionalisasi hukum pidana, seperti fungsionalisasi atau proses pada penegakan hukum pada umunya, melibatkan
minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparatpenegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini
dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
73
Maka didalam fungsionalisasi hukum pidana ini yang akan dikaji adalah komponen substansi hukum agar pemahaman tentang penegakan
hukum agar tidak melebar. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan. Antara satu
kebutuhan dengan yang lain tidak saja berlainan, tetapi terkadang saling bertentangan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan ini, manusia
bersikap dan berbuat. Agar sikap dan perbuatannya tidak merugikan kepentingan dan hak orang lain, hukum memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan tertentu
72
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 157
73
Ibid, hlm. 157
Universitas Sumatera Utara
untuk mencapai dan memenuhi kepentingan itu. Fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum pidana.
74
A. Fuad Usfa menyatakan bahwa fungsi umum dari hukum pidana berkaitan
dengan fungsi hukum pada umumnya. Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum pada umumnya, maka fungsi hukum pidana secara umum juga sama
dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata kehidupan dalam masyarakat. disini hukum di fungsikan
atau menjadi sarana bagi perlindungan hak-hak dan kebebasan dasar individu.
75
Secara khusus sebagai bagian hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum Dari Perbuatan Yang Menyerang Atau
Memerkosanya Kepentingan hukum rechtsbelang adalah segala kepentingan yang
diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar
tidak dilanggardiperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminya ketertiban di segala bidang kehidupan.
74
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.15
75
A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press, 2006, hlm. 5
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
mempertahankan kepentingan hukum Tindakan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi,
dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan. Tindakan tersebut justru melanggar kepentingan pribadi yang mendasar bagi yang
bersangkutan, misalnya dengan dilakukan dengan penangkapan, penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini tiada lain memberi dasar legitimasi bagi negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu hukum sebaiknya digunakan sebagai sarana pencapaian keadilan.
Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menpertahankan kepentingan hukum yang dilindungi. Pengaturan
hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum
dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu menjadi ada.
76
Mengenai berlakunya ketentuan mengenai gelandangan dan pengemis didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat beberapa asas yang
76
Adami Chazawi, Op.Cit. hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas
tersebut antara lain:
77
1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya, Undang-Undang hanya boleh
diterapkan terhadap peristiwa yang disebut didalam Undang-Undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula. 3.
Undang-Undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus
wajib diperlakukan Undang-Undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan Undang-Undang yang
menyebutkan peristiwa yang lebih luas dan umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.
4. Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang
berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-Undang
baru yang berlaku belakangan yang mengatur hal tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan Undang-Undang lama tersebut.
5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
78
6. Undang-Undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejateraan spiritual
dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan inovasi. Artinya, supaya pembuat Undang-Undang tersebut tidak
menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain:
77
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 12-14
78
Asas ini sepenuhnya tidak berlaku lagi setelah amandemen Undang-Uandang Dasar 1945 Pasal 24 c, dan lahirnya Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa Undang-undang dapat digugat judicial review didepan Mahkamah Konstitusi. Mahfud MD menyatakan Judicial review akan mengawal setiap produk peraturan perundang-
undangan agar konsisten dengan peraturan yang lebih tinggi dan pada tingkatannya paling tinggi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila baik sebagai cita hukum maupun sebagai staatsfundamentalnorm. Prinsip
yang penting judicial review ini diperlukan untuk menjamin konsistensi peraturan perundang- undangan dengan peraturan dasarnya atau untuk membangun tertib hukum sesuai dengan tuntutan
Pancasila sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan staatsfundamentalnorm.
Universitas Sumatera Utara
a. Keterbukaan didalam proses pembuatan Undang-Undang
b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul
tertentu, melalui cara-cara: 1.
Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang
akan dibuat.
2. Suatu departemen tertentu, mengundang organisasi tertentu untuk
memberikan masukan bagi suatu rancangan Undang-Undang yang sedang disusun.
3. Acara dengar pendapat hearing di Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh
atau ahli-ahli terkemuka. Secara logis, maka tidak mungkin peraturan Perundang-undangan akan dapat
mencakup dan memperhitungkan semua perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut, maka dapat ditempuh
cara-cara sebagaimana dikemukakan diatas. Di Indonesia ada kecenderungan yang kuat untuk mengindentikkan peraturan-
peraturan dengan pembentuknya, atau yang oleh masyarakat dianggap sebagai pembentuknya. Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik atau buruknya peraturan
perundang-undangan senantiasa dikaitkan dengan mentalitas dari pembentuknya. Walaupun peraturan perundang-undangannya secara relatif sudah baik.
79
79
Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 216-217, lihat juga dalam Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta:
Grasindo, 2008, hlm. 198-210, menyatakan bahwa: kejahatan bagi pemikir klasik dan positivistik dipandang sebagai produk perundang-undangan, namun, suatu hal yang sangat penting yang perlu
diperhatikan bahwa aturan atau Undang-undang seringkali memarjinalkan kelompok tertentu dalam masyarakat. Undang-undang terkadang menjadikan dirinya sebagai pendukung hak dan kewajiban dari
orang-orang yang mampu. Oleh sebab itu aspirasi dan kebutuhan riil dalam masyarakat harus
Universitas Sumatera Utara
Pasal yang mengandung kaedah hukum didalam peraturan perundangan- undangan, dapat dirumuskan secara hipotetis atau secara kategoris. Apabila kaedah
tersebut merupakan kaedah hukum umum, maka biasanya hal itu dirumuskan secara hipotetis; artinya dirumuskan suatu perilaku yang terlarang, yang kemudian disertai
dengan sanksinya, apabila larangan tersebut dilanggar.
80
Roeslan Saleh mengemukakan bahwa jarang sekali hakim di Indonesia menjatuhkan pidana kurungan kecuali terhadap pelaku delik pengemisan Pasal 504
KUHP. Alasan tersebut berdasarkan seringkali terjadi apabila di suatu kota akan diadakan keramaian dan dikhawatirkan akan banyak terjadi pencurian dan
pencopetan, maka orang-orang yang mengemis dan bergelandangan itu digaruk. Terhadap pengemis sering ditangkap pada waktu akan diadakan keramaian, tetapi
juga pada waktu akan tibanya tamu-tamu asing di Indonesia, apakah ini tidak bertujuan untuk menyembunyikan kemiskinan dan kejorokan rakyat Indonesia.
81
Hal ini berhubungan label stigma bahwa gelandangan dan pengemis merupakan sampah
masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh tampilannya saja, padahal belum tentu sepenuhnya gelandangan dan pengemis yang melakukan pencopetan dan pencurian
dalam suasana keramaian.
didukung melalui pembentukan Undang-undang yang memerlukan artikulasi politik oleh para cendekiawan, pakar, politisi dan media. Hal ini dapat menjadi kepentingan dan tujuan dan politik, yang
akan memotivasi partai-partai politik untuk memperjuangkan dalam badan legislatif. Dengan demikian, pembentuk undang-undang dapat mengontrol dirinya dari kejahatan tersembunyi. Dengan
cara berfikir sosiologis maka pembentukan undang-undang dapat berperan sesuia dengan fungsinya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
80
Ibid
81
Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 100
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya perundang-undangan pidana yang memuat jenis sanksi pidana sebagai sanksi utamanya, mengindikasikan bagaimana tingkat pemahaman legislator
terhadap masalah-masalah pidana dan pemidanaan. Paling tidak, keterbatasan pemahaman mereka terhadap masalah sanksi dalam hukum pidana turut
mempengaruhi proses penetapan sanksi ketika membahas suatu perundang-undangan. Hal ini dapat menimbulkan inkonsistensi dalam penetapan jenis maupun bentuk-
bentuk sanksinya antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya.
82
Perumusan-perumusan semacam ini banyak terjadi didalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Wetboek Van Strafrecht yang berlaku di Indonesia.
Perumusan kategoris yang berisikan syarat-syarat, biasanya menjadi ciri kaedah- kaedah hukum yang individual atau bersifat khusus. Akan tetapi dalam perumusan-
perumusan tersebut bahwa pasal-pasal dalam aturan hukum pidana tidak jelas, sehingga diperlukan penafsiran-penafsiran tertentu serta ketidakharmonisan pasal-
pasal tersebut dengan Undang-Undang Dasar 1945.
83
Lazimnya peraturan perundang-undangan merupakan suatu unsur pokok dari hukum positif tertulis, dalam hal ini adalah hukum pidana. Ada suatu kecenderungan
bahwa peraturan perundang-undangan tidak selalu dapat mengikuti perkembangan masyarakat dengan setepat-tepatnya. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan
82
Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 160
83
Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 217-218
Universitas Sumatera Utara
cenderung tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada bidang pribadi atau bidang sensitif dari kehidupan manusia.
84
Rentannya politik hukum pidana tersebut dimanipulasi untuk kepentingan melindungi-kepentingan elite yang menguasai. Akibatnya hukum pidana berubah
menjadi alat represi, bukan untuk kepentingan menjaga ketertiban. Muladi mengatakan Hukum pidana harus bisa menjaga keselarasan antara
kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; Dengan kata lain pertimbangan kriminalisasi tidak hanya berorientasi pada prinsip liberalisme berupa
“merugikan orang lain”, tetapi juga harus tercela bagi mayoritas masyarakatmasyarakat pada umumnya majority of society dalam artian apakah
suatu perbuatan tersebut mendapat stigma yang negatif dari masyarakat atau masyarakat melihat perbuatan tersebut sebagai hal yang biasa karena tidak
menganggu kepentingan dan korban dari masyarakat tersebut. Perbedaan penilaian terhadap kejahatan dan pelanggaran sangat ditentukan oleh kondisi sosial masyarakat
the living law. Dalam hal ini konsep kejahatan tanpa korban victimless crimes harus dikaji secara hati-hati; ingatlah istilah “subsosialiteit” dari Prof. Vrij 1947
sebagai syarat ketiga untuk menentukan layak atau tidaknya pertanggungjawaban
84
Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 222-223
Universitas Sumatera Utara
pidana disamping unsur melawan hukum dan kesalahan, yaitu “resiko bahaya yang ditimbulkan oleh pelanggaran hukum terhadap kehidupan masyarakat.
85
Kriminalisasi terhadap pelanggaran terhadap ketertiban umum yang dilakukan oleh pengemis dan gelandangan seharusnya pembuat kebijakan lebih memperhatikan
aspek kemanusiaan dan memilih hukum yang rasional. Penegakan hukum yang berlangsung saat ini menimbulkan Keprihatinan yang mendalam tentunya dengan
melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya
apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat the absence of justice.
86
Mengingat hukum hanya sebagai alat untuk melahirkan hukum yang berwibawa perlu kombinasi yang tepat antara manusia dan hukum, jatuh bangunnya
suatu negara ditentukan oleh kombinasi ini. Sebaliknya apabila dalam suatu sistem pemerintahan, unsur hukum sebagai tulisan mati dead letter rules terlalu
85
Komnasham.go.idportalfilesmmb-perlindungan-hakasasi-manusia melalui.hukumpidana, Diakses Tgl.18 Oktober 2010, lihat juga Muladi, Beberapa Catatan terhadap Buku II RUU KUHP,
makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHP diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 23-24 Maret 2005
86
Dalam membuat peraturan yang memuat tentang gelandangan dan pengemis adalah merupakan produk politik hukum pemerintahan yang memperhatikan kepentingan masyarakat luas
termasuk juga bagi gelandangan dan pengemis, seperti pandangan law as tool social engineering yang bermakna bahwa hukum diabdikan untuk mengarahkan perikehidupan masyrakat dalam berbagai
bidang kehidupan atau hukum sebagai sebagai proses rekayasa sosial yang bertujuan untuk mengontrol masyarakat. Gelandangan dan pengemis adalah masalah sosial masyarakat yang memang harus
dilenyapkan sebagai bangsa yang beradab, tetapi hal ini harus didukung oleh politik pemerintah kebijakan dalam bidang ekonomi dan sosial sehingga pengentasan kemiskinan yang menjadi sumber
utama lahirnya gelandangan dan pengemis.
Universitas Sumatera Utara
ditonjolkan, maka ini juga akan menghilangkan unsur keadilan yang justru hendak dicari oleh hukum yang bersangkutan.
87
Aristoteles sudah melihat kemungkinan ini dan menyarankan perlu adanya keadilan distributif yang mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat
membagi-bagi sumber daya kepada orang-orang atau sebuah kebijaksanaan untuk mengoreksi pelaksanaan hukum yang melihatnya semata-mata sebagai tulisan mati.
Uraian diatas menjelaskan bahwa, seni pemerintahan adalah mencari titik tengah yang memberikan keseimbangan antara manusia yang penuh emosi dan hukum yang
hanya merupakan tulisan mati. Inilah kesukaran memerintah dalam negara demokratis, hanya hukum yang mencerminkan keseimbangan tersebut dapat
berwibawa.
88
Apabila hukum yang sudah usang dimanfaatkan dalam penegakan hukum maka akan terasa hukum itu asing ditengah hiruk pikuknya pemenuhan hak
asasi manusia, salah satu diantaranya adalah Pasal 504-505 KUHP yang jelas-jelas menjadi pasal mati yang seharusnya diperbaharui sesuai dengan asas keadilan.
89
Pemerintah yang totaliter seperti pemerintah kolonial, membentuk hukum yang berwibawa jauh lebih mudah kerena pertama keseimbangan seperti diuraikan
87
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 114
88
Ibid, hlm. 114
89
Pengaturan gelandangan dan pengemis dalam KUHP yang perlu dirubah adalah dari hukuman penjarakurungan ke hukuman pekerjaan sosial dan atau denda kepada pelaku hal ini akan
membuat jera kepada pelaku dikemudian hari. Lihat juga Sunaryati Hartono dalam Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 1-10, mengatakan bahwa
hukum itu bukan merupakan tujuan, akan tetapi merupakan jembatan yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Satu hal yang menjadi persoalan adalah, apakah yang menjadi tujuan dari
negara hukum, jika bukan hukum yang menjadi tujuannya. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat dinyatakan: “… Bahwa yang menjadi tujuan dari negara kita adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial…”
Universitas Sumatera Utara
diatas tidak perlu dicari dipergunakan dan kedua, hukum yang dibuat adalah semata-mata mencerminkan kepentingan pembuat undang-undang itu sendiri. Dengan
kata lain, hukum itu dapat dijalankan secara konsekuen, karena kepentingan pembuat undang-undang itu tidak dirugikan.
90
Pembentukan undang-undang tidak dapat mengharapkan peraturan-peraturan yang telah diadakan itu sepenuhnya bebas dari kemungkinan kesulitan terhadap
kenyataan yang telah berubah-ubah baik dalam waktu yang dekat maupun waktu mendatang. Kitab undang-undang hukum pidana, agar dapat diterapkan secara tepat
tidak cukup hanya mencari dan memberikan makna sekedar dari pasal-pasal dogmatis dan secara politis atau teknis perundang-undangan. Akan tetapi hukum
pidana itu harus diberikan makna menuju kepada arti kesesuaian danatau kemanfaatan dengan perasaan hukum dan keadilan sebagaimana terdapat dalam asas
hukum pidana yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian akan terwujud pembentukan hukum yang berlaku sesuai dengan dengan yang dicita-citakan.
91
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus menerus dan diterima oleh seluruh masyarakat, maka peraturan hukum pidana
tersebut harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan. Dengan demikian tujuan hukum itu adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat dan hukum itu pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan
90
Ibid, hlm. 114-115
91
Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm.15-16
Universitas Sumatera Utara
dari masyarakat itu.
92
Maka the living law dalam suatu masyarakat menentukan perbuatan baik dan buruk.
Menurut Mr. S. M. Amin dalam bukunya “bertamasya kealam hukum” sebagaimana yang dikutip oleh Hasim Purba mengatakan ada 3 tiga paham akan
teori mengenai tujuan hukum yaitu:
93
1. Faham yang berpokok atas syarat-syarat keadilan semata-mata etischeteorie,
yang berpendirian bahwa hukum harus semata-mata bertujuan perwujudan keadilan, dimana pertimbangan-pertimbangan atas dasar kepentingan tidak
harus diperkirakan. Menurut Utrecht yang mula-mula membuat anggapan ini ialah Aristoteles dalam buah pikirannya “ethica nichomachia” dan “rhetorica”
menurut filosof ini, maka hukum mempunyai suatu tugas yang suci, yaitu memberi kepada tiap-tiap orang yang apa yang ia berhak terima.
2. Faham yang berpokok atas syarat-syarat kemamfaatan semata-mata utilitieits
theorie, yang berpendirian bahwa hukum semata-mata bertujuan mewujudkan kemanfaatan bagi manusia dan menolak setiap pertimbangan
atas dasar keadilan. Faham ini biasa dirumuskan sebagai berikut: “hukum itu menjamin kemanfaatan sebesar mungkin bagi jumlah manusia sebanyak
mungkin”.
3. Faham yang berpokok atas syarat-syarat kemamfaatan dan keadilan
gemengde theorie yakni teori campuran gabungan yang berpendirian bahwa baik unsur kemanfaatan maupun unsur keadilan seharusnya
diperhatikan dan diperhitungkan dalam kegiatan perundang-undangan. Mereka yang menganut paham ini berpendapat bahwa kalau hanya unsur
keadilan diperhatikan maka hasilnya adalah ketentuan-ketentuan yang hanya memenuhi keadilan mutlak absolute justice akan tetapi mungkin tidak dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan pergaulan sehari-hari. Paham ini menegaskan bahwa isi dari hukum harus ditentukan dari dua asas, yakni asas keadilan dan
faedah.
Perlindungan sosial sebagai salah satu penegakan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bersama, mutlak diwujudkan
oleh negara. Sebab kemiskinan dan perlindungan sosial yang tidak maksimal
92
Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Hukum, Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006, hlm. 28
93
Ibid, hlm 29
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya kejahatan.
94
Penegakan hukum yang berlandaskan itikad baik akan menghasilkan suatu penegakan hukum yang berimbang antara hak dan
kewajiban antara masyarakat dan negara. Jika kita melihat penegakan hukum di negara Jepang, maka negara dalam
tradisi Jepang adalah sang kakak big brother yang selalu memikirkan kesejahteraan untuk para adiknya atau disebut juga masyarakat. Karakteristik kejiwaan tersebut
menjelaskan, mengapa rakyat Jepang begitu percaya kepada negara dan menyerahkan nasib sepenuhnya kepada negara. hal tersebut terjadi karena mereka percaya, negara
akan memberikan apa yang mereka butuhkan, tanpa harus menuntutnya. Dilain pihak, negara akan merasa bersalah apabila tidak berbuat baik kepada rakyatnya.
Pembelajaran lain yang diberikan kepada kita adalah konsistensi dan persistensi bangsa Jepang dalam memegang tradisi budayanya. Kendati sudah menjadi negara
industri maju, namun bangsa Jepang tetap teguh memegang kokoro nurani Jepang dalam semua praksis kehidupan modern.
95
Disatu pihak bahwa Fuller juga memperlihatkan adanya hubungan antara hukum dan moralitas. Hukum yang baik adalah hukum yang berlandaskan perilaku,
suatu peraturan akan menjadi hukum jika ia memenuhi norma serta moral tertentu, dan bukan hanya karena ia memenuhi syarat formal, misalnya hukum yang tidak adil
bukanlah hukum, meskipun penciptaannya penuh dengan syarat-syarat formal.
94
Dikutip dalam Majalah Penyuluhan Sosial, Jakarta: Pusat Penyuluhan Sosial Departemen Sosial, Edisi 32009Nomor 143, hlm. 27
95
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009, hlm. 56-57
Universitas Sumatera Utara
Moralitas terdiri dari ciri-ciri yang tanpa moral suatu sistem tidak dapat disebut sebagai sistem hukum. Sebagai kualitas keunggulan yang diperlukan bagi perbuatan
hukum adalah yang terdiri dari moralitas inti inner morality.
96
Penegakan hukum yang bernurani dan bermoral dirasakan sangat penting untuk mengatur keseimbangan
antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat. Maka selanjutnya adalah hukum tersebut harus dilaksanakan oleh pelaksana hukum, Pelaksanaan hukum dalam
kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mempunyai arti penting terhadap apa yang menjadi tujuan dari penegakan hukum tersebut.
97
C. Penghukuman Dalam Penanganan Gelandangan dan Pengemis