Individualisasi Pemidanaan UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK

C. Individualisasi Pemidanaan

Individualisasi pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari munculnya aliran modern positif dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana dilakukan dengan memperhatikan narapidana dari sisi biologis, psikologis, dan sosiologis. Individualisasi pemidanaan menghendaki agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan karakteristik dan kondisi si pelaku. Individualisasi pemidanaan juga diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 55 ayat 1 2 dalam Naskah Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2005 dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan dalam pemidanaan. Dengan demikian motif dan tujuan melakukan tindak pidana serta keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga harus dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana. Individualisasi pemidanaan bertujuan membina narapidana sesuai dengan karakteristik narapidana. Dalam UU No. 121995 pembinaan narapidana ini diatur dalam Pasal 12 yang berbunyi : 1 Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: a. Umur b. Jenis kelamin c. Lama pidana yang dijatuhkan d. Jenis kejahatan, dan e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. 2 Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita. Adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 tersebut memang perlu, baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan Universitas Sumatera Utara serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Berdasarkan penggolongan umur, dimaksudkan penempatan narapidana yang bersangkutan hendaknya dikelompokkan yang usianya tidak jauh berbeda, misalnya LAPAS Anak, LAPAS Pemuda, LAPAS Dewasa. Sedangkan penggolongan berdasarkan jenis kelamin dimaksudkan penetapan narapidana yang bersangkutan dipisahkan antara LAPAS Laki-laki dan LAPAS Wanita. Penggolongan berdasarkan lama pidana yang dijatuhkan, terdiri dari : 1. Narapidana dengan pidana jangka pendek, yaitu narapidana yang dipidana paling lama satu tahun. 2. Narapidana dengan pidana jangka sedang, adalah narapidana yang dipidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun. 3. Narapidana dengan pidana jangka panjang, yaitu narapidana yang dipidana di atas lima tahun. Dengan adanya pengelompokan ini maka pembinaan yang dilakukan harus melihat dari segi lamanya pidana, sehingga petugas pembina dapat memberikan program pembinaan yang tepat sesuai dengan lama pidana yang dijalani oleh narapidana tersebut. Jenis kejahatan juga merupakan salah satu karakteristik individualisasi pemidanaan dalam pembinaan narapidana. Untuk itu di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana haruslah dipisah-pisahkan berdasarkan jenis Universitas Sumatera Utara kejahatannya, seperti narkotika, pencurian, penipuan, penggelapan, pembunuhan, dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan prisonisasi atas narapidana. Sebagaimana dikemukakan oleh Djisman Samosir 107 , memang harus diakui bahwa di dalam penjara terjadi prisonisasi atas narapidana, artinya narapidana itu terpengaruh oleh nilai-nilai yang hidup di penjara seperti kebiasaan-kebiasaan dan budaya di penjara tersebut. Adapun tujuannya mencegah agar jangan terjadi pemaksaan pengaruh dari narapidana yang satu terhadap narapidana lainnya, maupun bentuk pemerasan terlebih-lebih prisonisasi Prisonitation. 108 Untuk itu maka narapidana ditempatkan dalam ruangan yang berbeda-beda sesuai dengan jenis kejahatan yang mereka lakukan. Berdasarkan jenis kejahatan ini maka dilakukan pembinaan yang sesuai dengan narapidana agar dapat mengembalikan narapidana menjadi manusia yang baik dan berguna. Kalau dilihat dari Pasal 12 UU No. 12 1995 tentang Pemasyarakatan ini, maka narapidana ditempatkan dan dibina berdasarkan karakteristiknya sebagaimana disebutkan diatas, sehingga tujuan pembinaan dapat tercapai. Namun dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan isi Pasal 12 sebagaimana yang tercantum dalam 107 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1992, hal. 81. Lihat juga Tongat, Op. cit., hal. 59, mengatakan upaya ini dilakukan atas pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan komunikasi antara penjahat kelas “kakap” dengan para penjahat “pemula”. 108 Prisonitation prisonisasi, istilah yang digunakan oleh TP. Morris dalam bukunya yang berjudul “Pentoville” 1963 untuk menggambarkan tingkah laku nyata narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun sebenarnya mereka menolak untuk mentaati aturan. Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso Kamus Kriminologi Jakarta : Ghalia, 1985, hal. 77. Universitas Sumatera Utara UU No. 12 1995 tersebut, karena jumlah narapidana melebihi kapasitas sehingga penempatan narapidana berdasarkan jenis kejahatan, dan lamanya pidana tidak dapat terwujud. Demikian juga dalam hal pembinaan narapidana, tidak dipisah-pisahkan antara narapidana narkotika dengan narapidana pencurian maupun yang lainnya, sehingga bentuk dan cara pembinaannya sama untuk seluruh narapidana. Hal ini dilakukan karena dana yang tersedia sangat minim, jumlah petugas yang melakukan pembinaan juga terbatas, dan peralatan yang tersedia untuk melakukan pembinaan juga terbatas. Keadaan seperti ini yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. Dengan demikian pembinaan narapidana berdasarkan Pasal 12 UU No. 121995 tidak dapat dilaksanakan, sehingga tujuan pembinaan sesuai dengan sistem pemasyarakatan tidak terwujud. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemisahan narapidana berdasarkan jenis kejahatannya, dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh prisonisasi terhadap narapidana. Sehubungan dengan itu Clemmer mengemukakan beberapa ciri prisonisasi: 109 a. Special Vocubulary, adanya sejumlah kata atau istilah “khusus” yang digunakan dalam berkomunikasi. Lahirnya istilah “khusus” di atas disebabkan adanya proses belajar dalam pertukaran kata dari sesama narapidana ataupun mengkombinasikan beberapa kata agar tidak diketahui oleh orang luar. b. Social Etrafication, adanya perbedaan latar belakang kehidupan narapidana dan jenis kejahatan yang dilakukan mengakibatkan munculnya stratifikasi yang dapat dibedakan menjadi kelompok elit, kelompok menengah, kelompok narapidana yang terbelakang. c. Primary group, adanya kelompok utama yang anggotanya terdiri dari beberapa orang narapidana saja, terutama bagi narapidana yang lebih mengutamakan tindak kriminal. d. Leadership, adanya seorang pemimpin dalam kelompok utama yang berfungsi sebagai mediator dalam berhubungan dengan kelompok lainnya yang lebih besar. 109 Donald Clemmer, “Prisonization” dalam the Socioloty of Punishment Correction, Edited by Norman Jahnston, Jhon Wrlyandsons, Inc New York, 1970, hal. 479. Universitas Sumatera Utara Dari pengertian dan ciri-ciri prisonisasi, maka hal itu dapat menimbulkan ketakutan pada petugas pemasyarakatan bahwa hal itu berpotensi untuk melemahkan wibawa petugas, dan prisonisasi itu sendiri bisa berakibat terganggunya proses pembinaan, Hal ini disebabkan narapidana lebih cenderung taat atau patuh kepada narapidana yang menjadi pimpinan, sehingga kewajiban narapidana untuk mematuhi aturan lembaga tidak ditaati. Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala KPLP bahwa dalam hal pengangkatan tamping pembantu pegawai faktor kepemimpinan merupakan hal yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan tersebut. 110 Demikian pula ketenteraman dan ketenangan di dalam lembaga pemasyarakatan lebih ditentukan oleh pimpinan atau kelompok tertentu. Di samping itu prisonisasi cenderung menyebabkan narapidana tertentu menjadi tertekan, hal ini dapat menjadi pemicu kerusuhan di dalam lembaga pemasyarakatan. Kehidupan di dalam lingkungan penjara merupakan hal yang menakutkan, karena menyebabkan narapidana menjadi terasing dari lingkungannya. Hasil studi dari Graham Sykes mengenai hal ini, dapat menjadi contoh seperti yang dikutip oleh Soetandyo, masa pemidanaan dipenjara sering pula berakibat kian terasingnya pelanggar-pelanggar hukum itu dari masyarakat dan di lain pihak akan memberikan kesempatan kepada pelanggar-pelanggar hukum itu secara 110 Wawancara dengan Kepala KPLP di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. Universitas Sumatera Utara sistematik melatih diri dalam berbagai teknik yang diperlukan untuk dapat menghindar dari sanksi-sanksi serupa dimasa mendatang. 111 Keterasingan narapidana akibat hukuman merupakan kenyataan sosial, hal itu dapat terbawa-bawa setelah narapidana berada di masyarakat, dimana sulit bagi bekas narapidana bersosialisasi secara wajar dengan masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap bekas narapidana, pada umumnya lebih bersifat tidak langsung, yaitu berupa kekhawatiran maupun kecurigaan dan pengawasan yang berlebihan. Reaksi tersebut merupakan isyarat dari rasa kekhawatiran dan ketidak percayaan masyarakat terhadap bekas narapidana untuk dapat menjadi warga masyarakat yang baik ataupun sikap ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan sebagai sarana pendidikan dan pembinaan bagi narapidana. Pemasyarakatan pada hakekatnya merupakan gagasan dalam melaksanakan pidana penjara dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlakuan itu dimaksudkan untuk tetap memposisikan narapidana tidak hanya sekedar objek, tetapi juga subjek di dalam proses pembinaan dengan sasaran akhir mengembalikan narapidana ke tengah- tengah masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna resosialisasi terpidana. Upaya penempatan narapidana berdasarkan karakteristiknya, didasarkan atas pertimbangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya komunikasi antara penjahat kelas kakap dengan penjahat pemula. Dengan demikian menghindarkan 111 Richard D. Schwartz, On Legal Sanction Tentang Hal Sanksi Hukum. diringkas ke dalam bahasa Indonesia oleh Soetandyo Wingnyo Soebroto, dalam Peranan Kriminologi Dalam Hukum Pidana Surabya : Universitas Airlangga, Fakultas Hukum, 1976, hal, 53. Universitas Sumatera Utara 139 narapidana dari pengaruh buruk serta nilai-nilai negatif yang hidup di dalam penjara yang dapat mengganggu sasaran dan tujuan proses pembinaan. Dengan kata lain individualisasi pemidanaan menghendaki agar narapidana terhindar dari kemungkinan prisonisasi. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN