BAB III AKIBAT PRISONISASI TERHADAP NARAPIDANA
DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Terbentuknya Kelompok-Kelompok Narapidana
Pemikiran Sahardjo untuk memperbaiki nasib orang-orang hukuman ternyata tidak cepat didukung oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari kurun waktu
sejak tahun 1963 hingga sekarang di mana jajaran pemasyarakatan tidak dapat memberikan suatu prestasi. Munculnya berbagai peristiwa seperti perkelahian
sesama narapidana, usaha pelarian narapidana dan dijadikannnya lembaga pemasyarakatan sebagai tempat peredaran narkoba. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pengawasan terhadap lembaga pemasyarakatan masih kurang. Semua ini merupakan indikasi terdapatnya hambatan di lembaga
pemasyarakatan, seperti keterbatasan petugas pembina, dan keterbatasan sarana prasarana yang tersedia di lembaga pemasyarakatan. Banyak kasus perkelahian
antara narapidana yang melibatkan kelompok-kelompok besar narapidana di lembaga pemasyarakatan dianggap merupakan suatu hal yang biasa. Kekerasan di
dalam lembaga pemasyarakatan seakan-akan sudah menjadi suatu hal yang wajar dalam kehidupan narapidana. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan begitu saja,
mengingat tujuan diadakannya lembaga pemasyarakatan adalah sebagai tempat untuk membina narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini sikapperilaku petugas sangat berpengaruh, di mana petugas sebagai pihak yang dibebani tugas pemasyarakatan dalam menjalankan fungsinya
berpedoman kepada UU No. 12 tahun 1995. Sebagai petugas seharusnya dapat memahami fungsi dan tanggung jawabnya bukan hanya sebagai pegawai
pemerintah, tetapi lebih dari itu, petugas adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki perilaku narapidana yang dinyatakan
sebagai pelanggar hukum. Keterlibatan narapidana untuk membantu petugas lembaga
pemasyarakatan merupakan suatu hal yang biasa, karena selama ini narapidana yang ditunjuk atau diangkat oleh petugas sebagai “tamping” tahanan
pendamping, untuk menyampaikan sesuatu kepada narapidana seperti adanya kunjungan keluarga. Bagi narapidana menjalin hubungan baik dengan petugas
lebih bermanfaat, karena dapat memperoleh jabatan, walaupun untuk itu narapidana harus menyerahkan sejumlah uang kepada petugas. Demikian juga
sebaliknya, bagi petugas, pekerjaan yang menarik adalah tugas yang dapat berhubungan langsung dengan narapidana, karena dapat menghasilkan tambahan
pendapatan bagi petugas,
72
Bagi narapidana jabatan sebagai tamping menjadi rebutan, karena dengan kedudukan tersebut narapidana yang bersangkutan dapat
diusulkan untuk memperoleh remisi tambahan, yang biasanya 13 dari jumlah remisi yang diterimanya.
73
72
Rahardi Ramelan, Op. Cit, hal. 94.
73
Wawancara dengan Narapidana, di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
Di samping tamping, ada juga diantara narapidana yang bertugas sebagai “palkam” kepala kamar. Palkam mempunyai kekuasaan dalam mengatur
kehidupan di dalam sel, mulai dari kebersihan, makan, menonton siaran TV, hingga pembagian kerja dan jumlah iuran yang harus dibayar oleh narapidana.
74
Untuk menciptakan ketenangan di dalam mengelola lembaga pemasyarakatan, petugas dapat mengikut sertakan para tamping dan palkam,
karena mereka lebih dihormati dan ditakuti oleh para narapidana. Dapat dikatakan peran tamping sangat besar untuk membantu petugas dalam
menjalankan proses pembinaan narapidana. Hal ini disebabkan jumlah petugas tidak seimbang dengan jumlah narapidana. Jumlah petugas yang menjaga
keamanan setiap regu terdiri dari 23 orang, dan setiap harinya ada 4 regu jaga yang bergiliran berdasarkan sifnya. Dari 23 orang tersebut, dua diantaranya
komandan dan Wakilnya duduk di dalam ruangan depan, dan 3 orang duduk di depan pintu masuk, serta 4 orang menjaga di tiap sudut lembaga pemasyarakatan,
sementara 13 orang lagi petugas jaga berkeliling,
75
sehingga perbandingan jumlah petugas dengan jumlah narapidana kurang lebih 1 : 74 dalam arti satu
orang petugas harus menjaga tujuh puluh empat orang narapidana. Kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan yang serba terbatas
menjadikan timbulnya rebutan berbagai fasilitas yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini saling pengertian menjadi hal yang utama di
kalangan narapidana maupun petugas. Setiap narapidana atau tahanan baru, akan
74
Rahardi Ramelan, Op. Cit., hal. 95
75
Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
merasa takut jika masuk lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu mereka akan bersosialisasi dan berorientasi kepada kelompok-kelompok yang bisa
memberikan keamanan kepada mereka, dan juga merasa senasib. Orientasi narapidana yang seperti inilah kemudian membentuk kelompok-kelompok
berdasarkan kesukuan di kalangan narapidana. Di lembaga pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, terdapat dua
kelompok besar di kalangan narapidana, yaitu kelompok Aceh dan Batak Karo Selebihnya hanya terdapat kelompok-kelompok kecil yang didasarkan atas jenis
kejahatannya maupun lamanya hukuman yang dijalani oleh narapidana. Kelompok-kelompok ini akan menonjol keberadaannya jika terjadi pertentangan
atau perebutan kekuasaan di dalam lembaga pemasyarakatan, juga turut menentukan pengangkatan pemuka, tamping, dan palkam. Kelompok-kelompok
ini juga terdapat diberbagai lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia, seperti halnya di lembaga pemasyarakatan Cipinang Jakarta, terdapat kelompok
Arek, kelompok Ambon, kelompok Aceh, kelompok Palembang, dan kelompok Batak.
76
Solidaritas antara sesama anggota kelompok terlihat akrab, dan apabila salah seorang anggota kelompok diganggu oleh anggota kelompok lainnya, maka
hal inilah yang memicu perkelahian antara kelompok. Terdapatnya kelompok-kelompok narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas I Tanjung Gusta Medan dapat dilihat pada tabel berikut.
76
Rahardi Ramelan, Op. Cit., hal. 106 – 107.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 9. Pendapat Narapidana Tentang Adanya Kelompok-kelompok
Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan
No. Kelompok-kelompok di dalam LP
Jumlah Persentase
1. Ada 18
72 2. Tidak
ada 2
8 3. Tidak
tahu 5
20 Jumlah
25 100
Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan, Desember 2009.
Tabel di atas menunjukkan 18 delapan belas orang narapidana mengatakan adanya kelompok-kelompok di dalam lembaga pemasyarakatan,
apakah itu berdasarkan kesukuan, asal daerahkota atau lainnya, sedangkan 2 dua orang narapidana mengatakan tidak ada, dan 5 lima orang narapidana
mengatakan tidak tahu. Sebagaimana dikemukakan oleh narapidana bahwa kelompok yang merasa lebih banyak jumlahnya baik suku atau daerah asalnya
maka mereka merasa lebih berkuasa.
77
Berdasarkan uraian di atas, ketidaktahuan narapidana atas kelompok- kelompok tersebut menunjukkan bahwa narapidana tidak mau tau akan
lingkungan di dalam lembaga pemasyarakatan, karena merasa hal itu tidak perlu diketahuinya. Sehubungan dengan itu maka hubungan sesama narapidana menjadi
renggang, bahkan dapat terjadi perkelahian antara sesama narapidana, jika salah satu anggota kelompoknya merasa terganggu atau disebabkan perebutan
77
Wawancara dengan narapidana, di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan, sehingga menimbulkan keributan di dalam lembaga pemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 10. Pendapat Narapidana Tentang Keributan Di Dalam
Lembaga Pemasyarakatan
No. Terjadi Keributan di LP
Jumlah Persentase
1. Ya -
- 2. Kadang-kadang
20 80
3. Tidak pernah
5 20
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Tanjung Gusta Medan, Desember 2009. Tabel di atas menunjukkan 20 dua puluh orang narapidana mengatakan
kadang-kadang terjadi keributan antara narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, sedangkan 5 lima orang narapidana mengatakan tidak pernah,
hal ini mungkin untuk menutupi adanya keributan di dalam lembaga pemasyarakatan. Seperti yang dikemukakan oleh narapidana bahwa keributan
yang terjadi diantara narapidana karena perebutan kekuasaan, atau timbulnya sikap iri antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya, atau juga
disebabkan adanya sikap pilih kasih dari petugas terhadap narapidana.
78
Sikap pilih kasih seperti ini membuat narapidana merasa petugas bersikap tidak adil
terhadap mereka, sehingga pembinaan yang dilakukan petugas tidak dapat diterima oleh narapidana.
78
Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian sikap petugas yang kasar dan pilih kasih, menjadi penghambat dalam pembinaan narapidana. Hal ini dikemukakan oleh narapidana
pada tabel berikut.
Tabel 11. Pendapat narapidana tentang sikap petugas yang kasar dan
pilih kasih
No. Pendapat Narapidana
Jumlah Persentase
1. Perlakuan petugas yang kasar dalam menerapkan aturan tata tertib Lembaga
Pemasyarakatan 5 20
2. Perlakuan petugas yang pilih kasih dalam membina narapidana
6 24 3.
Perlakuan petugas yang kasar dan pilih kasih dalam membina narapidana dan
menerapkan aturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan
14 56
Jumlah 25
100 Sumber : Data Primer, penelitian lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I
Tanjung Gusta Medan, Desember 2009. Tabel diatas menunjukkan bahwa 5 lima orang narapidana mengatakan
perlakuan petugas yang kasar dalam menerapkan aturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dan 6 enam orang narapidana mengatakan perlakuan petugas
yang pilih kasih, dan 14 empat belas orang narapidana yang mengatakan perlakuan petugas yang kasar dan pilih kasih dalam membina dan menerapkan
aturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan, dapat menghambat pembinaan narapidana, karena narapidana merasa takut dan berusaha untuk mendekatkan diri
Universitas Sumatera Utara
dengan petugas. Dengan demikian sikap petugas yang pilih kasih terhadap narapidana merupakan penghambat dalam membina narapidana.
Sehubungan dengan itu terbatasnya sarana dan prasarana seperti peralatan kerja, dan lain-lain, mengakibatkan tidak semua narapidana
mendapatkan kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan pembinaan. Hal ini dikemukakan oleh petugas bahwa keterbatasan berbagai sarana dan prasarana
itulah yang menyebabkan narapidana secara bergantian melakukan kegiatan pembinaan berupa keterampilan, dan yang lebih diutamakan adalah narapidana
yang masa hukumannya tinggal beberapa bulan lagi, karena bekal keterampilan yang diterimanya dapat dipergunakan sebagai bekal untuk hidup mandiri setelah
keluar dari lembaga pemasyarakatan.
79
Di samping kelompok-kelompok berdasarkan kesukuan atau daerah, di lembaga pemasyarakatan juga terdapat klasifikasi lain yang didasarkan atas
kemampuan keterlibatan mereka secara finansial di dalam lembaga pemasyarakatan.
Seperti dikutip dari Harian Kompas, bahwa di kalangan narapidana dikenal semacam kasta. Kasta yang paling tinggi terdiri dari formen, palkam
kepala keamanan dan brengos tukang pukul yang melindungi formen dan palkam. Formen biasanya seorang narapidana yang paling disegani baik karena
memiliki uang maupun karena ditakuti oleh narapidana lain. Kasta selanjutnya
79
. Wawancara dengan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
adalah narapidana kelas menengah. Narapidana ini sering dijadikan objek, baik objek kekerasan maupun pemerasan oleh narapidana diatasnya. Kasta terendah
adalah korpe atau pesuruh. Korpe merupakan akronim dari korban perasaan. Biasanya korpe adalah anak jalanan atau hilang yang tidak memiliki keluarga.
80
Dengan adanya kelompok-kelompok narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan sedikit banyaknya dapat mempengaruhi kehidupan narapidana di
dalam lembaga pemasyarakatan, karena bagi narapidana yang mampu atau memiliki banyak uang, maka ia dibebaskan dari berbagai tugas asalkan dapat
membayar iuran yang ditetapkan. Seperti yang dikemukakan oleh Rahardi Ramelan bahwa kelompok anak atas dibebaskan dari berbagai tugas, yang
penting tetap membayar iuran yang telah ditetapkan oleh palkam. Sedangkan kelompok anak bawah dan anak hilang harus dapat mengerjakan pekerjaan yang
ditetapkan oleh palkam. Sebutan anak hilang adalah untuk narapidana yang tidak pernah mendapat kunjungan selama berada di lembaga pemasyarakatan, dan
sebutan bagi anak bawah karena ketidakmampuan atau keterbatasan keuangannya sehingga mereka harus dapat menerima berbagai perlakuan.
81
Dengan demikian munculnya berbagai kelompok-kelompok narapidana yang berdasarkan kesukuan, daerahkota asalnya, maupun klasifikasi lainnya,
merupakan akibat dari prisonisasi.
80
Harian Kompas, 21 April 2007
81
Rahardi Ramelan, Op. Cit. hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
B. Tujuan Pembinaan Tidak Tercapai