91
ditetapkan esok hari, dan ada pesan-pesan atau nasehat mulia lewat wujud binatang khayal tersebut.
Melihat keterpaduan antara ritual Dugderan dan pengarakan Warak Ngendog, kesetaraan fungsi antara keduanya sebagai sarana pengumuman awal
puasa dan pesan-pesan untuk diterapkan dalam berpuasa, maka Warak Ngendok merupakan simbol yang penting dalam Dugderan. Karena bentuknya yang unik,
kehadirannya sangat dinantikan sebagaimana masyarakat menantikan dilaksanakannnya ritual Dugderan, dan lebih utama lagi layaknya menantikan
datangnya Bulan Ramadhan sebagai bulan mulia untuk meningkatkan ketaqwaan bagi umat Islam.
2.2.4. Warak Ngendog dalam Perspektif Sejarah
Sebagaimana halnya dengan sejarah Dugderan, Warak Ngendog diyakini juga sebagai kreasi dari Kyai Saleh Darat dan Bupati RMT Purbaningrat, bisa
sebagai kreasi perorangan diantara mereka atau kolaborasi keduanya pada tahun 1881.
Ide penciptaan Warak Ngendog berkaitan dengan ritual Dugderan menyambut bulan Ramadhan. Urutannya bisa digambarkan sebagai berikut;
- Untuk memeriahkan acara seusai ritual musyawarah dan pembacaan
pengumuman awal puasa perlu dipukul bedug dan disulut meriam sebagai simbol bersatunya ulama dan umara Dugderan.
92
- Tidak semua lapisan masyarakat di penjuru Semarang menyaksikan
pembacaan pengumuman awal puasa dan mendengar bunyi bedug dan meriam.
- Diperlukan sebuah wujud yang mampu menjadi ikon yang menarik
perhatian dan fungsinya setara dengan pengumuman awal puasa sekaligus dengan pesan-pesan yang dapat disampaikan kepada masyarakat.
- Wujud yang menarik adalah bentuk binatang yang belum pernah
dilihat. -
Berdasarkan tujuan menarik perhatian, tidak menimbulkan perdebatan persepsi dalil-dalil agama, dapat dimuati simbol-simbol nasehat, serta
latar belakang pemikiran dan penjiwaan dari kedua tokoh yang Islami dan berbudaya Jawa, maka muncullah bentuk sebagaimana Warak
Ngendog. Berdasarkan masanya, bahan dan teknik pembuatannya dimulai dari bahan
yang ada pada zamannya. Saat ini bahannya adalah kayu dan kertas minyak ditambahi berbagai ornamen dari kertas karton, gabus, dan sebagainya Pada
awalnya, di tahun 1881-an Warak Ngendog bisa jadi dibuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana, seperti kayu, bambu, dan sabut kelapa.
Ide dan gagasan dari ulama dan umara utama Semarang saat itu dikerjakan dibantu oleh santri atau abdi kabupaten Semarang. Bentuk mengacu pada
gabungan bagian-bagian badan beberapa binatang, sehingga muncul perwujudan yang khayal dan menarik. Kepala berbentuk rakus dan menakutkan, badan, leher,
kaki, dan ekor ditutup dengan bulu yang tersusun terbalik.
93
Dalam perkembangan berikutnya ditemukan tiga kelompok Warak Ngendog berdasarkan perbentukannya, yaitu;
- Warak Ngendog klasik, Warak Ngendog yang masih menampilkan unsur dan struktur asli serta diciptakan turun temurun atau berulang-ulang dalam
wujud sama. Kepala terdiri dari bagian mulut bergigi tajam, mata melotot, telinga tegak atau tanduk, dan jenggot yang panjang lebat. Badan, leher dan
keempat kakinya ditutup bulu yang terbalik dengan warna berselang-seling merah, kuning, putih, hijau, dan biru. Terdapat ekor panjang, kaku
melengkung atau mendongak, berbulu serupa badan, dan terdapat surai di ujungnya. Bentuk telur atau endhog terletak di antara dua kaki belakangnya.
Gambar 22 Warak Ngendog Klasik dengan bentuk yang sederhana
Sumber: Supramono, 2004
94
- Warak Ngendok modifikasi atau model baru. Secara umum sama dengan Warak Ngendog klasik. Perbedaan hanya di bagian kepala. Bentuk
kepala naga sangat jelas. Ada kesamaan bentuk naga Cina atau naga Jawa, antara lain pada moncong yang mirip buaya dengan deretan gigi
tajam, lidah bercabang menjulur, mata melotot, berkumis dan berjanggut, bertanduk kecil bercabang seperti rusa, kulit bersisik,
bersurai di bagian belakang kepala. Naga Jawa biasanya memakai mahkota di atas kepalanya.
Gambar 23 Warak Ngendog model baru dengan kepala naga Cina
Sumber: Supramono, 2004
95
Gambar 24 Warak Ngendog model baru dengan kepala naga Jawa yang bermahkota
Sumber: Supramono, 2004 -
Warak Ngendog kontemporer. Secara struktur sama dengan Warak Ngendog klasik, namun detail-detail kepala dan bulu tidak sesuai.
Misalnya; kepalanya seperti harimau, bulunya tidak terbalik, tidak berbulu tapi bersisik, dan sebagainya
96
Gambar 25 Salah satu Warak Ngendog kontemporer dengan badan bersisik
Sumber: Supramono, 2004
Perubahan-perubahan bentuk yang cenderung mengurangi bentuk baku, dikhawatirkan dapat membahayakan eksistensi nilai-nilai yang terkandung dalam
Warak Ngendog. Warak Ngendog adalah totalitas karya dengan standar bentuk dan makna yang melekat padanya. Oleh karena itu, pengenalan dan pemahaman
tentang Warak Ngendog yang mendalam diperlukan sebelum membuat dan menyajikannya dalam sebuah pentas.
97
BAB III PERWUJUDAN EKSTRAESTETIS WARAK NGENDOG
3.1. Hakikat Islam sebagai Konsep Dasar Warak Ngendog
Karya seni rupa Warak Ngendog dan ritual Dugderan sebagai satu kesatuan tradisi integratif adalah bagian kebudayaan khas masyarakat Semarang.
Berdasarkan tinjauan sejarah, urut-urutan ritual, dan serangkaian simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Dugderan, penulis berpendapat bahwa tradisi tersebut
ada bukan secara serta-merta atau secara spontan. Tradisi tersebut muncul lewat proses akumulasi konsep pemikiran umara dan ulama Semarang pada sekitar
tahun 1880-an. Integrasi nilai-nilai agama Islam dengan kebudayaan Jawa dapat diamati dalam tradisi Dugderan.
Meskipun tidak mudah mengintegrasikan agama dengan kebudayaan, namun tradisi Dugderan telah menunjukkan bahwa kedua hal tersebut dapat
diintegrasikan. Sebagaimana halnya dengan tradisi Gerebeg di Demak, Surakarta, dan Yogyakarta, tradisi Nyadran, tradisi Kenduri atau Selametan, tradisi Tabuik di
Sumatera Barat, dan banyak lagi lainnya. Dalam banyak hal, memang masih ada rasa khawatir terhadap hubungan,
apalagi pengintegrasian antara agama dengan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana, bahwa agama diturunkan atau
diciptakan oleh Tuhan yang permanen dan universal, sedangkan kebudayaan adalah buatan manusia yang temporal dan spatial. Bila dirunut ke belakang,