- Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus 86.220 pada laki-laki dan 71.080 pada perempuan, berkisar 28 dari semua kasus
kematian karena kanker.
Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa
insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien 75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki
dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan
merokok yang bervariasi di seluruh dunia.
19
Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan.
Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06 dari jumlah seluruh penderita rawat jalan dan 1.6 dari seluruh penderita rawat inap.
18
2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru
Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan
terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat
dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka
kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda.
21
Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas,
penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada
industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.
19
2.4. Diagnosis Kanker Paru
2.4.1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.
22
Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi :
19,22
2.4.1.1. Manifestasi Lokal Kanker Paru Intrapulmonal Intratorakal
Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengantanpa produksi sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel
Universitas Sumatera Utara
bronkoalveolar bronchoalveolar cell carcinoma. Hemoptisis batuk darah merupakan gejala pada hampir 50 kasus. Nyeri dada juga umum terjadi dan
bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas
dyspnea dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin
terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor
dapat ditemukan bila trakea sudah terlibat.
2.4.1.2. Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal
Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasiekstensi kanker paru ke strukturorgan sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh
keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler.
Tumor lobus atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian
pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu nyeri kepala, wajah sembabplethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran
vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan
menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus laringeus rekurens
Universitas Sumatera Utara
yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan suara serak dan paralisis pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar mediastinum yang
membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan akhirnya disfagia.
2.4.1.3. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis
Kira-kira 10-20 pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor,
melainkan karena zat hormonpeptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri
abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea galactorrhea. Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil
dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone ACTH, antidiuretic
hormone ADH, kalsitonin, oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker paru, namun hanya
sekitar 5 pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh clubbing finger dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy HPOA juga termasuk
manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan
dengan kanker paru.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik
19
Sering terjadi Jarang terjadi
Secara umum Anoreksia
Kaheksia Penurunan berat badan
Jari tabuh HPOA
Demam Endokarditis marantik
Endokrin Hiperkalsemia
SIADH Hematologi
Anemia Polisitemia
Jaringan ikatvaskulitis Dermatomiositispolimiositis
Systemic Lupus Erythematosus Kulit
Acanthosis nigricans Iktiosis didapat
Keratoderma palmoplantar didapat
Dermatomiositis Eritema annulare
Dermatitis eksfoliatif Pemfigus
Pruritis Hiperkalsitonemia
Hipoglikemia Hipofosfatemia
Asidosis laktat
Hematologi Amiloidosis
Eosinofilia Lekositosis
Reaksi lekoeritroblastik Polisitemia
Trombositopenia
Universitas Sumatera Utara
Neurologi Sindroma miastenia Lam
bert-Eaton Neuropati perifer
Endokrin Akromegali
Sindroma karsinoid Sindroma Cushing
Ginekomastia Neurologi
Neuropati otonomik Degenerasi serebelar
Ensefalitis limbic Mielinosis pontin
Retinopati Ginjal
Glomerulonefritis Tubulointerstitial
2.4.1.4. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis
Penurunan berat badan 20 dari berat badan sebelumnya bulan sebelumnya sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan
metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker paru umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan kulit.
Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local. Metastasis ke tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung melibatkan tulang
iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti confusion, perubahan
kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening supraklavikular dan servikal
Universitas Sumatera Utara
anterior dapat terlibat pada 25 pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin dalam mengevaluasi pasien kanker paru.
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu penyakit. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran
normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang informatif. Pada pasien kanker paru dapat ditemukan demam, kelainan suara pernafasan pada paru,
pembesaran pada kelenjar getah bening, pembesaran hepar, pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, atau pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan
otot regional atau umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit menghitam, atau bibir dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang
mengindikasikan tumor primer ke organ lain.
22
2.4.3. Pemeriksaan Radiologi
2.4.3.1. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PAlateral, kelainan dapat dilihat bila massa tumor berukuran 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi
yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. Pada foto toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi
perikard dan metastasis intrapulmoner.
22
Universitas Sumatera Utara
Pemberian OAT pada penderita golongan risiko tinggi yang tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus
menimbulkan pemikiran kemungkinan kanker paru dan melakukan pemeriksaan penunjang lain sehingga kanker paru dapat disingkirkan.
Pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor di
balik pneumonia tersebut.
18
Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru.
2
Gambaran radiologi
Karsinoma sel
skuamosa Adenokar
sinoma Karsinoma
sel kecil Karsinoma
sel besar
Nodul ≤4 cm
14 46
21 18
Lokasi perifer 29
65 26
61 Lokasi sentral
64 5
74 42
Massa hilarperihilar
40 17 78 32 Kavitas 5
3 4
Keterlibatan pleuradinding
dada 3
14 5
2
Adenopati hilar 38
19 61
32 Adenopati
mediastinum 5 9 14 10
Universitas Sumatera Utara
2.4.3.2. CT scan toraks
CT scan toraks Computerized Tomographic Scans dapat mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat dilihat dengan foto toraks,
dapat menentukan ukuran, bentuk, dan lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar
getah bening regional.
22
Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial,
atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi
adatidak adanya pembesaran KGB adrenal.
18
2.4.3.3. MRI Magnetic Resonance Imaging Scans
MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi area yang sulit
diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti diafragma atau bagian apeks paru untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke
vertebra.
22
2.4.3.4. PET scan Positron Emission Tomography
PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul glukosa yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam tubuh kemudian
Universitas Sumatera Utara
scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa daripada sel yang normal karena sel-sel
kanker bertumbuh dan bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan dengan sel kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor
primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor metastasis tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.
22
PET scan tidak rutin digunakan sebagai tes diagnostik lini pertama untuk kanker paru, kadang digunakan setelah foto toraks atau CT scan toraks
untuk membedakan antara tumor jinak dan ganas. PET scan khusus digunakan untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional dan
metastasis jauh. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi yang lain dari kanker yang juga dapat menyebabkan gambaran positif PET scan. Gambaran
PET scan sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan dikorelasikan dengan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
22
2.4.4. Sitologi Sputum
Sputum adalah sekret abnormal yang berasaldiekspektorasikan dari sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur saliva dan bukan pula
berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem bronkopulmoner
yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses patologis yang mendasarinya.
Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau sel darah merah dari
Universitas Sumatera Utara
saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa
orofaring atau sisa-sisa makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan
komponen utama dari sputum 90, selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum
adalah karakteristik fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.
23
Analisa sputum dapat melengkapi pemeriksaan CT scan toraks, oleh karena sel-sel tumor yang terletak di saluran nafas sentral akan ber-eksfoliatif
ke dalam sputum lebih banyak dibandingkan sel-sel tumor yang berada di perifer.
24
Dasar dari gambaran sitologi sel-sel epitel bronkus mengalami eksfoliatif ke dalam sputum dapat memprediksikan risiko terjadinya kanker
paru yaitu dari pemikiran bahwa perubahan sitologi sel epitel bronkus karena sel-sel mengalami progresi melalui tahapan-tahapan dari inflamasi menjadi
kanker paru. Dasar ini dibuktikan dengan sering ditemukannya gambaran metaplasia skuamosa bronkus dan sel-sel atipik pada kanker paru yang invasif,
dan penemuan dari beberapa kasus bahwa pasien-pasien dengan sitologi sputum yang jelek atau atipik sedang memiliki risiko yang tinggi untuk
menderita kanker paru.
25
Pemeriksaan sitologi sputum saat ini menjadi satu-satunya metode non invasif yang dapat mendeteksi kanker paru dan lesi-lesi pre-keganasan secara
Universitas Sumatera Utara
dini. Walaupun spesifitas sitologi sputum konvensional sangat tinggi 98, namun sensitivitasnya sangat rendah.
24
Sitologi sputum memiliki spesifitas 99 dan sensitivitas 66, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral
71 dibandingkan dengan lesi perifer 49.
6,14
Jenis sel tumor, lokasi, dan ukuran tumor mempengaruhi sensitivitas sitologi sputum. Cakupan diagnostik
paling tinggi pada karsinoma skuamosa dan karsinoma sel kecil, tetapi paling rendah pada adenokarsinoma. Tumor yang lokasinya di sentral atau berada di
lobus bawah dan berdiameter 2 cm memiliki cakupan yang lebih tinggi. Sitologi sputum memiliki akurasi 50-80 tergantung dari derajat diferensiasi
sel-sel tumor. Tumor berdiferensiasi buruk akan lebih sulit untuk menentukan subtipe-nya. Pada pasien-pasien dengan tumor perifer yang berukuran kecil
yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks, hanya sekitar 4-11 kasus yang dapat dideteksi dengan sitologi sputum saja, dan 7-15 kasus dapat terdeteksi
dengan kedua modalitas tersebut.
24,26
Pemeriksaan sitologi sputum sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan sampel sputum yang
adekuat, yang mencakup elemen-elemen seluler saluran nafas bawah. Akurasi diagnostik dari sitologi sputum, bagaimanapun, tergantung dari pengambilan
sampel minimal 3 sampel dan teknik pengumpulan sputum, serta lokasi sentral atau perifer dan ukuran tumor. Blocking dkk. telah menunjukkan
bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68, dari 2 sampel berkisar 78, dan dari
≥3 sampel berkisar 85-86.
14
Cara yang paling mudah adalah dengan cara batuk spontan di pagi hari, dengan mengumpulkan tiga
buah sampel sputum sekuensial I selama 3 hari dan 3 buah sampel sputum
Universitas Sumatera Utara
sekuensial II selama 3 hari, untuk mendapatkan sputum yang sama adekuat dengan sputum induksi NaCl 3. Sampel sputum sekuensial II dapat
mencakup lebih banyak kelainan dibandingkan dengan sekuensial I, oleh karena pasien sudah belajar membatukkan. Pada pasien-pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sputum secara spontan, induksi dengan NaCl 3 dapat lebih efektif. Perkusi dan vibrasi dada juga dapat meningkatkan cakupan
diagnostik sputum.
25,27
Sputum pertama di pagi hari atau sputum setelahpost bronkoskopi cenderung memiliki cakupan diagnostik yang lebih tinggi.
Cakupan diagnostik dari hanya satu sampel sputum berkisar 40, namun dengan pengumpulan yang berulang dapat mencapai 80 dari 4 sampel
sputum. Bila ditangani oleh tenaga yang terampil, maka kekerapan terjadinya “false-postive” tidak melebihi dari 1.
26
Terdapat dua metode untuk mengumpulkanfiksasi sputum untuk pemeriksaan sitologi sputum, yaitu teknik pick-and-smear sputum
langsungsegar dan teknik Saccomanno blended. Teknik pick-and-smear merupakan metode yang cepat, sederhana, dan murah untuk mengumpulkan
sputum, dimana sputum yang segar diperiksakan fragmen-fragmen jaringannya, darah, atau keduanya. Apusan dibuat dengan segera dan difiksasi
dalam etanol 95. Modifikasi dari metode ini adalah teknik fiksasi Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dalam larutan etanol 50 dan
polietilen glikol carbowax 2. Sputum yang terkumpul kemudian dihomogenisasi dalam blender dan dikonsentrasikan dengan menggunakan
sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa sediaan apus smears dapat dibuat dari material seluler yang telah dikonsentrasikan sedimen, dengan menggunakan dua buah kaca objek,
dikeringkan di udara ruangan selama minimal 1 jam, kemudian diwarnai dengan teknik Papanicolaou.
Larutan fiksasi Saccomanno yang mengandung carbowax lebih efektifsuperior dibandingkan dengan hanya menggunakan
etanol saja. Keuntungan dari teknik fiksasi Saccomanno ini adalah pengumpulan sampel sputum yang homogen, pengawetan sel-sel yang lama,
dan preparasi sel yang tipis thin-layer cell preparation. Sedangkan kekurangannya adalah pemecahan agregat-agregat sel dan fragmen-fragmen
jaringan sewaktu homogenisasi, serta membutuhkan tenaga laboran yang terampil.
25,27,28
Pada penelitian Rizzo dkk., lebih banyak sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan teknik fiksasi
Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan teknik
Saccomanno.
11
Kategori diagnostik untuk pemeriksaan sitologi meliputi :
28
a. Tidak dapat didiagnosis non-diagnostic specimens
Bila pada spesimen tidak terdapat materi seluler, hanya ditemukan adanya sel-sel darah atau artefak-artefak sewaktu preservasi. Termasuk dalam
kategori ini adalah specimen yang terdiri dari elemen-elemen seluler jinak
Universitas Sumatera Utara
epitel, makrofag, sel-sel inflamasi. Dalam hal ini harus dikemukakan alasan kenapa dimasukkan ke dalam kategori ini.
b. Lesi jinak spesifik specific benign lesions
Kategori ini meliputi semua neoplasma jinak, proses inflamasi, dan apusan pada proses infeksi jamur, mycobacterium, dan bakteri, serta harus
dideskripsikan secara spesifik, seperti jinak-hamartoma, jinak-inflamasi granuloma yang sesuai dengan tuberculosis, dan lain sebagainya.
c. Atipikal, kemungkinan jinak atypical cells present, probably benign
Kategori ini digunakan bila ditemukan komponen epitel atau mesenkim dengan inti atipik nuclear atypia sebagai perubahan yang reaktif atau
reparatif reparative. Diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi membutuhkan korelasi patologi klinik dan pemeriksaan tambahan bila ada
indikasi secara klinis.
d. Atipikal, curiga keganasan atypical, suspicious malignancy
Kategori ini meliputi specimen yang menunjukkan gambaran atipik yang diyakini berisiko tinggi terjadinya keganasan sel-sel sangat abnormal.
e. Keganasan malignancy
Kategori ini dibuat bila ditemukan adanya diagnosis definitif keganasan, disertai dengan jenis histologi karsinoma. Harus dideskripsikan apakah
Universitas Sumatera Utara
keganasan berasal dari epital atau non-epitel, dan bila berasal dari epitel, harus dijabarkan lebih lanjut apakah sel kecil small cell atau bukan sel
kecil non small cell ataukah metastasis. Oleh karena itu sangat dibutuhkan korelasi dengan klinis.
Sitologi sputum telah dipublikasikan sebagai metode untuk mengetahui risiko terjadinya kanker paru. Saccomanno dkk. melaporkan progresi dari
perubahan sitologi sampai menjadi karsinoma pada populasi risiko tinggi di Colorado Barat. Perubahan morfologi sitologi ini dapat mendeteksi dini
kanker paru dan perubahan lesi-lesi pre-keganasan dapat terdeteksi beberapa tahun sebelum diagnosis kanker paru ditegakkan secara klinis.
6,18
Telah dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa atipik berat akan berisiko 45
berkembang menjadi kanker paru dalam 2 tahun. Pada penelitian Johns Hopkins dalam National Cancer Institute Cooperative Early Lung Cancer
Detection Project, dinyatakan bahwa atipik sedang juga berisiko berkembang menjadi kanker paru. Sebanyak 40 pasien dengan atipik sedang berkembang
menjadi kanker paru dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan 3 pasien non atipik.
27
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1A Gambar 1B
Gambar 1. Sitologi sputum
27
Keterangan :
1A. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus yang normal pada sputum, dengan inti yang eksentrik dan sitoplasma apical yang
banyak. 1B. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus pada sputum dengan
atipik sedang, sel eosinofilik dengan rasio inti : sitoplasma besar, membran inti ireguler, dan nukleolus yang berbeda.
Induksi sputum
Sputum yang didapatkan menggambarkan bagian bronkus. Sputum berisi hasil sekresi dari sel-sel epitel dan submukosa pernafasan. Dengan
induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas bawah. Induksi
Universitas Sumatera Utara
sputum juga mengandung saliva, transudat, dan larutan sodium klorid. Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas
individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Induksi sputum dapat menstimulasi batuk yang lebih produktif.
23
Sputum induksi mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus bronchial washing
tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.
8
Belum ada metode standar untuk induksi sputum. Prinsip yang ada pada berbagai metode ialah :
8
1. Pengobatan awal dengan bronkodilator salbutamol kerja singkat 2. Monitoring faal paru
3. Nebulisasi dengan nebulizer ultrasonikjet nebulizer 4. Konsentrasi cairan saline umumnya 3, 4, atau 5.
Efek samping dari nebulisasi jarang terjadi, umumnya berupa pusing dizziness karena hiperventilasi atau mual nausea karena larutan saline
hipertoniknya.
29
Selain itu dapat terjadi juga bronkospasme terutama pada pasien-pasien dengan riwayat asma, dapat dicegah dengan pemberian
bronkodilator salbutamol 2.5 mg sebelum pemberian cairan saline. Pemberian saline hipertonik lebih efektif dibandingkan saline normal dalam
hal menginduksi pengeluaran sputum. Tidak ada perbedaan hasil komposisi sel akibat perbedaan konsentrasi saline. Penggunaan nebulizer ultrasonik lebih
berhasil dibandingkan dengan nebulizer jet.
8,27
Menurut Marek dkk. induksi
Universitas Sumatera Utara
sputum dapat dilakukan dengan inhalasi NaCl 3 selama 20 menit disertai dengan 2.5 mg Salbutamol dalam 20 ml NaCl 3.
30
Pada kondisi normal, sel-sel epitel yang melapisi pohon trakeobronkial berdampingan koheren dengan ketat dan tidak dapat
dieksfoliasikan dengan mudah ke dalam sputum. Oleh karena itu, pertanda yang paling baik dari batuk yang dalam sputum adekuat adalah adanya
fagosit alveolar. Sebaliknya, air liur saliva ditandai oleh adanya sel-sel skuamosa superfisial dari mukosa mulut, sering dengan partikel-partikel
makanan dan debris-debris seluler dan aselular. Kadang air liur pasti menyertaibercampur dengan sputum; seorang ahli harus dapat
mengidentifikasi dan memisahkan sputum dari air liur sebelum pemrosesan.
29
Sputum Post Bronkoskopi
Ada beberapa teknik diagnostik yang biasanya dilakukan pada tindakan bronkoskopi, terutama bronkoskopi serat optik lenturfleksibel, yaitu
washing, sikatan bronkusbrushing, bronchoalveolar lavageBAL, biopsi bronkus, dan juga sitologi sputum post bronkoskopi. Penelitian-penelitian
terdahulu menyatakan sputum post bronkoskopi merupakan diagnostik yang valid.
31
Pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini 1976, tindakan bronkoskopi dilakukan pada 228 orang pasien. Penelitian bersifat prospektif untuk
menentukan teknik pengambilan spesimen yang mana yang memberikan
Universitas Sumatera Utara
cakupan diagnostik paling besar dalam mendiagnosis kanker paru, apakah sputum post bronkoskopi masih menjadi metode yang paling akurat, seperti
waktu hanya bronkoskopi kaku rigid bronchoscopy yang tersedia. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dilakukan dari sikatan
bronkus brushing, biopsi bronkus, sikatan bronkus dalam larutan saline, cucian bronkus washing, dan tiga buah sampel sputum post bronkoskopi
selama 16-20 jam setelah tindakan post bronkoskopi. Sikatan bronkus dan biopsi bronkus memiliki cakupan diagnostik yang tinggi 65, sedangkan
sputum post bronkoskopi kurang 40. Kombinasi sikatan bronkus dan biopsi bronkus memberikan akurasi yang paling optimal 79. Sedangkan
kombinasi washing dan sputum post bronkoskopi tidak meningkatkan cakupan diagnostik yang bermakna. Namun ada peneliti-peneliti lainnya yang
memikirkan bahaya terjadinya hipoksemia oleh karena instilasi larutan saline ke dalam saluran napas pada saat bronkoskopi. Spesimen sputum post
bronkoskopi dapat menempati peranan tersendiri. Walaupun pasien yang koperatif dapat melakukannya sendiri di rumah atau rumah sakit, tetapi
tanggung jawab tersebut tetap berada pada tenaga paramedis.
17
Penelitian Funahashi dkk. 1979 melakukan tindakan bronkoskopi pada 273 orang pasien untuk menentukan juga peranan aspirasi bronkus dan
sputum post bronkoskopi setelah prosedur, dalam 4 jam setelah prosedur, dan 24 jam setelah prosedur dalam penegakan diagnosis kanker paru.
Didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post bronkoskopi meningkat dari 41 17 orang menunjukkan hasil
Universitas Sumatera Utara
positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi menjadi 61 25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya
secara bronkoskopi. Sedangkan kombinasi biopsi forseps dan sikatan bronkus memiliki cakupan sebesar 97 61 orang positif dari 63 orang
pasien dengan tumor yang terlihat secara bronkoskopi.
16
Larutan Fiksasi Saccomanno
Saccomanno merupakan larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 50 dan polietilen glikol carbowax 2. Etanol dapat diencerkan dari cairan
etanol 96 dengan perbandingan 26 ml etanol 96 ditambah dengan 24 ml akuades. Polietilen glikol PEG atau yang disebut juga dengan
carbowaxcarbowax sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E. PEG adalah produk polimerasi dari etilen oksida atau produk kondensasi dari etilen glikol.
Pemilihan kondisi reaksinya diperoleh produk dengan tingkat polimerasi yang berbeda, yang dinyatakan dengan berat molekul rata-rata. Dalam penelitian ini
yang dipakai sebagai campuran Saccomanno adalah PEG 400, yang memiliki rumus kimia :
H-O-CH
2
-CH
2 n
OH dengan n = 8.2 dan 9.1
PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik, larut dalam air, etanol 95, aseton, dan
hidrokarbon aromatik. PEG bersifat bakterisida, penyimpanannya selama
Universitas Sumatera Utara
beberapa bulan tidak perlu mengkhawatirkan adanya pencemaran bakteri, oleh karena itu tidak diperlukan pengawetan sediaan.
32
2.4.5. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan visualisasi trakea dan bronkus, melalui bronkoskop, yang berfungsi dalam
prosedur diagnostik dan terapi penyakit paru.
33
Bronkoskopi dengan tujuan diagnostik dapat diandalkan untuk mengambil jaringan atau bahan agar dapat
dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya massa intra bronkus atau perubahan mukosa saluran nafas, seperti terlihat kelainan
mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltratif, mudah berdarah. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus.
Tampakan yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumordinding
bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
18
Jenis Bronkoskopi
Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku Rigid dan Bronkoskopi Serat
Optik Lentur BSOLFleksibel.
33
Universitas Sumatera Utara
Bronkoskopi Serat Optik Lentur BSOLFleksibel
Bronkoskopi ini mulai diperkenalkan oleh Shigeta Ikedo pada International Congress on Diseases of The Chest ke-9 di Kopenhagen tahun
1966.
33
Bronkoskopi serat optik lentur BSOL juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy FOB, atau Flexible Bronchoscopy FB umumnya
digunakan untuk diagnostik invasif dan tindakan terapeutik.
33,34
Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur BSOL.
34
Indikasi BSOLFB baik untuk diagnostik antara lain adalah hemoptisisbatuk darah, adanya wheezingstridor, infiltrat paru yang tidak
diketahui etiologinya, kolaps paru yang tidak diketahui penyebabnya, curiga karsinoma paru, massa mediastinalhilus, trauma dadaruptur saluran nafas
sentral, dan lain-lain. Sedangkan kontraindikasinya adalah :
35
Universitas Sumatera Utara
a. Kontraindikasi absolut hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi, pasien inkooperatif, kurangnya keterampilan operator maupun fasilitasperalatan,
unstable angina, aritmia yang tidak terkontrol. b. Kontraindikasi relatif hiperkarbia yang berat, asma yang tidak terkontrol,
koagulopati yang tidak terkoreksi, unstable cervical spine, membutuhkan pengambilan spesimen dalam jumlah banyak, debilitas, usia lanjut,
malnutrisi.
Pengambilan Spesimen
Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun
histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosa. Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti :
35
1. Cucian bronkus bronchial washing Manfaat cucian bronkus ini kebanyakan adalah untuk diagnosis
penyakit saluran napas termasuk tumor paru primer ataupun sekunder dan infeksi jamur atau mikobakterium. Cucian bronkus merupakan
pengambilan spesimen yang paling mudah tetapi memiliki cakupan diagnostik yang paling kecil dalam tindakan bronkoskopi sensitivitas 27-
90, dengan cakupan yang paling besar untuk lesi-lesi sentral. 2. Sikatan bronkus bronchial brushing
Pertama kali diperkenalkan tahun 1973 dan menunjukkan cakupan diagnostik yang cukup tinggi pada kebanyakan kasus kanker paru.
Universitas Sumatera Utara
Umumnya sikatan bronkus ini positif pada 72 kasus kanker paru sentral dan 45 kasus kanker paru perifer, tetapi bila dikombinasikan dengan
biopsi endobronkial lesi sentral akan mencakup 79-96 kasus. Biasanya sikatan bronkus dilakukan setelah semua spesimen diambil untuk
mencegah terjadinya perdarahan atau distorsi sel yang akan mengaburkan interpretasi sewaktu tindakan bronkoskopi.
3. Protected Specimen Brush
Pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Wimberley dkk. sebagai suatu teknik pengambilan untuk mendapatkan diagnosis yang
akurat pada pasien-pasien pneumonia. Pada kasus VAP Ventilator- associated pneumonia, sensitivitasnya berkisar antara 58-86 dan
spesifisitasnya 71-100. Namun sekarang, teknik ini kurang dipopulerkan lagi.
4. Bronchoalveolar Lavage BAL Teknik ini merupakan prosedur standar diagnostik pada semua
pasien yang dicurigai mengalami kelainan paru difus infeksi, non infeksi, imunologik, atau keganasan. BAL mencakup komponen seluler maupun
non seluler dari lapisan cairan alveolus dan permukaan epitel saluran napas bawah, mewakili proses inflamasi dan status imun dari saluran
napas bawah dan alveoli. BAL dianjurkan bila ada kemungkinan terjadinya perdarahan saat dilakukannya sikatan bronkus, biopsi
transbronkial, aspirasi jarum transbronkial, ataupun bila tidak ada fasilitas fluoroskopi. BAL juga dapat mendiagnosis kanker paru primer perifer
Universitas Sumatera Utara
dengan cakupan diagnostik sekitar 33-69, bronkoalveolar carcinoma, maupun lymphangitic carcinomatosis.
5. Biopsi endobronkial Teknik ini sangat penting dan sederhana untuk mendiagnosis
kanker paru, dilakukan pada lesi-lesi yang jelas terlihat selama bronkoskopi. Biopsi endobronkial memiliki cakupan diagnostik berkisar
antara 51-97. Tiga sampel biopsi yang diambil dari lesi endobronkial akan memberikan cakupan sebesar 97, tetapi bisa menunjukkan hasil
yang negatif palsu bila terdapat nekrosis perifer. 6. Transbronchial Needle Aspiration TBNA
TBNA merupakan teknik yang sensitif, akurat, aman, dan efektif secara finansial untuk diagnosis maupun penentuan stadium kanker paru.
Pada beberapa kasus juga dapat digunakan untuk lesi-lesi benign jinak. Prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut dari TBNA. Sindroma vena
kava superior SVKS merupakan kontraindikasi relatif TBNA oleh karena dapat menyebabkan risiko perdarahan. Penegakan diagnosis dan staging
karsinoma bronkogenik dapat menggunakan jarum sitologi ukuran 21-22 gauge, tetapi untuk lesi jinak dan limfoma menggunakan jarum yang lebih
besar 19-gauge. Pada kanker paru TBNA memiliki sensitivitas 60-90, spesifisitas 98-100, dan akurasi 60-90. Sedangkan untuk mediastinal
staging TBNA memiliki sensitivitas 50, spesifisitas 96, dan akurasi 78. TBNA juga aman dipakai pada pasien-pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik.
Universitas Sumatera Utara
7. Biopsi transbronkial Teknik ini menggunakan forseps yang fleksibel yang diposisikan
ke lesi-lesi perifer parenkim paru melalui bronkoskop fleksibel. Pada beberapa keadaan teknik ini dapat menggantikan biopsi paru terbuka open
lung biopsy. Teknik ini memiliki sensitivitas berkisar antara 38-79 rata-rata 52 tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Biasanya
dibuat 6-10 sampel dengan menggunakan tuntunan fluoroskopi. Bila dilakukan bersamaan dengan sikatan bronkus dan aspirasi jarum
transbronkial TBNA maka akan meningkatkan cakupan diagnostik untuk kanker paru yang perifer.
Penilaian visualisasi saluran trakeobronkial tracheobronchial system :
36
1. Normal
Gambar 3. Percabangan bronkus yang dapat dilihat bronkoskopis pada posisi pasien telentang supine.
36
Universitas Sumatera Utara
2. Perubahan inflamasi Inflamasi dapat bersifat generalisata generalized seperti pada bronkitis
kronis, atau terlokalisasi localized misalnya inflamasi di sekitar benda asing corpus alineum. Dapat juga bersifat akut pneumonia segmental atau kronis
tuberkulosis. Perubahan inflamasi meliputi : a. Mukosa hiperemis dan vaskuler bertambah merah gelap atau beefy-red.
Mukosa bronkus yang normal berwarna merah muda kepucatan palepink atau peach-coloured.
Gambar 4. Perubahan inflamasi pada bronkitis kronis.
36
b. Pembengkakan swelling
Pada inflamasi yang ringan, sudut karina dapat sedikit tumpul atau kabur, atau hilangnya kontur kartilago bronkus. Sedangkan pada inflamasi
yang berat, bronkus dapat menyempit.
Universitas Sumatera Utara
c. Sekresi
Mukosa yang normal hanya memproduksi sedikit mukus yang jernih untuk tujuan pembersihan. Pada inflamasi, sekresi dapat menjadi
kental, misalnya mukoid berlebihan bronkitis kronis, mukus kental dan tebal, membentuk plug asma, secret purulen infeksi berat, bronkitis
purulen.
d. Perubahan lokal localized changes
Reaksi lokal mendukung pada kemungkinan adanya pneumonia, abses paru, tuberkulosis, inhalasi benda asing, bronkiektasis, kanker paru,
dan lain-lain.
e. Perubahan lainnya associated changes
Terutama dapat terlihat pada pasien-pasien PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis, yang meliputi atrofi submukosa, hipertrofi dinding
membran bronkiolus-bronkiolus kecil.
f. Tuberkulosis
Dapat terlihat inflamasi endobronkial atau distorsi lumen trakeabronkus oleh karena limfadenopati ekstrabronkial.
Universitas Sumatera Utara
g. Tumor paru
Secara bronkoskopi, tumor paru dapat terlihat dalam tiga bentuk utama :
- Distorsi dari bronkus karena tekanan dari luar pada pohon bronkus; limfadenopati sekunder mengakibatkan karina melebar, dinding
trakeabronkus utama menonjol. - Keterlibatan dinding bronkus dengan distorsi lokal atau ulserasi mukosa.
- Pertumbuhan intralumen bisa berasal dari tumor itu sendiri, perluasan dari massa tumor, atau rupturnya kelenjar getah bening ke dinding bronkus.
Pertumbuhan intralumen dapat terjadi sebagian atau total menutupi lumen bronkus.
Karakteristik bronkoskopi :
- Tampak massa berlobus-lobus atau nekrotik dan berwarna putihkrem, bercak-bercak darah dan pelebaran pembuluh darah di permukaan mukosa
bronkus.
2.5. Klasifikasi Kanker Paru
Klasifikasi kanker paru secara histologi dibagi menjadi 4 jenis untuk kebutuhan klinis, yaitu :
18
1. Karsinoma skuamosa karsinoma epidermoid 2. Karsinoma sel kecil small cell carcinoma
Universitas Sumatera Utara
3. Adenokarsinoma adenocarcinoma 4. Karsinoma sel besar large cell carcinoma
Dalam 1554 data-data yang dikombinasikan dari penelitian-penelitian di Cancer Incidence in Five Continents, dinyatakan bahwa karsinoma sel kecil
berkisar 20 dari seluruh kasus dan karsinoma sel besarundifferentiated sekitar 9. Namun tipe histologi lainnya berbeda berdasarkan jenis kelamin,
yaitu: karsinoma sel skuamosa sekitar 44 dari seluruh kasus kanker paru pada laki-laki dan 25 pada perempuan, sedangkan adenokarsinoma sekitar
28 pada laki-laki dan 42 pada perempuan.
2
Karsinoma sel skuamosa merupakan tipe histologi kanker paru yang paling sering pada laki-laki. Insidensinya pada laki-laki menurun sejak awal
tahun 1980-an, berbeda dengan adenokarsinoma, insidensinya semakin meningkat sampai tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an
adenokarsinoma menjadi tipe histologi kanker paru yang paling banyak pada laki-laki di Amerika Serikat. Di negara-negara barat lainnya, karsinoma sel
skuamosa masih menjadi tipe yang paling banyak pada laki-laki. Pada perempuan, adenokarsinoma menjadi tipe yang paling sering ± 13 kasus,
demikian juga insidensinya semakin meningkat.
21
Adenokarsinoma terutama banyak ditemukan pada perempuan-perempuan Asia 72 dari kasus kanker
di Jepang, 65 di Korea, 61 di Cina Singapura.
2
Perbedaan tipe histologi tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebiasaan merokok secara
epidemi.
2,21
Universitas Sumatera Utara
2.6. Sitologi Kanker Paru