Tujuan Pembinaan Tidak Tercapai

B. Tujuan Pembinaan Tidak Tercapai

Setelah keluarnya UU No. 121995, pembinaan narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 selanjutnya disebut PP No. 311999 dalam Pasal 7 ayat 2, bahwa pembinaan narapidana terdiri atas 3 tiga tahap yaitu : a. Tahap awal b. Tahap lanjutan, dan c. Tahap akhir. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat 1, 2 dan 3 PP No. 311999 dijelaskan tentang tahap-tahap pembinaan tersebut. Pembinaan tahap awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 13 dari masa pidana. Pembinaan tahap lanjutan meliputi : 1. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidana. 2. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 23 masa pidana. Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Bagi narapidana yang dipidana penjara seumur hidup tidak dilakukan pentahapan sebagai mana tersebut di atas. Menurut Pasal 10 PP No. 311999 bahwa: Universitas Sumatera Utara 1. Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 meliputi : a. masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 satu bulan; b. perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; c. pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan d. penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal 2. Pembinaan tahap lanjutan meliputi a. perencanaan program pembinaan lanjutan; b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan dan; d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. 3. Pembinaan tahap akhir, meliputi : a. Perencanaan program integrasi; b. Pelaksanaan program integrasi dan; c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir 4. Pentapahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. 5. Dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan, Kepala lembaga pemasyarakatan wajib memperhatikan hasil lintas. Sehubungan dengan itu dalam Pasal 11 PP No. 311999 disebutkan bahwa: 1 Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan. 2 Pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar LAPAS oleh BAPAS. 3 Dalam hal narapidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu pembinaan tahap akhir narapidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di LAPAS. Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan pembinaan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka petugas lembaga pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam UU No. 121995 ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. Universitas Sumatera Utara Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan lebih menekankan kepada aspek pembinaan Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabilitatif, dan edukatif. Fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pendidikan dan sekaligus sebagai lembaga pembangunan yang mampu meningkatkan nilai tambah bagi narapidana, dengan mempertajam program pembinaan narapidana warga binaan pemasyarakatan. Contohnya dengan meningkatkan bobot keterampilan, melatih kemandirian narapidana, meningkatkan produktifitas hasil kerja yang semuanya untuk pembekalan diri baik mental spritual, menjelang kembali ke masyarakat. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana harus mampu berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pembangunan. 82 Pembinaan narapidana pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana, menjalani pidana, tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah narapidana. Bagaimana pun juga narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi 82 Adi Sujatno, Upaya-Upaya Menuju Pelaksanaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka di Lembaga PemasyarakatanTerbuka, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pemasyarakatan Terpidana II, Tanggal 8 – 9 Nopember 1993, Jakarta, Fakultas Hukum, U.I., hal. 13. Universitas Sumatera Utara yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana. Potensi itu akan sangat berguna bagi narapidana karena melalui tangan para pembina yang mempunyai iktikad baik, dedikasi tinggi, semangat tinggi, untuk memberikan motivasi bagi perubahan diri narapidana dalam mencapai hari esok yang lebih cerah. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu: 1. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana. 2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya. 3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan diterapkannya sistem pemasyarakatan diharapkan dapat terjadi proses perubahan pada diri narapidana yang menjurus kepada kehidupan yang positif setelah ia selesai menjalani pidananya. Gagasan Sahardjo telah dilaksanakan dengan perangkat apa adanya, dengan bentuk pembinaan seperti sekarang ini. Sekalipun gagasan itu telah berjalan lebih dari seperempat abad, belum ada gagasan baru untuk merubah, menggantikan atau menambah dan memperbaiki tujuan pemidanaan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara Melalui artikelnya dalam Harian Kompas, tanggal 4 Maret 1988 Harsono menulis: “Konsepsi Pemasyarakatan, masihkah perlu dipertahankan?”. Artikel yang menawarkan gagasan mengenai Sistem Pemasyarakatan Baru, ditindaklanjuti dengan artikel selanjutnya yang berjudul “Sistem Pembinaan Narapidana, Sebuah Konsepsi Pembaruan” dalam harian Bali Post tanggal 27 – 28 Mei 1988. Dalam kedua artikelnya Harsono menawarkan tentang tujuan pembinaan adalah kesadaran consciousness. 83 Untuk memperoleh kesadaran dalam diri seseorang, maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Diri sendiri yang akan mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih positif. Prinsip yang paling mendasar dalam membina narapidana, dinamakan prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana 84 , yaitu : 1. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri. 2. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat. 3. Masyarakat, adalah orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih diluar lembaga pemasyarakatan, dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat. 4. Petugas, dapat berupa petugas Kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas lembaga pemasyarakatan, BAPAS, Hakim Wasmat dan lain-lain. Petugas harus mengetahui tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah. Dalam membina narapidana, keempat komponen harus 83 C.I. Harsono Hs, Op. Cit, hal. 48. 84 Ibid, hal. 52 Universitas Sumatera Utara bekerjasama dan saling memberi informasi, terjadi komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam Pasal 2 ayat 1 PP No. 311999 disebutkan bahwa program pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian. Selanjutnya dalam Pasal 3 PP No. 311999 tersebut dijelaskan bahwa, pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian meliputi : a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Kesadaran berbangsa dan bernegara. c. Intelektual. d. Sikap dan perilaku. e. Kesehatan jasmani dan rohani. f. Kesadaran hukum. g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat. h. Keterampilan kerja, dan i. Latihan kerja dan produksi. Untuk melaksanakan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, menurut Pasal 4 ayat 1 PP No. 311999 dilakukan oleh petugas pemasyarakatan, yang terdiri dari atas: a. Pembina pemasyarakatan. b. Pengaman pemasyarakatan. c. Pembimbing kemasyarakatan. Sehubungan dengan kegiatan pembinaan ini, maka akan dilihat pendapat narapidana pada tabel berikut : Universitas Sumatera Utara Tabel 12. Pendapat Narapidana Tentang Adanya Kegiatan Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian No. Pembinaan KepribadianKeterampilan Jumlah Persentase 1. Ya 25 100 2. Tidak Jumlah 25 100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009. Tabel di atas menunjukkan 25 dua puluh lima orang 100 narapidana mengatakan memperoleh kegiatan pembinaan, baik pembinaan kepribadian maupun keterampilan. Hanya saja pembinaan kepribadian yang sifatnya umum seperti kerohanian, olah raga dan lain sebagainya dilakukan secara bersama- samaberkelompok, demikian juga halnya dengan pembinaan keterampilan. Menurut narapidana, pembinaan kepribadian dan keterampilan ini dilakukan secara bersama-samaberkelompok, serta diberikan kepada narapidana setiap harinya, dan petugas pembinanya didatangkan dari luar. 85 Pembinaan kepribadian atau kerohanian ini berupa pembinaan keagamaan, sedangkan pembinaan keterampilan berupa menjahit, pertukangan, elektronik dan lain-lain. Dengan adanya pembinaan kepribadian dan keterampilan ini diharapkan narapidana dapat merubah sikapnya ke arah yang lebih baik dan positif, serta 85 Wawancara dengan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. Universitas Sumatera Utara dapat memiliki keterampilan untuk menjadi bekal bagi narapidana kembali ke masyarakat. Dalam melaksanakan program pembinaan bukanlah hal yang mudah, apalagi bila harus melaksanakan pembinaan yang telah digariskan dalam Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pola Pembinaan Narapidana. Banyak faktor yang menjadi kendala dalam melaksanakan pembinaan antara lain masalah dana, kualitas dan kuantitas dari petugas Lembaga Pemasyarakatan, sarana dan prasarana, partisipasi masyarakat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi dari anggota keluarga narapidana dan narapidana itu sendiri. Maka wajar bila program pembinaan terhadap narapidana tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah diprogramkan oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Namun atas kebijaksanaan kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, maka di pilah-pilah mana program pembinaan yang banyak peminatnya, dan bermanfaat, serta pembinaan apa yang telah memiliki sarana dan prasarana, maka hal itulah yang diutamakan dalam melaksanakan program pembinaan. Di dalam sistem pemasyarakatan, perlakuan terhadap narapidana lebih bersifat manusiawi, hal ini berarti di dalam melaksanakan pembinaan tersebut hubungan antara petugas dengan narapidana harus menunjukkan hubungan antar manusia. Dengan demikian narapidana tidak hanya sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek yang ikut menentukan keberhasilan pembinaan yang dijalaninya. Dengan dijadikannya narapidana sebagai subyek dalam pembinaan, diharapkan Universitas Sumatera Utara setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, narapidana : a tidak lagi melakukan tindak pidana, b menjadi manusia yang berguna serta berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan Negara; c mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. 86 Dengan demikian pembinaan merupakan cara yang tepat memperbaiki narapidana agar kembali ke masyarakat, pembinaan menjuruskan para narapidana dan anak didik kepada kesanggupan untuk berprilaku baik, berucap baik, dan berbuat baik. 87 Dalam penjelasan Pasal 8 ayat 1 PP No. 311999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Narapidana, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sarana dan prasarana antara lain : 1. dana pembinaan; 2. perlengkapan ibadah; 3. perlengkapan pendidikan; 4. perlengkapan bengkel kerja; dan 5. perlengkapan olah raga dan kesenian. Berdasarkan pengamatan dan wawancara penulis dengan Petugas Pembina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, sarana dan prasarana yang ada sangat minim. Di samping itu, terbatasnya dana pembinaan merupakan kendala bagi petugas dalam melaksanakan program pembinaan. Sebagaimana yang dikemukakan Petugas pembina, bahwa dana yang tersedia untuk 86 L.S. Allagan, Faktor-faktor Yang Berdampak Terhadap Kegagalan Reintegrasi Sosial Terpidana, Jakarta : U.I, Program Pascasarjana Ilmu Sosial, Tesis, 1999, hal. 40. 87 Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Dari Sangkar ke Sangkar, Suatu Komitmen Pengayoman, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1979, hal. 11.. Universitas Sumatera Utara melaksanakan program pembinaan sangat minim, namun program pembinaan tetap terlaksana sesuai dengan dana yang ada. 88 Mengenai kurangnya saranaperalatan dalam melakukan pembinaan keterampilan, menurut narapidana dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 13. Pendapat Narapidana Tentang SaranaPeralatan Yang Digunakan Dalam Melakukan Pembinaan Keterampilan No. SaranaPeralatan Pembinaan Keterampilan Jumlah Persentase 1. Cukup - - 2. Kurang 21 84 3. Sangat kurang 4 16 Jumlah 25 100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009. Tabel di atas menunjukkan 21 dua puluh satu orang narapidana mengatakan kurangnya saranaperalatan dalam melakukan pembinaan keterampilan, sehingga narapidana secara bergantian menggunakan peralatan tersebut. Sedangkan 4 empat orang narapidana mengatakan saranaperalatan untuk melakukan kegiatan keterampilan sangat kurang, sehingga terkadang ada di antara narapidana yang tidak mendapat giliran atau kesempatan untuk melakukan kegiatan keterampilan tersebut. Dan tidak ada di antara narapidana yang mengatakan sarana keterampilan cukup untuk melakukan kegiatan keterampilan. 88 Wawancara dengan Petugas Pembina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. Universitas Sumatera Utara Hal ini disebabkan saranaperalatan yang tersedia dalam melakukan kegiatan keterampilan tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Kurang tersedianya sarana dan prasarana yang dapat mendukung usaha pembinaan narapidana mengakibatkan program pembinaan tidak dapat terlaksana dengan baik. Di samping itu kurangnya tenaga Pembina dalam melakukan pembinaan kemandirian, merupakan penghambat dalam membina narapidana. Menurut petugas 89 sarana dan prasarana yang ada diatur pemanfaatannya, sehingga narapidana secara bergilir dapat menggunakannya begitu juga halnya dengan jumlah petugas tidak sebanding dengan jumlah narapidana. Hal ini dapat menimbulkan perkelahian atau keributan di dalam lembaga sehingga petugas dapat mengambil tindakan yang tepat terhadap narapidana. Untuk mengetahui tindakan yang diambil petugas terhadap narapidana yang melanggar peraturan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Tindakan Petugas Terhadap Narapidana Yang Berkelahi, Melanggar Aturan lembaga pemasyarakatan No. Tindakan Petugas Jumlah Persentase 1. Menasehati dan memberikan tindakan disiplin 4 40 2. Menasehati dan meminta tamping menyelesaikannya 2 20 3. Memukul narapidana, menasehati dan memberikan tindakan disiplin. 1 10 4. Menasehati, memberikan tindakan disiplin, dan meminta tamping menyelesaikannya. 3 30 89 Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. Universitas Sumatera Utara Jumlah 10 100 Sumber : Data Primer, Penelitian Lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009. Tabel di atas memperlihatkan bahwa 4 empat orang petugas lembaga pemasyarakatan menasehati dan memberikan tindakan disiplin, sedangkan 2 dua orang petugas menasehati dan meminta tamping menyelesaikannya, dan 1 satu orang petugas memukul narapidana, menasehati dan memberikan tindakan disiplin, serta 3 tiga orang petugas menasehati, memberikan tindakan disiplin dan meminta tamping untuk menyelesaikannya. Sebagaimana dikemukakan petugas pembina bahwa dengan menasehati dan memberikan tindakan disiplin berupa pengasingan, narapidana biasanya takut. 90 Dalam hal ini petugas pemasyarakatan memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin wajib : a. Memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang; dan b. Mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan. 91 Menurut penulis dengan menasehati dan memberikan tindakan disiplin dapat membuat narapidana sadar akan perbuatannya sehingga ia tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Di samping itu peran tamping sangat menentukan untuk menyelesaikan 90 Wawancara dengan Petugas Pembina di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. 91 Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006, hal. 119. Universitas Sumatera Utara permasalahan yang terjadi di antara narapidana karena narapidana biasanya lebih takut kepada tamping. Di samping itu menurut petugas, adanya disparitas pidana perbedaan hukuman untuk kejahatan yang dapat diperbandingkan sama berpengaruh terhadap narapidana, yakni narapidana menjadi sinis dan apatis dalam menjalani pembinaan. 92 Yang dimaksud dengan disparitas pemidanaan adalah penjatuhan pidana yang berbeda-beda satu sama lain meskipun perbuatan pidananya sama dan pasal yang diterapkannya juga sama. 93 Hal ini disebabkan pada umumnya ancaman pidana yang tertulis dalam undang-undang adalah ancaman pidana maksimum, sehingga banyak ruang gerak bagi hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana. Akan tetapi, tanpa suatu kriteria hukum dan parameter yang jelas dan terukur, maka disparitas tersebut menjadi ajang kesewenang-wenangan hakim, dan dapat dipergunakan untuk sarana dalam mewujudkan mafia peradilan. Hal ini sangat melemahkan kewibawaan hukum dan pengadilan di mata masyarakat, sehingga masyarakat tidak akan menghormati hukum dan melakukan pengadilannya sendiri. Sehubungan dengan itu Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, 94 Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakimpengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, 92 Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan. 93 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 49. 94 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan, Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Majalah KHN News Letter, Edisi April, 2003. Universitas Sumatera Utara kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan societal justice. Sayangnya secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum . . . Meskipun demikian seringkali orang melupakan bahwa elemen keadilan pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim. Sehubungan dengan disparitas pidana, Sholehuddin mengemukakan bahwa : Disparitas pidana tidak bisa ditiadakan sama sekali, karena kewajiban hakim untuk mempertimbangkan seluruh elemen yang relevan dalam perkara individu tentang pemidanaannya, sebab disparitis tidak secara otomatis mendatangkan kesenjangan yang tidak adil. Dengan demikian eksistensi disparitas pidana tetap diakui dalam proses pemidanaan, akan tetapi yang penting sampai sejauhmanakah disparitas tersebut mendasarkan diri atas reasonable justification. 95 Narapidana yang merasa pidananya terlalu berat, sekaligus merasa dirinya menjadi korban ketidak adilan. Kondisi ini akan mempengaruhi proses sosialisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan pembinaan sedikit banyaknya juga ditentukan oleh pengalaman narapidana sebelum masuk ke lembaga pemasyarakatan. Perasaan terlalu beratnya pidana setelah dibandingkan dengan yang lain merupakan salah satu dampak disparitas pidana. Dengan demikian disparitas pidana dapat menimbulkan persoalan seperti menghambat untuk tercapainya keadilan, dan menjadi salah satu pemicu kekacauan di lembaga pemasyarakatan serta menggagalkan program resosialisasi. Dalam hal ini penerapan pidana yang mengandalkan intuisi subjektif hakim dan menghasilkan keanekaragaman pidana untuk tindak pidana yang pidananya kurang lebih sama atau untuk pernyertaan, akan menimbulkan 95 Sholehuddin, Op. Cit., hal. 115 – 116 Universitas Sumatera Utara keresahan tidak hanya bagi masyarakat, tetapi terlebih-lebih bagi yang dikenai pidana, mereka akan menganggap dirinya sebagai korban ketidakadilan dan peradilan yang kacau dan hal ini akan menggagalkan program-program Resosialisasi. 96 Adanya kenyataan bahwa disparitas pidana dapat menjadi pemicu kerusuhan dan keresahan bagi narapidana serta menjadi hambatan bagi petugas melakukan pembinaan semakin membuktikan bahwa proses resosialisasi terganggu bukan hanya disebabkan kegagalan petugas maupun narapidana, tetapi dapat juga disebabkan sistem peradilan pidana serta hukum pidana itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka di dalam lembaga pemasyarakatan prisonisasi lebih mudah berkembang, karena di antara sesama narapidana merasa senasib dengan adanya penjatuhan hukuman yang sama, apalagi kalau mereka menganggap dirinya merupakan korban ketidakadilan sehingga memudahkan mereka untuk bersosialisasi satu sama lain. Proses sosialisasi dengan nilai-nilai dan kultur di dalam lembaga pemasyarakatan memungkinkan narapidana untuk mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan, misalnya saja seorang narapidana yang dijatuhi hukuman karena kasus pencurian, maka ia akan bersosialisasi dengan narapidana dengan kasus pembunuhan, narkoba, dan lain-lain. Melalui proses sosialisasi ini narapidana belajar bagaimana memakai narkoba, atau bagaimana caranya menipu orang lain, sehingga lama kelamaan narapidana menjadi terpengaruh dengan kehidupan di 96 Muladi, Pengaruh Proses Sistem Peradilan Pidana Terhadap Pembinaan Residivis. Makalah, MABES POLRI, PTIK, Jakarta, Januari 1992, hal. 8. Universitas Sumatera Utara 115 dalam lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini narapidana banyak mempelajari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh sesama narapidana, sehingga perilaku narapidana tidak lebih baik dari sebelum ia masuk ke lembaga pemasyarakatan. Hal ini menghambat proses pembinaan narapidana, sehingga tujuan pembinaan tidak tercapai, karena bagaimanapun pengaruh nilai-nilai, moral, kebiasaan ataupun kultur penjara sangat melekat dalam diri narapidana. Ditambah lagi kondisi lembaga pemasyarakatan yang sudah overkapasitas, dapat mempengaruhi pembinaan narapidana. Dengan terjadinya over kapasitas maka persaingan sesama narapidana merupakan suatu hal yang wajar dan bersifat negatif sehingga menjurus ke arah perkelahian sesama narapidana, sedangkan sasaran pembinaan narapidana adalah pribadi narapidana itu sendiri, agar memiliki budi pekerti yang baik, dan dapat membangkitkan rasa harga diri narapidana serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram di dalam masyarakat. Dengan demikian tujuan pembinaan untuk mengembalikan narapidana menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab serta tidak mengulangi tindak pidana lagi, belum terwujud. Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK