Analisis Semantik; Penyajian Warak Ngendog

165 yang sering dilakukan dibalik atau diganti dengan perilaku baru yang terpuji sesuai ajaran agama dan tauladan nabi. Warak adalah ”binatang” yang dapat dipanggul dan dinaiki. ”Binatang” warak sebagai simbol hawa nafsu dapat diletakkan di mana saja, diangkat, diajak berjalan, melompat, berbelok, dan dikendarai. Dia bukan sesuatu yang dapat bebas bergerak menguasai sekitarnya. Warak yang dapat dipanggul dan dinaiki manusia artinya hawa nafsu itu seharusnya dapat dikendalikan, diarahkan, dan diatasi oleh hakekat manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai iman dan taqwa. Endhog atau ”telur” warak adalah sesuatu yang sangat berharga dan diharapkan banyak orang. ”Telur” warak diartikan sebagai buah, hasil, kenikmatan atau pahala bagi siapa saja yang mampu mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu, serta mengubah perilaku dari perilaku-perilaku yang jelek menjadi perilaku- perilaku yang terpuji. Ibadah-ibadah agama, salah satunya adalah amalan-amalan selama bulan Ramadhan dapat dijadikan sarana untuk mengendalikan nafsu, mengubah perilaku, dan akhirnya meraih kemuliaan di dunia dan akhirat nanti.

5.1.6. Analisis Semantik; Penyajian Warak Ngendog

Wujud Warak Ngendog adalah hasil kompromi antarpersepsi antargolongan dalam Islam dalam memandang sebuah karya seni rupa ”patung”, khususnya Warak Ngendog. Dalam rangka menghindari perselisihan pendapat maka ditengahi dengan perwujudan binatang khayal yang tidak pernah ada di bumi, dibuat dengan bahan dan struktur yang tidak permanen sehingga mudah 166 rusak saat tidak digunakan, dan apabila disimpan juga tidak ada pengkultusan atau penghormatan yang berlebihan terhadap wujud ”benda” tersebut. Ada dua konotasi makna yang dapat ditangkap dari analisis perwujudan itu, yaitu: a. Kompromi dan perdamaian dengan tujuan kebaikan harus dikedepankan daripada berpegang teguh pada satu prinsip yang bisa menjurus perselisihan tajam, apalagi prinsip yang sebenarnya masih menjadi perdebatan karena luasnya sumber dan beragamnya penafsiran dari para pakar atau ulama. b. Menanamkan bahwa sesuatu yang bersifat kebendaaan itu tidak abadi, termasuk segala hal yang ada pada kehidupan manusia niscaya akan musnah pada akhirnya nanti, kecuali hanya Allah Swt. yang kekal dan abadi. Warak Ngendog tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian dari ritual tradisional Dugderan masyarakat Kota Semarang dengan waktu, tempat, dan urutan yang telah disepakati. Analisis ini mengandung konotasi sebagai berikut: a. Manusia harus mampu mengetahui, mengatur, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya agar kehidupannya tertata dan seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, seimbang antara hidup untuk dirinya, untuk sesama manusia, untuk alam semesta, dan untuk Tuhannya. b. Masjid sebagai titik pusat menjadi simbol tawakal, bahwa manusia harus mengembalikan segala urusan kepada kuasa Allah. Tidak memandang penguasa atau rakyat jelata semuanya berkumpul dan sama derajatnya di hadapan Allah. 167 c. Kerendahan hati dan rasa saling menghormati yang ditunjukkan dengan silaturahmi penguasa pada ulama, proses musyawarah untuk mufakat, dan kepatuhan masyarakat pada pimpinan spiritual ulama dan pimpinan struktural umara menunjukkan ciri masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tertib dalam menjalankan perannya masing-masing, penuh toleransi dan silaturahmi, patuh pada peraturan, hormat pada pimpinan, dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Warak Ngendog disajikan dengan cara dipanggul oleh empat orang di ujung keempat kakinya serta dinaiki orang pada punggungnya. Warak adalah ”binatang” yang dapat dipanggul dan dinaiki. ”Binatang” warak sebagai simbol hawa nafsu. Hawa nafsu sama artinya dengan keinginan manusia yang berlebihan dan bisa mengancam kehidupan manusia antara lain menjajah, menyakiti, merusak, tamak, dan sebagainya. Warak yang dapat dipanggul dan dinaiki manusia artinya hawa nafsu. dapat diletakkan di mana saja, diangkat, diajak berjalan, menari, melompat, berbelok, dan dikendarai. Dia bukan sesuatu yang dapat bebas bergerak menguasai sekitarnya. Hawa nafsu tidak boleh dibebaskan menguasai manusia, tetapi harus dapat dikendalikan, diarahkan, dan diatasi oleh hakekat manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai iman dan taqwa.

5.1.7. Analisis Pragmatik